Pengenalan Tokoh :
Anindita Purbaningrum (28 tahun)
Seorang pelayan di salah satu minimarket berusia dua puluh tiga tahun yang sejak usia enam belas tahun dia menjadi anak yatim piatu dan bertahan hidup sendiri dengan menjadi pekerja lepas di sana sini hanya mengandalkan ijasah SMP dan saat usia 23 tahun dia bekerja sebagai pelayan di salah satu mini market milik perorangan Leo Market.
Ricky Pratama (35 tahun)
Seorang asisten dan orang kepercayaan Dirgantara Poetra Laksmana, pemilik Angkasa Raya Grup. Kesibukannya mendampingi dan membimbing Dirga dalam mengelola perusahaan setelah kepergian Tuan Poetra Laksmana membuatnya tidak mempunyai waktu untuk memikirkan soal asmara dan wanita.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Malang, July 2016
" Koh, saya pamit pulang." ucap Anindita, gadis berusia dua puluh tiga tahun kepada Koh Leo, pemilik mini market tempat Anindita bekerja.
" Kamu pulang sama siapa, hari ini Yahya nggak berangkat, kan?" tanya Koh Leo seraya menutup pintu mini market.
" Saya pulang sendiri, Koh." Anindita menyahuti.
" Kamu yakin, Nin? Jalan yang biasa kamu lewati itu 'kan sepi dan gelap. Kamu sendirian lewat sana apa nggak terlalu bahaya?" tanya Koh Leo khawatir. " Koko antar saja, ya?"
" Nggak usah, Koh. Saya nggak apa-apa kok, Koh. Saya 'kan sudah biasa lewat sana. Insya Allah nggak akan terjadi apa-apa." Anindita mencoba meyakinkan bosnya itu.
" Ya sudah, tapi kamu hati-hati ya, Nin." Koh Leo dengan berat melepas Anindita pulang sendiri ke rumah kontrakannya.
" Kalau begitu saya pamit ya, Koh." Anindita berpamitan.
" Iya."
Setelah berpamitan dengan bosnya itu Anindita pun berjalan menuju parkiran untuk mengambil dan mengayuh sepedanya keluar dari pekarangan mini market.
Jarak dari rumah kontrakan dengan mini market tempat Anindita bekerja berjarak kurang lebih dua kilometer. Biasanya Anindita pulang naik motor bersama dengan Yahya, rekan kerjanya yang rumahnya hanya beda lima ratus meter dari rumahnya. Tapi karena Yahya hari ini ijin tidak masuk kerja akhirnya Anindita memakai sepedanya untuk berkendaraan menuju tempat kerja.
" Aaawww ..."
Braaakkk
Anindita memekik kaget saat sebuah mobil melaju jigjag dari arah berlawanan hingga membuat dia limbung mengendarai sepedanya karena menghindar agar tidak bertabrakan dengan mobil itu. Tapi naasnya karena gugup akhirnya Anindita benar-benar menabrak mobil itu.
" Ssshhh ..." Anindita mengelus lengannya yang terasa lecet karena terkena aspal jalan.
" M-maaf, Nona ... A-anda t-tidak a-apa-apa?"
Tiba-tiba suara seorang pria terdengar, pria yang tidak lain adalah pengendaraan mobil itu terdengar menghampiri Anindita. Anindita menoleh ke arah pria itu, seorang pria berwajah tampan dengan tubuh tinggi tegap yang berbicara padanya.
" M-maaf, Nona. S-saya k-kurang konsentrasi tadi."
Anindita memperhatikan tingkah laku pria itu yang terlihat aneh di matanya. Pria itu nampak gelisah. Sekali waktu pria itu terlihat mengusap kasar dadanya, terkadang mengelus tengkuknya. Dan saat pria itu berjongkok sambil mengusap kasar wajahnya, Anindita memberanikan diri untuk bertanya.
" Tuan Anda kenapa? Anda tidak apa-apa?" Anindita berusaha bangkit dan mendekat ke arah pria itu.
' Jangan mendekat! N-nona, S-saya mohon jangan mendekat, menjauhlah!" sergah pria itu membuat Anindita mundur menarik langkahnya kembali.
