Seorang gadis terbaring di kamar hotel dengan badan lemah, gaun pengantin yang mau ku kenakan hari ini sudah tersobek tak bersisa dengan banyaknya tetesan darah di kasur yang membuatku menangis histeris. “Bagaimana bisa? Bagaimana bisa tubuhku sudah disentuh oleh orang yang tak aku tau? Siapa lelaki ini?" Batin Keyla sembari menangis sedih.
Bagaimana bayangan kejam itu datang menghampiriku, menindihku dan membuatku tak mampu menolaknya, bahkan ingin mengangkat tubuh dari tindihannya saja aku tak mampu.
Gadis itu hanya dapat membersihkan diriku dari kamar mandi dengan derasnya air yang mengalir tepat diatas kepalaku, tubuhku sangat kotor, melihatnya saja aku tak sanggup, sebersih apapun aku mencucinya dan memberi sabun di semua bagian tubuhku sama saja.
Aku tetaplah perempuan hina, perempuan yang tak bisa kembali suci lagi. Bagaimana dengan Arya? Masihkah dia mau menikah denganku? Sambil membasuh air di wajahku dan mengusapnya.
Suara pintu kamar apartemenku berbunyi. Bergegas aku membukanya, tamparan melesat di pipiku.
“Dasar perempuan jalang.” Tamparan melesat dipipiku dari ibu tiriku.
“Dasar perempuan hina. Melempar selebaran foto ke wajahku. Lihat ini! Sentak adik tirinya.
“Bagaimana, bagaimana bisa?” tamparan kedua berhasil membuatnya tersungkur di lantai.
“Pantas saja menyusahkan ayah. Kau sama saja dengan ibumu. Satu tendangan tepat di kepalanya. Dimana wajahku nanti dengan calon besan!” Teriak wanita tua itu.
“Ibu sudahlah ibu, demimu, demi keluarga kita aku rela menggantikan manusia jalang ini menjadi pengantin wanita siang ini.” Memeluk ibunya.
“Benarkah sayang?” jawab wanita itu yang tak lain adalah Ibu Tiri Keyla.
“Tidak, tidak ibu kumohon.” Keyla segera bersujud di kaki wanita itu.
“Kau kira walaupun kalian sudah berpacaran selama 7 tahun dia akan menerima dirimu yang sudah kotor, busuk lagi ini.” Pungkas ibu tirinya dengan amarah.
“Ibu ayo pergi, ini sudah jam 11, kita harus memilih gaun pengantin yang bagus untukku.” Lily menarik Ibunya itu dan pergi.
Adik tirinya itu berhasil membawa Ibu mereka ke sebuah butik
“Ya tuhan apa yang harus aku lakukan? Sejauh ini aku sudah menjadi anak piatu di tambah ayahku yang menikah lagi dan mengabaikan aku anaknya dan lebih peduli dengan istri dan anak tirinya. Ibu! Ibu! Apa yang harus aku lakukan, aku berdosa. Arya pasti akan sangat membenciku. Aku harus pergi menemui Arya dan menjelaskan segalanya agar ia percaya dan menerimaku lagi, ya aku harus bergegas.” Batin Keila.
Langkah kaki yang tertatih, sakit di bagian tertentu ini membuat stamina tidak kuat tegak berdiri, apalagi berlari. Cuaca siang ini sangat-sangat tidak bersahabat. Berjalan dan terus berjalan menuju Aula pernikahan, langkah kakiku gemetar dan aku terjatuh, melewatkan upacara pernikahan tersebut.
“Nona? Nona? Bangun. Bangunlah?” seseorang berteriak padaku. Lelaki itu berhasil membopong tubuhku.
Kali ini aku tiba di sebuah rumah sakit terdekat dengan dengan gedung pernikahanku. Tanpa sadar terbangun melihat sekeliling dan mencabut infus yang terpasang ditanganku.
