Livia terduduk atas kasur sembari melihat-lihat berita online di ipad putih miliknya. Gadis 21 tahun itu sibuk mencari berita yang tengah hangat diperbicangkan oleh masyarakat.
"Kau masih belum menemukannya?" Nia berdiri di depan pintu kamar sambil melipat kedua tangannya di dada. Umur mereka hanya terpaut beberapa bulan sehingga membuatnya mudah akrab dengan siapa saja termasuk Livia.
Livia menggeleng lemas melempar ipadnya ke kasur, "Belum." Selain teman 1 kost-an juga merupakan teman kampus. Kini mereka sudah memasuki semester akhir yang dimana mereka harus menemukan tempat untuk On The Job Training /OJT dan menentukan tema untuk skripsi.
Gadis berwajah oriental dan bermata cokelat tua ini ingin mengambil keduanya agar bisa lulus tepat waktu. Tapi, tentulah tak mudah harus mengerjakan OJT dan skripsi secara bersamaan dalam 1 semester. "Kau sudah menemukan tempat untuk OJT?"
Untuk sebagian orang memang tak begitu mudah dalam 1 semester mengerjakan 2 makalah sekaligus. Tapi, tentu saja semua orang akan bisa melakukannya asalkan mereka berkerja keras. Dari pada tidak mencobanya sama sekali.
Bukankah lebih baik mencoba walau gagal daripada kita tidak melakukannya. Setidaknya kita tahu sampai mana batasan yang kita miliki.
"Sudah."
"Yang lain?"
"Sudah semua kecuali, kau." Ujar Nia yang mendapat respon desahan berat dari temannya. Waktunya tinggal sedikit lagi. Semakin lama ia mengundur waktu magangnya maka, akan banyak sekali laporan yang harus ia kerjakan. "Haruskah aku OJT di kampus sekaligus skripsi?" ia berharap Nia dapat memberikan saran.
Sebenarnya jika disuruh memilih Livia sedikit enggan untuk melakukan OJT di kampus karena ia ingin mencoba keluar dari zona nyamannya. Tapi, disisi lain jika ia mengambil OJT dan skripsi di kampus secara bersamaan bisa menghemat pengeluaran juga waktunya.
Andaikan saja ia tak perlu mengorbankan salah satunya.
Andaikan....
"Yah, jika memang tidak ada tempat lain yang belum dapat juga sampai seminggu kedepan maka, mau tak mau harus harus mengambil opsi itu."
Livia tertunduk lesu. Ya semoga. Ucapnya dalam hati.
"Temenin aku beli makanan yuk. Lapar nih."
"Iya bentar." Livia mengambil tas juga dompetnya, "Ayo."
Sapphire Blue Corp...
Seorang pria berpakaian rapi baru saja keluar dari mobil sport miliknya, menatap tajam ke arah semua karyawan yang membungkuk seiring berjalan masuk ke gedung yang kini dipimpinnya. Semua karyawan wanita tak berhenti memandangnya dari atas hingga bawah. Sungguh beruntung sekali mereka bisa melihat ciptaan Tuhan yang indah ini. Mata hitam jernih senada dengan warna rambutnya. Oh, tidak lupa badannya yang begitu atletis. Dibalik jas dan kemeja yang dipakai bisa dibayangkan bentuk tubuh berotot yang sempurna.
"Tuan muda, selamat datang di Perusahaan ini." Ujar seorang bapak berusia 40 tahunan. Beliau adalah karyawan yang paling lama bekerja di perusahaan ini. Bapak Rahmad selaku Direktur Humas.
"Bagaimana dengan persiapan untuk acara ulang tahun perusahaan?"
Beliau menundukkan kepalanya, "Belum tuan muda."
Pria yang dipanggil tuan muda menatap tajam kearah bawahannya yang kini tampak ketakutan, "Apa maksudmu?" Dibalik tampangnya yang menggoda tersimpan aura yang cukup menakutkan ketika sedang seperti itu.
"B..belum sama sekali kami kerjakan tuan muda." Semua orang di Lobby menunduk tak berani menatap boss baru mereka. Pemimpin sebelumnya adalah ayah dari tuan muda mereka sekarang sudah memberikan perintah untuk mengerjakan persiapan acara ulang tahun perusahaan yang ke-60 dikerjakan tepat di hari pertama putera sulungnya bekerja.
