NovelToon NovelToon

Mutiara Dua Hati

Bab 1 - Aku Memilih Pergi

*Aida*

Tubuhku terasa diguncang-guncang saat aku merasa aku baru saja akan terlelap. Aku membuka mata dan melihat ke sekelilingku. Aku mengerutkan kening melihat ibu tiriku berdiri di sisi tempat tidurku. Jarum jam di atas nakas menunjukkan sudah pukul enam pagi.

“Pakai ini sekarang,” ucapnya sambil memberikan sebuah bungkusan plastik kepadaku. Aku masih menatapnya dengan bingung. “Cepat, bangun.”

“Sebentar, Bu. Aku akan bangun.” Aku berusaha untuk duduk. Kepala pusing dan perut mual sudah tidak mengejutkan aku lagi. Aku menerima kantong tersebut dari tangannya. Ada beberapa kotak di dalamnya. Mataku spontan membulat saat membaca labelnya. Testpack? “Mengapa aku harus memakai ini?”

“Jangan membantah. Cepat lakukan,” perintahnya tidak sabar. “Sekarang!”

Aku mendesah pelan. Perempuan ini memang hanya membawa masalah saja untukku. Tanpa bicara lagi, aku membawa kantong tersebut dan masuk ke kamar mandi. Aku membaca petunjuk cara pemakaiannya. Tidak sulit, tetapi juga tidak mudah.

Sambil menunggu hasilnya, aku membersihkan wajah di wastafel. Aku membaca petunjuknya kembali dan melihat bagian tengah alat tes tersebut. Ada dua garis terlihat jelas di sana. Aku mengerutkan keningku. Hamil? Aku hamil?

Tidak percaya dengan hasil pada alat pertama, aku mencoba lagi menggunakan alat yang kedua. Jantungku berdebar-debar menunggu hasilnya. Aku membaca ulang petunjuknya lagi. Iya, aku tidak salah. Bila muncul dua garis, maka artinya positif atau hamil.

Pintu kamar mandi diketuk, aku menarik napas terkejut nyaris melompat di tempat. Oh, Tuhan. Bagaimana wanita itu bisa tahu bahwa ada yang tidak beres padaku sehingga dia memberikan alat tes tersebut? Aku menelan ludah dengan berat. Habislah riwayatku.

“Mengapa kamu lama sekali? Ayo, keluar!” seru ibu tiriku tidak sabar.

Aku membuka pintu dan dia segera masuk ke kamar mandi. Dia melihat kedua alat yang telah digunakan diletakkan di atas konter dekat wastafel. Dia memerhatikan alat tersebut baik-baik lalu mendengus pelan. Perlahan dia tertawa.

“Sebaiknya kamu segera mengemasi barang-barangmu, papamu pasti akan mengusirmu dari rumah ini.” Dia mengambil kedua alat tersebut dan bergegas keluar dari kamar mandi.

Aku hamil. Ada kehidupan baru yang sedang tumbuh di dalam rahimku. Jika keadaannya tidak seperti ini, aku akan sangat bahagia menyambut kedatangan bayiku. Tetapi aku masih sendiri, belum menikah, belum memiliki suami, dan aku hamil?

Akhir-akhir ini memang kondisi tubuhku tidak nyaman. Kepalaku sakit dan perutku mual. Tetapi aku tidak menduga bahwa aku hamil. Aku awalnya berpikir bahwa aku hanya kelelahan dengan program libur di sekolah musik tempatku mengajar sebagai guru vokal.

“Apakah ini benar, Aida?” tanya Papa yang berjalan masuk ke kamarku. Dia memegang alat tes tadi. “Kamu sedang hamil? Siapa pria itu?”

“Aku tidak yakin, Pa. Aku belum memeriksakan diri ke dokter,” ucapku pelan.

“Kamu sudah pasti hamil. Alat ini sangat akurat. Aku menggunakannya saat mengandung Avery dan Alvis,” kata wanita yang berdiri di samping Papa.

“Siapa ayah bayi itu?” tanya Papa lagi. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Kamu tidak bisa diam seperti itu. Kamu harus memberitahuku. Kalian harus segera menikah.”

“Aku tidak bisa, Pa.”

“Apa maksudmu tidak bisa?” Papa mengerutkan keningnya. Tiba-tiba dia mundur selangkah. “Jangan katakan bahwa kamu tidur dengan laki-laki yang sudah menikah.”

“Aku sudah katakan kepadamu berulang kali bahwa dia bukan perempuan baik-baik seperti yang kamu pikirkan. Apa sekarang kamu percaya kepadaku?” hasut perempuan itu. “Kalau kamu mau mencarikan suami, sebaiknya cari dari kenalan pelayan kita saja. Aku yakin banyak yang mau menikah dengannya.” kata wanita itu memberi saran.

Dasar wanita jahat. Enak saja dia mau menikahkan aku dengan orang sesukanya.

