Hari seorang Jenny Putri selalu dimulai dengan bermalas-malasan di atas tempat tidur. Berguling dan bergelung di dalam selimut tebal nan lembut berwarna krem, hingga sinar matahari memecah pagi, terlebih bila Diego— bule kesayangannya—memberinya ucapan selamat pagi. Say hello dengan emoticon atau sticker manis yang membuat harinya terasa dipenuhi bunga. Membuat hati Jen yang sudah lembut semakin meleleh seperti mozarella yang dipanaskan.
"Kak, sarapan ...!" Gedoran di pintu yang hampir setiap hari terjadi, membuyarkan senyum ceria Jen, yang saat ini sedang bertukar pesan dengan Diego. Menggerutu tapi dia tak bisa membiarkan Ranu terus menggedor pintu, gendang telinganya bisa rusak dalam waktu dekat bila ia tak segera menjawab panggilan adiknya itu.
"Iya, bawel. Masih mandi!" teriak Jen lantas membalas pesan Diego.
"Aku mandi dulu, D. Have a nice day ... jangan lupa sarapan." tulis Jen dalam pesan yang baru saja ia kirimkan kepada Diego.
"You too, Darl ... sorry, mungkin seharian ini gw ngga bisa dihubungi, ada sedikit urusan yang harus gw selesaikan. Take care, Darl❤."
Jen melempar ponselnya yang baru saja berada di tangannya, ia mengeluarkan suara memekik nyaring. Setiap hari Diego selalu memperlakukan dirinya seperti itu, tetapi tetap saja, Jen selalu berekspresi sama. Meletakkan kedua ujung jemarinya di atas bibir yang menipiskan senyum dan kedua mata Jen memejam. Hatinya berbunga-bunga dengan perhatian dari Diego, meski sejauh ini mereka belum pernah mendeklarasikan hubungan mereka secara resmi. Mereka dekat dan saling menyayangi secara alami. Saling terbiasa dengan kehadiran masing-masing.
Bersiul riang, Jen menuruni ranjang dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hingga tak berapa lama dia sudah berhias di depan cermin. Mematut penampilannya semenarik mungkin.
***
Diego mengerang frustrasi, ia seakan tak punya pilihan. Jalannya buntu. Setir kemudi adalah wadah dari seluruh kekesalan yang memuncak dihatinya. Sekalipun memukul benda melingkar itu hingga tangannya sakit dan patah, ia tak akan bisa bebas dari kecamuk badai kesal di dalam hatinya.
Ya, selamanya ia tak akan bisa lepas dari Tanna. Badan wanita itu memang terkurung, tapi tidak dengan kebebasan dan kekuasaannya. Ia tetap bisa menekan dan memerintah siapa saja yang ia kehendaki.
Wanita bak malaikat yang mengulurkan tangannya memberi bantuan, rupanya memiliki maksud di belakangnya. Dermawan, tak heran bila teman banyak, ia miliki dengan mudah. Ia menyuguhkan ketulusan dan senyum semanis madu, sementara dibalik punggungnya, ia mengasah belati yang siap ia hunuskan pada urat nadi siapa saja yang dirasanya mulai membangkang atau mungkin sudah saatnya membalas kedermawanan seorang Tanna.
Diego salah satunya. Seharusnya, dia tidak menerima tawaran wanita gila itu dulu. Tetapi siapa yang tidak tertipu pada kelembutannya. D menerima tawaran Tanna untuk berkolaborasi dengan Jen saat pria itu sedang merintis di dunia yang membesarkan namanya kini. Berawal dari kolaborasinya dengan Jen, dan juga campur tangan Tanna pastinya, Diego kini adalah bintang. Banyak brand yang memburu namanya untuk dijadikan ambassador produknya. Endorsment mengalir hingga ia sering menolak. Diego memiliki kesempurnaan fisik yang digilai wanita muda, Boyfriend Material banget, istilahnya.
Namun, intensnya kebersamaan dengan Jen justru membuat pria itu jatuh hati pada Jen. Dan sayangnya, saat ini dia harus menjatuhkan pujaan hatinya dan keluarganya di depan publik. Tanna yang masih belum terima atas kekalahannya berniat menghancurkan Keluarga Dirgantara melalui Diego.
Tangan Diego yang kekar, perlahan meraih ponsel yang menyelip di saku blazernya. Ia mengembuskan napas berulang kali hingga bahunya luruh. Mengulum bibirnya sendiri, Diego menghubungi seseorang yang bertugas mengedit video yang ia rekam semalam.
