NovelToon NovelToon

ANKOT JAKARTA

ANKOT Satu

Sepulang sekolah waktu itu, aku langsung membanting tas, menyalakan AC, dan tertidur tanpa melepaskan seragam. Nanti saja urusan dimarah Mama, aku ingin beristirahat setelah di hajar habis-habisan pada jam olahraga.

Sial, ponsel disaku berbunyi, Dengan malas aku mengangkatnya, tanpa melihat siapa yang menelfon.

"Kenapa?"

Alih-alih menyapa aku langsung pada intinya.

"Yang sopan sama Mama"

Suara Mama membuatku bangkit, membuka mata sambil menatap nama yang memanggil. Itu Clara mamaku.

"He he aku kira si Kayla Ma?" aku nyengir, benar-benar merasa terkutuk mulut ini

"Kamu buruan ke sini, Mama udah share lokasinya, ada yang mau Mama omongin" suara Mama terdengar mengalun

Aku merasa dejavu, teringat kisah yang sering aku baca. Mama gak mau jodohin aku kan? Meskipun sama CEO atau sama ketua osis. Lebih parah lagi sama siswa bad boy di sekolah atau dengan good boy sekalipun. Tidak aku tidak ingin itu terjadi.

"Mama gak bakal ngejodohin Vanda kan?"

Aku mengatakan itu karena tadi siang sempat membaca cuplikan novel romance seputar perjodohan.

"Ada-ada aja kamu, kamu kan masih sekolah mana bisa Mama maen jodohin kamu gitu aja" suara Mama terdengar meninggi

"Udah buruan sini"

Mama menutup panggilan begitu saja. Terserah-lah. Yang penting aku harus buru-buru pergi sebelum Mama marah-marah.

Sekitar empat puluh menit kemudian aku sampai direstoran daerah Kemang. Mengenakan dres selutut dan rambut digerai, aku tersenyum tipis saat melihat Mama dan Papa duduk di meja dekat jendela.

"Vanda udah dipesenin makan belom?" tanyaku

Mama menoleh, Papa ikut menoleh. Wajah keduanya menunjukan bahwa ada sesuatu yang serius.

"Apa?" tanya ku

Papa berdehem sejenak, menarik napas lalu bersiap memulainya.

"Papa bakal dipindahin tugas," ujarnya.

"Oh," aku hanya menanggapi dengan santai. Toh untuk seorang polisi, pindah tugas bukan sebuah masalah besar. Aku melanjutkan makan. Melahap spaghetti tanpa selera menanggapi Papa.

"Papa akan di-pindahkan ke daerah Palembang. Agak jauh dari kota, di desa," tuturnya

Aku masih menggangguk, "Terus?" akhirnya aku mendongak ,menatap wajah serius seorang abdi negara.

"Mungkin Papa akan tinggal disana selamanya," ujar Papa.

Jujur kalimat itu sedikit menghantam-ku. Maksudku, kenapa bisa selamanya? Memangnya ada apa?

"Bukannya Papa disini udah dapet pangkat yang bagus ya?, Kok main di pindahin gitu aja?," aku masih belum paham malam itu

"Papa gak bisa ngejelasin masalah ini, yang jelas kamu sama Mama akan ikut Papa"

Serius, ini lebih menghebohkan dari perceraian Song Hye Kyo dengan Song Joong Ki. Aku ternganga, kehilangan selera makan.

"Kenapa?," Hanya itu kalimat yang bisa aku keluarkan. Jujur, aku benar benar syok.

"Karena Papa gak akan bisa ngejaga kalian kalau kalian tetap di Jakarta," ujar Papa.

Saat aku melihat ke arah Mama, seperti dia benar-benar kecewa dengan suaminya yang bernama Abimayu itu. Aku juga sama kecewanya seperti Mama saat ini.

"Vanda gak mau,"

Aku langsung meminum air, tidak ingin meneruskan makan-ku atau menatap wajah Papa.

"Sayang. Mengertilah Papa, Papa gak bisa hidup tanpa kalian," jelas Papa.