“Setelah ulah Aida, apa kamu juga ingin merusak reputasiku?” kata Papa dengan kesal. “Kalau sampai terdengar kabar bahwa putriku menikah dengan seorang pelayan, apa kamu pikir aku tidak akan menjadi bahan tertawaan orang?”

“Kalau kamu memaksa dia harus menikah dengan orang dari kalangan kita, maka kamu tidak akan pernah menemukan suami untuknya,” kata wanita itu tidak kalah sengit.

“Aku tidak bisa memutuskan apa pun sekarang. Aku juga harus bersiap pergi ke kantor.” Papa keluar dari kamar. Wanita itu menatapku sesaat sebelum dia membuang muka dengan kesal dan mengikuti Papa. Aku hanya bisa terduduk di tepi tempat tidurku.

Seandainya saja Mama masih hidup, aku tidak akan menghadapi ini sendirian. Mama telah meninggal saat usiaku delapan tahun karena kecelakaan pesawat terbang. Dia harus dinas keluar kota pada hari itu. Aku dan Papa sangat terpukul dengan kepergiannya yang tiba-tiba tersebut. Tetapi dukanya hanya sesaat. Begitu aku berusia lima belas tahun, Papa menikah lagi.

Karena keadaanku membaik setelah sarapan, aku tetap pergi mengajar di sekolah musik. Menjadi guru vokal adalah impianku sejak kecil. Aku memenangi hampir semua lomba menyanyi, tetapi aku tidak tertarik menjadi penyanyi. Aku lebih suka menjadi guru.

Aku mendatangi klinik dokter spesialis kandungan usai mengajar untuk memastikan kehamilanku dan mengetahui kondisi janinku. Aku tidak berani memberitahukan keadaanku kepada siapa pun, jadi aku mendatangi klinik seorang diri. Risi rasanya berada di antara para pasangan yang ada di ruang tunggu tersebut.

“Selamat, Ibu Aida. Anda sedang mengandung bayi kembar,” ucap dokter yang memeriksa perutku menggunakan ultrasonografi. “Usia mereka delapan minggu. Keduanya sehat. Nah, itu bunyi detak jantung mereka.”

Oh, Tuhan. Aku bukan hanya memiliki satu, tetapi dua orang bayi? Aku hampir menangis mendengar bukti bahwa mereka berdua hidup dan sehat. Detak jantung mereka cepat sekali. Dokter mengatakan bahwa hal itu normal dan aku tidak perlu mengkhawatirkannya.

Bagaimana aku bisa tidak menyadari bahwa aku sedang hamil? Aku sudah dua kali melewati masa menstrualku. Mungkin karena kesibukan di sekolah, aku tidak menyadari ada yang salah dengan tubuhku. Kehamilan ini adalah keajaiban. Aku hanya melakukannya pada malam itu dan pria itu berhasil menanamkan benihnya.

Aku tidak pernah menduga bahwa menghadiri resepsi pernikahan anak perempuan dari pemilik sekolah musik akan berujung begini. Via yang sudah aku anggap sebagai sahabat baikku, mengikuti keinginan Pak Jack dengan memberi obat perangsang pada minumanku. Pria itu adalah anak dari pemilik sekolah musik. Dan dia sudah menikah!

Tetapi aku yang sedang dalam pengaruh obat bertemu dengan pria yang tidak aku kenal yang membawaku ke sebuah kamar di hotel tersebut. Aku tidak ingat apa yang terjadi, yang aku tahu, aku terbangun di tempat tidur seorang diri. Hanya bercak darah pada seprai yang menjadi bukti bahwa sesuatu yang memalukan telah terjadi padaku malam itu.

Peraturan hotel tidak mengizinkan pegawai resepsionis untuk memberitahuku siapa yang telah memesan kamar tersebut. Mereka malah memandangku dengan heran karena tidur di kamar tersebut tetapi tidak mengenal dengan siapa aku telah menghabiskan malamku.

Aku hanya bisa berharap semoga dia masih sendiri dan belum menikah ketika hal itu terjadi. Andai kami bertemu suatu hari nanti, aku berharap aku tidak akan menemukan bahwa dia sedang selingkuh dari istrinya. Aku sadar bahwa aku tidak bisa menyalahkannya. Pasti ada kesalahpahaman sehingga kami tidur bersama pada malam itu.

Lalu bagaimana dengan fisiknya? Semoga saja dia adalah laki-laki yang tampan dengan bentuk tubuh yang bagus dan sehat. Tetapi bagaimana kalau ternyata dia adalah orang yang buruk rupa? Matilah aku. Wajahku tidak cantik, kalau pria itu juga tidak tampan, maka apa jadinya wajah anak kami nanti?

Ya, sudahlah. Aku hadapi saja semua ini.

“Duduk, Aida,” ucap Papa saat aku memasuki ruang tengah dan melihat dia bersama istrinya dan kedua adik beda ibuku duduk di sana seolah-olah sudah menanti kedatanganku.

