Didalam ruangan yang serba putih, terlihat seorang gadis berbaring dengan alat bantu memenuhi seluruh tubuhnya. Sejak peristawa kecelakaan yang ia alami terakhir kali, gadis itu masih belum bisa membuka kedua matanya.
Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh kedua orang tua gadis itu agar bisa melihat putrinya kembali membuka kedua matanya. Namun sebesar apapun usaha yang mereka lakukan tetap saja gadis itu tidak memeberikan tanda-tanda kehidupan.
Para dokter bahkan sudah menyerah dengan kondisi gadis itu, namun lagi-lagi kedua orang tuanya tetap berusaha meyakinkan para dokter jika Putrinya masih memiliki harapan untuk membuka kembali matanya.
Meski harapannya kecil namun bagi kedua orang tua gadis itu semasih Tuhan belum mengambil semua kehidupan Putrinya, maka harapan itu masih ada. Walaupun biaya yang mereka keluarkan tidak sedikit namun agar tetap bisa melihat Putrinya bisa bernapas maka mereka rela meski Putrinya hanya bisa bernapas menggunakan alat bantu diseluruh tubuhnya.
Bip Bip Bip Bip Bip
Bunyi alat bantu jantung memecah keheningan didalam ruangan serba putih itu. Setelah tadi pagi Dokter Karina selesai mengececek keadaan gadis itu, Efina ibu dari gadis itu pergi mengambil baju ganti dirumahnya setelah memastikan kondisi putrinya baik-baik saja.
Kreeeettt ....
Bunyi pintu yang didorong tanda seseorang memasuki ruangan inap gadis itu. Efina kembali dengan sebuah tas yang ditenteng ditangan kirinya sedangkan tangan kanannya digunakan untuk memegang ponsel yang ditempelkan ditelingannya.
"Kondisi Lilian baik-baik saja ... Papa nggak usah khawatir, Dokter Karina bilang bahwa kondisi tubuhnya sangat stabil." Efina berjalan menuju sofa terdekat dan meletakkan bawaannya diatas meja.
"Papa segera selesaikan masalah pekerjaan dan serahkan Lilian sama Mama saja. Mama yakin Lilian pasti bisa melewati masa sulitnya dan akan segera membuka kedua mata seperti sebelumnya." Air mata Efina kembali terjatuh saat melihat kondisi Putrinya yang semakin hari semakin melemah.
"Ya sudah kalau begitu ... Mama tutup teleponnya ya! Ingat Papa juga harus jaga kesehatan disana, jangan sampai saat Lilian sadar ia melihat wajah Papa yang kacau." Efina berjalan mendekati Putrinya yang masih belum membuka matanya.
Setelah menutup telepon dari Suaminya, Efina menatap sendu kewajah Putrinya yang sangat pucat. Sudah sejak lama ia tidak melihat sorot mata ceria dari Putrinya. Efina kembali teringat hari dimana ia mendapat kabar bahwa Putrinya mengalami kecelakaan dan dilarikan kerumah sakit terdekat.
Hatinya terasa diremas saat mendengar bahwa Putrinya tidak bisa bernapas tanpa menggunakan alat bantu ditubuhnya. Jika alat bantu itu dilepas maka sama saja mereka mencabut nyawa Putrinya.
Pernah sekali Putrinya hampir menghembuskan napas terakhirnya saat listrik dirumah sakit tersebut tiba-tiba mati dan membuat semua alat bantu Lilian juga ikut mati. Napas Lilian menjadi tidak teratur dan membuat Efina berteriak histeris saat melihat kondisi Putrinya yang semakin memburuk. Untung saja listriknya kembali normal dan Lilian bisa diselamatkan tepat waktu. Akhirnya Efina dan Suaminya memustukan untuk menyiapkan sendiri alat-alat yang akan digunakan jikalau listriknya kembali bermasalah dan kebutuhan lain yang mungkin saja Lilian butuhkan.
"Selama kita masih memiliki banyak uang, maka Mama tidak akan membiarkan satu orangpun melepas alat bantu ditubuh mu. Uang tidak menjadi masalah, kamu adalah yang terpenting untuk Mama. Cepatlah bangun sayang! Papa sudah merencanakan kehidupan normal seperti yang kamu inginkan ... Semua rencana itu akan berakhir sia-sia jika kamu tidak membuka matamu." Dada Efina kembali sesak mengingat permintaan Putrinya yang sederhana.
Ayah Lilian adalah orang penting disalah satu perusahaan besar bernama Ganendra Group, salah satu perusahaan terbesar di Asia. Perusahan itu dikelolah langsung oleh Aditia Ganendra dan Ayah Lilian dipercaya sebagai tangan kanannya. Pekerjaan Ayahnya mengharuskan mereka berpindah tempat sehingga mereka tidak menetap disatu tempat. Itulah mengapa Lilian selalu mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa ia ingin hidup normal seperti anak gadis lainnya.
Lilian ingin memiliki sahabat, menjalani kehidupan anak remaja seusianya dan melakukan banyak hal bersama sahabat dan orang terdekatnya. Namun sebelum permintaannya dipenuhi, kecelakaan itu terjadi.