Tuan muda itu tersenyum merendahkan, "kau sedang tidak bercanda kan? ulang tahun perusahaan tinggal 3 bulan lagi dan kau mengatakan belum mempersiapkan apapun !!" Semua orang di lobby ketakutan mendengar teriakan pimpinan baru mereka. Lupakan bayangan indah dan mempesona mengenai pria di depannya. Ia lebih seperti iblis.
"Maaf, tuan muda. Ayah anda yang menyuruh mereka untuk mengerjakan acara ulang tahun perusahaan tepat di hari anda memimpin disini." Ucap wanita paruh baya yang sejak awal selalu berdiri disisi tuan mudanya. Ibu Jasmine, sekertaris pemilik perusahaan yang sudah bekerja sejak lama.
Pria dipanggil tuan muda itu berbalik menatap sekertarisnya, "Kau yakin?"
Wanita tersebut mengganguk sebagai jawaban, "Iya tuan muda."
"Segera atur ruangan meeting dengan semua devisi 30 menit lagi." Tuan muda itu melonggarkan dasinya kemudian pergi naik ke lift menuju ruang kerjanya di lantai paling atas. Baru saja tiba di kantor ia sudah dibuat bad mood dan pekerjaan yang menumpuk. Sungguh menyebalkan.
Sapphire Blue Corp, merupakan salah satu perusahaan yang masuk dalam jajaran 5 besar perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang properti dengan anak cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Perusahaan ini memiliki 12 lantai yang dimana setiap lantai hanya untuk 1 atau 2 devisi saja. Tidak ada lift khusus yang membedakan CEO dengan karyawannya. Kalau sudah seperti itu biasanya jika ada CEO di dalam lift maka, karyawan lain enggan masuk.
Aneh ?
Memang aneh. Tapi, itulah aturan yang sudah dibuat entah oleh siapa dan diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Ajaibnya. Tiap generasi tidak merasa keberatan dengan tidak adanya lift khusus CEO.
30 Menit kemudian...
Terdengar suara ketokan pintu.
"Masuk."
"Tuan muda." ucap sekertaris paruh baya yang langsung disela ucapannya.
"Jangan panggil aku tuan muda jika berada di kantor."
Sekertarisnya berdehem, "Pak Jimmy. Semua divisi sudah berkumpul di ruang meeting."
"Sebentar lagi saya akan kesana. Kau pergilah dulu Bu Jasmine."
"Baiklah. Saya permisi."
Di Ruang Meeting...
Semua karyawan berbisik membicarakan pemimpin baru mereka. "Kau sudah lihat wajahnya. O.M.G, tampan sekali." ujar seorang karyawan wanita dari devisi Marketing.
"Tampan sih tapi, auranya menakutkan." ujar karyawan yang lain.
Suasana berisik itu langsung berhenti ketika orang yang mereka bicarakan masuk ke dalam ruangan. Jimmy duduk menatap semua karyawannya, "Berikan aku ide kalian mengenai acara ulang tahun perusahaan nanti."
Semuanya terdiam dan saling menatap. Mereka memang mempunyai ide namun, biasanya pemimpin mereka yang menentukannya. Biasanya setiap tahun mereka tidak pernah diberikan ruang untuk memberikan ide atau tanggapan.
"Kenapa semuanya terdiam? Beginikah sikap kalian jika atasan kalian bertanya?"
"Maaf Pak Jimmy. Kami hanya terkejut saja karena biasanya kami tidak pernah diminta pendapat mengenai hal itu." Ujar kepala devisi Finance.
Jimmy hanya mengganguk, "Baiklah. Kalau begitu berikan daftar karyawan yang berada di divisi multimedia."
Sarah, kepala dari divisi Multimedia memberikan kertas berisi orang-orang bawahannya, "Maaf, hanya posisi video editor saja yang belum kami dapatkan karena tengah dipilih oleh pihak HR."
"Acaranya sudah semakin dekat dan sampai sekarang kau belum menemukan orangnya. Bagaimana jika kau saja yang menggantikannya? atau karyawanmu yang lain?"
Sarah menunduk, "Maaf pak. Kami semua sudah memiliki banyak deadline dengan client. Jadi, kami mau tak mau membutuhkan tenaga baru."
Jimmy hanya bisa mengganguk, "Baiklah. Besok kau, saya dan kepala HR yang akan langsung menginterview semua kanidat yang masuk."