“Dengan kondisimu saat ini, menikah bukanlah jalan keluar,” kata Papa membuka pembicaraan. “Aku sudah melihat-lihat rekan bisnisku yang mempunyai anak yang belum menikah. Aku tidak menemukan calon yang cocok untukmu. Aku juga tidak punya cukup uang untuk membayar salah satu dari mereka agar mau menikah denganmu.”

Papa adalah seorang direktur utama yang memiliki perusahaan makanan kemasan yang sangat sukses. Produk perusahaan kami mudah ditemukan di swalayan atau toko kelontong di seluruh negeri. Papa punya uang yang sangat banyak, tetapi pasti wanita itu yang menghasutnya agar tidak mengeluarkan uang sepeser pun untukku.

“Maka satu-satunya jalan adalah menggugurkan kandunganmu.” Papa meletakkan sebuah kartu nama di atas meja. Aku menatapnya tidak percaya. “Temui dokter ini, dia akan membantumu. Dia akan menutup mulut dan tidak akan ada yang tahu bahwa kamu pernah mengandung. Semuanya akan kembali seperti semula.”

“Aku tidak menyangka Papa akan pernah mengusulkan hal sejahat ini. Lebih mudah memercayai bahwa wanita itu yang mengatakannya daripada Papa,” ucapku pelan.

“Anak kurang ajar. Jaga bicaramu,” kata ibu tiriku dengan kesal. Aku hanya mengabaikannya.

“Apa Papa tidak tahu bahwa menggugurkan kandunganku sama saja dengan membunuh? Aku tidak akan membunuh bayiku sendiri. Aku akan melahirkan mereka dengan selamat dan membesarkan mereka seorang diri. Papa dan Ibu tidak perlu khawatir aku akan meminta uang kalian untuk merawat mereka,” ucapku tanpa mengalihkan pandanganku dari Papa.

“Kalau kamu tidak mau menggugurkan kandunganmu, kamu harus pergi dari rumah ini. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Aku tidak mau sampai ada yang tahu bahwa aku punya seorang putri yang hamil di luar nikah,” kata Papa tanpa emosi.

“Aku lebih baik pergi dari rumah ini daripada membunuh anak-anakku. Aku tidak mendapatkan kasih sayang di rumah ini, tetapi mereka pasti akan memberikan cinta mereka sepenuhnya kepadaku.” Aku berdiri dan melihat ke arah Papa yang hanya diam saja. “Semoga kalian akan hidup bahagia bersama. Aku sudah tahu saat ini akan tiba. Selamat tinggal, Pa.”

Sudah belasan tahun aku hidup dalam kemewahan dan kenyamanan selama hidup bersama Papa. Aku tidak tahu bagaimana menjalani hidup sendiri tanpa sokongannya lagi. Mungkinkah aku bisa bertahan di luar sana? Apakah anak-anak ini akan bisa aku lahirkan dengan selamat? Dari mana sebaiknya aku memulai hidup baruku?

Bab 2 - Anak-anakku Bahagia

Aku biasanya terburu-buru mengerjakan banyak hal sejak bangun pagi pada akhir pekan. Tetapi pada hari Minggu ini, aku bisa sedikit bersantai. Aku mencuci pakaian, membersihkan rumah, merapikan kamar, sampai memasak makanan juga camilan untuk anak-anak sambil bersenandung.

Apa yang aku khawatirkan lima tahun yang lalu tidak terjadi. Aku melahirkan si kembar ke dunia dengan selamat. Dengan tekad bulat dari awal kehamilan, aku bahkan bisa melahirkan mereka dengan normal. Aku tidak punya banyak uang untuk melahirkan dengan cara operasi.

Dengan uang tabungan, hasil penjualan perhiasan, dan uang yang jumlahnya sangat banyak yang diberikan pria yang tidur denganku, aku bisa bertahan hidup. Aku tinggal di kamar sewa yang kondisinya tidak buruk, menghemat makanan dengan belajar memasak, dan mengajar vokal secara privat. Tetapi sejak anak-anak lahir, aku tidak bisa mengajar lagi.

Uang menipis, aku memiliki sahabat dan saudara laki-laki yang selalu siap membantuku dalam keadaan yang sulit. Ketika anak-anak berusia tiga tahun, aku mulai mengajar privat kembali. Aku harus membawa mereka ke mana pun aku pergi. Aku tidak bisa mempunyai banyak murid karena tidak banyak orang tua murid yang nyaman melihatku mengajar sambil membawa si kembar.

Aku tersenyum memandang piagam dan piala yang dimenangkan oleh anak-anak yang aku susun dengan rapi di dalam hingga bagian atas lemari. Si kembar bukanlah anak biasa. Mereka mempunyai keistimewaan masing-masing.

