Ayunda berjalan dengan langkah terpincang, menyusuri deretan jenazah yang disusun dengan tak beraturan. Seolah mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya Ayunda terus menatap satu persatu wajah yang sudah terbujur kaku tersebut, dan terus merapalkan doa dalam hati agar tak menemukan wajah Mama, Papa, Oma, serta Opanya.
Ayunda masih berharap kalau keempat orang yang ia cintai tersebut juga selamat seperti dirinya dan mungkin sedang berada di suatu tempat yang tak Ayunda ketahui.
Bahkan Ayunda masih bercengkerama dengan mereka semua beberapa saat yang lalu, sebelum gelombang besar itu mendadak datang dan meluluhlantakkan semuanya. Memisahkan Ayunda dengan Mama, Papa, Oma, serta Opanya.
Langkah Ayunda terhenti saat netranya menangkap dua wajah yang telah terbujur kaku itu tepat di depannya. Mama Flo dan Papa Kenzo dibaringkan berdampingan dengan tubuh kaku yang tak lagi bernyawa. Ayunda bahkan tak bisa lagi menangis sekarang karena hatinya merasa sangat sedih.
Hanya dalam hitungan menit dan kini Ayunda yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh tahun bersama kedua orang tuanya kini sudah berganti status menjadi seorang anak yatim piatu.
Tak jauh dari jenazah kedua orag tuanya, Ayunda juga menemukan jenazah oma dan opanya yang sudah meninggalkan Ayunda untuk selamanya. Rencana liburan keluaga Wijaya telah berubah menjadi sebuah kepiluan. Empat orang yang Ayunda sayangi sudah pergi bersamaan, meninggalkan Ayunda sendirian di tempat ini.
Sendirian!
Kriiiing!
Suara alarm dari jam weker yang berada di atas nakas langsung membuyarkan semua mimpi Ayunda tentang kejadian pilu enam tahun yang lalu.
Ayunda duduk di tepi tempat tidur dan mengusap airmata yang menggenang di pelupuk matanya sambil menatap ke sekeliling kamarnya yang sederhana. Semua kemewahan yang dulu pernah Ayunda rasakan, sekarang sudah lenyap bersama dengan kepergian Mama, Papa, serta Oma dan Opanya.
Perusahaan milik keluarga Wijaya langsung kolaps setelah kepergian Papa Ken. Ayunda yang kala itu baru genap dua puluh tahun juga tak tahu menahu tentang perusahaan milik keluarga Wijaya tersebut.
Kini Ayunda tinggal bersama Opa Ronny. Satu-satunya keluarga yang masih Ayunda miliki. Bersama Opa Ronny, Ayunda mengurus sebuah panti asuhan dan berusaha menghilangkan kesepian dalam hatinya bersama belasan anak-anak yang bernaung di panti asuhan ini.
"Ay! Melamun lagi?" Tegur Opa Ronny yang kini berdiri di ambang pintu kamar Ayunda.
"Nggak, kok, Pa!" Kilah Ayunda yang langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri sang opa, lalu membenarkan syal yang membalut leher pria tua tersebut.
"Jangan suka melamun pagi-pagi!" Nasehat Opa Ronny.
"Iya, Opa!" Jawab Ayunda dengan nada sedikit lebay.
Ayunda segera pergi ke kamar mandi yang ada di dekat dapur untuk mencuci muka.
Langit di luar panti asuhan masih gelap karena memang ini masih pukul empat pagi. Namun Ayunda biasa memulai paginya lebih cepat karena ia harus menyiapkan sarapan untuk anak-anak penghuni panti yang kini berjumlah lima belas anak, ssbelum pergi ke kantor.
"Pemuda yang kemarin mengantarmu itu pacar baru kamu?" Tanya Opa Ronny membuka obrolan.
"Bukan!" jawab Ayunda cepat.
"Kemarin itu Ay udah pulang naik ojek, Pa! Tapi motor ojeknya mogok di tengah jalan. Trus si pemuda tiang listrik itu mendadak lewat dan menawari tumpangan."
"Bukan menawari, sih. Tapi memaksa Ay agar mau diantar pulang," cerita Ayunda panjang lebar seraya memotong-motong kacang panjang untuk ia jadikan tumis kacang panjang. Opa Ronny membantu mengupas bawang dan Opa Ayunda tersebut masih terlihat gesit di usianya yang sudah senja.