Efina membalikkan badannya dan tidak ingin melihat kearah wajah Putrinya lagi. Hatinya selalu sakit melihat kondisi Putrinya, apalagi sebelum Putrinya kecelakaan Efina merasa belum memberikan kehidupan yang Putrinya inginkan. Efina juga merasa Keira Kakak dari Lilian baru bisa hidup normal setelah ia memutuskan untuk hidup sendiri dikota tempat ia kuliah.
"Aku memang Ibu yang sangat buruk untuk kedua Putriku ... Aku tidak bisa memberikan kehidupan yang mereka inginkan. Andai saja aku tidak egois dan tidak meminta kemanapun Papa pergi maka kami akan ikut maka kedua Putriku akan bisa menjalani kehidupannya dengan baik." Efina kembali menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi kepada Putrinya, ia kembali menangis dalam waktu yang lama.
Setelah puas menangis, Efina kembali menenangkan dirinya. Efina selalu berjanji kepada dirinya sendiri jika Lilian kembali membuka matanya lagi maka ia akan memberikan kehidupan yang Putrinya inginkan, yaitu kehidupan normal.
Saat Efina ingin bangun dari duduknya, terdengar suara alat bantu pernapasan berbunyi sangat pelan.
Bip Bip Bip Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Efina terlonjat kaget dan segera mendekati Putrinya. "Ada apa? Apa yang terjadi?" Napas Efina tercekat melihat tubuh Lilian bergetar dengan wajah yang semakin pucat.
Dengan gerakan cepat Efina menekan tombol darurat beberapa kali berharap Dokter cepat datang dan melihat kondisi Putrinya.
Semakin lama tubuh Lilian semakin bergetar hebat membuat Efina semakin panik dan kembali menangis. Efina bahkan menekan tombol darurat sampai jarinya memerah karena terlalu banyak menekan. Namun tidak Efina sangka setelah tubuh Lilian bergetar hebat, gadis itu malah membuka kedua matanya dan langusung menatap kedua matanya.
Belum sempat Efina mengeluarkan kata-kata, Dokter datang dengan seorang perawat dibelakangnya dan menyuruhnya untuk keluar demi ketenangan pasien. Efina sebenarnya tidak ingin keluar namun demi Putrinya dia harus rela menunggu sampai dokter mengijinkannya masuk.
"Lilian tadi membuka matanya dan melihat kearah ku." Suaranya bergetar, Efina bahkan terduduk dengan lemas sambil memeluk kedua lututnya.
"Putriku sudah sadar ... Mata itu tadi terbuka. Lilianku kembali sadar ... Putri kecilku telah kembali." Efina menangis sesegukan hingga dokter keluar dari ruangan.
"Bagaimana kondisi Putriku Dokter? Dia baik-baik sajakan?" Tanya Efina tidak sabaran.
Dokter itu tersenyum kecil. "Ini sungguh ajaib, selama ini tidak ada yang berani menjamin kalau Putri Nyonya akan bisa kembali sadar. Namun hari ini Putri Nyonya telah membuka matanya dengan kondisi tubuh yang sangat stabil. Usaha Nyonya dan Tuan akhirnya membuahkan hasil, tidak sia-sia kalian mempertahankan agar alat-alat itu tetap terpasang ditubuh Putri mu."
Air mata Efina kembali membasahi kedua pipinya. "Putriku benar-benar sudah sadarkan Dokter? Kali ini bukan mimpi lagi kan?" Dadanya mulai kembali sesak.
Dokter itu menggeleng dengan cepat. "Nyonya sedang tidak bermimpi, Putri Anda sudah bangun dan silahkan Nyonya masuk untuk melihat kondisinya."
Efina mengangguk cepat kemudian secepatnya berlari menuju ruangan Lilian. Tangan dan kaki Efina bergetar melihat tatapan mata Putrin yang selama ini ia rindukan.
"Lilian ... Putriku ..." Tangis Efina kembali pecah, ia pun berjalan dengan cepat dan memeluk erat tubuh Putrinya.
°°°
Lilian kembali membuka kedua matanya. Masih dengan ruangan bercat putih sama seperti sebelumnya.
"Aneh .... Ini benar ... Benar aneh. Aku kembali setelah menyelesaikan misi? Lalu bagaimana selanjutnya? Apa yang terjadi setelah hari itu?" Batin Lilian bingung.
Setelah sekian lama menutup mata Lilian akhirnya membuka kembali matanya. Beberapa hari yang lalu, Lilian pikir ia masih berada dimasa lalunya namun wajah Mama yang selalu ia rindukan berada tepat dihadapannya dengan berlinangan air mata.
Awalnya Lilian bingung saat seorang Dokter dan seorang Perawat datang memeriksa kondisi tubuhnya. Bukan baju khas orang jaman dulu yang keduanya kenakan melainkan pakaian yang biasa Dokter dan Perawat kenakan saat sedang bertugas dirumah sakit.
Setelah mengamati situasi beberapa saat, Lilian baru menyadari bahwa ia telah kembali ke raga masa depannya dan ia telah menyelesaikan misinya. Kesal, tentu saja hal itu yang Lilian rasakan pertama kali. Bukan tidak ingin kembali namun Lilian belum mengatakan salam perpisahan atau melakukan apapun pada semua orang pada masa lalunya.
Saat itu Lilian hanya merasa lelah dan jatuh tidak sadarkan diri. Saat bangun Lilian sudah kembali ke masa depannya, hal itu membuat Lilian kesal sendiri.