"Kalau Papa dipindahin tugas, yaudah. Papa kesana aja sendiri. Kami bisa jaga diri kok, ya gak ma?,"

Aku meminta persetujuan Mama, berharap wanita di sampingku itu mengangguk dan berharap agar Papa pasrah membujuk kami pindah rumah.

Tapi sampai detik ketiga Mama masih diam saja. Justru tatapannya terarah pada gelas.

"Ma," aku menggoyangkan tangan Mama. Tidak ada reaksi, wanita itu masih  saja diam.

"Vanda," suara berat Papa justru yang menyahut "Mama kamu udah setuju sama masalah ini,"

Kalimat Papa benar-benar membuatku runtuh. Kenapa ? Aku tidak ingin pindah kemana-mana, membayangkan jauh dari Jakarta saja aku tidak bisa. Tanpa mall, tanpa kafe tanpa, tanpa, ahh aku membenci pikiranku itu.

"Vanda gak mau Pa, Vanda gak mau pindah," aku tetap keukeuh.

Selain tak mau harus meninggalkan kota ini, aku juga tak mau harus meninggalkan Ajil, pacarku.

"Kalau kamu gak mau, kamu mau tinggal sama siapa disini?,"

Kali ini suara Mama terdengar mengecewakan. Aku tidak mempercayai semua hal disini, termasuk kepindahan tugas Papa secara tiba-tiba. Bahkan sampai sekarang pun aku masih belum paham.

"Vanda bisa nge-kost disini, pokok ya Vanda gak mau pindah,"

Aku masih menolak, tidak apa-apa jika nantinya aku kos disini. Tidak masalah asal aku tidak pergi dari kemewahan Jakarta.

"Vanda," Mama membentak. Untuk pertama kalinya bagiku.

"Kamu anak perempuan. Tinggal jauh di Jakarta sendirian akan jadi apa nantinya?"

Aku menggeleng, kali ini bersama dengan air mata yang mengalir. Aku tidak mau, pokoknya tidak mau.

"Enggak. Vanda gak mau"

Pergi. Itu solusi untuk situasi-ku saat ini. Aku ingin pergi saat itu, asal tidak jauh dari Jakarta. Rasanya ini duniaku. Dan punya hak apa orang tuaku atas hidupku?.

ANKOT Dua

Setelah semalaman harus menelan rasa kecewa, dengan mata bengkak, aku berjalan menyusuri lorong sekolah. Membanting tas ketika berada di kelas, menyembunyikan wajah di antara telapak tangan.

"Eh kenapa lo?" suara Kayla terdengar ditelinga.

Aku langsung mendongak, memeluknya dan menumpahkan tangis.

"Papa dipindahin tugas," mungkin hari itu suara ku sangat kencang, sampai teman sekelas langsung mengalihkan arah fokus.

"Kok bisa?,"

"Gak tau, dan gue harus ikut Papa tinggal jauh ditempat yang gue gak tau,"

Itu suara paling berat yang pernah aku ucapkan, hampir mencekik leher. Kayla melepaskan pelukan, menyeka air mataku.

"Jadi elo bakal pindah sekolah?,"

Aku menggeleng, bersamaan dengan itu Ajil masuk kedalam kelas sambil membawa kotak bekal.

"Siapa yang pindah?,"

Sepertinya saat itu dia mendengar pembicaraan kami. Aku berusaha menyembunyikan fakta ini, nyatanya berbohong dengan Ajil hal sia-sia.

"Vanda," kata Kayla.

"Kamu kenapa mau pindah beb?,"

Kayla dan Ajil merubah posisi, kali ini Ajil mengelus punggungku, berusaha menyalurkan kekuatan dari elusan nya.

"Papa pindah tugas,"

Ajil sepertinya shok mendengar kabar ini. Dia bahkan mencengkram ujung meja, aku melihatnya waktu itu. Dan yang dia lakukan selanjutnya adalah pergi. Pergi meninggalkan aku dikelas yang semakin terisak.

Sepertinya, keputusan Papa pindah benar-benar dia lakukan, sore ini tiba-tiba wali kelasku masuk ke kelas. Menyampaikan perpisahan padaku, dan mengatakan berkas sudah diurus. Besok Papa akan berangkat, jujur saat itu aku menangis hebat di depan kelas.