Ditha yang lahir lebih dahulu punya suara yang indah, napas yang panjang, dan tipe suara sopran yang sampai sekarang belum aku ketahui akan sanggup meraih nada tertinggi apa. Davin sangat pandai melukis. Perpaduan warna yang dipilihnya, pengambilan sudut cahaya yang tanpa cela pada setiap goresan kuasnya menciptakan sebuah karya yang indah. Lukisannya selalu berhasil membuat orang-orang yang melihatnya berdecak kagum. Dia pandai membuat lukisan aktual hingga abstrak.

Keadaan keuangan kami membaik ketika mereka berusia empat tahun. Usia minimal di mana mereka bisa mengikuti berbagai lomba menggambar dan menyanyi. Uang tunai yang mereka menangkan sangat membantu memenuhi kebutuhan hidup kami. Hanya beberapa bulan saja, kami mempunyai cukup uang untuk menyewa sebuah rumah kecil untuk tempat tinggal kami.

Sebenarnya perlombaan yang diadakan secara daring dengan mengunggah video saat bernyanyi, memberi hadiah yang jauh lebih besar. Namun aku tidak mau semua orang tahu bahwa aku, putri Matias Laksana, mempunyai anak di luar nikah. Walaupun Papa tidak lagi menganggapku sebagai putrinya, Papa tetaplah papaku. Aku ingin menjaga nama baik dan reputasinya semampuku.

Melibatkan anak-anak dalam memenuhi kebutuhan hidup kami bukanlah hal yang membanggakan bagiku. Tetapi keadaan memaksaku melakukan hal ini. Lagi pula mereka menyukai perlombaan yang mereka ikuti. Aku tidak memaksa mereka untuk mendaftarkan diri. Dan setiap hadiah yang mereka dapatkan murni karena usaha mereka bukan karena mereka memaksakan diri untuk menang.

“Ma, bagaimana dengan ini?” Tanpa aku sadari, putraku telah berdiri di sisiku sambil menunjukkan salah satu gambar pada buku sketsanya.

“Ini bagus sekali!” Hanya pujian yang bisa aku ucapkan setiap kali melihat karya indahnya. Aku mengajaknya untuk duduk di sofa. Davin tidak mengikuti perlombaan menggambar selama beberapa minggu belakangan ini karena proyek yang dikerjakannya.

Kreativitasnya tidak mengenal batas sehingga aku harus memahami bahwa dia masih anak-anak agar tidak memarahi secara berlebihan. Aku ketakutan saat mendapati dia melukis dinding rumah kontrakan kami tepat pada hari Tante Nisa, pemilik rumah, menagih uang sewa. Bukannya marah, dia malah kagum melihat sebuah lukisan pohon pada salah satu dinding rumahnya.

Salah satu rumah kontrakannya kosong dan dia masih bingung memilih kertas dinding yang cocok. Maka dia menawarkan Davin untuk melukis dinding pada rumah tersebut. Tentu saja putraku segera mengiyakannya. Dia melukis dinding demi dinding dengan penuh semangat. Tante Nisa tidak main-main membayar jasanya. Dia mentransfer uang sejumlah sepuluh juta rupiah ke rekeningku.

Tepat pada jam satu siang, aku dan anak-anak berangkat menuju lokasi lomba menyanyi. Aku mengendarai sepeda motor lamaku yang masih setia mengantarku ke mana pun aku pergi. Anak-anak memakai alat seperti gendongan bayi yang dikaitkan ke tubuhku sehingga mereka bisa duduk dengan aman di depan dan belakangku.

“Aku deg-degan.” Mila mengusap-usap dadanya. Aku tertawa kecil. Kami menemani Ditha untuk mengikuti babak final lomba menyanyi yang diikutinya. Dua babak sebelumnya dimenangkannya dengan mulus. Alvis dan Mila ikut hadir memberi dukungan moril.

Mila adalah rekan kerjaku di sekolah musik tempatku mengajar dahulu. Dia adalah guru biola. Kami tidak akrab sebelumnya. Tetapi ketika hidupku sedang sulit dengan kehamilanku dan kehilangan pekerjaan, dia adalah satu-satunya rekan guru yang berada di sisiku. Kami bersahabat baik sampai hari ini. Dan semoga untuk seterusnya.

“Tante jangan khawatir. Aku pasti menang.” Ditha menoleh ke arahku. “Iya, ‘kan, Ma?”

“Iya.” Aku memeluk putriku itu. “Kamu pasti menang.” Aku tidak meragukan kemampuannya lagi. Benar, saingannya tidak mudah. Ini adalah babak final, maka lima peserta yang terpilih memang memiliki kualitas vokal yang baik. Tetapi putriku pasti menang.

Semua penyanyi diberi daftar lagu wajib yang harus dinyanyikan. Mereka dipersilakan memilih salah satu lagu, yaitu Indonesia Pusaka dan Tanah Airku. Sudah tiga penyanyi yang tampil dan mereka bernyanyi dengan baik. Mereka pasti telah berlatih dengan keras.