Tak tau lagi harus kemana, tak tau lagi harus pulang atau kembali ke gedung pernikahan tersebut. Langkah kakiku masih sempoyongan dan tangan itu kembali menangkapku.
“Nona. Kau mau kemana?” Tanya salah seorang lelaki yang jelas sama dengan suara yang meneriakan tadi.
“Aku mau pulang.” Ucapku melepaskan tangan laki-laki yang menopang tubuhku ini.
“Tenanglah dan tunggu sebentar, saya periksa dulu tensi dan kadar oksigen dalam tubuhmu.” Ucap lelaki itu.
“Baiklah, setelah ini bisakah kau bawa aku ke resepsionis? Aku mau membayar biaya rumah sakitku.” Pungkasnya lemah.
“Baiklah nona, tenanglah.” Jawabnya lembut.
“Aroma apa ini? Kenapa aku begitu pusing?” Keila kembali tak sadarkan diri lagi.
“Kelihatannya perempuan ini sangat unik, pemberontak yang sangat baik. Bagaimana jika dia ku bawa pergi ke Amerika ya sebagai temanku atau teman hidup. Baiklah aku akan membawamu pergi jauh dari sini.” Pungkasnya tanpa mempertimbangkan keputusan gadis itu mau atau tidak ikut dengannya.
Kejadian itu? Kejadian yang mengubah hidupku sepenuhnya, kehidupan yang menggeser kesedihan menjadi kebahagiaan, tawa dan kesenangan.
Keyla dengan setengah sadar bermimpi akan kekasihnya, "Arya? Maafkan aku, maaf tapi aku harus hidup lebih baik dan lebih bahagia saat ini.” Ucapnya.
dan setelah itu ia pingsan.
Arya yang tak tahu apa-apa harus menyelamatkan pernikahannya walaupun gadis yang harus dia nikahi bukannya Keila, Demi martabat kedua orang tuanya dan keluarga besar Keila.
“Keil? Kenapa kau menghianatiku? Dimana kau? Kenapa aku menikah aku malah harus menikah dengan adikmu? Kenapa tak kau biarkan aku mendengarkanmu dan membatalkan pernikahan ini? Bukankah kita saling mencintai? Bukankah kau selalu dihatiku dan sebaliknya? Tawamu yang selalu dalam ingatanku, sifat manja dan pekerja keras tanpa lelah yang tak dimiliki semua orang itu yang hanya ada di kamu!” Batinnya sembari memegang dadanya yang sangat sakit akan pengkhianatan.
Tak biasanya Arya memegang segelas bir dan rokok, melihat beberapa foto tergeletak diatas meja kantornya.
“Bolehkah aku menemukanmu? Untuk apa kekuasan jika aku tak bersamamu?” Ucap Arya penu kesedihan.
Malam sebelum tragedi tragis Keila.
“Sebaiknya kau tak mengajakku kesini Lili.” Ucap Keil.
“Tak apa kak, disini bar terbaik di kota ini. Lihat saja pemandangan malam dan lampunya.” Menunjuk dan meyakinkan.
Bar High Biru adalah bar terkenal yang ada di lantai atas hotel Biru. Sebuah club malam yang didatangi oleh orang-orang teratas dan tak sembarangan orang bisa datang kesana.
“Ini aku dapat kartu VIP punya temen aku, kan sayang banget kalau gak dipakai.” Paksanya pada Keila.
“Iya tapi aku tak bisa pesta lajang berdua denganmu disini Lili, banyak persiapan yang harus diurus untuk besok.” Jawab Keil menolak.
“Yaudah minum dikit aja, abis tu kita pulang janji deh janji.” Ucap Lili berwajah manis.
“Baiklah beberapa teguk saja setelah itu kita pulang ya.” Ucap Keil menyenangkan Lili adik tirinya.
“Wah tempat ini benar-benar bagus ya. Lihat disana Keil pemandangan langit malam kota H ini sangat mengagumkan.” Menunjuk sekeliling.
