"Apa maksudnya Yah?" Air mata mengucur deras di pelupuk mata Melati tatkala Ayahnya mengenalkan Ibu baru padanya.
Yang membuatnya terkejut ialah ternyata Ayahnya juga memberi seorang adik yang telah berusia beberapa bulan. Padahal baru saja ia kehilangan sang Ibu kandung untuk selamanya.
Bundanya yang bernama Sharah sempat koma selama satu setengah tahun. Dengan segala usaha dan doa yang dilakukan oleh keluarganya untuk kesembuhan sang Ibu tercinta, namun takdir berkata lain. Tuhan menjemputnya 2 bulan yang lalu.
Itu artinya selama wanita yang telah melahirkannya terbaring lemah di rumah sakit, Ayahnya telah mengkhianatinya. Pantas saja sang Ayah jarang menemaninya untuk merawat Sharah karena alasan untuk bekerja lebih keras lagi.
Tapi nyatanya yang berada di hadapannya kini telah menjawab semua pertanyaan yang ia simpan selama ini.
"Nak, terima atau tidak dia tetap Ibu sambungmu. Apalagi dia juga memberimu adik. Bukankah selama ini kamu mendambakan seorang adik?" Tutur lembut Ayahnya namun membuat Melati benar-benar marah pada Ayahnya.
"Yah harus berapa kali aku katakan aku itu masih belum bisa menerima Bunda meninggal. Tapi ini Ayah justru mengenalkan dia sebagai Ibu aku?" Serunya dengan nada lirih karena sesak menghimpit di dadanya.
Melati terus menggeleng berharap semua ini hanyalah mimpi. Namun naas semua yang ada di hadapannya adalah nyata. Pertahanannya runtuh, ia tak dapat menopang berat tubuhnya. Hilang sudah kesadarannya.
Mina wanita yang sudah menjadi Ibu sambung Melati meski belum dianggap oleh Melati pun menjadi cemas. Begitu juga Ikhsan Ayah kandung Melati.
Segera saja Ikhsan mengangkat sang putri tercinta membawanya menuju kamar sang empu. Sedangkan Mina ia langsung menelfon seorang dokter.
Tak lama dokter datang dan memeriksa keadaan Melati. Dokter mengatakan bahwa keadaan Melati tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia hanya syok.
Ikhsan dan Mina yang mendengarnya pun menjadi lega. Namun, tetap saja gurat kekhawatiran nampak di wajah keduanya. Entah apa yang terjadi setelah Melati sadar. Melati pasti masih kecewa pada keadaan ini.
Kala mereka masih sibuk dengan pemikiran masing-masing, suara tangisan Husein memecah keheningan sesaat itu. Hampir saja mereka melupakan keberadaan Husein.
"Dek, kamu susulin itu Husein. Melati biar Mas saja yang urus." Ucap Ikhsan pada Mina.
"Iya Mas." Mina berlalu meninggalkan ruangan itu. Tersisa Ikhsan, Melati dan sang dokter.
"Ya sudah kalau begitu saya permisi dulu ya Pak Ikhsan. Yang pasti hindarkan segala sesuatu yang membuat Melati stress. Bisa saja nantinya itu membuat tubuhnya drop." Ujar dokter pada Ikhsan yang tengah duduk di samping putrinya.
"Iya dok, terimakasih mari saya antar." Ikhsan pun beranjak dari duduknya dan sesuai perkataannya ia mengantar sang dokter sampai depan rumahnya.
POV Melati
Seperti biasa setelah aku pulang sekolah. Aku akan langsung pulang ke rumah dan segera bersiap-siap menuju rumah sakit. Ya, tempat dimana Ibuku di rawat selama satu tahun ini.
Dengan telaten aku merawat wanita yang paling kucintai ini. Bergantian juga dengan Kakakku Alif yang terpaut 2 tahun. Saat ini aku masih duduk di bangku SMP kelas 2.
Ayahku memang beberapa kali menemani Bundaku. Namun tak sesering aku dan Kak Alif. Lagipula aku juga sering melihat wajah lelah Ayahku ketika pulang kerja. Aku yakin pasti ia juga memiliki banyak pikiran. Memiliki dua orang anak yang harus ia biayai pendidikannya. Lalu, Ibuku yang saat ini tengah berjuang untuk kesembuhannya.
Namun, ada yang aneh akhir-akhir ini. Ia sering mendapatkan telepon entah dari siapa. Setelahnya, wajahnya berubah menjadi sangat cemas. Aku tak tau itu dari siapa.