"Kelihatannya pemuda yang baik," pendapat Opa Ronny yang hanya dijawab Ayunda dengan endikan bahu.
"Tidak ada salahnya kau mulai membuka hati lagi, Ay! Brian juga sudah beristirahat dengan tenang. Kau tidak bisa terus meratapi kepergian Brian," nasehat Opa Ronny yang langsung membuat Ayunda menghentikan aktivitasnya sejenak.
Sudah beberapa tahun berlalu sejak Brian meninggalkan dunia ini dan meninggalkan Ayunda yang semakin merasa kesepian.
"Brian! Kaukah itu?" Ayunda meraba-raba dinding kamarnya dan mencari keberadaan jendela di kamarnya, karena mendengar ketukan khas dari jendela kayu tersebut.
Tidak ada yang mengetuk dengan nada seperti itu selain Gabrian, pacar Ayunda yang sebentar lagi akan menjadi suami Ayunda.
"Ba!" Brian langsung memegang tangan Ayunda yang baru saja membuka jendela.
Kejadian bencana alam tiga tahun silam sudah membuat Ayunda mengalami gangguan penglihatan. Seminggu setelah Ayunda pulang ke rumah, pandangan mata Ayunda mendadak menjadi kabur dan semakin lama menjadi semakin parah.
Setelah dibawa ke dokter, Ayunda didiagnosa mengalami kerusakan di bagian kornea mata karena hantaman beberapa benda sewaktu Ayunda terombang-ambing di dalam ombak. Dan sejak saat itu, Ayunda mulai kehilangan penglihatannya.
Beruntung Brian yang merupakan pacar Ayunda sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku kuliah, tetap menerima kondisi Ayunda tersebut dan tak mempermasalahkannya sama sekali. Pun dengan keluarga Brian yang juga adalah donatur di panti asuhan Ayunda, tetap menerima kondisi Ayunda yang sekarang.
"Kau sedang apa disini? Bukakah seharusnya kau duduk diam di rumah dan tidak kemana-mana?" Tanya Ayunda pada Brian yag tiba-tiba sudah muncul di jendela kamarnya.
Penikahan Ayunda dan Brian rencananya akan dilaksanakan esok hari, dan sekarang Brian malah menemui Ayunda diam-diam ke panti asuhan.
"Aku merindukanmu!" Brian mengecup bibir Ayunda.
"Besok udah nikah juga!" Ayunda mendorong dada Brian agar menjauh dan sedikit tergelak.
"Sudah siap untuk besok?" Brian berbisik di telinga Ayunda.
"Siap apa?" Tanya Ayunda pura-pura polos.
"Siap lembur sampai pagi," bisik Brian lagi yang sontak membuat wajah Ayunda menjadi tersipu.
"Dasar mesum! Pulang sana atau aku laporin ke Bunda kamu nanti," usir Ayunda seraya mengancam calon suaminya tersebut.
"Baiklah! Satu ciuman lagi lalu aku akan pulang," Brian kembali mencuri satu ciuman dari Ayunda.
"Pulang sana!" Usir Ayunda sekali lagi.
"Aku pulang dulu, Sayang! Selamat tinggal! Jangan kangen, ya!" Pamit Brian yang segera ngacir dari jendela kamar Ayunda. Tak berselang lama, deru suara motor Brian terdengar semakin menjauh.
Ayunda masih merenungi kalimat pamitan Brian tadi.
Kenapa Brian mengucapkan selamat tinggal?
Bukankah besok mereka akan bertemu lagi dan menjadi sepasang mempelai pengantin?
Dan semua pertanyaan Ayunda tersebut seolah menemukan jawaban beberapa jam selanjutnya saat kabar tentang kecelakaan yang dialami Gabrian sampai di telinga Ayunda dan langsung membuat dunia Ayunda runtuh seketika.
Gabrian mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dari panti asuhan menuju ke rumahnya. Gabrian langsung menghembuskan nafas terakhir beberapa saat setelah calon suami Ayunda tersebut dibawa ke rumah sakit.
Brian meninggal sehari sebelum acara pernikahannya dengan Ayunda.
.
.
.
Bingung?
Sama, othor juga bingung 😂
Ayunda Zhia Wijaya adalah putri tunggal Kenzo Wijaya dan Florentina. Ingat dong, kisahnya hantu Zhia yang jadi mak comblang hubungan Ken dan Flo di "Istri Untuk Kenzo"
Terima kasih buat yang masih setia mengikuti dan membaca karya-karya receh othor.