“Iya benar-benar sangat cantik.” Memandang dengan sangat takjub.
“Aku ke bartender dulu ya, memesan minuman. Masa iya udah disini gak memesan botol.” Berlari meninggalkan Keil yang belum sempat menjawab.
“Wah pemandangan ini sangat bagus banget, kenapa ada tempat seperti ini ya.” Ucapnya menatapi langit-langit kota.
Tak sengaja seorang lelaki menabrak Kiel.
“Ah maaf. Saya tak sengaja.” Seseorang lelaki yang tak sengaja meminum obat perangsang di bar tersebut dan memberikan minumannya yang dipengaruhi obat itu ke Kiel tanpa sadar dan pergi dengan jalan sempoyongan.
“Dia kenapa?” ucap Kiel termenung.
“Ini, memberi 1 botol bir kepadanya. Kau melihat apa?” Lili ikut menoleh kepandangan saudara tirinya tersebut.
“Tidak ada dan minum bir nya.” Kok rasanya aneh ya gumang dalam hati dan tersenyum kecil.
“Ayo minum, minum, minum. Habiskan habiskan." Ucap Lili.
Keila menenggak minuman itu dengan terpaksa.
"Ayo cepat habiskan minuman yang ku campurkan narkoba tersebut, kita lihat apa reaksinya.” Gumang Lili dalam hatinya. Seketika ia tersenyum di ujung bibirnya.
“Aku akan habiskan nanti sambil menikmati suasana malam ini.” Ucap Keil meletakkannya di samping botol pria tadi di meja sampingnya dan melipat tangannya di pagar menikmati deruh angin.
“No. no. no lekas habiskan dan kita pulang.” Pungkas Lili mengambil botol minum yang ada di meja samping Keil dan salah mengambil botol.
“Baiklah akan aku habiskan. Glek. Glek. Glek. Glek. Sudah.” Keila tersenyum menatap langit.
“Kakak ku pintar.” Tersenyum sok manis.
Angin sejuk yang tadinya berhebus menjadi sangat panas, gairah apa yang sedang aku rasakan? Panas tubuhku mendadak tak beraturan, pusing bukan main, pandanganku gusar tak menentu. Biasanya minum alkohol gak sampai seperti ini, ada apa ini?
“Li aku mau ke toilet bentar ya.” Mendadak pusing sempoyongan.
“Aku temenin?” tanya Lili pada Keila.
“Tak perlu.” Jawabnya tersenyum menahan sakit dan pergi.
Seorang lelaki datang ke arah Lili menyapa.
“Ini bayaran untuk wanita itu.” Memberikan beberapa juta ke tangan Lili.
“Tunggu sepuluh menit lagi di kamar mandi seret langsung dia.” Ucap Lili.
“Baiklah nona.” Dua orang laki-laki berjalan menuju toilet wanita.
“Kenapa kepalaku sempoyongan, aku tak menemukan toilet dimanapun, sebaiknya ku pulang dan mengabari Lili bahwa aku sudah pulang. Panas, kenapa sungguh panas. Tak tahan lagi." Keila menaiki Lift.
Aku melihat lelaki yang beberapa menit sempoyongan di hadapanku, aku tak terlalu ingat wajahnya dia memelukku dan membawaku masuk kedalam kamar. Apa yang dia lakukan? Mengapa dia sama denganku kepanasan. Tanpa sadar aku membuka bajuku dan dia membuka bajunya. Selanjutnya aku tak ingat apa yang terjadi.
Sudah lima tahun berlalu, aku pergi jauh dari keluarga dan cintaku. Namun cinta yang baru telah hadir menjadi penguatku ya itu anakku.
Kejadian lalu itu sebut saja kejadian naas yang terjadi lima tahun lalu tak membuatku luput dari bayang-bayang masa lalu. Kehilangan, penghinaan dan segala sesuatu yang menusuk langsung menancap di dadaku tapi jika tak diikhlaskan akan jadi masalah. heningku terpecah mendengar suara anakku.