Ayahku langsung pamit begitu saja padaku. Dan setelah itu ia tak pulang selama beberapa hari. Bahkan di rumah ia hanya 1 sampai 2 hari dalam seminggu.
Aku terus bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Ayah. Namun, kutepiskan segala pikiran negatifku tatkala Kakakku Alif menyimpulkan bahwa Ayah tengah bekerja lebih keras lagi karena keadaan yang memang saat ini membutuhkan biaya yang lebih.
Tak terasa sudah satu setengah tahun Bundaku masih terbaring lemah di rumah sakit. Aku yang notabenenya hanya seorang pelajar hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya.
Namun bagai dihantam beribu tombak menusuk relung hatiku ketika dokter mengatakan bahwa Ibuku telah menghembuskan nafas terakhirnya. Begitu juga dengan seluruh keluargaku. Mereka sangat terpukul atas apa yang menimpa kami.
Berhari-hari aku diam saja tak keluar dari kamarku. Ayah dan Kakakku selalu membujukku untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Ayah maupun Kakakku juga sering membawakan makanan untukku.
2 Minggu lamanya aku terus mengurung diriku. Mengingat segala kenangan indah bersama Ibuku. Namun ketika aku mendengar penuturan dari Kak Alif bahwa Ayah sakit, membuatku menjadi merasa bersalah.
Jelas Ayahku yang paling merasa sedih. Ia yang lebih lama mendampingi Bundaku dalam suka maupun duka. Belum lagi tanggung jawab yang ia pikul juga berat. Pastilah ia merasa sangat lelah karena semuanya.
Keegoisan dalam diriku pun akhirnya runtuh. Dulu Ayahku yang merawat dengan segenap hatinya, kini bergantian akulah yang merawatnya bersama Kak Alif.
Makin hari keadaan Ayahku membaik. Kesedihan yang kami rasakan pun sudah tak terlalu terasa. Terutama aku sendiri sudah benar-benar mengikhlaskan kepergian Ibuku, meski ingatanku tentang Ibuku masih terpatri sangat jelas di hatiku.
Ketika aku mulai merindukan aku lebih memilih mengirimkannya doa. Begitu juga dengan Kakakku, karena memang itu adalah saran dari Kakakku. Tak jarang kami pergi berziarah ke makam Bunda kami.
Sekarang kami semua sudah terbiasa dengan ketidakhadiran Bunda Sharah. Aku mulai melakukan aktivitasku seperti biasa juga lainnya.
Tak terasa sudah 2 bulan Bunda meninggalkan kami. Aku dan Kak Alif berniat untuk mengunjungi Ibuku ke makamnya. Ayah sudah beberapa hari tak ada di rumah, hal itu sudah terbiasa untuk aku dan Kak Alif.
Kepergian Bunda menjadikan kami sebagai anak yang semakin mandiri. Karena semenjak dari Bunda masih di rawat di RS dahulu, Ayah tak lagi memperkerjakan art.
"Udah siap dek?" Tanya Kak Alif padaku saat aku turun dari tangga.
"Udah Kak ayo.." Aku menghampirinya dan keluar menuju depan rumah.
Kak Alif mulai menghidupkan motornya menuju ke tempat tujuan.
*****
Kak Alif langsung pergi lagi setelah kami pulang dari makam. Ia mengatakan bahwa ada sesuatu yang penting mengharuskan ia pergi. Aku pun mengiyakan perkataannya. Toh aku juga sering sendirian di rumah.
Aku melangkahkan kakiku menuju rumahku. Dahiku mengernyit saat melihat sebuah mobil hitam. Kuyakini bahwa itu milik Ayah. Namun, bukankah Ayah mengatakan masih dua hari ia berpergian. Tapi kenapa sudah kembali. Dengan santai aku membuka kenop pintu.
Lagi-lagi aku dibuat bingung dengan keadaan yang ada di rumah. Ada seorang wanita tengah bercengkrama ria dengan seorang anak kecil di sofa ruangan tamu.
Dengan ragu aku mengucapkan salam. Ah, hampir saja kau lupa untuk itu. "Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam" wanita itu menoleh dan tersenyum ramah padaku. Namun, tetap saja aku tak mengerti. Ya karena memang aku belum mengenalnya.
Sebenarnya siapa wanita itu? Tanyaku dalam hati.
Aku membalas senyumnya dan menghampirinya. "Maaf Tan, Tante ini siapa ya?" Meski canggung aku tetap mencium punggung tangan wanita ini.