"Permintaan terakhir Brian adalah dia ingin memberikan kornea matanya untukmu, Ayunda!" Ucap Bunda Laksmi seraya menyeka airmata yang sejak tadi terus brderai di kedua pipinya.
"Tolong terimalah, dan jangan menolak permintaan Brian yang terakhir ini. Brian sangat mencintaimu, Ayunda!" imbuh Bunda Laksmi lagi kembali sesenggukan.
Bunda Laksmi dan ayah Yuda yang merupakan orangtua dari Brian sudah seperti orangtua bagi ayunda sejak kepergian Mama Flo dan Papa Ken.
Ayunda segera memeluk kedua orang tua Brian tersebut dan ikut menangis sesenggukan.
Dan sejak hari itu, Ayunda kembali bisa melihat indahnya dunia berkat kornea mata pemberian dari Brian.
Jadi bagaimana Ayunda bisa dengan mudah melupakan mendiang calon suaminya itu, jika ada hal berharga yang Brian tinggalkan dan melekat dalam tubuh Ayunda hingga kini?
"Ay!" Tegur Opa Ronny seraya menepuk pundak cucunya tersebut.
"Eh, iya, Pa!" Ayunda sontak tergagap karena kaget.
"Sudah dibilang jangan melamun pagi-pagi, kenapa melamun terus?"
"Siapa yang melamun, Pa! Ayunda sedang mikir nanti sore mau masak apa untuk makan malamnya anak-anak," kilah Ayunda yang sudah selesai memotong-motong kacang panjang dan kini gadis itu lanjut mencucinya di bawah air mengalir.
"Masih jam lima pagi. Sudah mikir soal makan malam saja," kekeh Opa Ronny yang juga sudah selesai mengupas bawang.
"Ya, biar nanti bisa langsung belanja sekalian, Pa!" Jawab Ayunda memberikan alasan.
Ayunda sudah mulai menyalakan kompor dan memasak untuk sarapan. Sementara Opa Ronny sudah meninggalkan dapur dan memeriksa anak-anak panti yang biasanya sudah mulai bangun.
****
Kediaman Rainer
Jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi saat Ben yang sudah rapi menuruni tangga seraya bersiul gembira.
"Ben, mau kemana? Kok sudah rapi pagi-pagi?" Tanya Mama Airin heran.
Tidak biasanya anak laki-lakinya ini bangun pagi. Apalagi Ben yang sekarang pekerjaannya mengurus Rainer's Resto selalu santai dan berangkat agak siang ke resto.
"Mau ada keperluan sebentar, Ma!" Jawab Ben yang sudah menghampiri Mama Airin dan merangkul mamanya tersebut dengan mesra.
"Ben!" Tegur Papa Theo yang sepertinya cemburu melihat Ben merangkul mesra Mama Airin.
Tapi bukan Ben namanya jika langsung mempan ditegur oleh Papa Theo.
Ben malah srmakin mengeratkan dekapannya pada Mama Airin dan menyandarkan kepalanya di pundak mama kandungnya tersebut.
"Lepaskan Mamamu! Kau mau membuatnya sesak nafas?" Dengkus Papa Theo seraya memisahkan Ben dari Mama Airin. Anak laki-laki Papa Theo itu kuat juga merangkul Mama Airin.
"Papa lebay!" Ben ganti mencium pipi Mama Airin.
"Bennedic!" Gertak Papa Theo dengan suara yang sudah naik tujuh oktaf.
"Jangan berlebihan, Mas!" Mama Airin memegang lengan Papa Theo dan berusaha meredam emosi sang suami.
"Cari pacar sana! Atau istri sekalian, biar bisa kamu peluk-peluk atau kamu cium-cium!" Perintah Papa Theo pada Ben dengan nada bersungut-sungut.
"Oh, iya! Untung Papa ngingetin. Ben baru mau pedekate ini," jawab Ben seraya merapikan kausnya.
"Pedekate sama siapa?" Tanya Mama Airin menyelidik.
"Ada deh, Ma! Nanti kalau dianya sudah mau sama Ben, langsung Ben ajak ke rumah. Ben kenalin sama Mama!" Janji Ben yang kembali mendekap Mama Airin.
"Papa nggak dikenalin?" Tanya Papa Theo yang harus kembali melepaskan Ben yang kembali bergelayut di leher Mama Airin.