* Aaagghh ..." Pria itu tiba-tiba mengerang dan menjambak rambutnya sendiri. Anindita melihat pria itu nampak kesakitan entah karena apa, dan Anindita tergugah untuk membantunya.
" Tuan, apa Anda sakit?" Anindita kembali mendekat.
" Berhenti, Nona. T-tolong menjauhlah! Jangan dekati saya, Nona!" Pria itu terus berusaha menolak pertolongan Anindita. Pancaran mata pria itu benar-benar tersiksa, itu yang ditangkap oleh Anindita. Pria itu kemudian mengambil dompet dari sakunya lalu mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan lalu menyodorkan kepada Anindita.
" Nona, i-ini untuk berobat Anda, cepatlah Nona pergi dari sini."
Anindita memandangi lembaran uang yang bisa dia kira jumlahnya lebih dari satu juta yang disodorkan pria itu.
" Tidak usah, Tuan. Saya hanya lecet saja. Nanti saya obati dengan obat merah juga pasti sembuh." Anindita menolak pemberian pria itu, karena dia memang merasa yang diberikan pria itu sangatlah berlebihan.
" N-nona, S-saya mohon terimalah, dan segera pergilah dari sini." Pria itu memaksa Anindita untuk menerima uangnya. Akhirnya dengan sangat terpaksa Anindita menerima uang itu. Dia kemudian memasukan uang itu ke dalam tasnya.
" Tuan, sebenarnya Anda kenapa? Tuan sakit? Biar saya bantu Anda, Tuan." Karena Anindita merasa jika pria itu bukanlah orang jahat dia berusaha terus menawarkan diri membantu pria itu.
" Saya tidak apa-apa, Nona. Nona pergilah ..." Pria itu lalu berjalan menuju mobilnya masih dengan kegelisahannya.
Anindita yang melihat pria itu seperti hal yang orang sedang sekarat merasa iba, dia berusaha mendekat apalagi saat pria itu menyandarkan tubuhnya di mobil seraya mengerang kencang.
" Aarrrgghh ..."
Bukannya merasa takut, Anindita malah semakin mendekat ke arah pria itu.
" Tuan, apa Anda sakit?" Anindita segera mengeluarkan botol air mineral lalu menyodorkan kepada pria itu. " Tuan, ini minumlah."
Pria itu melirik ke arah botol air mineral yang diberikan Anindita kepadanya, dan dengan cepat dia mengambil botol itu dan membukanya. Namun bukannya meminum air mineral, pria itu malah mengguyurkan air itu ke kepalanya membuat Anindita terkesiap.
" Tuan, kenapa Anda membasahi tubuh Anda sendiri?" tanya Anindita.
" Panas ..." keluh pria itu dengan suara parau.
" Panas??" Anindita kembali membelalakkan matanya. Bukankah cuaca malam ini sangat dingin, kenapa pria itu malah berkata panas.
" Tuan, sepertinya Anda ini sakit." Anandita ingin menyentuh kening pria itu namun pria itu menepis tangan Anindita.
" Nona, saya mohon pergilah! Saya tidak ingin mencelakai Nona. Nona tidak akan aman jika tetap berada dekat saya." Pria itu berucap seraya membuka kancing bajunya dengan tergesa. " Aaarrgghh ... panas." Kembali pria itu mengerang.
" Tuan, sebenarnya apa yang terjadi dengan Anda?"
" Seseorang memasukkan obat perangsang ke dalam minumanku, dan ini sangat berbahaya jika saya berada di dekat wanita. Jadi sebaiknya Nona pergi saja." Pria itu lantas membuka bajunya dan mengusap kasar tubuhnya.
Anindita bisa melihat jika pria sangat menderita dengan keadaannya.
" Tuan, sebaiknya Tuan istirahat dulu di dalam mobil, setelah tenang dan pengaruh obat itu hilang, Tuan bisa melanjutkan perjalanan Tuan. Mari saya bantu Tuan ke mobil." Anindita lalu membuka pintu mobil belakang dia kemudian memegang lengan kokoh pria itu, mencoba untuk menuntunnya masuk ke dalam mobil. Namun saat dia mulai menyentuh kulit pria itu tiba-tiba pria itu langsung memeluk tubuhnya dan memulai mendekatkan bibirnya ke wajah Anindita.