"B..besok pak?" Tanya kepala HR dengan ragu.
Yang benar saja, baru kemarin sore ia sempat untuk mem-posting info lowongan kerja di salah satu website pencari kerja, Ia bahkan belum mengecek apakah sudah ada pelamar yang berminat atau tidak.
"Tentu saja. Saya tidak mau tahu nanti sore berikan semua kanidat untuk interview besok jam 9 pagi."
"B...baik pak." Semua karyawan diam-diam saling memandang satu sama lain. Beberapa bulan ke depan akan menjadi hari yang panjang untuk mereka.
-To Be Continue-
"Tentu saja. Saya tidak mau tahu nanti sore berikan semua kanidat untuk interview besok jam 9 pagi."
"B...baik pak." Kepala HR, Andy. Hanya bisa berdiam sembari mengumpat dalam hati kepada atasan barunya itu. Oh God, ia harus mencari staff baru untuk Office Boy/Girl, Security dan bagian Marketing. Oh yeah, dan baru 15 menit yang lalu Andy baru mengetahui jika devisi Multimedia juga mencari anak baru. Seharusnya ia besok mulai interview untuk bagian Marketing harus diganti harinya menjadi interview untuk anak Multimedia + belum menyebarkan info lowongan tersebut.
Jaman sudah semakin canggih, seharusnya jika sebar melalui media online akan mendapatkan banyak kanidat dalam waktu singkat. Oke. ia tidak boleh mengeluh. Melaksanakan perintah atasan tertingginya adalah tugas utamanya.
Di sisi lain...
"Livia, mau ikut ke Kampus ?" Nia masuk ke kamar temannya tanpa mengetok terlebih dahulu.
"Untuk ?"
"Aku dan anak-anak mau mencari materi untuk skripsi di perpustakaan."
"Uda nemu tema-nya ?"
"Ya belum sih. Cuma Hanna dan Narul sudah ketemu tema yang mau mereka angkat. Mau ikut atau tidak?"
"Mau. Tunggu bentar."
Livia, Nia, Hanna, Narul dan 2 orang lainnya berteman baik sejak mereka masuk ke dunia perkuliahan. Mereka selalu bersama walau tak jarang perkelahian kecil mewarnai pertemanan mereka yang mau memasuki 4 tahun itu. Pada awalnya, Livia tidak begitu yakin akan mendapatkan banyak teman karena sifat pendiam dan pemalunya sejak kejadian kelam itu.
Tuhan sepertinya masih menyayangi Livia sehingga ia mendapatkan teman-teman yang benar mau menerima apa adanya. Ia sangat bersyukur akan hal itu. Di Semester terakhir ini saja, mereka mengambil mata kuliah On The Job Training /OJT di pagi hari dan mata kuliah Skripsi di malam harinya. Buat sebagian orang mungkin memang tak mudah jika harus bekerja dari pagi hingga sore lalu melanjutkan untuk kuliah di malam hari. Percayalah, jika kau terbiasa itu akan terasa mudah.
Begitu tiba di Perpustakaan, Livia sibuk mencari lowongan magang sementara teman-temannya tengah membuat bab 1 untuk laporan OJT. Ya. Mereka semua sudah mendapatkan tempat OJT kecuali dirinya.
"Liv, masih belum dapat tempat OJT juga?" Tanya Hanna yang duduk di depannya.
"Belum nih. Lagian juga memang susah sih mencari tempat OJT cuma 3 bulan setelah itu keluar." Jawab Livia sembari berpangku tangan dan matanya tak berhenti mencari info lowongan OJT. Sudah bisa ia bayangkan, mencari lowongan untuk OJT saja sudah susah setengah mati apalagi jika ia lulus dan harus mencari pekerjaan. Astaga. Semoga saat lulus nanti ia dan teman-temannya akan mudah mendapatkan pekerjaan.
Livia terdiam menatap 1 info lowongan terbaru di salah satu portal pencari kerja, "Sapphire Blue Corp. kalian tahu perusahaan apa itu ?"
"Pernah dengar deh nama perusahaan itu. Kalau tidak salah, itu termasuk dalam 5 besar perusahaan properti se-Indonesia." Jawab Narul. "Memangnya mereka membuka lowongan?"
Livia mengganguk, "Ya. Untuk Staff Intern Video Editor."