Meskipun Ben adalah anaknya, tapi Papa Theo tetap saja cemburu setiap kali putranya ini bergelayut pada sang istri. Apalagi Ben yang sekarang sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa dan bukan lagi bocah lima tahun, membuat papa Theo seakan memiliki saingan baru.
"Udah kenal juga. Ngapain harus dikenalin la-" Ben cepat-cepat menutup bibirnya dengan telapak tangan.
Papa Theo mengerutkan kedua alisnya penuh curiga serta tanda tanya.
"Apa ini ada hubungannya dengan kau yang sering berkunjung ke Halley Development belakangan ini?" Tanya Papa Theo menyelidik penuh curiga.
"Apa Abang Liam melapor pada Papa?"
"Ck! Ember sekali!" Gumam Ben menggerutu sendiri.
"Kau ngapain ke Halley Development? Bukankah tempat kerjamu di Rainer's Resto?" Gantian Mama Airin yang bertanya menyelidik pada Ben.
Sudah seperti maling ayam yang sedang dihakimi saja!
"Cuma main, Ma!" Jawab Ben seraya garuk-garuk kepala.
Papa Theo menuding ke arah Ben.
"Dia masih single, Pa!" Sergah Ben cepat seolah paham dengan kecurigaan sang Papa.
"Dia seusia dengan Liam! Itu artinya, dia empat tahun lebih tua daripada kamu, Ben!" Tukas Papa Theo mengingatkan.
"Iya, trus? Papa juga lebih tua lima belas tahun ketimbang Mama!" Sahut Ben yang langsung berhadiah toyoran di kepala dari Papa Theo.
Lima belas tahun darimananya?
Cuma sepuluh tahun juga.
"Kalian sedang membicarakan siapa sebenarnya?" Tanya Mama Airin bingung karena Papa Theo dan Ben yang sejak tadi menyebut dia dia.
Dia siapa?
"Sekretarisnya Liam," jawab Papa Theo yang langsung membuat Ben meringis.
"Namanya Ayunda, Ma!" Sambung Ben menjelaskan pada sang Mama.
"Kamu suka sama Ayunda, begitu?" Tanya Mama Airin memastikan.
"Cinta kan tak mengenal umur, Ma!" Jawab Ben sok diplomatis.
"Papa yakin kalau Ayunda tidak akan mau dengan bocah manja sepertimu!" Papa Theo kembali menoyor kepala Ben.
"Ben bukan lagi bocah, Pa! Ben pria dewasa sekarang!" Ucap Ben dengan nada sombong.
Papa Theo hanya berdecak sekaligus mencibir.
"Udah! Ben jadi telat mau jemput Ayunda," Ben melihat jam yang melingkar di tangannya dan bergegas mencium punggung tangan mam Airin lalu lanjut ke punggung tangan Papa Theo.
Pemuda dua puluh dua tahun tersebut lanjut keluar menuju ke garasi untuk mengambil motornya dan segera memacunya ke arah panti asuhan tempat Ayunda tinggal.
****
Tepat pukul delapan kurang lima belas menit, Ben sudah tiba di depan panti asuhan. Ayunda kebetulan baru saja keluar dan berpamitan pada Opa Ronny. Wanita itu sudah berjalan menuju gerbang dan raut wajahnya berubah tak senang saat melihat Ben yang sudah nangkring di atas motornya di depan pagar.
"Pagi!" Sapa Ben pada Ayunda yang hanya memutar bola matanya.
"Aku antar ke kantor!" Tawar Ben memasang senyuman anehnya. Namun Ayunda hanya cuek.
Wanita itu terus mengayunkan kakinya ke pangkalan ojek yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari panti asuhan.
"Ay!" Panggi Ben yang sudah mengikuti langkah Ayunda seraya menuntun motornya.
"Motor kamu rusak? Bengkel ke arah sana," Ayunda menunjuk ke arah yang berlawanan dengan arah ia berjalan.
"Nggak, kok! Motor aku baik-baik saja, bensinnya juga penuh," jawab Ben sedikit pamer.
"Trus kenapa nggak dinaikin?" Tanya Ayunda tanpa menatap ke arah Ben dan tetap fokus menatap ke arah jalan di depannya serta ke pangkalan ojek yang sudah mulai terlihat.
"Kamu nggak mau naik soalnya," jawab Ben seraya mengendikkan bahu.