" Tu-Tuan, apa yang Anda lakukan?!" Anindita tersentak kaget karena sikap kurang ajar yang dilakukan pria tadi.
" M-maafkan saya, Nona. Saya benar-benar tidak tahan." Pria itu menghempaskan tubuh Anindita ke jok mobil belakang dan langsung menindih tubuh Anandita membuat Anandita memekik dan berontak.
" Tu-tuan tolong jangan lakukan ini, to-tolong lepaskan saya, Tuan." Anandita terus berusaha mendorong dan memukuli tubuh kekar yang mengungkungnya. Tapi pria itu seolah tak perduli dengan penolakan Anindita.
Pria itu terus saja mencumbu Anindita, lalu membuka pengait dan menurunkan resleting celana berbahan katun yang dipakai Anindita lalu menariknya ke bawah bersama underware yang digunakan Anindita.
" Tuan, hentikan! Tolong jangan lakukan hal itu!" Tangis Anindita seketika pecah. Apalagi saat pria itu pun membuka celana yang dipakainya dan dengan cepat pria itu menghujamkan miliknya ke dalam inti Anindita yang terasa sempit tapi dorongan yang begitu kuat akhirnya milik pria itu berhasil menembus inti Anindita hingga wanita itu menjerit menahan sakit karena harus kehilangan mahkota yang selama ini dijaganya. Sialnya jalanan yang memang sehari-harinya sepi itu dan jauh dari pemukiman penduduk tak dilewati oleh kendaraan manapun malam itu selain mobil pria itu dan juga sepeda milik Anindita.
*
*
*
Bersambung ...
Halo Ricky lover😁😁 yang mampir di sini. Semoga kalian tidak kecewa dengan Ricky ya. Ricky di RTB begitu dipuji emak² reader. Ibarat pepatah, Tak Ada Gading Yang Tak Retak, Tak Ada Manusia Yang Sempurna, seperti itulah, Ricky. Dia punya kesalahan di masa lalu nya. Bukan karena satu kesengajaan, bukan karena niat dia mencelakai orang lain. Tapi apa yang dilakukan Ricky malam itu benar-benar merenggut mahkota seorang gadis.
Readers : Mak Othooooooorrr jahaaaaaaaaattt !!! Ga rela Ricky dibuat seperti ini.
Othor : Kalo Othor jahat ga mungkin dong dibuatin novel tentang Ricky tersendiri seperti ini😂😂
Jangan lupa selalu tinggalan like & komennya ya 🙏
Happy Reading❤️
Anindita terisak, dia merasakan rasa perih di bagian intinya karena paksaan atau lebih tepatnya pemer*kosaan yang dilakukan pria tak dikenal itu terhadapnya.
" N-nona maafkan saya," ucap pria itu dengan nada penuh penyesalan selepas pergumulan yang tidak direncanakan olehnya. Pria itu lalu menaikkan kembali celana Anindita yang sempat tadi dia turunkan sebatas mata kaki. Dia juga kembali merapihkan celananya kembali, lalu dia bergerak mengambil sesuatu dari dashboard mobilnya.
" Nona, ini kartu nama saya. Nona bisa temui atau hubungi saya di alamat dan nomer ponsel ini. Saya pasti akan bertanggung jawab atas apa yang sudah saya perbuat." Pria itu menyodorkan name card kepada Anindita.
Anindita yang masih ketakutan, syok, kecewa, sedih dan marah kini berusaha bangkit lalu berjalan keluar dari mobil yang menjadi TKP atas pemerko*saan yang dilakukan pria itu terhadapnya.
" Nona, saya benar-benar minta maaf." Pria itu benar-benar menyesal atas ulahnya yang sudah merenggut kesucian gadis itu tapi Anindita tak memperdulikannya. Dia berjalan menuju sepedanya dengan terseok karena merasakan sakit karena intinya telah dimasuki secara paksa oleh milik pria itu.
" Nona, Anda tinggal di mana? Sebaiknya saya antar Nona pulang. Terlalu bahaya jika pulang melanjutkan perjalanan sendiri." Pria itu mencoba mencekal lengan Anindita agar Anindita tidak menggunakan sepedanya untuk melanjutkan perjalanan.