Ditha mendapatkan nomor urut empat. Kami memberinya semangat di belakang panggung saat mengantarnya. Dia tersenyum kepada kami dan menaiki panggung dengan penuh rasa percaya diri. Musik mengalun dan suara bagai malaikat Ditha pun terdengar. Dia menyanyikan lagu Tanah Airku.

“Aida, apakah dia tidak mengambil nada dasar terlalu tinggi?” tanya Mila khawatir. Dia memegang tanganku dengan erat.

“Tidak. Dia masih sanggup naik beberapa oktaf lagi. Aku tahu mengapa dia memulai pada nada tinggi. Dia ingin memberi kejutan pada bagian puncak lagu nanti,” kataku dengan nada bangga.

Dan itu yang dilakukannya. Dia meraih nada tertinggi yang bisa diraihnya dan menahan suaranya selama beberapa detik dengan sempurna. Nada D tinggi yang indah. Tepuk tangan para penonton jelas merusak penampilannya tersebut, tetapi aku bisa mengerti. Mereka melakukannya karena spontan kagum dengan kemampuannya yang luar biasa tersebut.

Putriku mengakhiri lagunya dengan menurunkan intonasi suaranya dan musik ikut mengalun lembut bersamanya. Tanpa terasa aku meneteskan air mataku. Cepat-cepat aku menghapusnya. Davin melihat ke arahku dengan wajah khawatir. Aku hanya menggeleng pelan. Ini bukan air mata kesedihan. Ini air mata haru.

“Luar biasa. Bagaimana dia bisa melakukan hal itu?” gumam Mila nyaris tidak bisa aku dengar di tengah gemuruh tepuk tangan yang memenuhi ruangan tersebut.

“Itu baru keponakanku!!” Alvis yang dari tadi hanya diam saja tiba-tiba memekik bahagia dan menepuk tangannya begitu keras sehingga aku dan Mila menatapnya penuh protes.

“Berisik!” ucap Mila. Alvis tidak peduli dengan itu dan mulai meneriakkan nama Ditha. Tidak lama kemudian, semua orang di ruangan itu ikut meneriakkan nama putriku. Aku mengangkat Davin, lalu memeluk Mila. Kami bertiga saling berpelukan.

Ibu tiriku melahirkan dua orang adikku. Avery dan Alvis. Entah apa yang dikatakannya kepada anak-anaknya, Avery tumbuh menjadi adik yang membenciku. Di sisi lain, Alvis sangat dekat denganku. Tetapi kami hanya bersikap akrab ketika wanita itu tidak berada di dekat kami.

Alvis sangat dekat dengan kedua keponakannya. Dia bahkan hadir dalam setiap tumbuh kembang mereka sejak mereka lahir. Dia ikut mendengar kata pertama mereka, menyuapkan makanan pendamping ASI pertama mereka, hadir menyaksikan langkah pertama mereka, dia juga tidak segan mengganti popok atau memandikan mereka. Anak-anak sayang kepadanya.

Hanya tinggal satu penampilan terakhir. Kami kembali ke tempat duduk untuk menunggu juri berembuk menentukan siapa pemenang lomba. Seorang penyanyi telah diundang untuk bernyanyi menghibur peserta lomba dan penonton sembari menunggu pengumuman.

“Huh. Suara Dithaku jauh lebih bagus daripada penyanyi itu.” Alvis memeluk Ditha yang duduk di atas pangkuannya, lalu mencium pipinya. Putriku itu tertawa geli.

“Apakah aku tadi bernyanyi dengan baik, Om?” tanyanya ingin tahu.

“Sangat baik. Luar biasa!” puji Alvis.

“Aku sempat takut karena kamu mengambil nada terlalu tinggi pada awal lagu, Ditha,” aku Mila.

“Aku masih bisa mengambil nada yang lebih tinggi dari itu, Tante. Mama sudah mengajariku dengan baik. Tetapi Mama bilang, aku harus menjaga kualitas pita suaraku tetap baik dengan tidak bernyanyi pada nada tertinggi yang bisa aku raih terlalu sering. Jadi, tadi aku turunkan satu oktaf.” Ditha melihat ke arahku. “Iya, ‘kan, Ma?”

“Iya, sayang. Kamu masih punya masa depan yang panjang. Kamu perlu menjaga pita suaramu dengan baik. Akan ada lagu-lagu yang penuh kejutan nanti yang bisa kamu nyanyikan dengan meraih nada tertinggi. Aku bahkan yakin kamu bisa memecahkan rekor sebagai penyanyi yang pernah dicatat mengambil nada yang belum pernah diraih oleh penyanyi mana pun.”

“Oke, oke. Pembawa acaranya sudah naik panggung. Saatnya mendengarkan pengumuman.” Alvis mengalihkan topik dan meminta kami semua untuk mengarahkan pandangan ke panggung.