"Aku tidak mengatakan sepatah kata pun kepada semua orang dimasa lalu. Aishhh ... hal ini membuatku kesal saja." Batin Lilian.
Efina hanya menatap aneh kearah Putrinya. Sejak terbangun dari komanya, Lilian tidak banyak bicara dan sering melamun. Efina bahkan melihat Lilian menghembuskan napas seakan ia sedang memikirkan sesuatu atau menyesali sesuatu.
Seperti sekarang ini, saat melihat Lilian terbangun Efina berniat menawarkannya makan namun niatnya terhenti saat melihat raut wajah aneh dari Putrinya itu. Tidak ingin berpikiran aneh lagi, akhirnya Efina berjalan mendekati Lilian yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
"Sayang apa kamu baik-baik saja?" Efina menatap sendu kearah Lilian, namun Lilian tidak menjawab bahkan tidak menatapnya.
"Sayang ..." Panggil Efina lembut sambil mengelus pelan kepala Lilian.
Lilian kaget saat merasakan tangan lembut mengusap kepalanya. "Mama?"
Efina menatapnya khawatir. "Apa kamu baik-baik saja? Perlu Mama panggilkan Dokter?"
Lilian menggelan pelan dan tersenyum kikuk kearah Mamanya. "Ahhh Tidak Mama ... Lilian baik-baik saja."
"Benarkah? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu." Tangan Efina kembali mengusap lembut kepala Lilian.
Lilian dapat merasakan kehangatan dari sentuhan Mamanya, sangat lembut dan penuh kasih sayang. "Lilian hanya penasaran saja. sejak terbangun, Lilian belum melihat keberadaan Papa dan Kakak."
Efina mengusap pelan tangan Lilian. "Papa sedang mengurus semua kepindahan kita dan Kakak juga sedang membantu Papa disana."
Lilian mengerutkan kening bingung. "Pindah? Lagi?" Tanyanya tidak percaya.
Efina mengangguk pelan sambil tersenyum lembut. "Kali ini yang terakhir ... Papa dan Mama sudah memutuskan jika kita akan tinggal di Jakarta dan menetap disana. Papa juga sudah mengurus tempat dimana kamu nanti bersekolah. Jika kondisi mu semakin membaik maka setelah keluar dari rumah sakit kita langsung berangkat ke jakarta."
"Benarkah? Kita akan menetap? Tidak lagi berpindah-pindah? Lalu bagaimana dengan toko Mama?" Tanya Lilian beruntun.
Efina hanya tersenyum menanggapi pertanyaan beruntun dari Putrinya. "Benar kita akan menetap disana dan tidak akan pindah ... Papa mungkin sesekali harus melakukan perjalanan bisnis namun setelahnya akan kembali pulang. Untuk toko biarkan saja pegawai Mama yang akan mengurus, itu hanya toko cabang dan toko induknya ada di Jakarta. Kalau tidak ada kendala Mama akan langsung mengelola langsung toko induknya." Jelasnya.
Lilian hanya mengangguk pelan, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan namun Efina menyuruhnya agar beristirahat agar secepatnya tubuh Lilian kembali pulih.
°°°
Akhirnya Author kembali dengan kisah Lilian ... Semoga awalnya tidak mengecewakan para pembaca yang sudah lama menunggu season duanya ya ...
Untuk pembaca baru disarankan agar membaca novel karya Author yang sebelumnya "Bukan Dunia Novel" Karena kisahnya berasal dari sana dan mengalir sampai sini🤭
Bandara Udara Husein Sastranegara, 06:45 PM.
Seorang gadis berjalan sambil menarik sebuah koper besar berwarna peach menuju salah satu kursi yang berada didalam bandara. Gadis itu memeriksa waktu penerbangan pada tiket yang berada ditangannya menunjukan 07:15 PM Bandung-Jakarta.
Lilian menghembuskan napas pelan. "Masih tiga puluh menit lagi." Gumamnya.
Setelah memeriksa tiket ditangannya, Lilian kemudian menengok ke kanan dan kiri mencari Efina. Saat sampai dibandara, Efina menyuruh Lilian untuk memasuki bandara terlebih dahulu karena ia harus mengurus sesuatu.
Awalnya Lilian menawarkan diri untuk ikut bersamanya namun Efina menolak karena cuaca diluar bandara sangat dingin. Efina merasa cuaca tersebut tidak cocok untuk tubuh Lilian yang baru saja keluar dari rumah sakit.
Setelah menunggu beberapa menit, Efina datang dengan koper miliknya dan berjalan mendekat kearah Lilian berada.
"Sayang apakah kamu sudah check-in?" Tanya Efina.
Lilian menggeleng pelan sambil tersenyum memamerkan gigi putihnya. "Belum Mah ..."
"Loh ... Kenapa belum? Mama tadi bilang agar kamu check-in duluan."
"Biar barengan sama Mama saja ... Nggak enak pergi sendiri." Lilian masih dengan senyumnya.
Efina menghela napas pelan kemudian tersenyum lembut kearah Lilian. "Ya sudah kalau begitu. Ayok kita pergi check-in sebentar lagi kita berangkat."
Lilian mengangguk pelan kemudian berjalan beriringan bersama Efina dengan raut wajah senang. Efina pun tidak kalah senang, sejak Dokter mengatakan bahwa Lilian sudah sembuh dan di ijinkan untuk pulang, Efina langsung menghubungi Suaminya untuk memintan persetujuan keberangkatan sehari setelah Lilian keluar dari rumah sakit.