"Ayo aku antar, Ay! Daripada membonceng mas mas ojek mending membonceng motor aku. Panas nggak kehujanan, hujan nggak kepanasan," rayu Ben pantang menyerah.
Ayunda hanya berdecak dan tetap mengayunkan langkahnya menuju ke pangkalan ojek. Sudah hampir dampai dan Ayunda segera melambaikan tangan ke arah salah satu tukang ojek yang mangkal.
"Ay!" Ben bergumam kecewa karena Ayunda lagi-lagi menolak untuk ia antar ke kantor.
"Aku duluan. Bye!" Pamit Ayunda sebelum naik ke atas motor tukang ojek. Dan motor tersebut segera melaju dengan cepat meninggalkan Ben yang hanya bisa mendengus kecewa.
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir.
Dukung othor dengan like dan komen di bab ini.
Halley Development.
Ben sudah duduk santai di kursi kebesaran milik Liam, saat pintu ruang kerja sepupunya tersebut menjeblak terbuka.
"Astaga, Ben! Kau mau membuatku jantungan?" Omel Liam seraya bersungut-sungut pada sang sepupu.
"Ck! Dasar lemah!" Ejek Ben yang masih tak beranjak dari kursi Liam dan malah memutar-mutarnya seperti bocah yang baru saja mendapatkan sebuah mainan.
"Awas, berdiri!" Usir Liam seraya berkacak pinggang pada Ben.
"Duduk di kursi itu kan bisa!" Ben menunjuk kursi di depan meja kerja Liam dengan dagunya.
"Kau saja yang duduk disana! Ini kursiku! Aku boss disini!" Ucap Liam tegas seraya memaksa tubuh tinggi besar Ben untuk bangkit berdiri.
Dasar tiang listrik!
"Ben perhatikan, Abang semakin gemuk saja. Perut Abang juga semakin maju ke depan. Abang hamil berapa bulan?" Tanya Ben mengejek Liam yang kini wajahnya bersungut kesal.
"Sembilan bulan! Bentar lagi mau lahiran ini!" Liam mengelus perut buncitnya yang sontak membuat Ben tertawa terbahak-bahak.
"Makanya nge-gym, Bang! Jangan olahraga ranjang melulu sama Kak Yumi!" Ucap Ben sok-sokan menasihati Liam.
"Cih! Masih bocah sok-sokan kasih nasehat. Penting kan olahraga! Mau di ranjang atau di gym suka-suka akulah!" Dengkus Liam seraya membuka laptopnya dan sedikit merapikan tatanan mejanya.
Liam meraih gagang telepon internal di atas meja kerjanya, lalu menekan beberapa tombol angka di atas telepon.
"Ay, kesini sebentar!" Perintah Liam yang rupanya menghubungi Ayunda.
Tak berselang lama, Ayunda masuk ke ruangan Liam membawa beberapa kertas di tangannya.
"Pagi, Ay!" Ben menyapa Ayunda dengan lebay.
Ayunda tak menjawab sapaan Ben dan memilih langsung berbicara dengan Liam sambil memperlihatkan kertas yang tadi ia bawa.
Kelihatan serius sekali pembicaraan Liam dengan Ayunda.
Ben mana paham?
"Baiklah! Saya permisi Pak Liam," pamit Ayunda seraya melangkah menuju ke pintu ruangan Liam.
"Aku nggak dipamiti, Ay?" Tanya Ben saat Ayunda hampir sampai di pintu.
"Makhluk tak kasat mata ngapain dipamiti," celetuk Liam yang sontak membuat Ayunda menahan tawa dan Ben yang hanya bisa berdecak kesal.
Ayunda sudah meninggalkan ruangan Liam, dan kini hanya ada Ben serta Liam di dalam ruangan tersebut.
"Jadi, tempat kerjamu sudah pindah ke Halley Development sekarang?" Liam memecah kebisuan di antara dirinya dan Ben.
"Namanya juga sedang usaha, Bang!" Jawab Ben mencari alasan.
"Dulu Abang pas pedekate sama Kak Yumi juga nginep-nginep terus di kost-nya," sambung Ben yang sontak membuat Liam berdecak.
"Itu beda cerita! Dulu Yumi nggak pernah menolakku dan langsung welcome," jawab Liam dengan nada sombong.
"Nggak seperti kamu itu yang nggak tahu malu! Udah ditolak juga sama Ayunda masih keukeh pedekate," imbuh Liam yang ganti mencibir Ben.