" Lepaskan!!" Anindita menepis kasar tangan pria itu dari lengannya. " Untuk apa Tuan perdulikan saya? Bukankah Anda yang sudah membuat saya berada di dalam bahaya?! Hiks ... hiks ..." geram Anindita menutup wajah dengan telapak tangannya.
" N-nona, saya benar-benar minta maaf, saya sangat menyesali atas perbuatan saya. Saya sudah memperingatkan Nona untuk segera pergi dan menjauh dari saya, tapi Nona terus mendekat dan ingin menolong saya." Pria itu bingung harus bagaimana. Mati-matian dia berusaha mengusir wanita itu agar menjauh, dia pun sudah memperingatkan jika dia tidak ingin mencelakai wanita itu tapi bukannya segera pergi, wanita itu malah terus mendekat ke arahnya.
Anindita yang mendengar alasannya yang diberikan pria itu membuat dadanya bergemuruh.
" Jadi Tuan menganggap semua ini salah saya?" Anindita terpancing emosi. " Dasar pria breng*sek!
Plaakkk ...
Sebuah tamparan mendarat di wajah pria itu. Pria itu nampak terkesiap seraya mengelus pipinya yang baru kena tampar Anindita. Tapi dia tidak membalas karena dia tahu sebuah tamparan saja tidaklah cukup untuk dirinya.
" Saya benci Anda, Tuan!" Sembari menangis dengan kencang Anindita meraih sepedanya dan perlahan mengayuhnya dengan hati-hati karena sakit di intinya itu menuju rumah kontrakannya.
" No-nona ...!" Pria itu mencoba memanggil Anindita tapi wanita itu tidak memperdulikannya dan terus mengayuh sepedanya.
" **** ...!!" Pria itu menendang mobilnya lalu mengusap kasar wajahnya lalu berteriak, " Aaarrgghh ...!!!" Pria itu luruh ke jalan. " Ya Tuhan, apa yang telah aku perbuat?? Aku telah menodai kesucian seorang wanita. Aku sudah merusak mahkota seorang wanita." Pria itu yang kini duduk berlutut di jalan itu lalu menegadahkan kepalanya ke langit yang gelap seraya kembali mengerang kencang .
***
Setelah memasukkan sepeda ke dalam rumah kontrakannya Anindita langsung melempar tas ke karpet yang terampar di ruang tamu lalu dia melepas kasar pakaiannya dan berlari ke kamar mandi. Dia segera menguyur tubuhnya dengan air dingin. Anindita yang biasanya memasak air untuk mandi jika harus pulang malam, kali ini tidak dilakukanya. Dia menyiram berkali-kali seraya menggosok kasar tubuhnya karena dia merasa jijik dengan apa yang telah terjadi dengannya, sementara air mata terus berhamburan jatuh bersamaan dengan guyuran air.
Tubuh Anindita bergetar karena tangisan, belum lagi air dingin yang membasahi tubuhnya membuat tubuhnya semakin menggigil. Dia lantas keluar dari kamar lalu meraih sembarang baju yang bisa dia pakai untuk membalut tubuhnya, kemudian masih dengan kondisi menggigil Anindita merebahkan tubuhnya. Dia terus merisak hingga dia merasa kelelahan dan tertidur.
Sementara itu di tempat kejadian perkara, pria yang memperkosa Anindita langsung kembali ke mobilnya saat dia tak berhasil menghalangi kepergian Anindita. Dia merebahkan tubuhnya karena rasa lelah yang menderanya, Setelah beberapa jam pria itu tersadar. Dia melihat di sekitar yang nampak gelap. Entah daerah mana dia berada saat ini juga dia tidak tahu. Pria itu lalu melihat bercak darah di jok kursi, seketika rasa penyesalan menyeruak di hati pria itu karena dia telah menghancurkan seorang gadis. Dia lalu melirik sebuah benda berwarna biru muda yang terjatuh di bawah jok, dia lalu meraih benda itu. Sebuah ikat rambut yang dia pastikan milik wanita tadi. Dia juga melihat kartu namanya yang terjatuh di bawah jok, karena wanita tadi tak mau menerima benda itu. Pria itu meraih dan memandangi kartu nama miliknya itu.
...Ricky Pratama...
...Angkasa Raya Group...
...Hp. 08xx xxxx xxx...
Ricky meremas kartu nama itu, seketika dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.
" Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?" Ricky menarik rambutnya dengan jemarinya dengan kencang. Dia benar-benar merutuki tindakan brutalnya kepada wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.
Setelah beberapa saat merasa lebih tenang, Ricky kemudian berpindah tempat duduk dan menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu.
***
" Assalamualaikum, Nin, Anin ...!!"
Anindita terkesiap seraya mengerjapkan matanya saat sayup-sayup terdengar suara Yahya memanggilnya dari luar rumah kontraknya. Anindita menggigil tapi suhu tubuhnya sangat panas. Badannya pun terasa sakit apalagi di bagian intinya yang terasa nyeri karena dipaksa meladeni gairah pria tak dikenal semalam.
Anindita menarik selimut dan membelitkan ketubuhnya lalu berjalan perlahan menuju ke depan rumahnya untuk menemui Yahya.
" Assalamuaikaum, Nin ..." sapa Yahya saat pintu rumah kontrakan Anindita terbuka. " Ya Allah, kamu kenapa, Nin?" tanya Yahya yang mendapati wajah Anindita yang memucat ditambah mata yang sembab.
" Aku kurang enak badan. Sepertinya hari ini aku ijin nggak berangkat kerja, Ya." lirih Anindita.
" Kamu sakit apa, Nin?" tanya Yahya langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Anindita. " Astaghfirullahal adzim, badan kamu panas banget, Nin." Yahya terkesiap mendapati suhu tubuh Anindita yang panas padahal wanita itu nampak terlihat menggigil dengan selimut yang membelit badannya.
" Nggak tahu, Ya. Rasanya dingin banget," keluh Anindita.
" Tapi ini kamu demam tinggi lho, Nin. Sebaiknya kamu periksa ke dokter." Yahya menyarankan.
" Nggak, Ya. Nanti juga membaik kalau aku istirahat." Anindita menolak saran Yahya.
" Aku belikan makanan dan obat ya, Nin?"
" Nggak usah, Ya. Aku ada obat, bentar lagi aku minum lalu istirahat juga pasti akan sembuh.
" Kamu yakin?" tanya Yahya kembali.
" Iya, aku nggak apa-apa." Anindita mencoba meyakinkan.
" Kamu seperti habis menangis, memangnya ada apa, Nin?" selidik Yahya yang mencurigai ada sesuatu yang tak beres dengan Anindita.
" I-itu mungkin karena aku semalam terlalu pusing hingga menangis." Anindita berbohong.
" Kamu nggak sedang berbohong, kan?" selidik Yahya lagi.
" Ng-nggak, kok. Aku nggak berbohong, Ya. Sudah sana kamu berangkat, nanti telat."
Yahya berpikir sejenak seraya memandang Anindita.
" Ya sudah kalau begitu aku berangkat. Tapi kalau ada apa-apa kamu jangan sungkan hubungi aku ya, Nin." Akhirnya Yahya memilih untuk meninggalkan Anindita walaupun dengan rasa cemas.
" Iya, kamu nggak usah khawatir."
Akhirnya setelah Anindita meyakinkannya, Yahya pun pergi meninggalkan rumah kontrakan Anindita menuju toko minimarket milik Koh Leo, tempat di mana Anindita dan Yahya bekerja.
*
*
*
Bersambung ...
Happy Reading❤️
Ricky terbangun saat ponselnya berbunyi. Dia langsung tersentak saat mendapati nama yang muncul di ponselnya itu. Dia langsung menoleh arlojinya yang kini telah menunjukkan pukul 09.10 menit.
" Hallo, posisi kamu di mana sekarang, Rick?" Suara pria terdengar dari ponselnya.
" Maaf, Pak Dirga. Saya masih ada di Malang."
" Kamu masih di sana? Bukankah aku memintamu untuk menghadiri rapat jam sepuluh nanti?"
" Iya, Pak. Saya mohon maaf karena saya ada sedikit trouble di sini."
" Kamu ada masalah? Masalah apa??"
" Emmm, semalam saya menabrak orang, Pak. Dan saya harus membereskan hal itu terlebih dahulu."
" Lalu bagaimana sekarang? Sudah beres?"
" Iya sudah, Pak."
" Cepatlah kembali ke Jakarta jika semua sudah beres."
" Baik, Pak Dirga."