Aku menelan ludah dengan berat. Aku melirik ke arah Davin yang masih santai dengan pensil warna yang dicoretnya ke buku sketsanya. Lalu aku menoleh ke arah Ditha yang masih asyik mewarnai. Mereka berdua selalu saja penuh rasa percaya diri. Tetapi aku tidak bisa bersikap seperti mereka. Jantungku berdebar begitu kencang menunggu nama-nama pemenang diumumkan.

Juara harapan satu, juara tiga, juara dua, dan akhirnya juara pertama, “Ditha Melody,” gumam kedua anakku dengan santai.

“Mari kita sambut peserta dengan penampilan spektakulernya, Ditha Melody..!” pekik pembawa acara tersebut. “Ditha, kamu di mana? Ayo, naik ke panggung!”

Ditha menggeleng-gelengkan kepalanya ke arahku. Seolah-olah dia tahu bahwa aku tidak percaya dia akan memenangkan perlombaan tersebut. Alvis ikut melakukan hal yang sama. Aku memicingkan mataku kepadanya. Dia membawa putriku menuju panggung. Uang tunai yang putriku dapatkan sebagai pemenang pertama sangatlah besar. Dan hadiah tersebut tidak dipotong pajak.

Ditha terlihat sangat bahagia memenangkan lomba yang diikutinya sejak babak penyisihan. Davin juga tidak terlihat lelah setelah lima hari berturut-turut mengerjakan sebuah proyek melukis. Iya. Anak-anakku bahagia dengan apa yang mereka lakukan. Aku tidak perlu khawatir atau merasa bahwa aku sedang memanfaatkan bakat mereka.

Bab 3 - Kejutan Tak Terduga

*Zivon*

Aku membersihkan diri di kamar mandi sebaik mungkin. Aku meletakkan alat pengaman di atas nakas. Hanya dengan mengenakan mantel mandi, aku duduk menunggu wanita itu datang. Aku tidak mau membuat pakaianku kusut dan menyebabkan Mama curiga ketika aku pulang nanti. Lagi pula aku harus melepaskan semua pakaianku, jadi mengapa tidak dari sekarang saja?

Tepat pada jam yang dijanjikan, pintu kamar diketuk. Aku meletakkan botol minuman yang setengah isinya sudah aku habiskan ke atas meja. Salah satu produk perusahaan milik keluargaku. Aku membuka pintu dan seorang wanita masuk.

Dia mengenakan baju berwarna putih. Pakaian itu terlalu sopan dibandingkan jenis pakaian lain yang biasanya mereka pakai. Aku tidak pernah tidur dengan wanita yang sama, jadi aku tidak heran ketika aku tidak mengenalnya sama sekali.

Wanita ini beruntung dibandingkan wanita sebelumnya yang tidur bersamaku. Hari ini dia akan aku perlakukan layaknya hadiah yang berharga. Aku tidak terburu-buru dan memperlakukannya dengan hati-hati. Aku mengambil waktu sebanyak yang aku mampu sebelum akhirnya menyatukan diri dengannya. Benar-benar kado ulang tahun yang terbaik.

Bunyi benda yang bernada sangat tinggi menyakiti telingaku. Aku membuka mata dan memandang langit-langit ruangan. Bunyi itu datang dari sebelah kananku. Alarm ponselku. Setelah mematikannya, suasana kamarku kembali sunyi. Aku menarik napas panjang menyadari bahwa napasku memburu.

Mimpi itu lagi.

Lima tahun yang lalu aku melakukan sebuah kesalahan besar. Aku yang biasanya tidur dengan seorang wanita secara acak pada akhir pekan, malah tidur dengan wanita yang bukan datang dari agen yang bekerja sama dengan asistenku. Aku baru mengetahuinya belakangan. Itu adalah kesalahan pertama.

Kesalahan kedua, aku hanya berhubungan intim satu kali dengan setiap wanita karena itu aku hanya menyediakan satu alat pelindung. Tetapi dengan wanita yang penuh stamina itu, aku melakukannya berulang kali nyaris sepanjang malam. Tanpa ada penghalang di antara kami.

Reputasiku berada di ujung tanduk, maka aku meminta Wastu untuk mencarinya. Jika perempuan itu sampai membuka mulut dan memberitahu orang-orang bahwa aku punya kebiasaan buruk, semua kerja kerasku akan sia-sia. Jika dia hamil lalu suatu hari nanti muncul di hadapanku dengan seorang anak, hidupku bisa hancur.

Tetapi lima tahun menghabiskan begitu banyak uang, dia tidak juga menemukan jejaknya. Aku justru mengetahui siapa dia saat menghadiri acara ulang tahun salah satu kenalan Kakek, Om Matias Laksana. Perempuan yang telah menghiasi mimpi-mimpiku itu adalah putri pertamanya.