"Gue serahin semua ke elo!" seru Diego menahan segala sesak di dadanya. Ia menggigit bibir dengan frustrasi.
"D, lo bisa ngga lakuin ini semua. Lo bisa jujur sama Jen tentang perasaan lo dan perbuatan Tanna. Tanpa lo harus kabur begini!" ucap pria di seberang telepon.
"Masalahnya ngga sesimpel itu, Bian. Lo tahu 'kan semua kejahatan gue? Masih untung sampai sekarang Excel belum menyadari kalau gue yang udah bikin dia pingsan waktu itu. Belum lagi gue rusak gaun hasil kerja istrinya. Pikirin gimana reaksi mereka begitu tahu kalau gue pelakunya."
"Ya, tapi lo bisa kasih bukti kalau lo cuma di suruh Tanna!"
"Bukti apa? Gue ngga punya bukti apa-apa! Mendingan gue nurutin maunya Tanna dan ninggalin Jen. Lebih baik gue yang hancur daripada lama-lama gue ngerusak wanita yang gue cintai, Bi. Lo sungguh ngga tahu kejamnya Tanna, Bi, lo ngga bakal ngerti perasaan gue." Semakin frustrasi Diego ketika mengatakan hal itu.
Sepertinya, pria diseberang telepon juga sudah kehabisan kata untuk meyakinkan semua akan baik-baik saja kalau Diego berkata jujur. "Lo udah siap kehilangan segalanya, Bro?"
Segalanya, termasuk nama besarnya. Materi berlimpah bukan lagi hal yang berat untuk dibicarakan, tetapi nama besar Diego Alvares menjadi taruhannya. Jika sampai pengakuan Diego mencuat, ia yakin, nama yang begitu agung itu hanya akan menyisakan kenangan. Musuhnya adalah keluarga Dirgantara, yang tampak sunyi tetapi mematikan.
"Gue lebih dari siap saat memulai syuting video itu, Bi. Gue sangat siap!" pungkasnya menekankan. Sejak hari dimana Tanna memintanya merusak nama Jen, Diego sudah memikirkan hal ini. Ia tahu suatu saat akan berhenti, meski bukan kehancuran yang dia inginkan.
"Lakukan saja sekarang, Bi. Gue udah di bandara!"
Usai mengatakan itu, Diego melempar ponselnya ke kursi di sebelahnya dan menyalakan mobilnya. Meninggalkan area bandara.
"Gue harap kamu bisa ngertiin aku, Darl. Sorry, aku terpaksa."
.
.
.
.
Bertelur lagi😍😍😍 Welcome di kehidupan Jen ... 😍😍😍
Rate, Fave, like dan komen ya, guys ...
"Aku dulu yang nengok Kakak, Pa, Ma ... baru Ranu dan mereka berdua." Jen tengah memegang pisau roti untuk mengoles selai di atas rotinya, ia menatap kedua orang tuanya. Lalu disegerakan pisau itu menyiduk selai coklat yang melimpah. Sedikit kesusahan, Jen menarik botol selai itu mendekat dengan ujung pisau tumpul tersebut. Sarapan selalu riuh seperti biasa. Penuh dan bergairah. Jiwa-jiwa muda terasa menyembulkan semangatnya di meja ini. Masa yang suatu hari nanti akan dirindukan.
"Kak Jen 'kan ngga sekolah, lebih baik kita dulu yang jenguk. Masa iya masih nunggu sampai siang nanti!" Agiel langsung tidak terima, ia menghempas roti yang dipegangnya ke atas piring lagi. Memilih memprotes kakaknya yang sepertinya sengaja menjahilinya. Kembar sudah kelas 3 SMA, sementara Ranu sudah mulai kuliah di salah satu universitas terkemuka.
"Emang kamu mau mandiin Cio-ups."
"Jadi namanya Cio?" Azziel langsung menyambar kalimat kakaknya. Agiel bergegas mengulurkan tangan di samping tubuhnya, lalu di timpali telapak tangan Azziel hingga terdengar bunyi "tos" lirih saat keduanya beradu. Berhasil. Ia yakin kakaknya akan kelepasan bicara, bibir kakaknya memang tidak pernah bisa menyimpan rahasia.
Jen mendesis dengan mata terpejam. Mulut ini memang mengerikan, pikirnya. Ia menurunkan ujung jemari lentiknya dari bibir yang berpoles lip-glaze. Menudingkan telunjuk penuh peringatan pada kedua adiknya.