"Coba saja daftar. Siapa tahu dapat." Celetuk Yeni yang baru saja datang sembari membawa beberapa buku. Livia terdiam menatap beberapa kriteria yang dijelaskan.
Berusia maksimal 25 tahun.
Lulusan S1 Ilmu Komunikasi/ sejenisnya.
Bisa mengedit video.
Memiliki interpersonal komunikasi yang baik.
IPK min. 3.8.
Bersedia untuk magang selama 3 bulan.
Oke. untuk kriteria pertama Livia bisa masuk akan tetapi, untuk kriteria nomor 2,4, dan 5 ia agak ragu. Lulus kuliah saja belum. Interpersonal komunikasi yang baik saja tidak karena ia termasuk seorang yang pendiam dan untuk IPK juga tidak bisa masuk karena sekali lagi, ia belum lulus kuliah. Terlebih lagi Perusahaan itu adalah perusahaan besar. Pasti susah kalau ingin bekerja disana.
'Ya sudahlah tidak ada salahnya mencoba. Walau aku yakin akan gagal juga karena ada beberapa point yang tidak sesuai kriteria yang perusahaan itu mau.' Ucap Livia dalam hati. Dengan segera ia mengirimkan surat lamaran ke perusahaan tersebut.
Sapphire Blue Corp...
Andy, kepala HR terkejut begitu mengetahui ada ribuan surat lamaran yang baru saja ia kirim beberapa saat yang lalu. Sepertinya ia harus menutup info lowongan tersebut, kalau tidak maka bisa dipastikan sampai 1 jam kedepan akan berubah menjadi ratusan ribu yang melamar pekerjaan tersebut.
Telepon Andy berbunyi setelah ia menutup info lowongan di portal pencari kerja. "Ya halo."
"Bapak Andy, ini saya sekertaris dari Pak Jimmy."
K**ebetulan sekali. "Ya. ada apa ?"
"Pak Jimmy menanyakan mengenai info lowongan yang anda sebarkan. Apakah sudah ada peminatnya?"
"Oh ya. Sudah ada seribu pendaftar." Sempat jeda sebentar yang sepertinya, sekertaris itu tengah berbicara dengan bossnya.
"Pak Jimmy meminta anda ke ruangannya untuk membahas siapa saja yang akan dipanggil interview."
"Baik. Nanti saya akan kesana. Terima kasih."
Di Perpustakaan Kampus...
Sudah 2 jam berlalu, Livia sibuk memperhatikan teman-temannya yang fokus mengetik laporan mereka. "Hey, bisakah kita istirahat terlebih dahulu ? Sudah mau jam makan siang."
"Bentar dikit lagi." Ujar Ai Chan. Itu hanya nama panggilan bukanlah nama sebenarnya. Sementara yang lain sudah selesai dan mengembalikan buku yang mereka pinjam. Ponsel Livia berdering. Untung saja mereka berada di ruang diskusi perpustakaan yang kedap suara.
"Hallo. Iya betul dengan saya sendiri. Besok ? oh, bisa-bisa. Iya. Baiklah. Selamat siang Bapak." Livia mengakhiri ponselnya. Semua temannya menatap. Oke. Dari tatapan mereka butuh informasi siapa yang menelepon dirinya. "Panggilan interview."Jawab Livia singkat.
"Serius? Wah selamat. Setidaknya ada titik terang agar kau dapat tempat OJT." Hanna tersenyum menatap Livia.
Mereka berbicara sembari keluar dari perpustakaan menuju kantin kampus, "Iya makasih Na. Tapi, bingung aja kok bisa dipanggil interview padahal aku tak sesuai kriterianya."
Yeni menekan tombol lift menuju lantai bawah. "Posisi apa ?"
"Video editor."
"Kapan?" Kali ini Ai Chan yang bertanya.
"Besok pagi jam 9."
Narulita memegang tangan Liva, "Sorry ya kita tak bisa temani pergi interview." Ujarnya bersamaan mereka masuk ke lift. Tapi, lift itu naik ke lantai atas terlebih dahulu. Ya sudahlah, dari pada mereka harus menunggu lama dan belum tentu liftnya kosong karena sudah jam makan siang. Pasti penuh liftnya.
Livia tersenyum, "Tidak apa-apa. Doain aja, aku dapat pekerjaan ini." Ujarnya bersamaan Lift berhenti di lantai 10 dan orang-orang masuk lift untuk turun ke lantai dasar.