Mereka fikir aku menangis karena berpisah dengan mereka, itu memang sepenuhnya benar, tapi sisanya aku tidak mau pergi dari Jakarta. Jakarta sudah menjadi dunia ku.

Kayla menangis saat itu, Ajil berdiri didekat pintu, setelah bel pulang sekolah, teman-teman langsung memelukku, menyampaikan perpisahan yang manis, ada juga yang memberikan kenang kenangan. Ketika kelas sepi dan hanya ada Kayla dengan Ajil, elaki itu berjalan mendekat, memelukku, seperti pelukan yang benar-benar takut kehilangan.

"Maafin aku,"

Kalimat itu yang mampu aku berikan pada Ajil, selebihnya seluruh kalimat seperti tercekat diantara kerongkongan.

Hari itu hari terburuk disepanjang hidup. Ajil mengantarkan pulang, kami tidak sempat jalan-jalan ke mall, nongkrong atau sekedar berpisah. Selama perjalanan, aku lingkarkan tangan dengan erat  di pinggangnya, motor melaju dengan pelan, hampir pelan sekali. Mungkin aku akan sampai di rumah ketika adzan magrib.

Kami tidak banyak bicara, membiarkan waktu berhenti sebentar. Sampai didepan rumah, ternyata Papa sudah mengemasi barang barang, aku melapaskan helm, memberikannya pada Ajil.

"Kabari aku ya, jangan sampai kita kehilangan komunikasi," pesannya.

Ajil pergi setelah mencubit pipiku, dia melenggang pergi meninggalkan aku dengan rasa sakit yang menjalar.

Tidak banyak yang aku lakukan, seperti murung diri di kamar, menangis dan merasa benar-benar kecewa. Besok kami sekeluarga akan pindah rumah. Mungkin aku tidak akan kembali ke Jakarta, tapi aku akan memastikan untuk kembali ke Jakarta lagi, pasti.

🚕🚕🚕

Kami tidak naik pesawat saat itu, hanya melintasi toll arah Lampung. Setelahnya masuk ke perbatasan antara lampung dan Pematang (Palembang), jalanan sudah berlobang-lobang, aku kecewa.

Ketika mobil berbelok kearah kiri, aku menyipitkan mata.

"Pa, berapa jarak rumah yang Papa beli dari sini?,"

Aku mencondongkan diri, merasa was-was kalau-kalau rumah yang ku tinggali masih hutan belantara.

"Sejam lagi,"

Aku masih menilik kearah kanan dan kiri, jalan berbatuan membuat mobil tergoncang. Bahkan aku ingin mutah saat jalan tidak stabil sepeti ini, mobil kesulitan melaju dengan kencang, lama, lama sekali.Di sekelilingku masih ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan ini terlihat seperti hutan. Rumah pendudukan yang kecil dengan altar luas, bentuk tidak dinamis serta beberapa anak kecil yang tengah bermain pasir.

Bermain seperti anak-anak itu tidak pernah aku lakukan sebelumnya, mengecek ponsel pun percuma, sinyal sangat sedikit, bahkan saat mengkonfirgurasi ke dalam data seluler media sosial sangat sulit di gunakan.

kubu, kalimat itu menggambarkan kondisi saat ini. Baiklah, aku menarik nafas, mengembuskan perlahan. Sekitar sejam setengah kami sampai dirumah dengan latar luas, pohon mangga serta beberapa rumah tetangga yang sama dengan rumah ku. Sebenarnya aku ingin mengatakan ini, tidak ada mini market yang ku temui sejak tadi, hanya ada warung kecil-kecilan, butik kecil yang terletak tidak jauh dengan rumah.

Aku keluar, menoleh kekanan kiri sambil menggantungkan tas di bahu. Mobil yang mengantarkan barang juga sudah sampai.

Meski rumahnya cukup bagus tapi aku merasakan aura tidak nyaman tinggal disini. Sepi, sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas didepan. Anak-anak kecil bermain bola di samping rumah, ibu-ibu tengah duduk bercengkrama menggunakan daster. Serta ada bapak bapak yang tengah memotong kayu.