Setelah mengurus semua barang bawaan dan keperluan lainnya, keduannya langsung berangkat menuju Jakarta untuk bertemu dengan Rahadian dan Keira yang telah menunggu kedatangan keduanya.
°°°
Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Setelah mengambil semua barang bawaannya, Lilian dan Efina berjalan keluar dan mencari keberadaan Papa dan Kakaknya. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, seorang gadis dengan wajah ceria melambaikan tangannya kerarah keduanya.
Lilian tersenyum lebar saat melihat Kakaknya Keira dan Papanya Rahadian datang untuk menjemput keduanya. Lilian langsung berlari kearah keduanya dan langsung memeluk Kakanya Keira.
"Adik nakal! Kenapa harus berlari? Kamu baru saja keluar dari rumah sakit!" Keira meneteskan air matanya dibahu milik Lilian.
"Kakak ... Adik sudah sembuh." Lilian mengusap pelan punggung Keira agar ia merasa tenang.
"Kau tidur sudah sangat lama dan baru membuka mata. Kau pikir dengan kondisi mu ini kau memiliki hak untuk berlari sembarangan seperti tadi?" Tanya Keira sambil memukul pelan lengan Lilian.
"Kakaaaak ... Sakit!" Rengek Lilian.
"Kalau begitu jangan melakukan hal ceroboh lagi!" Kesal Keira dan melepas pelukannya.
Lilian memanyunkan bibirnya dan menatap kearah Papanya. "Papa lihatlah ... Kakak memukul ku." Adunya.
Rahadian tersenyum pelan kemudian menarik Lilian kedalam pelukkannya. "Jangan hukum Papa lagi dengan menutup mata mu terlalu lama ... Papa janji mulai sekarang kamu akan mendapatkan kehidupan yang selama ini kamu inginkan."
Lilian dapat merasakan pelukan hangat dari Rahadian, selama ini Papanya memang seseorang yang sangat sibuk dengan pekerjaannya namun Efina, Lilian dan Keira tidak pernah kekurangan kasih sayang Papanya itu. Meski sibuk dan tidak memiliki banyak waktu, Rahadian tetap menyisihkan waktunya untuk berkumpul bersama keluarga kecilnya.
"Maafkan Lilian Papa ... Lain kali Lilian janji akan lebih berhati-hati lagi." Lilian merasakan kehangatan serta kenyamanan saat ia berada dalam pelukan Papanya. Lilian merasa pelukan Rahadian sangat mirip dengan pelukan Ayahnya dimasa lalu, pelukan keduannya sama-sama terasa hangat.
Rahadian melepas pelukannya dan mengusap pelan kepala Lilian dengan sayang. "Kalau begitu sebaiknya kita cepat pulang ... Kalian pasti sudah lelah dan kamu perlu beristirahat yang cukup."
Semuanya mengangguk setuju kemudian mereka berjalan menuju mobil untuk segera pulang ke kediaman yang akan mereka tempati.
Selama perjalanan mereka saling melempar candaan yang membuat keluarga kecil mereka terlihat sangat harmonis dan hangat. Keira menceritakan hal-hal lucu yang mereka alami selama Lilian koma dan membuat perjalanan mereka menjadi tidak membosankan.
Setelah melakukan perjalanan yang memelurkan waktu yang cukup lama, mobil yang Rahadian kendarai mulai memasuki area tempat yang akan mereka tinggali.
Lilian sedikit mengerutkan kening bingung melihat pemandangan diluar mobil yang mereka naiki. Pemandangan tempat diluar mobil sangat berbeda dengan tempat yang biasa mereka tinggali sebelumnya.
Biasanya mereka akan tinggal di Apartemen atau diperumahan biasa yang sederhana, namun pemandangan yang Lilian lihat kali ini adalah mobil mereka memasuki kawasan elit milik pribadi.
Kening Lilian semakin mengerut melihat pagar besar yang memiliki ukiran yang sangat indah terbuka lebar dan mobil yang Ayahnya kendarai memasuki wilayah tersebut. Pemandangan didepan mobil semakin membuat Lilian bingung, didepannya terlihat bangunan yang sangat mewah dengan ukiran-ukiran cantik disetiap dinding bangunan.
Bangunan itu memilki taman yang sangat luas, Lilian bahkan mengenali beberapa pohon yang tumbuh disekitar bangunan tersebut, belum lagi bunga-bunga yang tumbuh sepanjang taman membuat Lilian semakin bingung dan tidak tahan lagi untuk tidak bertanya.
"Papa mengapa kita kesini? Apakah Papa harus mengurus sesuatu dulu di sini?" Tanya Lilian namun matanya masih memperhatikan suasana diluar mobil.
Rahadian tersenyum lembut. "Mulai sekarang kita akan tinggal di sini." Setelah mengatakan itu ia menghentikan mobilnya.
Lilian spontan menengok ke arah Rahadian dengan mata terbuka lebar. "Tinggal di sini?"
Rahadian membalikkan badannya dan menatap tepat ke arah mata Lilian. "Ya. Mulai sekarang kita akan tinggal disini."
"Tidak salah? Kenapa kita harus tinggal di sini?" Tanya Lilianasih tidak percaya dengan yang dilihatnya.