"Mama, Aku dah bisa gambar ini." menunjukkan hasil lukisan yang luar biasa untuk ukuran anak 5 tahun.
"Ya ampun sayang, siapa yang ajarin bagus sekali?" Ucapnya kagum.
"Paman Fandy mengajak berkunjung ke galeri seni dan memperlihatkan semua lukisan yang ada." Ucapnya dengan penuh semangat mempraktekkannya dengan bantuan tangannya..
"Kelihatannya kamu menikmati perjalananmu bersama paman mu." Senyumnya sambil mengelus kepala anak itu..
"Tentu saja, andai saja papa gak pergi ninggalin kita, pasti papa yang ngajarin aku buat nge-gambar dan bermain." Pungkas anak itu tak mengerti yang dia katakan.
"Hmmm.. Memangnya kamu mau papa yang gimana?" Tanya mamanya perlahan menghela nafas panjang.
"Ma. Menatap mamanya. Aku gak keberatan jika mama sama paman Fandy, mungkin dia akan menjadi papa yang baik untukku." Lalu melanjutkan lukisannya.
"Bagaimana bisa. Dia kan paman kamu." Ucapnya keheranan membantu anaknya menggambar di beberapa kertas..
"Ya setidaknya paman selalu bersikap baik pada Mama dan aku dalam hal apapun, kita juga tinggal satu rumah dan sudah seperti keluarga." Ocehnya dengan corat-coret.
Mengelus kepala anak itu. "Saya, setelah dewasa kau akan tau hal apa yang pantas atau tidak pantas. Yang baik atau tidak baik. Yang boleh atau tidak boleh. Lanjut ya, mama mau menyelesaikan pekerjaan mama juga, kamu tau kan harus cari mama dimana." Pergi ke ruang kerjanya dan melambai kepada anak kecil itu.
"Hmmm. Maksud mama apa ya. Setelah ini aku akan keperpustakaan mencarinya. Semoga paman bisa memberikan sedikit kisi-kisi untuk ku mengerti." Ucap anak kecil itu masih melanjutkan tulisannya.
Ruang kerja.
Sebenarnya apa yang anak kecil itu pikirkan si. Menatap laptopnya baru memeriksa beberapa berkasnya. Kelihatannya aku masih sangat membutuhkan banyak referensi.
Pekerjaan sebagai jendral manager di perusahaan lelaki itu ya dia yang bernama Fandy sangat membantuku.
Selain dapat melanjutkan studi sarjana Manajemen di Oxford University. Keterlibatan lelaki ini yang selalu mendukungku membuatku sangat beruntung, terlebih anak yang kulahirkan menjadi pusat perhatian karena kecerdasannya dalam mempelajari 10 bahasa di umurnya 5 tahun.
Kadangkala aku berpikir tinggal disini saja selama 5 tahun baru benar-benar lancar berbahasa inggris. Tahun-tahun pertama disini menjadi tahun paling menantang untukku.
Dan kelihatannya selama beberapa tahun disini aku sedikit lebih damai dan memiliki sedikit kerinduan untuk pulang dan berziarah ke makam ibuku. haruskah aku pulang.
tanpa aku sadar seseorang sudah datang mengetuk meja kerjaku.
"Kau berpikir keras lagi? Ayolah jangan terlalu overthinking, lanjut besok lagi." Ucap lelaki itu duduk diatas meja.
Ya lelaki yang menyelamatkanku dahulu. Lelaki yang sangat tulus menjagaku dan menghidupiku disini, terlalu banyak hutang budi namun aku tak suka hanya hidup menumpang, aku bekerja juga di perusahaannya di bidang Tenaga medis dan Produksi.
"Tidak aku tidak berpikir keras. Menurunkan kedua tangan yang memegangi kepala, ya hampir saja aku ketahuan mau mengacak-acak rambutku." Tersenyum kepadanya.