"Perusahaan apa yang kau datangi besok ?" Tanya Hanna setengah berbisik karena lift juga tak kalah berisik karena orang-orang sibuk berbicara.
"Sapphire Blue Corp."
Semua teman-teman Livia memandangnya, "Sapphire Blue Corp !" Teriak mereka bersamaan membuat orang lain di lift berbalik memandang Livia. Ash. Malu sekali. Kenapa mereka harus berteriak di lift?
"Serius?" Tanya Nia begitu mereka sudah keluar dari lift.
Livia mengganguk. "Makanya, aku bingung kenapa bisa dipanggil interview ?"
"Gila. Kalau kau dapat pekerjaan disana sih keren sekali." Ujar Hanna.
"Entahlah Na. Pasti ada banyak yang lebih cocok dan lebih hebat dibandingkan aku." Jawab Livia.
Narulita memandang Livia, "Pikir positif aja. Siapa tahu pihak tuh perusahaan melihat ada yang menarik sehingga mereka memanggil untuk interview besok."
Sapphire Blue Corp. Nama perusahaan yang tidak begitu asing di telinga Livia. Tapi, kapan dan dimana aku pernah mendengar nama itu ?
-To Be Continue-
Narulita memandang Livia, "Pikir positif aja. Siapa tahu pihak tuh perusahaan melihat ada yang menarik sehingga mereka memanggil untuk interview besok."
Livia tersenyum kecil, "Ya. Semoga saja." jawabnya pelan. Ia harus berusaha untuk interview besok. Alasan kenapa ia bisa dipanggil untuk interview masih membayanginya. Jika boleh disuruh bertanya, mungkin hal itu lah yang ingin ditanyakan. Mata cokelatnya menatap langit biru dari jendela kantin.
Papa..mama.. Doakan agar aku bisa mendapatkan pekerjaan ini.
Teman-temannya sibuk bercerita, diantara mereka Livia adalah yang paling pendiam. Tidak tahu apa alasannya. Yang pasti jika gadis itu ingin bercerita maka mereka akan mendengarkannya. Pernah sesekali mereka menanyakan hal itu namun, Livia begitu enggan menceritakannya.
Mereka hanya berharap semoga ia bisa mendapatkan pekerjaan,bergaul dengan banyak orang dan sedikit merubah karakternya yang pendiam.
"Kyaaaaa.. tampan sekali." teriakan beberapa mahasiswi membuat Livia dan teman-temannya menatap ke depan pintu kantin.
"Nadia, disana ada apa ? kok ramai sekali ?" Tanya Ai Chan pada salah satu temannya.
"Itu. Dia akan jadi pembicara di Seminar nanti." Setelah itu Nadia ikut berlari ke arah segerombolan mahasiswi yang mengerumuni pembicara seminar yang tidak begitu jelas wajahnya.
Seminar ? Ah iya. Livia lupa akan adanya seminar hari ini. Salah satu seminar yang mungkin penting karena salah satu syarat kelulusan harus mendapatkan 7 sertifikat seminar sementara ia baru mendapatkan 6.
"Sepertinya habis ini aku harus ke Grand Auditorium untuk datang ke seminar tersebut." Ujar Livia menatap teman-temannya yang tak ingin ikut-ikutan mengerumuni pria yang bahkan wajahnya seperti apa.
"Nanti kita pergi bertiga dengan Narulita." Ujar Yeni yang duduk disamping Livia.
"Sertifikat kalian juga kurang?"
"Narulita saja sih yang kurang. Dia minta ditemani."
Oh iya. Datang ke seminar sendirian itu sangat tidak enak. Entahlah, Livia tak begitu suka datang ke acara seminar.
"Aku tidak tahu kalau kalian datang kesana." Ujar Livia yang mulai minum minuman kesukaannya. Oreo Milkshake.
"Kami juga tidak tahu kalau kau daftar juga. Aku kira karena kau tahu siapa pembicara yang akan hadir." Ujar Narulita.
"Memangnya siapa pembicaranya?" tanya Hanna.
"CEO dari Sapphire Blue Corp." Jawaban Yeni membuat Livia membulatkan matanya. Mata Yeni melirik kearah seorang pria yang masih dikerumuni oleh mahasiswi. Ia merasa pria itulah yang nanti akan menjadi pembicara diantara 3 pembicara lainnya. "Namanya kalau tidak salah Jimmy Alexander Kurniawan."