"Memangnya kenapa? kamu tidak suka tinggal di sini?" Tanya Efina lembut.
"Bu ... Bukan begitu Mama, hanya saja selama ini kita hidup dengan sederhana namun mengapa saat kita kesini semua jadi ..." Ucap Lilian menggantung.
"Jadi mewah ... Begitu maksud mu?" Tanya Keira.
Lilian menganggukkan kepalanya tanda membenarkan pertanyaan dari Kakaknya.
"Kehidupan kita sebenarnya memang dari awal seperti ini ... Ada banyak cerita dibalik semuanya namun bukan sekarang waktu untuk menceritakannya." Jelas Rahadian.
"Lilian masih belum mengerti ..." Lilian masih merasa bingung dengan apa yang ia lihat sekarang.
"Adik ... Sebenarnya kehidupan kita memang seperti ini namum Papa dan Mama memilih tinggal sederhana karena suatu alasan yang belum bisa diceritakan sekarang. Sejak kamu mengalami koma, Papa dan Mama berjanji setelah kamu sadar mereka akan membawa mu kembali ke kehidupan yang seharusnya kamu jalani." Jelas Keira.
"Kehidupan yang harus aku jalani?" Tanya Lilia. masih bingung.
"Iya ... Semua kemewahan yang kamu lihat saat ini adalah kehidupan kita yang sesungguhnya. Papa dan Mama memiliki alasan mengapa mereka membawa kita selalu berpindah tempat namun alasannya akan kamu dapatkan seiring dengan kamu terbiasa akan semua hal yang akan kamu jalani nanti." Jelas Keira kembali sambil merapikan bajunya.
Lilian menatap Rahadian dan Efina bergantian dan kembali menatap Kakaknya. "Kapan Kakak mengetahui kehidupan kita yang sebenarnya?" Tanyanya penasaran.
"Sejak lama ... Papa sangat sibuk dan Mama juga mendapat banyak laporan setiap hari. Kamu mungkin tidak akan menyadari hal-hal kecil seperti itu karena Mama selalu membawa mu kemana-mana ... Dengan kesibukan Papa yang dangat banyak bukan tidak mungkin Papa tidak bisa membangun rumah seperti sekarang ini." Jelas Keira kembali.
Saat Lilian kembali ingin bertanya, Efina langsung menggenggam tangan Lilian dengan lembut.
"Sayang ... Kita sudah pulang, Papa membangun rumah ini sejak sebelum kamu lahir namun kita harus selalu pindah karena beberapa alasan. Sekarang kita akan kembali menjalani kehidupan normal kita kembali ... Sebaiknya kamu tidak banyak bicara lagi ... Ayo kita turun." Ajak Efina dan langsung turun dari mobil.
Udara sejuk menerpa wajah Lilian saat pertama kali ia keluar dari mobil Ayahnya. Pemandangan yang ia lihat sangatlah indah, Lilian tidak menyangka akan menjalani kehidupan yang berbeda setelah ia melakukan perjalanan waktu.
Sebelumnya Lilian tahu kedua orang tuanya adalah salah satu golongan ke atas namun ia tidak menyangka jika kedua orang tuanya memiliki rumah di daerah pribadi seperti sekarang. Terlebih lagi rumah yang sekarang akan ia tempati memiliki ukuran yang puluhan kali lipat besarnya dari rumah yang sebelumnya pernah ia tempati.
Efina menuntun Lilian untuk memasuki rumah tersebut. Seperti pesona luar bangunan yang terlihat mewah, didalamnya tidak kalah mewah dari tampilan luar bangunan tersebut. Bangunan tersebut sangat luas dan diisi dengan berbagai barang yang Lilian yakini memiliki nilai jual yang tinggi.
Bangunan itu memiliki dua lantai dengan desain modern-klasik. Nuansa didalam rumah terasa hangat dan nyaman, pada tembok besar dengan ukiran khas zaman kuno disetiap pinggirnya terdapat foto keluarga yang memiliki ukuran yang sangat besar digantung ditengah-tengahnya.
Lilian mengamati sekitar dengan takjub, setiap ukiran bangunan tersebut membuat Lilian merasa kembali ke masa lalunya, ukiran-ukiran itu dipahat dengan sangat rapi sehingga Lilian dapat melihat karya yang sangat indah disetiap tembok bangunan tersebut.
"Lilian kamar mu ada diatas sana ... Biarkan Kakak mu yang akan mengantarkan mu." Ucapan Rahadian membuyarkan lamunan Lilian dari kekagumannya.
Lilian henya mengannguk pelan tanda mengerti dengan ucapan Ayahnya.
"Sebaiknya hari ini kamu istirahat saja ... Papa akan menyuruh Bi Marni untuk mengantarkan makanan mu. Jika kondisi mu membaik maka besok kamu sudah bisa berangkat ke sekolah. Seragam dan keperluan mu yang lain sudah Papa siapkan dan jika masih ada yang kurang kamu katakan saja." Jelas Rahadian panjang.
Lilian mengangguk pelan. "Sebaiknya kalian juga beristirahatlah."
Lilian akhirnya berjalan bersama dengan Keira menuju kamarnya yang berada dilantai dua. Keira menjelaskan ada beberapa lantai dilantai dua, kamar Lilian ada disebelah kiri setelah tangga dan kamar Keira ada disebalah kanan tangga. Laintai dua juga memiliki beberapa ruangan lain seperti ruangan musik, ruang seni, ruang olah raga dan beberapa ruangan lainnya.