Dapat kulihat bahwa dia sangat menyukai sikapku. Ya, karena memang Ibuku yang mengajari untuk selalu menyalami orang yang lebih tua.
Namun, setelah aku melepaskan tanganku dapat kulihat wajah gugupnya yang berusaha ia sembunyikan dengan senyumnya. Aku tak mengerti kenapa.
"Maaf Tan, apa saya mengenal Tante atau Tante mengenal saya, atau juga mengenal Ayahku?" Tanyaku sekali lagi.
"Dia Ibu barumu sayang..!"
Deg
Suara itu, aku benar-benar mengenalnya. Dia adalah Ayahku. Ia menghampiri aku dan wanita ini. Namun yang membuatku terkejut adalah perkataannya, Ibu baru? Apa maksudnya ini.
"Kenapa Ayah berkata seperti itu Yah?" Tanyaku lirih dan derai air mataku mulai menetes dengan sendirinya. Lalu, ku tatap kembali wajah yang ada di hadapanku. Ia hanya menunduk.
"Ayah sudah menikah dengannya, dan lihat ini adalah adikmu." Ayah memperlihatkan bayi yang tadi di gendongan wanita itu.
Deg
Lagi-lagi aku dibuat tercengang oleh perkataannya. Ayah sudah menikah?, Dan memiliki anak lagi padahal baru 2 bulan Bunda meninggalkan dunia ini.
Apa Ayah secara tidak langsung mengatakan bahwa ia selingkuh. Aku beralih menatap ke arah lain. Tak sanggup rasanya aku menerima kenyataan ini. Semua pemikiran negatif tentang Ayahku mulai menghantui pikiranku.
"Kenapa Yah?, Meski aku saat ini sudah mulai menerima kenyataan Bunda sudah tidak bisa menemani kita bukan berarti aku sudah melupakannya. Tapi kenapa Ayah justru dengan mudah mencari Ibu sambung buat aku Yah?" Ucapku berapi-api di hadapan Ayah.
Dapat aku lihat keterkejutan di wajah Ayahku. Tentu saja, baru kali ini aku berbicara dengan nada tinggi di hadapannya. Wajah yang tadi berbinar ketika memperkenalkan bayinya kini berubah menjadi sendu. Ia hanya menunduk tak menjawab pertanyaanku.
"Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggap dia sebagai Ibuku. Dia hanyalah wanita penghancur hidup orang lain." Aku menunjuk wanita itu.
Wajah wanita itu yang tadinya menunduk kini mengangkat wajahnya dan memandangku dengan mata yang berkaca-kaca, cih apa pedulinya aku, begitu juga Ayahku.
"Terserah apa kata kamu saat ini Mela, yang pasti dia akan tinggal disini bersama Husein. Dia sudah manjadi bagian dari keluarga kita"
Deg
"Apa maksudnya Yah?" Semaki deras air mata yang mengalir dari pelupuk mataku.
"Nak, terima atau tidak dia tetap Ibu sambungmu. Apalagi dia juga memberimu Adik. Bukankah selama ini kamu mendambakan seorang Adik?" Tutur lembut Ayahku namun membuat aku benar-benar marah padanya.
Apa tadi, Adik?. Aku tersenyum miris. Memang dari dulu aku menginginkan Adik namun dari Bundaku Sharah bukan dari wanita lain.
"Yah harus berapa kali aku katakan aku itu masih belum bisa menerima Bunda meninggal. Tapi ini Ayah justru kenalin dia sebagai Ibu aku?" Seruku dengan nada lirih menahan sesak menghimpit di dadaku.
Perlahan pandanganku kabur mulai kosong dan menghitam. Tubuhku benar-benar terasa berat. Aku mulai merasa tak dapat melihat apapun.
***
Author POV
Alif baru saja sampai di rumahnya.
"Assalamu'alaikum.." Ucapnya sembari membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam." Dahinya mengkerut mendengar suara wanita asing. Ia paham betul suara adiknya.
Langsung saja ia masuk dan hal yang pertama kali ia lihat benar-benar membuatnya bingung.
Siapa dia?, Kenapa dia ada di sini?, Dimana Ayah dan Melati?, Begitu banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya kala melihat wanita asing berpakaian syar'i tengah menggendong seorang bayi.
"Dek, bagaimana Husein? Sudah tidak rewelkan?" Suara Ikhsan yang tiba-tiba muncul dari sebuah ruangan yang berada di samping wanita itu mengejutkan Alif.