Lelaki itu datang memberikan sebuah undangan dan beberapa surat pemindahan tugas.
"Ini, aku mendapatkan surat rekomendasi kembali ke kota kita. Karena disana membutuhkan pengembangan dan orang-orang kreatif dan berjiwa pemimpin untuk mengembangkan perusahaan. Jika kau berkenan kau juga boleh ikut kembali bersamaku, namun jika kau lebih nyaman disini maka tetaplah disini. Aku akan mengunjungi kalian setiap 3 bulan sekali." Ucap Fandy santai dengan senyuman.
"Tidakkah menurutmu aku terlalu merepotkanmu?" Tanya Keila. Suasana mendadak hening cipta.
Mereka saling menatap.
"Tidak sama sekali. Membelai rambut gadis itu. Aku tak ingin sedikitpun kehilangan perkembangan keponakanku tersayang itu.” Menatap kearah wanita itu yang tak lain adalah Keila.
“Ah benar juga, dia akan bertanya-tanya kemana pamannya pergi meninggalkannya.” Keila menghela nafas.
Jadi kau ingin ikut pulang denganku?” Menatap mata wanita tersebut dan mencari jawaban pasti dari mulut Keila.
“Hmmmm... sepertinya mau tidak mau aku juga harus pulang sekalian untuk berziarah ke makam ibuku. Setelah itu akan kuputuskan aku akan tetap disana atau disini.” Jawab Keila yang masih sedikit ragu.
“Baiklah segalanya adalah keputusanmu. Atau kita menikah saja?" Ucapnya lalu tertawa kecil menatap wanita yang ada di hadapannya.
Aku sedikit terpaku mendengarkan kata-katanya. tanganku ikut memegang tangannya yang ada di kepalaku dan menariknya ke pipiku.
"Jika itu yang kau mau akan aku lakukan Fand." Menikmati kehangatan tangan lelaki itu.
"Baiklah, setelah pulang ke Indonesia kita akan menikah dalam waktu 3 bulan, jika kau merasa selama waktu itu kau tidak mencintaiku kau boleh membatalkan pernikahan kita." Berdiri dan tersenyum menatap Keila.
"Baiklah." Menatap lelaki itu keluar dari ruangan.
"Benarkah keputusanku ini?" Gumang dalam hati.
Keila mulai termenung. Apakah aku benar harus menikahinya, dia itu lelaki baik. Berjiwa malaikat dan tidak memperdulikan status sosialku ataupun anak yang ku kandung waktu itu dia tetap menjagaku hingga saat ini. Sebaiknya aku membereskan beberapa pekerjaanku dahulu, masih memiliki banyak waktu untuk memikirkan hal tersebut.
Tempat kursus anak.
"Ibu," teriaknya dari kejauhan sambil berlari ke arahnya.
"Sayang jangan lari-lari nanti kamu jatuh dengkulmu bisa terluka.” Memeluk anaknya itu dan menggendongnya.
“Wah ibu sudah datang. Paman.” Teriaknya melambaikan tangannya pada pelukkan ibunya dan melihat sekeliling menyadari sosok lelaki itu tak ada.
Dan terdengar langkah kaki seorang lelaki mengulurkan tangannya.
“Aku kira kau tak datang menghadiri wisuda kelulusanku.” Ekspresi senang sekaligus cemberut anak yang belum genap lima tahun itu.
Arfandy mengambil anak itu dari gendongan Keila itu.
“Mana boleh aku kelewatan satu hal apapun tentang dirimu.” Mencium kening anak tersebut.
Seorang guru datang menghampiri mereka.
“Maaf bapak dan ibu orang tua murid bisa duduk di dalam ruangan sana.” Menunjukkan jalan.
“Terimakasih bu." Ucap Fandy menggendong anak itu dan menggenggam tangan wanita yang ada disampingnya.