"Ayunda belum nolak Ben! Dia masih jual mahal dan belum mau terbuka saja sama Ben," kilah Ben mencari pembenaran.
"Terserah! Pulang sana! Atau ke resto sana! Tempat kerjamu di Rainer's Resto, kan? Aku laporin ke Om Theo lagi nanti," usir Liam seraya mengancam Ben.
"Nah kan! Abang sekarang ember. Nggak bisa gitu lihat Ben usaha," keluh Ben seraya memainkan papan nama Liam di atas meja kerja.
"Baiklah terserah! Aku mau kerja!" Liam memijit pelipisnya dan memilih untuk kembali fokus pada layar laptopnya.
Sementara Ben hanya sibuk memainkan beberapa benda yang ada di atas meja kerja Liam.
"Abang tahu nggak, kenapa Ayunda tinggal di panti asuhan? Orang tuanya kemana?" Ben yang mulai merasa jenuh karenadicueki oleh Liam kembali mengajak sepupunya itu ngobrol.
"Orang tuanya sudah meninggal dalam bencana tsunami enam tahun yang lalu," jawab Liam yang tetap fokus menatap layar laptopnya.
"Berarti Ayunda yatim piatu, ya?" Tanya Ben lagi menyelidik.
"Iya udah nggak punya orang tua, ya berarti yatim piatu. Itu panti asuhan milik opanya Ayunda. Itulah mengapa Ayunda tinggal disana," jelas Liam lagi yang hanya membuat Ben manggut-manggut.
"Lah kamu niat pedekate tapi nggak mau mencari asal-usulnya Ayunda dulu. Dasar aneh!" Cibir Liam sekali lagi yang kembali memijit pelipisnya.
"Iya ini sedang mencari dan bertanya pada sumber yang dipercaya," Ben menunjuk ke arah Liam menggunakan kedua telunjuknya.
Liam hanya berdecak dan mengambil ponselnya di atas meja, lalu mengetikkan sebuah pesan sambil tersenyum-senyum sendiri. Sontak hal itu membuat Ben mengernyit heran sekaligus curiga.
Sepupunya itu kenapa?
"Abang sedang apa? Mengirim pesan pada selingkuhan Abang?" Cecar Ben yang langsung berhadiah toyoran di kepala dari Liam.
"Sembarangan kamu! Sedang merayu Yumi, juga!" Liam menunjukkan pesannya yang memang tertuju pada kontak bernama 'Yumi Sayangku'.
Ben langsung tergelak seraya memegangi perutnya.
"Udah pengantin kadaluwarsa juga, masih merayu-rayu macam anak ABG! Nggak malu sama Fairel?" Ejek Ben yang belum berhenti tertawa.
"Kenapa harus malu? Kamu aja nggak punya rasa malu!" Liam balik mencibir Ben.
"Pergi sana!" Usir Liam sekali lagi.
"Bentar. Masih jam sembilan," Ben melihat arloji yang melingkar di tangannya. Pria itu lanjut bangkit berdiri dan hendak keluar dari ruangan Liam.
"Bang, mau kopi?" Tawar Ben yag sudah berdiri di ambang pintu ruang kerja Liam.
"Ya! Pesankan satu gelas!" Sahut Liam tanpa menatap pada Ben.
Ben keluar dari ruangan Liam dan menghampiri Ayunda yang sedang berkutat dengan layar komputer di meja kerjanya yang berada di depan ruangan Liam.
"Ay, ngopi, yuk!" Ajak Ben seraya memasang wajah semanis mungkin.
"Masih banyak pekerjaan!" Ayunda menunjuk ke tumpukan kertas di atas mejanya.
"Dan ini belum jam istirahat," imbuh Ayunda lagi yang ganti menunjuk arloji di tangannya.
"Beli kopi saja, trus bawa balik kesini. Udah aku ijinin sama Abang Liam," bujuk Ben sekali lagi.
"Pesan lewat ponsel kan bisa," jawab Ayunda seraya menunjuk ke arah ponsel yang ada di genggaman tangan Ben.
Ck!
Ben berdecak seraya mengusap kasar wajahnya.
Ben masih berdiri di depan meja Ayunda saat sebuah suara membuat Ben kaget dan meringis.
"Ben, sedang apa disini?"
.
.
.
Reader baru?
Cerita Liam dan Yumi ada di "Gadis Gendut Milik Sang Idola"
Terima kasih yang sudah mampir.
Dukung othor dengan like dan komen di bab ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!