Apa?, Dek?, Memangnya Ayah punya adik?, Lagi-lagi Alif tak mengerti apa yang tengah terjadi di hadapannya.
"Ayah.." Panggilnya menghampiri Ikhsan.
Terlihat wajah terkejut terpampang di wajah sosok yang dipanggil Ayah itu.
"Nak kamu darimana saja, kenapa waktu Ayah pulang kamu tak ada di rumah?" Tanya Ikhsan pada putranya seraya mengulurkan tangannya untuk dicium Alif.
"Dari rumah temen Yah." Jawab Alif.
"Ini siapa ya Yah?" Alif menatap wanita di samping Ayahnya.
"Ouh ini.., dia..dia .." Jawab Ikhsan terbata. Alif masih menunggu jawaban dari Ayahnya ini. Sejenak ia memandang Mina yang sedari tadi terdiam menggendong anaknya.
"Nak apa boleh kau ikut Ayah sebentar, Ayah akan menjelaskan semuanya." Ikhsan menggenggam sulungnya itu.
Alif masih dilanda kebingungan. Kenapa Ayahnya begitu gugup saat ini.
"Baiklah Ayah. Aku akan ikut Ayah." Pasrah Alif.
Ikhsan menatap Mina, Mina yang mengerti pun mengangguk. Ikhsan tersenyum lalu beralih menatap Alif.
"Ayo Nak." Ajaknya pada putranya. Lalu Alif pun mengikuti Ayahnya.
Ikhsan mengajak putranya menuju sebuah taman di belakang rumahnya. Ini adalah tempat yang paling banyak menyimpan memori indah antara Ikhsan dan Sharah. Karena biasanya ketika ada waktu senggang mereka menghabiskan waktu mereka berdua di sini.
Yang terkadang Sharah menyenderkan kepalanya di bahu suami atau Ikhsan yang merebahkan kepalanya di pengakuan Sharah, lalu membelai lembut kepalanya. Bercengkrama ria dan menikmati dua cangkir kopi.
Ikhsan sering mengajak Sharah untuk pergi keluar untuk sekedar menikmati waktu mereka. Namun, Sharah di manapun dia berada asalkan bersama suaminya maka semua akan indah. Akhirnya Ikhsan membuat sebuah taman di belakang rumahnya.
Seketika air mata Ikhsan menetes mengingat semuanya. Dengan segera ia hapus air mata, sebab ada putranya di belakangnya.
Mereka duduk berdampingan di sebuah kursi yang biasanya Ikhsan gunakan untuk ia bersama istrinya.
"Nak.." Ucapnya ragu menatap dalam manik mata anaknya. Apakah ia harus jujur padanya. Usianya juga sudah 18 tahun.
Dari pengalaman yang ia alami, ia sendiri juga sebenarnya ingin mengajarkan sesuatu pada putranya. Namun, bila ia ingat sendiri ia juga sebenarnya malu untuk menceritakan semuanya. Apakah keputusannya sudah benar.
***
Flashback
Hati Ikhsan begitu sakit ketika mengetahui bahwa istri tercintanya kecelakaan. Apalagi karena ini mengakibatkan ia kehilangan anak yang tengah berada di rahim istrinya dan kerusakan pada otak istrinya yang menyebabkan koma.
Dua bulan sudah istrinya belum tersadar dari komanya. Pekerjaannya yang seorang manajemen keuangan di suatu perusahaan membuatnya kesulitan dalam membiayai pengobatan istrinya. Semua yang ia miliki tabungan maupun asetnya telah ia jual kecuali rumah.
Karena pikirannya yang kalut akan keadaan istri dan mencari biaya, kesalahan dalam mengelola data perusahaan pun terjadi hingga menyebabkan kerugian dan ia dipecat. Cukup kehilangan anak dalam kandungan Sharah ia tak mau lagi kehilangan ibu dari anaknya. Ia berusaha mencari pekerjaan kesana-kemari.
2 Minggu sudah ia mencari pekerjaan namun tetap saja ia tak mendapatkannya. Ia juga sempat meminjam dana pada teman-temannya, namun semakin lama ia tak mendapat pekerjaan semakin menambah juga tanggungan biaya perawatan istrinya.
Merasa putus asa ia sempat diajak temannya untuk menenangkan diri di sebuah bar. Tentu saja ia menolak, karena tempat itu tempatnya para maksiat berkumpul. Ia tak ingin menjadi bagian dari mereka.