"Nah Adik ... Kamar kamu ada di sebelah sini." Keira membuka sebuah pintu besar dengan ukiran kuno yang sangat cantik.
Didepan pintu itu tertulis nama Lilian sebagai pemilik kamar. Lilian tersenyum kecil melihat tatanan kamarnya masih sama seperti kamar yang seperti sebelumnya.
"Apakah kamu suka?" Tanya Keira.
Lilian mengangguk pelan. "Suka ... Kamarnya sangat besar, aku bahkan bisa bermain bola dikamar ku dan yang terpenting tatananya sesuai keinginan ku." Ia berjalan memasuki kamarnya dan memperhatikan detail setiap kamarnya.
"Kakak dan Papa sendiri yang hias kamar kamu ..." Kata Keira bangga.
"Terima kasih Kakak ... Lilian makin sayang deh." Lilian langsung memeluk Keira dengan sayang.
"Kakak juga sayang kamu ..." Ucap Keira sambil mengelus pelan kepala Lilian. "Baju dan seragam sekolah yang kamu butuhkan ada dilemari sebelah kiri, sedangkan buku-buku mu ada dimeja belajar mu. Peralatan mandi dan sebagainya tinggal kamu gunakan jika ada yang kamu butuhkan panggil Kakak saja, Ok!"
"Ok."
"Kalau begitu sebaiknya kamu beristirahat saja. Agar besok kamu bisa kembali bersekolah." Keira mengelus dengan sayang kepala Lilian.
Lilian mengangguk pelan kemudian membaringkan badannya keatas ranjang King Size miliknya setelah Keira pergi.
°°°
Jaringan ditempat Author lagi nggak bersahabat ... Dari siang Author coba UP tetap nggak bisa dan baru bisa pas malamnya.
Sinar matahari pagi mulai menembus kaca jendela kamar milik Lilian. Udara sejuk menyeruak masuk saat pemilik kamar membuka jendela kamarnya. Sejenak Lilian menutup kedua matanya dan menghirup dalam-dalam udara disekitarnya.
"Udara pagi memanglah yang terbaik." Gumam Lilian pelan kemudian berjalan menuju meja riasnya untuk melihat pantulan dirinya didalam cermin.
Lilian sejak tadi sudah siap dengan seragam sekolah yang melekat dibadannya. Peralatan sekolah yang ia butuhkan-pun sudah ia masukan kedalam ranselnya, tinggal langkah terakhir yaitu memeriksa penampilannya sebelum ia berangkat sekolah.
Lilian menatap lama tampilannya didalam cermin, seragam putih yang pas dengan ukuran tubuhnya dibalut dengan jas warna biru muda dan rok diatas lutut berwarna senada dengan jas yang ia kenakan. Tidak lupa pula dengan dasi yang melingkar dilehernya.
Lilian memiliki rambut sedikit panjang dibawah bahu dan menata rambutnya dengan gaya layer-soft bangs, memberikan sedikit taburan bedak bayi di wajah dan memoles bibirnya menggunakan Lip gloss. Setelah di rasa tampilannya sudah pas, Lilian berjalan menuju rak sepatunya dan mengambil sepasang sepatu sneakers berwarna putih dengan kombinasi garis-garis hitam.
Sebelum keluar kamar Lilian meraih ranselnya dan menyampirkannya di belakang punggung. Lilian berjalanan menuruni anak tangga menuju dapur tempat dimana Papa, Mama, dan Kakaknya sedang berkumpul untuk sarapan pagi.
"Selamat pagi Papa ... Mama ... Kakak." Sapa Lilian dengan raut wajah ceria.
"Ehhh sayang ... Baru saja Mama mau minta tolong sama Bi Marni untuk panggilin kamu di kamar." Kata Efina saat melihat Lilian berjalan mendekat ke arah mereka.
Lilian menarik salah satu kursi didekat Papanya dan menduduki kursi itu. "Lilian sebenarnya udah siap dari tadi, cuman harus cek kembali apa aja yang harus Lilian bawa."
Efina mengangguk pelan. "Ya sudah kalau begitu ... Kamu mau sarapan apa? Mama tadi masak nasi goreng, mau?"
Lilian mengangguk dengan antusias dan setelahnya memakan sarapannya dengan diam. Susu yang tadinya terisi penuh didalam gelas kini tinggal tersisa setengahnya.
"Lilian Papa hari ini nggak bisa nemenin kamu ke sekolah baru mu. Padahal kemarin Papa berniat mengantar mu kesana namun tadi pagi atasan Papa bilang kalau pagi ini ada meeting penting yang tidak bisa Papa tinggalkan." Rahadian sangat berat hati mengatakan hal itu kepada Putrinya namun pekerjaannya juga sangat penting dan tidak bisa ia tinggalkan.
"Papa nggak usah khawatir ... Biar Mama saja yang ngantar Lilian. Lagian arah Papa sama sekolah Lilian itu berbeda." Ucap Efina sambil membersihkan mulutnya menggunakan tisu.
Rahadian menghela napas pelan. "Sepertinya memang harus merepotkan mu lagi."