Setelah Dirga, boss dari Ricky itu selesai meneleponnya, Ricky langsung beranjak ke toilet di kamar hotel tempat dia menginap.
Ricky menghentikan gerakannya menautkan kancing kemejanya saat dia menatap tubuhnya di pantulan kaca. Dia menghela nafas dalam-dalam saat mengingat kejadian semalam.
Apa yang terjadi dengan wanita malang itu? Dan dia sendiri tidak sempat mencari tahu di mana wanita itu tinggal, bahkan dia sendiri tidak tahu di mana tempat kejadian semalam.
" Maafkan aku, Nona ... aku berjanji aku akan mencarimu secepatnya."
***
Anindita termenung di atas ranjangnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya esok hari setelah tragedi semalam.
" Ya Allah, kenapa Engkau menderaku dengan masalah seberat ini?" keluh Anindita menangis tersedu seraya memeluk erat lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana.
Ddrrtt ddrrtt
Anindita melirik ponselnya yang berbunyi, nama Koh Leo yang muncul di layar ponselnya. Satu tangan dia megusap air matanya, satu tangannya lagi mengangkat telepon dari Koh Leo.
" Hallo, Koh ..." Anindita menjawab panggilan telepon dari bosnya itu.
" Nin, kata Yahya kamu sakit? Kamu sakit apa? Semalam waktu pulang dari toko kamu kelihatan sehat dan baik-baik saja. Apa terjadi sesuatu semalam, Nin?" tanya Koh Leo khawatir.
" S-saya nggak apa-apa kok, Koh." Anindita berusaha menyangkal.
" Kamu jangan bohong sama Koko, Nin. Yahya bilang mata kamu sembab, kamu habis menangis? Kalau kamu ada masalah kamu cerita saja, jangan dipendam sendiri. Jujur saja semalam waktu kamu pulang, perasaan Koko agak khawatir lihat kamu pulang sendiri lewat jalan gelap dan sepi arah tempat kamu tinggal. Kamu beneran nggak apa-apa ini?" Koh Leo merasa tidak yakin dengan pengakuan Anindita tadi.
" I-iya, Koh. Aku nggak apa-apa." Anindita mencoba meyakinkan bosnya itu. Koh Leo memang dikenal mempunyai sikap yang sangat humble pada pegawainya. Empatinya terhadap karyawan yang sedang ditimpa kemalangan pun sangatlah besar. Tak heran jika usahanya diberkahi hingga semakin lama semakin maju.
" Suara kamu seperti habis nangis. Tadi Yahya bilang lihat mata kamu sembab, sekarang Koko dengar suara kamu terdengar seperti habis menangis. Ada persoalan apa sebenarnya, Nin?" Mendengar perkataan Koh Leo membuat Anindita tak kuat menahan dirinya untuk tidak terisak. Seketika itu juga tangis Anindita langsung pecah.
" Nin, hei ... kamu kenapa?" Koh Leo sampai meninggikan nada bicaranya. Namun tak ada jawaban yang keluar dari mulut Anindita hanya suara Isak tangis saja yang terus terdengar.
" Kamu kenapa, Nin? Ada masalah apa?" Seketika kecemasan melanda di hati Koh Leo, tapi pertanyaannya kembali tak juga mendapatkan jawaban.
" Mi, Mami ... ikut Papi ke tempatnya Anin." Koh Leo memanggil Sandra, istrinya yang baru saja sampai di minimarket milik Koh Leo.
" Ada apa memangnya, Pi?" tanya Sandra.
" Kita cari tahu ke sana sekarang." Koh Leo langsung mengandeng tangan Sandra. " Yahya, Koko mau ke tempatnya Anin dulu, titip toko, ya."
" Anin kenapa, Koh?" Yahya pun langsung nampak gusar saat Koh Leo berkata akan ke rumah Anindita.
" Nanti Koko kabari," sahut Koh Leo. " Koko titip toko," sambungnya.
" Baik, Koh." Yahya menjawab. Sebelum akhirnya Koh Leo dan Sandra pun bergegas menuju tempat tinggal Anindita.
***
" Nin, Anin ... buka pintunya, Nin." Koh Leo menggedor pintu rumah kontrakan Anindita. " Nin, ini Koko sama Cici." Koh Leo terus mengetuk pintu.