Namun, temannya meyakinkan bahwa tempat itu bisa membuatnya sedikit menenangkan pikirannya. Ikhsan juga tak perlu meminum-minuman yang ada di bar. Jika ia ingin cukup memesan minuman tak beralkohol.
Dengan segala bujukan dan rayuan dari temannya, akhirnya Ikhsan pun mau memasuki tempat itu. Jujur dari pertama melihat tempat itu saja ia sudah tak merasa nyaman, apalagi dentum musik yang terdengar begitu keras memekik pendengarannya.
Temannya terus saja membujuknya, ia pun mengiyakan ajakan teman dekatnya itu. Tak ada ketenangan sama sekali di tempat itu, dirinya sudah pusing dengan pemandangan serta alunan musiknya.
Awalnya ia memang hanya memesan minuman tanpa alkohol. Namun, entah karena kesialan atau lainnya ia begitu ceroboh salah mengambil minuman. Dirinya yang sudah pusing tak bisa membedakan mana alkohol dan tidak. Hingga ia meminumnya dan kehilangan kesadarannya.
Temannya yang melihatnya begitu terkejut, ia juga menyesali perbuatannya. Ia sendiri juga sebenarnya sedang patah hati. Dia yang telah biasa meminum minuman alkohol berusaha mencari teman untuk pergi ke bar.
Ia memutuskan untuk membawanya pergi ke apartemen tempat ia menginap. Karena ia tau bagaimana keadaan anak-anak Ikhsan. Ia tak ingin memberi contoh yang tak baik pada mereka.
Ketika tengah membawa Ikhsan menuju ruangan apartemennya, tanpa ia sadari bahwa seseorang melihatnya dan tersenyum sinis.
Karena menerima panggilan dari orang tuanya yang menginginkan ia pulang ke rumahnya ia pun meninggalkan ia sendiri. Entah karena temannya itu lupa atau memang ceroboh ia lupa mengunci pintu.
***
Kepala Ikhsan benar-benar terasa berat sekali. Matanya berusaha menelisik dimana ia sekarang. Ia benar-benar tak mengenali ruangan ini.
Alangkah terkejutnya ia mendapati dirinya bersama dengan seorang wanita dalam selimut yang sama. Wanita itu masih terlelap dalam tidurnya. Ia benar-benar membenci wanita itu. Segera saja ia bangun dan mengenakan busananya.
"Hei bangun..!" Ikhsan menepuk-nepuk bahu perempuan itu dengan agak keras.
"Em.." Wanita itu mengerang dan mengerjapkan matanya.
Ketika tersadar akan keadaannya, ia langsung membulatkan matanya. Lalu pandangan beralih pada pria 39 tahunan yang ketampanannya masih awet.
"Kau!!..." Dirinya benar-benar malu akan hal ini. Satu ruangan dengan seorang pria, apalagi melihat keadaan dirinya sendiri.
"Apa yang kau lakukan padaku hah!" Segera saja ia menarik selimutnya dan berusaha mencari pakaiannya.
"Kau!,.. harusnya saya yang bertanya apa yang kamu lakukan di kamar ini!" Tanya Ikhsan berapi-api.
"Baiklah sebaiknya saya keluar dahulu, kita selesaikan masalah ini. Kau pakai dulu pakaianmu!" Lanjut Ikhsan dengan membanting pintu.
Ikhsan pergi menuju sofa yang berada di ruang tamu. Sungguh ia benar-benar sangat ceroboh. Ia merutuki dirinya sendiri. Jijik dengan dirinya yang telah mengkhianati Sharah, jijik dengan dirinya yang mengikuti ajakan temannya.
Air matanya meluruh, tak sanggup lagi ia bendung. Sungguh ia menyesali segalanya. Seorang Ayah yang selama ini selalu menjaga putra-putrinya, bahkan sampai teman pun ia pilihkan untuk mereka, kini ia sendiri tak mampu menjaga pergaulannya.
Kini ia tak mampu mengendalikan nafsunya. Dari awal ketika ia tahu pergi ke tempat maksiat itu, harusnya ia sudah menyadari segala konsekuensinya. Namun apa sekarang, menyesal pun sudah tiada guna. Entah langkah apa yang ia pikirkan.
Sekitar dua jam ia termenung dengan segala penyesalannya, ia mendengar sebuah pintu terbuka.
Krek, keluarlah wanita yang semalam bersamanya, dapat ia lihat wajahnya yang berantakan yang dapat diyakini bahwa telah menangis.