Efina berdecak kesal. "Papa ini kayak sama siapa saja ... Lilian itu Putri kita. Arah toko Mama sama sekolah Lilian juga sama."
Rahadian tersenyum kecil melihat raut wajah Istrinya. "Iya ... iya Papa salah." Sambil mengelus pipi Efina.
"Aduuuhhh Mama ... Papa ... Bisa tidak kalau mesra-mesraannya nggak usah di depan kita berdua? Jiwa ke jombloan Keira itu meronta-ronta." Kesal Keira dengan raut wajah yang ia buat-buat.
Rahadian, Efina, dan Lilian tertawa melihat kelakuan aneh Keira.
"Kalau tidak mau melihat sebaiknya tutup mata saja." Celetuk Efina menggoda Keira.
"Mubajir juga kalau nggak di lihat ... Sayang kalau yang manis-manis gitu terlewat." Keira mulai ngegas.
"Sepertinya Kakak harus secepatnya mencari pasangan deh ..." Spontan Keira menatap kearah Lilian setelah mendengar kata-kata Adiknya.
"Ehhh Adek kamu jangan mulai ya ... Kakak mu yang cantik ini sebenarnya banyak yang suka cuman yaaa ... Mereka belum sesuai dengan keriteria Kakak." Kata keira dengan raut wajah sombong.
"Kalau begitu jangan ngiri ..." Spontan ucapan Lilian membuat Rahadian dan Efina kembali tertawa.
"Untung kamu Adek ... Bangun dari koma bukannya tambah baik malah semakin ..." Ucapan Keira menggantung melihat tatapan permusuhan yang di arahkan oleh Rahadian dan Efina kepadanya.
"Iya ... Iya ... Selalu saja seperti ini." Kesal Keira dengan bibir manyunnya.
Rahadian, Efina dan Lilian tertawa melihat tingkah dari Keira.
"Ahh sudah ... Jangan bercanda lagi. Papa secepatnya harus berangkat. Mama dan Lilian juga harus segera berangkat biar nggak telat. Lalu kamu Keira ... Apa rencana mu hari ini?" Tanya Efina ke arah Keira.
"Keira ada pertemuan sama teman-teman pagi ini Mah ... Mau mengurus beberapa tugas karena kemarin ijin beberapa hari." Jawab Keira.
"Ya sudah kalau begitu ... Ayo kita berangkat." Ajak Efina.
Semuanya berjalan ke tempat parkir, Rahadian berjalan menuju mobilnya setelah berpamitan kepada Istri dan Anaknya dan berangkat menuju kantor. Keira juga pergi menggunakan mobilnya setelah pamit dan yang terakhir Lilian berangkat bersama Mamanya menuju sekolah baru.
Setelah melakukan perjalan waktu yang memakan waktu selama dua puluh menit, Lilian dan Efina sampai pada tempat tujuan mereka. Didepan sana Lilian dapat melihat pagar besar yang menjulang tinggi dan didepannya bertuliskan Florenzo School.
Setelah Pak Supir mengkonfirmasi pada penjaga gerbang sebentar, mobil merekapun memasuki sekolah baru Lilian. Lilian mengamati keadaan sekitarnya setelah turun dari dalam mobil.
Suasananya terlihat sangat sepi karena kegiatan belajar sudah di mulai sejak tadi. Lilian berjalan mengikuti langkah Efina yang berjalan menuju ruang Kepala Sekolah. Sepanjang jalan Lilian hanya mengamati suasana sekolah barunya tanpa berkomentar.
Tibalah Lilian dan Efina didepan pintu ruangan Kepala Sekolah, sebelum masuk Efina mengetuk pintu tersebut dan terdengar suara Kepala Sekolah yang mengijinkan keduanya untuk masuk.
"Ibu Efina ya?" Tanya Kepala Sekolah langsung.
"Iya Pak betul." Efina tersenyum kecil.
"Silahkan duduk Ibu." Kepala Sekolah mempersiapkan keduannya untuk duduk.
"Perkenalkan ini Putri saya Lilian ... Dan Lilian ini Pak Bram Kepala Sekolah kamu." Sambil mengusap pelan bahu Lilian.
Pak Bram mengangguk singkat. "Saya sudah menerima berkasnya dan semoga Lilian nyaman selama belajar di sini."
Tidak lama suara ketukan pintu terdengar dan muncul seorang Guru perempuan dari balik pintu.
"Bapak memanggil saya?" Tanyanya sopan.
"Iya perkenalkan ini Lilian murid baru ... Mulai hari ini dia akan menjadi anak wali mu. Silahkan antarkan ia ke kelasnya." Ucap Pak Bram dengan sikap wibawanya.
"Baik Pak. Silahkan Lilian ikuti saya." Ucapnya kearah Lilian.
Lilian mengangguk pelan kemudian menatap kearah Efina.
"Belajar yang rajin ya sayang ... Kalau nanti perlu apa-apa hubungi Mama saja." Efina mengusap pelan tangan Lilian sambil tersenyum lembut.
"Kalau begitu Lilian ke kelas dulu." Setelah mencium tangan Efina, Lilian berjalan mengikuti Guru tadi.
"Nama saya Ibu Clara wali kelas mu. sebelum kesini kamu sudah tahu tentang peraturan sekolah ini?" Tanya Ibu Clara sambil terus berjalan.
"Sudah Bu." Jawab Lilian singkat.