Aku mendengar berita yang simpang-siur mengenai dia. Mereka yang menghadiri acara itu berkata bahwa dia adalah gadis yang baik tetapi diperlakukan dengan buruk oleh keluarganya sendiri setelah ayahnya menikah lagi. Yang lain berkata bahwa dia adalah perempuan nakal yang suka tidur dengan sembarangan pria sehingga tidak ada yang mau menikahinya. Dan dia diusir dari rumah karena hamil.

Aku tidak tahu harus memercayai siapa, tetapi aku hanya tahu bahwa wanita ini tidak bisa aku lupakan. Aku tidak mengeluh dengan malam indah yang telah kami lalui bersama, dan aku tidak akan kecewa mengetahui bahwa aku bukan satu-satunya pria yang tidur dengannya. Karena dia juga bukan satu-satunya wanita yang pernah tidur denganku.

Entah apa yang terjadi kepadaku atau sihir apa yang dimiliki oleh wanita itu. Namun setelah tidur dengannya, aku tidak bisa lagi melakukan hobiku itu. Aku sama sekali tidak tertarik untuk melepas beban di tubuhku dengan tidur bersama perempuan lain.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Wastu yang sudah duduk di balik meja kerjanya. Aku membalas sapaannya dan berjalan menuju ruanganku sendiri.

Tidak lama kemudian, Wastu menyusul masuk dan membacakan jadwalku pada hari ini. Aku mendesah pelan mendengarnya. Aku sudah lelah menggunakan istirahat makan siang, juga jam sepulang kerja untuk bertemu dengan kolega, rekan bisnis, dan investor yang tidak ada habisnya. Tetapi aku harus melakukannya demi menjaga kerja sama dan hubungan yang baik.

“Oh, iya, Wastu,” kataku saat asistenku itu membalikkan badan bersiap keluar dari ruanganku. “Besok kamu tidak perlu datang lagi.”

Dia menatapku penuh tanya. “Apakah maksud Anda, saya dipecat?” tanyanya.

“Iya. Pesangonmu akan aku transfer sore ini. Terima kasih banyak sudah banyak membantuku selama tujuh tahun terakhir.” Aku mengambil salah satu map dan membuka sampulnya.

“Jika ini ada hubungannya dengan wanita yang Anda cari itu, saya bisa menjelaskannya, Pak.”

“Aku tidak membutuhkan penjelasan apa pun. Kamu sudah boleh keluar. Aku harus memeriksa beberapa berkas sebelum mengikuti rapat direksi,” ucapku memberi perintah.

“Ibu Jasmine berpesan kepada saya bahwa setiap hal yang Anda perintahkan yang akan merusak reputasi Anda, tidak boleh saya lakukan,” katanya membela diri.

“Apakah kamu sedang menyalahkan ibuku atas sikap membangkangmu? Apa perbedaan antara mencarikan aku perempuan untuk tidur bersamaku dengan mencari keberadaan wanita itu?” tanyaku tidak mengerti.

“Mencari seorang perempuan untuk Anda sifatnya rahasia, Pak. Hanya kita berdua dan agen penyedia yang mengetahuinya dan mereka sudah terikat perjanjian untuk tutup mulut selamanya,” jawabnya. “Tetapi mencari perempuan yang pernah Anda tiduri bukanlah hal yang bijak. Bagaimana kalau dia sampai mengaku hamil dan menipu Anda?”

“Dia tutup mulut selama lima tahun ini, tetapi apakah tidak pernah terbersit di kepalamu bahwa dia bisa saja muncul dan mengatakan apa yang terjadi pada hari itu ketika aku sudah menikah nanti? Apakah kamu tidak pernah berpikir bahwa dia bisa saja hamil dan melahirkan anakku? Aku tidak tahu apa yang membuat dia tidak mencariku sampai hari ini, tetapi dia bisa saja mencari waktu yang tepat untuk menunjukkan dirinya. Aku punya banyak musuh, Wastu,” kataku menjelaskan.

“Maafkan saya, Pak,” sesalnya.

“Kamu harus bersyukur bahwa aku hanya memecatmu dan tidak merusak kesempatanmu untuk mencari kerja di tempat lain.”

“Saya sungguh-sungguh meminta maaf, Pak,” ucapnya lagi.

“Kamu sudah mengatakan yang ingin kamu katakan, sekarang silakan pergi,” kataku dengan tegas. Bukannya pergi, dia malah mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu.

Tidak lama kemudian, ponselku bergetar. Aku menatapnya curiga. Aku mengambil ponsel yang aku letakkan di atas meja dan membuka layarnya. Ternyata laporan dari bank. Sejumlah uang yang cukup besar ditransfer ke rekeningku.

“Saya kembalikan setengahnya dahulu karena ada batas transfer harian. Setengahnya lagi akan saya transfer besok, Pak. Saya tidak menggunakan sepeser pun uang yang Bapak berikan kepada saya sebagai biaya mencari wanita tersebut.” Dia benar-benar serius tidak ingin dipecat dari pekerjaannya.