"Awas kalau sampai kalian memberitahu kakak!" kecam Jen dengan nada menekan namun tetap ditahan-tahan. Dia masih di depan kedua orangtuanya. Oh My ... Jen kesal sekali jika harus menahan kekesalan akibat ulah adiknya itu. Terlebih dua orang itu tampak menyematkan senyuman penuh kemenangan.
"Kalian barengan saja, paling cuma diizinin nengok Cio sebentar. Seperti tidak tahu sifat kakak kalian saja!" Kira yang masih berdiri di sebelah suaminya, sibuk mengambilkan beberapa menu yang diingini Harris.
"Tapi Ma, aku mau yang pertama ngunjungi Cio."
Rengekan yang berhasil membuat Harris menghentikan sesapan pada tepian cangkir yang berisi cairan hitam nan kental. Uap tipis itu menyerbak wangi khas di udara sekitar Harris.
"Kak Jen benar, kalian nanti hanya akan terburu-buru dan tidak puas bermain dengan Cio. Kalian tidak tahu betapa menggemaskannya bayi kakak kalian itu. Tetapi, kak Excel memang melarang siapa pun datang agar Naja bisa beristirahat dengan tenang. Kalian juga harus menghormati itu, 'kan? Kakak melakukan semua itu demi kebaikan istrinya. Waktu kalian akan sangat banyak setelah pulang sekolah, jadi sebaiknya Kak Jen saja yang ke sana terlebih dahulu, mengerti?"
"Mengerti, Pa!" jawab ketiga anak remaja itu serempak. Lalu bergegas menyelesaikan sarapan tanpa mengeluarkan suara lagi, bahkan mereka bertiga menunduk tanpa berani memandang papanya. Suara papanya terdengar tegas dan tak bisa dibantah. Lagi pula semua itu benar.
Kira mengambil posisi duduk di sebelah suaminya. Ia menautkan pandangannya bergantian dari Ranu lalu kepada anak kembarnya. Yang selalu Kira tidak setuju adalah Harris selalu membenarkan Jen—meski memang benar, sih—dan membiarkan adik-adiknya mengalah. Sebenarnya, Kira takut itu akan menjadi satu hal yang menyebabkan mereka saling mencemburui dan merasa diperlakukan berbeda. Ia sungguh-sungguh takut.
Sehingga ketika ke empat anaknya beranjak dari duduknya—setelah hanya mengambil separuh roti isi—dan berpamitan, Kira mengambil napas untuk mengatur tatanan kata-katanya agar tidak terdengar ketus dan kesal. Sekian kalinya ia ingin memperingati suaminya agar tidak selalu membenarkan Jen di depan anak-anak lain.
"Pa, Mama mohon, jangan selalu membenarkan Jen. Itu akan membuat Jen besar kepala dan semena-mena pada adik-adiknya. Papa sudah kelewatan memanjakan Jen, melonggarkan semua peraturan padanya, kini apa-apa Jen selalu benar. Apa Papa ngga mikir bagaimana perasaan Ranu dan kembar?" Kira menyisihkan piringnya menjauh. Selera sarapan paginya amblas, ditelan rasa tak habis pikirnya akan tindakan suaminya. Kini yang lebih menggugah perasaan adalah menghakimi suaminya dengan telak. Ia sungguh tak habis pikir, bagaimana Harris bisa dengan mudah lunak.
Harris menyesap lagi kopinya hingga terdengar suara khasnya saat menikmati kopi. Sembari meletakkan cangkirnya, ia menoleh dan mengulas senyum.
"Mereka anak-anakku, Yang. Aku yakin mereka bisa dengan jernih mengerti maksudku, dan memang perkataan Jen benar, 'kan? Mungkin mereka kesal tadi, tapi aku yakin anak-anakku cukup dewasa berpikir." Harris menggenggam erat telapak tangan istrinya. Meyakinkan wanita yang selalu berlebihan terhadap kenyamanan perasaan anak mereka. Harris bisa mengerti tapi kebetulan saja, Jen selalu benar.
"Mama hanya minta agar Papa tidak membenarkan Jen di depan yang lain. Kenapa Papa ngga bilang gini ... menurut Papa, atau saran Papa, atau yang lain, gitu, Pa!" mimik wajah Kira sangat serius saat ini. Ia tak mau mendengar pembelaan suaminya, yang ia mau Harris menurutinya.