Ikhsan membuang muka akan hal itu. Sebenarnya ia juga sangat jijik pada wanita tersebut.
Wanita itu menghampirinya dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Ikhsan.
Ikhsan menghela nafasnya, "Sebenarnya apa yang membuatmu ada di sini dan siapa kau?" Ikhsan tau bahwa ia telah menghancurkan hidup wanita itu. Sebab ia juga sempat melihat bercak merah pada sprei tempat tidurnya.
Gadis menangis, ia tak mampu menjawab apapun. Ia hanya ingat bahwa ia sedang berada di apartemen yang sama milik temannya. Tak tau kenapa tiba-tiba ia kehilangan kesadarannya hingga berada di tempat yang tak sama dengan sebelumnya.
"Kumohon jawab pertanyaanku, agar kita bisa menyelesaikan ini. Bagaimana kita bisa menemukan jalan keluar jika kau tak mau memberi jalannya."
Wanita itu menghela nafas panjang dan mulai menceritakan segalanya dan dengan derai air mata tentunya. Ia yakin bahwa ia juga dijebak.
Ikhsan memejamkan matanya. Apapun keadaannya saat ini dan alasan yang ia dengar, semua tetap salahnya. Istrinya saat ini tengah berjuang keras untuk kesembuhannya, namun ia juga telah merusak wanita di depannya. Yang pasti ia harus bertanggung jawab atas semuanya.
"Maaf, tapi kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, kau telah merenggut hal yang paling berharga dalam hidupku dan juga......, benih yang telah kau taburkan."
Ikhsan semakin menundukkan kepalanya. Air matanya menetes dengan sendirinya. Bagaimana ia mengatakan pada keluarganya.
"Aku sudah berkeluarga." Ujarnya lirih.
Mina memejamkan matanya. Ia sudah tau pasti itulah yang akan dengar tadinya. Ia semakin terisak menjadi-jadi.
Krek. Pintu apartemen terbuka dan menampakkan Andri temannya Ikhsan yang mengajaknya kemarin. Tentu saja Andri terkejut melihat ternyata ada dua insan yang satunya tak ia ketahui siapa.
Ikhsan menatap marah dan benci. Seandainya ia tak mengikuti Andri tentu ini tak akan terjadi. Langsung saja ia melayangkan bogem mentah pada wajah Andri.
Bug. Sudut bibir Andri koyak dan mengalirkan darah segar. Andri langsung saja langsung menahan tangan Ikhsan namun tak membalas perbuatan Ikhsan.
Sedang Mina tentu saja terkejut dengan apa yang terjadi di depan matanya dan merasa takut.
"Cukup San!, Gua tau gua salah. Tapi kita coba selesaikan semuanya dengan kepala dingin.!" Seru Andri berusaha menahan Ikhsan yang tengah kalang kabut.
Tubuh Ikhsan lemas dengan sendirinya. Rasanya dunianya benar-benar runtuh. Andri membantu Ikhsan bangkit dan mengajaknya duduk di depan Mina.
Melihat apa yang ada di hadapannya kini Andri dapat mengetahui keadaan yang telah terjadi. Namun, pertanyaan yang ada di benaknya adalah mengapa wanita yang ada di hadapannya berada di dalam apartemennya.
Ia melihat ke arah samping melihat sahabatnya tertunduk lemah. Menghela nafas panjang dan menggeleng lemah.
***
Andri mengernyitkan dahinya mendengar penuturan Mina. Ada sedikit rasa tak percaya dengan semuanya. Namun melihat penampilan yang dikenakan Mina ia juga tak dapat menyangkal bahwa perempuan ini adalah gadis yang baik-baik.
Ia pun beralih menatap Ikhsan. Ia berjanji akan membantu untuk memecah masalah ini. Namun tetap saja perbuatan Ikhsan telah melanggar agama. Ia harus bertanggung jawab apapun alasan keadaannya bermula.
Menyelidiki siapa dalang dibalik semuanya. Ia juga merutuki kebodohannya yang lupa mengunci apartemennya. Andri berjanji akan selalu mendampingi Ikhsan untuk mempertanggungjawabkan semuanya.
Beberapa hari setelah insiden itu, Ikhsan bersama Andri datang ke kediaman Mina. Ikhsan akan mengakui semuanya tentang kekhilafannya. Ia juga akan menerima segala konsekuensinya.
Untuk anak dan istrinya ia akan pikirkan dahulu nanti. Bagaimanapun ia tak boleh menunda-nunda hal yang memang seharusnya ia lakukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!