Aku tidak terlalu paham apa yang sedang dilakukan dua ibu-ibu itu. Mereka tampak memeriksa kepala ibu yang duduk di depannya. Sudahlah memikirkan keadaan daerah ini, aku benar benar pusing.

ANKOT Tiga

"Pa minjem HP"

Aku membanting tubuh di atas sofa, Papa melirik sekilas, menyesap kopi hangatnya.

"Hp mu kemana ?,"

"Papa kan tahu disini gak ada sinyal,"

Aku berdecak berulang-ulang, melipat tangan di dada, memutar bola mata malas. Papa memberikan ponselnya.

"Jangan lama lama, nanti om Adi nelfon,"

"Iya,"

Selepas itu aku pergi keatas kamar, dimana kamar yang sudah di rapikan oleh mama. Mendial nomor Ajil, ponsel anak itu tidak aktif, entahlah kemana perginya. Aku mendegus, mengirimi gambar rumah rumah dari jendela kepada Kayla. Tidak ada balasan dari anak itu.

"Vanda,"

Tiba-tiba Mama membuka pintu tanpa mengetuknya. Dia memberikan seragam SMA, seragam SMA yang digunakan anak-anak SMA normal. Bukan seperti SMA ku dulu, di mana rok kotak-kotak dengan balutan rompi.

Putih abu-abu itu hanya ku pandang tanpa mau menerimanya, aku memiringkan tubuh ke kanan, membelakangi Mama.

"Ini baju buat kamu sekolah besok,"

Aku bangkit saat mendengar kata besok. Mataku hampir membulat sempurna.

"Vanda gak mau sekolah Ma," teriakku.

"Kalau gak mau sekolah kamu mau jadi apa?,"

Aku merampas dengan kasar seragam itu, ku banting disamping dan menenggelamkan diri diatas kasur. Entahlah aku rasa semua akan hancur sampai disini, tidak ada bunyi klakson malam-malam ku, hanya bunyi angin yang berhembus dan hewan yang berbunyi nyaring.

🚕🚕🚕

Sekitar pukul delapan lebih lima belas menit aku baru saja bangun, menggandeng seragam lama dan tas ransel. Mama yang ada di meja makan langsung menoleh, aku yakin sebentar lagi bom waktu Mama akan segera meledak.

"Mau berangkat pa?," Tanya ku pada Papa saat keluar kamar dengan seragam polisinya.

Papa hanya berdehem sekilas, sepertinya tidak terlalu memperhatikanku.

"Seragam barumu mana?," Tanya Mama begitu aku duduk di kursi.

Aku tidak selera menyahut, mengambil nasi goreng dan memakannya.

"Vanda," panggil Mama dengan nada menaik.

"Apa sih Ma?," Aku hampir berdecak, kalau tidak ingat ini Mama ku, mungkin aku benar-benar bedecak.

"Seragam baru mu mana?," Tanya Mama dengan nada menaik.

Aku memutar bola mata "Di kamar," jawabku santai.

"Mama kan udah bilang, pakai seragam baru kamu,"

"Ma, aku kan siswa baru, gak papa lagi gak pakek seragam sekolahannya, "

Dengan malas aku meletakkan sendok diatas piring.

"Pa, buruan," teriakku tak sabaran.

Papa tersedak, tapi entahlah, kenapa Papa begitu menurut padaku, mungkin dia merasa bersalah atas perpindahan dadakan ini.

Kami pergi ke sekolahan menggunakan mobil Papa, ada tiga puluh menitan perjalanan kami. Karena jalannya berlubang, kami kesulitan untuk mengebut. Sudahlah, bukan masalah, toh ini hari pertama aku sekolah.

"Vanda, udah sampe," Papa menyadarkanku dari lamunan.

Aku menoleh, jujur aku syok. Sekolahan ku tidak terlihat seperti sekolahan ku dulu. Bahkan jauh berbeda, halaman gersang tanpa tumbuhan atau sebuat saja taman. Cat warna kuning muda yang sudah mulai luntur.