"Baguslah kalau begitu ... Kamu akan masuk dikelas X Mia 1 berdasarkan data nilai kamu sebelumnya. Kamu harus bisa mengejar ketertinggalan materi dari teman-teman mu dan jangan lupa ambil beberapa ektrakurikuler untuk membantu nilai mu." Jelas Bu Clara.
"Baik Ibu." Jawab Lilian.
Lilian spontan berhenti melihat Ibu Clara yang berhenti berjalan di depannya. Ibu Clara memandangnya dengan raut wajah serius.
"Ibu mengatakan ini demi kebaikan kamu untuk ke depannya. Selain peraturan sekolah yang harus kamu taati ada beberapa hal yang harus kamu ketahui. Sekolah ini menampung banyak murid dari golongan atas, sebagian dari mereka adalah ahli waris dari perusahaan-perusahaan besar, Ibu harap kamu jangan terlibat masalah dengan mereka. Cukup belajar dengan tenang dan sebisa mungkin kamu menghindar dari mereka ... Untuk orang-orangnya kamu akan tahu sendiri nanti karena orang-orang itu sangat terkenal di sekolah ini." Jelas Ibu Clara panjang.
"Baik Bu ... Terima kasih telah mengingatkan." Lilian tersenyum tulus.
Setelahnya Lilian kembali berjalan mengikuti langkah Ibu Clara. "Tidak salah sekolah ini sangat terkenal, isinya kebanyakan adalah ahli waris perusahaan besar." Batin Lilian.
Lilian berjalan melewati lapangan dimana ia mendengar banyak sekali teriakan para Siswi yang meneriakan nama satu orang yang paling jelas ia dengar.
"Orion ganteng banget."
"Orion bikin meleleh."
"Anjirrrr ... Orion ganteng parah."
"Orion semangat ..."
"Orion ..."
Dan banyak kata lain yang Lilian dengar. "Sepertinya mos wanted." Gumam Lilian pelan.
Lilian mencoba berusah melihat wajah orang yang mereka sebut namun karena terlalu banyak Siswi yang berkerumunan Lilian tidak dapat melihat jelas wajahnya. Ia hanya dapat melihat punggungnya itupun tidak jelas.
"Lilian." Terdengar suara dari Ibu Clara yang memanggilnya.
"I ... Iya Bu." Lilian langsung berlari melewati lapangan dan menyusul Ibu Clara.
Keduanya berhenti didepan salah satu pintu yang bertuliskan X Mia 1, Ibu Clara mengetok pintu terlebih dahulu dan bersama Lilian memasuki kelas. Lilian berhenti didepan pintu sedangkan Ibu Clara berjalan ke arah Guru yang sekarang sedang mengajar.
"Siapa tuh cewek? Anjirrr cakep bener."
"Mungkin ini jodoh yang dikirim Tuhan buat gue."
"Kayaknya murid pindahan."
"Bening bener ..."
Terdengar suara bisik-bisik ke arah Lilian namun Lilian terbiasa dengan hal itu, ia-pun mengabaikannya dan fokus menatap kearah Ibu Clara.
"Ok anak-anak hari ini kita kedatangan murid baru, ia pindahan dari Bandung." Ucap Ibu Clara yang langsung disambut sorakan meriah dari para murid.
"Semuanya diam!" Tatapan mata Ibu Clara menajam kemudian menoleh ke arah Lilian. " Sini perkenalkan dirimu." Ajak Ibu Clara.
Lilian berjalan ketengah kelas dan menatap satu-satu wajah yang akan menjadi teman belajarnya untuk kedepan. "Perkenalkan nama saya Lilian Caroline, Kalian bisa memanggil saya dengan Lilian, saya pindahan dari bandung. Terima kasih." Ucap Lilian sopan.
"Ada pertanyaan?" Tanya Ibu Clara.
Semua murid cowok langsung mengangkat tangan berebutan untuk bertanya.
"Lo udah punya pacar belum?"
"Bisa minta nomor Wa nggak?"
"Lo tinggal dimana dan gue boleh bertamu tidak?"
Ibu Clara memijit keningnya pusing melihat tingkah para muridnya. "Semuanya diam!! Saya rasa pertanyaan kalian tidak penting." Kemudian Ibu Clara memandang kearah Lilian. "Silahkan kamu duduk di kursi kosong sebelah Laura. Laura angkat tangan!"
Murid bernama Laura mengangkat tangannya, Laura berada dimeja ketiga dekat dengan jendela, Lilian-pun berjalan menuju kearahnya dan melempar senyum lembut.
"Hai nama gue Laura." Sambil mengulurkan tangan.
"Nama gue Lilian." Ia membalas uluran tangan Lauran.
"Oh iya di depan Lo adalah sahabat-sahabat gue namanya Gladis dan Meira." Ucap Laura sambil memperkenalkan dua orang yang duduk didepannya.
"Nama gue Lilian ... Senang berkenalan dengan kalian." Ia kemudaian menjulurkan tangannya kedepan dan dibalas satu-satu oleh Gladis dan Meira.
"Kita lanjut ngobrol nanti pas bel istirahat bunyi." Ucap Gladis yang diangguki oleh Lilian
Setelah Ibu Clara keluar, kelas kembali tenang dan semuanya kembali belajar seperti tidak ada hal apapun sebelumnya.
°°°
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!