Harris terkekeh, "Ujung-ujungnya sama 'kan, membenarkan Jen?" Harris mengusap kepala istrinya. "Anak-anakku semua pintar dan tidak akan mempermasalahkan hal kecil seperti ini. Pikiran mereka terlalu sibuk jika hanya untuk saling mencemburui, banyak hal yang akan mereka lewatkan jika itu terjadi."
"Terserah Papa! Nanti jika Jen sampai melunjak, Papa orang pertama yang akan mama salahkan. Ingat itu, Pa!" kesal Kira sambil bangkit dan mendorong kursinya kebelakang. Berlalu pergi meninggalkan Harris yang masih menggelengkan kepala dan terkekeh geli.
"Istri kurang diajar!" senyumnya mengembang sebelum ia juga menyusul Kira. Paginya tidak terlalu sibuk, hari ini. Jadi mengajar wanita itu satu jam rasanya tidaklah terlalu lama.
.
.
.
.
.
Baby Cio sedang menyusu dengan lahap seperti biasa. Ia bergerak mencari sumber kehidupannya. Matanya mengerjap sedikit kesal karena pu ting Naja belum terbentuk sempurna. Hal biasa saat ibu muda yang minim pengalaman tentang menyusui, karena teori memang selalu tertampar oleh kenyataan.
"Enak, ya, Nak?" bisik Excel di atas kepala Cio yang sejak tadi ia elus-elus. Rambut bocah itu lebat tetapi tidak terlalu hitam. Ia heran dengan anaknya yang senang sekali mendengkuskan napasnya seperti dia saat sedang marah. Kenapa sampai sedetail itu miripnya, pikir Excel.
"Emang dia udah ngerasain, gitu? Dia tuh cuma butuh, Dad ... ngga ngerti rasanya." Naja meringis menahan ngilu, tetapi ia tak tahan untuk tidak menjawab suaminya.
"Benarkah? Tapi dia rakus ngalahin aku, Mom ...," Excel terkekeh geli saat membayangkan dirinya yang nyaris tak bisa tidur sebelum puas memainkan dada istrinya.
Naja menaikkan sebelah bibir atasnya, jijik sekali dengan ucapan Excel yang membuatnya merinding. "Kamu bukan lagi rakus, tapi doyan." Excel terkekeh lagi sambil terus mendesakkan hidungnya yang runcing di atas rambut Cio, membuat bayi itu terusik kenyamanannya.
"Kerja sana ... udah ada anak, kerja yang rajin. Jajan anakmu ngga ditanggung pemerintah!" usir Naja sambil menjauhkan kepala Excel dengan telunjuknya. Suaminya itu mengganggu sekali, apa dia tidak tahu saat ini sedang menahan sakit karena ujung dadanya lecet. Jika Cio tidak tidur, dia juga tidak bisa istirahat 'kan?
Excel terkekeh lagi, melihat Cio, dia menjadi sangat gemas dan enggan berjauhan dengan bayi yang belum genap dua puluh empat jam bersamanya. Ujung kepala bayi itu kembali mendapat kecupan yang sangat banyak, lalu beralih ke wanita yang telah membuatnya sempurna. Bersama kecupan itu, ia berharap seluruh perasaan mampu terungkap, rasanya ucapan saja tak akan cukup.
"Mommy jangan galak-galak ih, hari ini Rega sedia gantiin Daddy yang lagi berbahagia. Uang jajan Cio dan adik-adiknya akan datang sendiri karena Daddynya udah buat investasi yang menghasilkan keuntungan tiap bulannya. Jadi, Mommy seharian ini akan mendapat perhatian penuh dariku." Excel mengangsurkan pantatnya di sisi Naja, ia merangkul istrinya dengan sayang.
"Adik-adik? Maksud kamu, Cio mau diberi adik? Setelah yang kamu lihat kemarin, masih mau nyuruh aku ngeden lagi? Tega, ya?!" Suara Naja yang meninggi membuat Cio terusik dan mencebik. Pria kecil itu siap mengeluarkan tangisnya yang begitu melengking.
"Pelankan suaramu, Na ... kamu membuat Cio takut!" Sigap, Excel mengalihkan bayi yang sudah kenyang itu ke dalam dekapannya. Menimang hingga Cio kembali tenang dan pulas.
Pintu terbuka saat Naja mengerucutkan bibirnya. Cio menjadi jinak di dalam buaian Daddynya. Sungguh Naja bersyukur melihat ini semua.