"Papa serius?," Tanya ku hampir membentak kala Papa membelokkan mobilnya kearah sekolahan

Papa tidak menjawab, dia membunyikan klakson dan menyapa siswa yang menjaga gerbang. Heran deh kenapa siswa yang di suruh jaga gerbang bukannya satpam.

Mobil kami terus melaju sampai diparkiran tamu. Aku rasa sih ini parkiran khusus guru, hanya ada satu buah mobil itupun plat dinas. Aku tebak, ini mobil kepala sekolahnya.

Aku dan Papa keluar dari mobil, tas ransel kugantungkan dibahu. Mengikuti langkah Papa dari belakang sepertinya pilihan bagus.

Hanya ada beberapa siswa-siswi yang berlalu lalang, mungkin karena jam sudah setengah sembilan jadi banyak siswa-siswi yang belajar dikelas masing-masing.

"Pa, Vanda gak mau sekolah di sini," bisikku pelan.

"Jadi kamu mau sekolah di mana?," Tanya Papa juga ikut berbisik

"Dimana aja deh, yang penting gak disini,"

Papa tidak lagi menjawab ucapanku, dia tersenyum kearah lelaki dengan tubuh gemuk yang mengenakan seragam dinasnya.

"Siang pak Abimanyu," sapa lelaki yang bername tag Nafion.

"Siang pak Nafion," sapa Papa .

Aku ikut tersenyum, menyalami lelaki didepan ku yang entah sebagai guru, staf atau kepala sekolah. Aku tersenyum meski sejujurnya sedikit terpaksa, garis bawah terpaksa

"Jadi ini anakmu?," Tanyanya

"Iya, ini Vanda yang akan saya sekolahkan disini," Papa memperkenalkan ku dengan bangga.

"Ha ha ha mari ngobrol diruangan saya," ajaknya.

Kami berjalan mengikuti pak Nafion dari belakang, memasuki ruangan kepala sekolah yang menyimpan beberapa piala di dalam etalase. Tidak terlalu ku perhatikan karena sekolahan ku sebelumnya memiliki piala yang dipajang di koridor utama.

Di dinding ada foto dewan guru yang berjejer rapi, beberapa foto pak Nafion selama menerima penghargaan.

"Vanda, dulu kamu kelas berapa?," Tanya pak Nafion mengagetkan.

Aku menatapnya "Eh" ujarku terjingkat "Kelas dua IPA pak,"

"Bapak dengar kamu cukup berprestasi disekolahmu dulu?" tanya pak Nafion sambil membolak-balikan kertas diatas meja.

Aku memggangguk "Gak terlalu," jawabku tidak mau sombong.

"Papa kamu sudah mendaftarkan sekolah disini tiga hari yang lalu, bahkan sudah mengurus semua keperluan," tukas pak Nafion tersenyum cerah "Kami juga sudah menyiapkan di kelas mana kamu akan belajar nantinya,"

Aku mengangguk lagi. Memangnya selain itu apa lagi yang bisa ku perbuat. Aku sudah pasrah, mungkin ketika aku memasuki desa gelap ini.

"Semoga kamu betah sekolah sini," kata pak Nafion

Sebenarnya aku ingin menjawab "semoga saja, tapi aku tidak yakin" aku tidak tega saja mengatakan itu didepan papa, jadi aku menjawabnya "Iya pasti"

"Kamu boleh pergi, nanti akan ada siswa yang mengantarkan kamu ke kelas," ujarnya.

Maksudnya aku gak diantar sampe kekelas, biasanya kan ada guru yang mengantarkan siswa baru ke kelas.

Lagi lagi aku mengangguk, bersalaman dengan pak Nafion dan Papa, sepertinya mereka akan mengobrolkan banyak hal.

Sampai diluar, aku mengeluarkan kipas mini. Meletakkan dibawah dagu. Panasnya memang tidak sepanas Jakarta tapi udaranya membuatku tidak nyaman. Apalagi melihat lapangan luas tanpa kramik, hanya tanah menghampar di lapangan, ada dua ring di sisi kanan dan kiri.

Aku menghela nafas, haruskah seperti ini menjadi anak polisi. Seseorang menepuk bahu ku, aku menoleh dan yang terjadi selanjutnya diluar dugaan ku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!