Dengan padatnya jadwalku sepanjang hari itu, aku baru bisa bernapas lega setelah janji makan malam usai. Wastu perlu pergi ke suatu tempat sebelum kembali ke apartemennya, maka aku tidak perlu mengantarnya pulang.

Ponsel dalam genggamanku bergetar. Aku melihat nama pada layar. Riko. Kenalanku yang aku beri misi khusus mencari wanita yang bernama Aida itu. Pasti dia akan memberi laporan mengenai pemuda bernama Alvis yang dibuntuti oleh salah satu rekannya.

“Aku segera menghubungimu karena aku yakin kamu ingin segera mengetahui kabar ini. Alvis pergi ke rumah Aida. Sepertinya dia akan bermalam di sana karena dia membawa tas ekstra dari rumahnya. Aku baru saja mengirim alamatnya,” ucap pria itu tanpa basa-basi.

“Terima kasih banyak. Aku akan menghubungimu lagi jika aku membutuhkan sesuatu.” Aku mengakhiri hubungan telepon kami dan membuka pesan yang baru saja masuk. Aku mengirim alamat tersebut melalui bluetooth ke aplikasi peta pada sistem audio mobil. “Kita akan pergi ke alamat itu, Kian. Jangan ke rumah.”

“Baik, Tuan,” ucapnya patuh.

“Dan, tolong cepatlah,” kataku tidak sabar.

Akhirnya, aku akan melihatnya lagi. Aku akan bertemu perempuan itu lagi. Wastu bodoh. Dia sudah membuang-buang waktuku. Aku hanya membutuhkan waktu satu hari untuk menemukan di mana dia berada. Sungguh keterlaluan, asistenku sendiri membiarkan aku menunggu selama lima tahun untuk hal yang tidak dikerjakannya sama sekali.

Bagaimana sebaiknya aku bicara dengannya? Ada Alvis di sana, alasan apa yang sebaiknya aku gunakan ketika mereka menanyakan maksud kedatanganku? Aku dan Alvis baru bertemu satu kali. Begitu juga aku dan Aida hanya bertemu satu kali, tetapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

Alasan apa yang cukup masuk akal di mana kedatanganku yang mendadak ke rumah wanita itu bukan merupakan hal yang aneh? Kepalaku tidak bisa memikirkan apa pun. Apa alasan yang cukup masuk akal bagiku jika mendadak ada orang yang tidak aku kenal sama sekali atau baru satu kali bertemu datang menemuiku di rumahku? Kepalaku benar-benar buntu.

Masa iya aku harus berpura-pura menjadi pembawa acara di mana aku bisa memilih rumah secara acak lalu menawarkan sejumlah uang kepada mereka? Yang benar saja. Alvis mengenalku, jadi itu jelas bukan pilihan yang tepat. Ah, sudahlah. Biarkan saja semuanya berjalan apa adanya.

“Kita sudah sampai, Tuan,” ucap Kian membuyarkan lamunanku. Aku melihat ke sekeliling kami. Rumah yang ada di sekitarku sederhana tetapi masih layak sebagai tempat tinggal.

Salah satu pintu rumah di sebelah kanan terbuka. Seorang pemuda keluar dengan membawa sebuah kantong plastik hitam pada tangannya. Lampu pada teras menolongku untuk melihat wajahnya tetapi jaraknya terlalu jauh. Kemudian ada dua orang anak menyusulnya, seorang anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka masih kecil sekali.

Pemuda itu berjalan mendekati pagar dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas berkat bantuan cahaya lampu jalan. Alvis. Lalu kedua anak itu siapa? Alvis mendekati tempat sampah, membuka penutupnya, memasukkan kantong tersebut, lalu kembali memasuki pekarangan rumah. Kedua anak itu melompat-lompat riang saat mengikutinya.

Oh, Tuhan. Apakah? Tidak. Mungkinkah? Apakah kedua anak itu adalah anak Aida? Alvis masih duduk di bangku SMU, jika aku tidak salah ingat. Tidak mungkin dia sudah memiliki anak dengan seorang perempuan pada usia semuda itu. Jadi anak-anak itu pasti anak Aida, kakaknya. Oh, Tuhan. Apakah mereka adalah anak-anakku?

Tetapi semua ini tidak masuk akal. Jika wanita itu hamil setelah kami tidur bersama, mengapa dia tidak mencariku? Mengapa dia diam saja membiarkan dirinya diusir keluar oleh keluarganya? Dia bisa mendatangiku dan kami bisa mencari jalan keluarnya bersama. Aku tidak akan membuang anak kandungku sendiri.

Atau jangan-jangan, mereka bukanlah anakku? Apakah mereka adalah anaknya bersama pria lain? Itukah sebabnya dia tidak mencari aku? Dan dia menerima perlakuan keluarganya karena pria itu tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya? Entah mengapa aku tidak suka dengan fakta ini. Aku lebih suka mengetahui bahwa mereka adalah anak-anakku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!