"Ayo.” Berjalan bersama menuju ruangan.
Deg. Deg. Deg.
"Apa ini kenapa detak jantungku tak beraturan. Menatap sosok tinggi yang di hadapannya dan menatap genggaman lelaki itu. Apakah aku mulai mencintainya?” Bergumam dalam hati.
Bagaimana dengan perasaan ini, bukannya aku sudah berjanji pada diri akan mencintai diriku sendiri dan seluruhnya untuk anakku kelak. Bagaimana dengan hati ini yang sedikit mulai goyah dan perlahan mulai membuka hati untuk dirinya, mungkinkah?
Aku wanita rumit dengan segala kerumitan yang ada. Aku takut jika aku mencintai akan kehilangan lagi dan patah berkeping. Bisakah dia? Mampukah aku bahagia bersamanya?
Jika mungkin akan kucoba, banyak pengorbanan yang telah dilakukan olehnya. Lebih baik mencoba walau gagal karena kita tak tau apa ujung dari ceritanya. Jangan meninggalkan aku ya, semoga kamu dapat menjadi sumber bahagia untuk kami.
Kepulangan setelah 5 tahun di negara orang, tak kusangka tak banyak yang berubah dan setiap hal akan menjadi kehidupan baru. ya benar sekali kehidupan baruku akan segera dimulai.
kedatangan ke Jakarta berjalan sangat mulus, pengembangan ekspor industri disini sudah sangat-sangat baik. perkembangan ilmu teknologi dan sumber daya manusia kelihatannya sudah cukup baik daripada tahun-tahun saat aku berada disini dulunya.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya lelaki itu penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh wanita tersebut.
“Iya ma, apa yang mama pikirkan?” Tanya anaknya yang berada di pangkuan lelaki itu.
“Sepertinya aku harus mengganti nama keluargaku setelah tiba dan menetap disini.’ Pungkasnya.
“Kau sudah punya bukan, sama dengan nama keluargaku.” Menaikkan bahunya dan tersenyum menikmati perjalanan mereka menuju hotel sementara.
“Ayolah ma, jangan terlalu banyak berpikir, dipikiranmu hanya boleh aku yang memenuhinya.” Sambil bermain motor-motoran kesayangannya yang di bawa anak itu dari Inggris tanpa benar-benar tahu apa yang dipikirkan mamanya.
“Sayang, bagaimana bisa aku memikirkan orang lain jika pikiranku dipenuhi semua hal tentangmu." Mengambil anak itu dari pangkuan lelaki itu dan memeluknya dengan sangat.
“Aduh ma, aku bisa mati sesak nafas akibat pelukanmu yang terlalu erat.” Sebutnya.
“Hahaha. Maafkan mama sayang.” Mengelus lembut kepala anak tersebut dengan perlahan.
Lelaki itu ikut tertawa.
“Setelah dewasa kau harus bisa menjaga mamamu dengan baik ya.” Ucap lelaki itu teralihkan panggilan teleponnya. Baiklah saya akan segera kesana.” Jawabnya singkat segera mematikan teleponnya.
“Ada apa?” Tanya wanita yang ada di sampingnya khawatir.
“Sepertinya meetingnya di percepat. Saya akan antar kalian ke hotel dulu, kalian bisa beres-beres barang atau sebagainya. Aku akan menuju tempat meeting setelahnya." Menatap anak itu sedikit kecewa.
“Baiklah tolong hati-hati.” Jawab wanita itu dengan senyuman.
“Jangan nakal ya selagi paman tak ada. Menatap anak lelaki itu. Ah iya malam nanti saya akan bawa kalian berkeliling kota.” Menghibur anak kecil tersebut.
Ekspresi anak kecil itu berubah.
“Baiklah paman kau harus janji.” Memberikan jari kelingkingnya tanda janji.
“Baiklah.” Berjanji kelingking ya, lalu tersenyum.