Livia langsung tersendak begitu mendengar nama tersebut, "Serius?"
Jimmy Alexander Kurniawan ?
Yeni tidak salah mengucapkan nama itu kan?
Mata Livia melirik ke arah kerumunan yang sudah pergi entah sejak kapan.
"Kau tidak apa-apa ?" Nia memberikan Livia tissue.
Gadis itu menggeleng sebagai jawabannya, "Aku ke toilet sebentar."
"Jangan lama, sebentar lagi kita harus ke Grand Auditorium." Teriak Yeni.
"Ya." Teriak Livia tak mau kalah.
Di dalam kamar Mandi, Livia terdiam menatap cermin di depannya.
Nama itu..
Nama yang sudah tak ia dengar selama 10 tahun ini, kini muncul.
*Tidak mungkin Jimmy itu kan ?
Kalau pun iya, apakah dia masih mengingatku* ?
Livia menepuk kedua pipinya. Ayolah. Tidak mungkin dia ingat padaku kan ? itu sudah lama sekali. Iya dia pasti lupa. Ayo, Livia cobalah berpikir positif.
Gadis itu keluar dari toilet wanita, baru saja beberapa langkah ia melihat sesosok pria tampan memakai jas abu-abu berjalan ke arahnya. Livia terdiam. Sepertinya memang benar. Jimmy yang berjalan ke arahnya adalah Jimmy yang ia kenal dulu. Pria itu melirik gadis itu sekilas sebelum masuk ke dalam toilet pria yang tepat di samping Livia.
"Nona..." Ucapan seorang wanita paruh baya mengalihkan Livia dari pintu toilet pria.
"Y..ya. Ada apa ?"
Baru saja wanita paruh baya itu ingin berbicara, teman-teman Livia datang menghampirinya. Beberapa dari mereka pamit pulang meninggalkan Livia,Yeni dan Narulita yang harus menghadiri seminar. Livia menatap pria yang ia yakini adalah Jimmy tengah berbicara dengan wanita paruh baya yang membuyarkan lamunannya.
Ting..
Pintu lift terbuka. Livia beserta kedua temannya masuk ke dalam. Namun, ketika pintu lift mau tertutup ditahan oleh tangan seseorang.
Jimmy.
Mata Livia tak bisa lepas dari punggung pria itu. "Sepertinya Grand Auditorium pasti sudah ramai. Kampus menjadi sepi banget." Narulita memecah keheningan di lift tersebut.
"Iya. Penasaran juga akan rupa si pembicara yang dari Sapphire Blue Corp itu. Karena di flyer seminar itu hanya wajahnya yang diblur." Yeni ikut bersuara. Mereka hanya mengetahui ada seorang pria yang dikerumuni mahasiswi di dekat kantin tadi. Namun, mereka hanya tahu bahwa orang tersebut merupakan salah satu dari pembicara seminar tadi. Hanya Livia tahu bahwa pria berpakaian rapi yang berada 1 lift dengan mereka sekarang adalah pemilik perusahaan yang akan ia datangi untuk interview besok, termasuk seseorang dari masa lalunya.
Semoga besok aku tidak bertemu dengannya.
"Oh iya, Livia. Besok kau kan interview disana. Wah. beruntung sekali kau bisa bertemu langsung dengan CEO nya di seminar nanti." Livia menatap Yeni yang mengajaknya berbicara.
Gadis itu tertawa pasrah, "Iya. Sepertinya CEO nya adalah pria tua, gemuk dan berlemak di perutnya." Livia dan kedua temannya menatap wanita paruh baya yang berdiri di depan mereka sambil tertawa kecil.
Livia bisa merasakan tatapan tajam dari pria berjas di depannya. Oh, ia tak mau perduli akan hal itu. Biarkan saja mau seperti apa pria itu menatapnya. Mungkin agak terdengar kurang ajar. Mengingat bahwa kau besok akan diinterview oleh pemilik perusahaan yang berada tepat di depanmu namun sekarang kau malah mengejeknya.
Livia memang seperti itu. Semua temannya tahu termasuk pria yang tengah mereka bicarakan. Walaupun gadis ini agak pendiam namun, sekalinya bicara maka kata-kata yang keluar selalu yang menusuk. Gadis itu tidak memikirkannya lagi. Terlalu blak-blakan. Mereka tahu itu tak sengaja. Salah satu sifat Livia yang susah dirubah. Sekalinya ia membuka mulut maka kata yang keluar itu adalah kata-kata yang tidak ia cerna dulu dalam pikirannya.