"Haruskah aku memanggilmu Pak mulai hari ini?" Zabdan Darrenio menenteng sebuah kotak, tersenyum hingga menampakkan lekuk pipinya. Bibir seksi pria itu menggumamkan kata "hai" ke arah Naja, yang dibalas dengan lambaian oleh Naja.
"Selamat kakak ipar!" sambung Darren saat meletakkan kotak berisi sebuah robot mainan di boks bayi milik Cio.
"Ranu masih sekolah dan Jen tidak menyukaimu, jadi kurasa kakak ipar terlalu ... berlebihan," kekeh Excel menyambut Darren dalam rangkulannya. Bagaimanapun, Darren, Jeje, dan Excel kerap menghabiskan waktu di atas stik PS dulu. Bahkan kini, Darren dipercaya mengelola galeri sport dan pusat kebugaran milik Jeje. Mereka sahabat yang kental hingga Darren mendapatkan pekerjaan di luar pulau dan mereka berpisah selama empat tahun lamanya. Namun, hal itu tidak membuat mereka putus hubungan begitu saja. Darren secara rutin dua atau tiga bulan sekali pulang dan mengunjungi mereka. Dan Jen.
"Jangan membuatku putus harapan. Selama mereka berdua belum di miliki pria lain secara sah, aku mendaftar secara resmi menjadi calon adik iparmu." Tangan Darren terangkat di udara sekitar Excel, menunjukkan bahwa tangannya telah bersih dari kuman sebelum menyentuh pipi Cio yang terlihat merah.
"Dia benar-benar mirip denganmu, Kak."
Excel berjengit, "Kak? Jijik dengernya, Ren ...!"
Darren terkekeh geli melihat ekspresi Excel. Darren selalu mengagumi Excel, pria yang tangguh dan sosok yang begitu melindungi.
"Hai ...!" Pekikan nyaring bersamaan dengan pintu terbuka dengan kasar, memenuhi ruangan kelas wahid ini. Wanita muda dengan satu keranjang di tangan kanannya dan satu kotak terbungkus rapi dengan pita gold penuh gliter bertengger di pinggangnya yang ramping.
Semua orang menoleh ke arah Jen, yang memakai atasan hijau sebatas siku dan celana jeans longgar yang mencapai pusarnya. Darren langsung berdiri dengan senyum merekah menyambut pujaan hatinya. Tetapi senyum itu surut saat mata cokelat Jen menyapanya dengan tidak peduli. Seperti biasa.
Jen seketika memudarkan senyum dan keceriaannya saat matanya terisi oleh bayangan Darren. Satu-satunya lelaki yang tidak akan pernah disukainya sampai kapanpun. Mencibir, Jen bergegas menuju ranjang menghindari Darren yang membuat Jen langsung alergi.
"Kenapa gak di sapa Darrennya?" bisik Naja. Jen dengan gaya cerianya yang telah kembali menautkan pipi dengan Naja.
"Nanti abis nyapa dia, lidah dan bibirku bakal gatel-gatel. Alergi dan iritasi." Ekspresi malas, enggan, dan jijik tampak nyata menghiasi wajah Jen. Tetapi wanita itu tampak terkesima melihat Naja yang menurutnya mengagumkan. Tubuh kecil itu menyangga perut yang besar lalu mengejan untuk melahirkan Cio. Bagi Jen, itu sesuatu yang menakjubkan dan tidak pernah terlintas di pikirannya. Agak menggelikan juga mengerikan. Ia mungkin tak akan sanggup jika harus seperti itu.
"Hati-hati ... yang awalnya anti nanti bisa-bisa jatuh hati, loh!" seloroh Naja mengambil tangan adiknya dan memeluknya. Rindu sekali rasanya.
"Itu tidak akan terjadi padaku!" Jen berkata yakin. Setelah berpuluh tahun, selain rasa permusuhan tidak ada yang tersisa dalam diri Jen akan teman sekelasnya itu. Simpati pun dia tidak ingin memberi pada pria itu.
Darren memandang hampa udara yang ditinggalkan Jen. Selalu seperti ini dan selama ini. Harusnya dia sudah terbiasa tetapi tetap saja, Jen dekat tapi tak bisa di sentuh. Tetapi pria itu tersenyum miris dan mencoba sabar. Rasa bersalahnya semakin ke sini semakin berkembang menjadi sayang dan ingin melindungi. Meski Darren harus menahan sesak. Dirinya meninggalkan pekerjaannya karena Jen. Ingin menjaga Jen. Menebus kesalahan yang pernah ia buat di masa kecil.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!