“Kita sudah sampai hotel tuan.” Ucap supir tersebut.
“Baiklah.” Lelaki itu hendak ikut turun.
Tangan wanita itu menahan pintu mobilnya.
“Biar kami saja, kau tetap di dalam mobil, jangan sampai meetingmu terlambat. ini klayen besar.” Menatap lelaki itu.
“Baiklah. Jika terjadi apa-apa hubungi aku.” Ucap lelaki itu.
“Pergilah.” Mengintip dari jendela mobil.
“Dah paman.” Anak kecil itu melambai.
"Aku mempersiapkan supir untuk kalian berkeliling sore ini jika diperlukan." Lelaki itu melambaikan tangan dan mobil pergi membawanya.
"Hmmm. Dia selalu saja mempersiapkan segala sesuatunya untukku. Nah ayo kita masuk nak." Menggandeng tangan anaknya tersebut.
"Iya ma. Kelihatannya hotel pilihan paman cukup lumayan bergaya Prancis." Pungkas anak kecil itu.
"Iya sayang. Sebentar ya kamu duduk disini Mama ke resepsionis sebentar. Maaf Mbak pesanan atas nama Keil adakah?" Tanya wanita itu.
"Oh iya ini kunci kamar anda nyonya, silahkan." Memberikan kunci dan pelayan membawakan koper serta mengarahkan mereka ke atas.
"Sayang sudah sini." Melambai ke anak kecil itu.
"Hmmmm. Iya ma sebentar. Di majala ini terlihat pria yang sangat tampan yang mirip denganku. Apakah aku harus menjodohkannya dengan mama? Berpikir dan sedikit memiliki rencana. Baiklah aku koyak saja majala ini." Merobek selembar kertas dari majalah tersebut dan melipatnya di saku bajunya.
"Sayang cepat kemari." Masih melambai ke anaknya.
"Maaf nona, barang anda 3 koper ini saja?" Seorang pelayan memastikan koper yang diangkat benar adanya.
"Iya pak." Jawabnya.
"Lift nya sudah terbuka ayo nona naik." Mengarahkan wanita itu naik.
Dengan cepat anak lelaki itu berlari kearah mamanya.
"Mama tunggu aku." Memeluk kaki ibunya.
"Hei kamu dasar anak nakal. Nanti mama tinggalin baru tahu rasa." Diucapkan dalam bahasa Prancis.
"Oh tidak boleh mama meninggalkan anak mama paling ganteng ini di tempat sembarangan." Jawabnya dengan bahasa Jerman.
Wanita itu hanya tertawa melihat tingkah sombong kecil itu yang tak lain dan tak bukan adalah anaknya.
"Baik nona kita sudah sampai. Lift terbuka dan pelayan berjalan ke arah pintu kamar hotel mereka. Jika ada yang di perlukan bisa call ke resepsionis lagi nyonya." Ucapnya mempersilahkan.
"Baiklah, ini tips kamu." Memberi jasa angkut.
"Terima Kasih nyonya. Semoga hari kalian menyenangkan dan merasa nyaman disini." Menunduk dan menutup pintu.
"Huaaaa. Akhirnya sampai juga. Merebahkan diri diatas kasur dan melihat kearah jendela. Wah paman selalu bisa memilih segala tempat yang bagus, ma lihat itu pemandangannya sangat bagus dari atas sini." Menunjuk keluar jendela.
"Ah iya sayang. Sebentar ya mama beres-beres pakaian kita di lemari dulu. Hmmm, sebaiknya kita pergi kemana ya nanti malam?" Tanya wanita itu sambil menyusun pakaian di lemari.
"Ma kapan kita berkunjung ke tempat nenek?" Tanya anak itu yang sibuk rebahan diatas kasur dengan tab nya.
"Besok pagi sayang." Wanita itu menggeleng menatap anaknya lalu tersenyum.