"Jangan sembarangan bicara. Kalau di dengar langsung bisa habis kau." Ucap Yeni sembari keluar dari lift.
"Bukankah sebagian besar CEO di sebuah perusahaan memang seperti itu?" Bela Livia.
"Sudah ayo masuk bentar lagi mau dimulai." Sela Narul. Dan benar saja, ruangan Grand Auditorium memang hampir penuh, acaranya sudah dimulai. Livia dan teman-temannya duduk di bagian tengah.
Drrrt... Drrttt..
Ponsel Livia bergetar ada notifikasi WhatsApp masuk.
+62812xxxxxxxxx : Lama tak bertemu Livia.
Alis Livia terangkat. Siapa orang ini ? Di wallpaper WhatsApp nya hanya bergambar sunset.
**Livia : Siapa ya ?
+62812xxxxxxxxx : Kau lupa ? Baru saja tadi kau bertemu denganku**.
Bertemu ? tadi ?
"Tanpa menunggu lama lagi mari kita sambut. CEO dari Sapphire Blue Corp. Bapak Jimmy Alexander Kurniawan." ucap MC acara seminar membuat Mata Livia menatap Jimmy naik ke atas panggung.
"Bukankah tadi dia berada dalam 1 lift dengan kita ?" Mata Yeni dan Narulita menatap ke arah Livia yang terdiam menatap Jimmy diatas panggung.
"Ya memang dia." Gumam Livia pelan. Yeni dan Narulita saling memandang. Mereka ingat dengan jelas, Livia mengatakan sesuatu yang cukup menyindir ke CEO Perusahaan yang akan menginterview dia besok. Mereka hanya berharap semoga hal itu tidak mempengaruhi penilaian perusahaan tersebut kepada Livia. Gadis itu kembali membuka WhatsApp.
Livia : Siapa kau sebenarnya ?
Setelah selesai ia melihat Jimmy sedang memainkan ponselnya dan tak lama...
+62812xxxxxxxxx : Coba kau tebak.
Livia terdiam. Nomor tak dikenal itu adalah Jimmy.
Livia : Dari mana kau mendapatkan nomorku ?
Setelah terkirim, ia baru sadar. Dasar bodoh, tentu saja dia adalah CEO maka, dengan mudah ia mendapatkan nomorku. ash..
+62812xxxxxxxxx : menurutmu ?
Livia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Abaikan.. abaikan.. abaikan.. Bak mantra, ia mengucap dalam hati untuk berusaha tak membalas WhatsApp tersebut.
"Kita beralih kepada Bapak Jimmy Alexander Kurniawan. Bagaimana kabar anda pak ?" MC memulai pembicaraan. Seluruh mahasiswi berteriak histeris.
"Baik. Panggil saja saya Jimmy." Ujarnya sambil tersenyum yang membuat para mahasiswi semakin histeris. Bagaimana tidak, rambutnya yang hitam dengan mata hitam, dan berkulit putih serta badan yang begitu atletis. Pasti semua wanita akan histeris jika bertemu dengan pria seperti itu, kecuali Livia tentunya.
"Wah di usia muda seperti ini sudah menjadi CEO yang digilai setiap wanita. Semua mahasiswi kami begitu histeris melihat anda. Tidak ada yang menyangka bahwa CEO dari perusahaan ternama merupakan orang yang sangat muda."
Jimmy tertawa kecil, "Saya juga sangat berterima kasih karena dapat diundang menjadi salah satu pembicara di kampus ini. karena baru kemarin saya tiba di Jakarta setelah bertahun-tahun berada di Singapura. Saya tidak menyangka akan ada banyak penggemar dadakan disini. Mungkin diantara kalian ada yang mengira bahwa dimana-mana CEO suatu perusahaan adalah pria tua, gemuk dan memiliki lemak di perutnya. Anda salah, tidak semua CEO suatu perusahaan seperti itu." Yeni dan Narulita melirik ke arah Livia yang terdiam dengan pipi memerah karena malu.
Habislah dia. Pikir mereka. Sindiran itu tentu saja ditujukkan kepada Livia.
-To Be Continue-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!