"Kalau begitu aku mau masakan kuliner Indonesia Ma. Tapi aku gak tau apakah aku punya lidah yang sama seperti Mama dan Paman." Tawanya kecil.
Wanita itu menghempaskan tubuhnya di kasur dan menggelitik anak kecil itu.
"Huuu dasar kamu." Masih menggelitik.
"Ah, ah ampun Ma." Tawanya semakin keras.
"Tentu saja kamu punya, kamukan anak mama." Mencubit hidung anak itu.
"Ya ya ya baiklah, kita lihat saja nanti." Ucapnya sedikit menantang dirinya sendiri.
….
Lelaki itu memasuki ruangan meeting dengan tepat waktu dan langsung duduk di kursinya. Seorang CEO datang menghampirinya dan menjabat tangannya.
"Halo Pak Arfandy salam kenal saya CEO pemilik perusahaan ini. Maafkan saya karena memajukan jadwal meetingnya 30 menit di awal." Ucapnya dengan penuh karisma namun tetap santai.
"Ah tidak masalah pak, untungnya saya tiba tepat waktu." Tersenyum tenang dan santai.
"Baiklah kita akan mulai membaca kontrak masing-masing." Ucap lelaki itu.
"Siap pak." Seorang sekretaris membagikan kedua dokumen kepada mereka masing-masing.
"Terima kasih." Ucap Arfandy.
"Baik Pak. Jawab cepat sekertaris itu. Ini tuan." Memberikan ke CEO nya.
"Baiklah. Hmmm berdasarkan isi kontrak saya setuju bekerja sama dengan anda." Lelaki itu menandatangani kontraknya.
"Oh benarkah, baiklah kalau begitu sudah bisa saya tanda tangan." Menandatangani dokumen.
Bertukar dokumen dan saling menandatanganinya lagi.
"Dengan ini perusahaan kita bekerja sama mulai saat ini pak, semoga kedepannya kita tetap bisa bekerja sama dan saling bersinergi." Mengulurkan tangan.
"Baiklah pak, saya juga mengharapkan hal yang sama dengan anda." Menjabat tangan CEO tersebut lalu melihat jam.
"Baiklah karena saya sedikit sibuk dan penyambutan untuk anda hanya sekedarnya. Saya berhutang makan malam dengan anda, bisakah anda meluangkan waktu pekan besok sebelum kontrak kerja berlangsung?" Tanya lelaki itu.
"Tentu saja pak." Jawab Arfandy.
"Sampai ketemu pekan depan, kalau begitu saya permisi dahulu." Melambai.
"Ya pak. Jawabnya. Diluar dugaan meeting hari ini cepat sekali selesai." Teleponnya berdering.
"Iya halo." Jawabnya.
"Hai kakak apa kabar? Ku dengar kau sudah sampai di Jakarta kenapa gak ngabarin aku, Ha?" Tanya lelaki itu sambil mengebut dengan mobil sportnya.
"Wah tadinya aku ingin memberi kejutan untukmu dan keluarga besar, sepertinya sudah tidak bisa lagi." Tawanya dari ujung telepon.
"Hmmm. Its me Lana, mudah bagiku tau dimanapun orang yang ingin aku tau." Tawanya sedikit keras mengimbangi suara mobilnya tersebut.
"Sudahlah hati-hati mengemudi, suaramu kala jauh dengan suara mobilmu." Ejeknya sambil keluar perusahaan menaiki mobilnya.
"Haha. Jadi kapan kita bisa makan malam bersama? Aku merindukan keponakan kecilku itu." Tanyanya.
"Jika kau ada waktu besok malam saja. Aku akan membawa mereka berkeliling malam ini. Jangan lupa bawa Icha, bilang padanya kakak iparnya menunggunya.
"Haha. Kau bisa saja kak. Baiklah akan ku sampaikan padanya. See you. Mematikan teleponnya dan menggas habis mobilnya. Yuhuuuuu. Seperti inilah bersenang-senang di dunia." Teriaknya.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!