" Apa perlu didobrak saja, Pi?" tanya Sandra.
" Jangan, tidak enak dengan tetangga jika harus dobrak rumah orang." Koh Leo tidak setuju dengan ide istrinya itu.
" Lalu gimana, dong? Anin nggak buka-buka pintunya." Sandra mulai cemas. " Kalau Anin bunuh diri gimana, Pi?"
" Jangan sembarang bicara, Mi." tegur Koh Leo.
" Nin, Anin ...! Nin, buka pintunya, Nin ...!" teriak Sandra.
" Jam segini biasanya berangkat kerja orangnya." Seseorang bicara dari arah jalan gang.
" Bapak tahu Anin kerja di mana?" tanya Koh Leo sengaja bertanya seperti itu kepada pria di depan kontrakan Anindita itu.
" Di toko minimarket kalau tidak salah." Pria itu menyahuti.
" Saya pemilik minimarket nya dan hari ini Anin nggak berangkat." Koh Leo menjelaskan.
" Oh, Bapak ini bos nya? Kalau begitu mungkin dia sembunyi karena ditagih uang kontrakan rumah." Orang itu berujar seraya berlalu meninggalkan Koh Leo dan Sandra.
Namun tak lama kemudian pintu ruang tamu rumah kontrakan Anindita terbuka.
" Nin, kamu kenapa?" Sandra langsung menerobos masuk ke dalam saat pintu terbuka dan melihat sosok Anindita yang terlihat sangat kacau. " Badan kamu panas gini, lho. Kita ke dokter saja." Sandra meminta suaminya untuk membawa Anindita ke dokter tapi Anindita menolak.
" Kamu kenapa, Nin? Ada masalah apa?" Koh Leo ikut menanyakan hal yang sama.
Sandra langsung menuntun Anindita untuk duduk di karpet yang ada di ruang tamu.
" Kamu ada masalah apa, Nin?" Sandra mengusap lembut punggung Anindita.
Anindita tak menjawab hanya terdiam seraya terus terisak.
" Nin, apa ada orang yang menyakiti kamu?" tanya Sandra.
" Apa orang yang punya kontrakan ini bersikap kasar menagih uang kontrakan?" Koh Leo menyambung pertanyaan istrinya.
Anindita menggeleng pelan sambil menyeka air matanya.
" Lalu kenapa kamu menangis?" Koh Leo semakin penasaran.
" Saya nggak apa-apa, Koh." Anindita tetap menutupi.
" Kamu jangan bohong, Nin. Tadi kamu ditelpon nangis-nangis. Sebenarnya ada apa? Jangan ditutupi kalau memang kamu ada masalah." Koh Leo tetap mendesak Anindita untuk berkata yang sejujurnya.
" Nin, kita ngobrol di kamar kamu saja, yuk." Sandra membantu tubuh Anindita untuk berdiri.
" Pi, biar Mami saja dulu yang bicara sama Anin." Sandra memilih untuk berbicara empat mata dengan Anindita dan meminta suaminya untuk menunggu di ruang tamu.
" Nin, cerita sama Cici, sebenarnya kenapa kamu seperti ini? Koko bilang semalam kamu pulang sendirian dan dalam keadaan baik-baik saja. Lalu. kenapa sekarang keadaan kamu seperti ini."
Anindita mengigit bibirnya berusaha untuk tidak terus mengeluarkan air mata.
" Nin, biarpun kamu cuma pegawai toko, tapi kami sudah menganggap kalian itu seperti keluarga sendiri. Jadi kamu jangan sungkan sama Cici bicara masalah kamu yang sebenarnya."
" Apa ada orang yang mencelakai kamu, Nin?" Sandra bertanya dengan nada cukup hati-hati.
" Hiks ... hiks ..." tangis Anindita kembali pecah saat mendengar pertanyaan Sandra.
" Nin ..." Sandra menggenggam tangan Anindita yang terasa panas karena demam. " Cerita sama Cici, apa terjadi sesuatu malam itu saat kamu pulang dari toko?" Sandra sendiri merasa berdebar saat menanyakan hal itu. Entah kenapa perasaan tidak nyaman menyeruak di hatinya.
Anindita menelan salivanya dengan menahan rasa sesak di dadanya.
" A-aku, a-aku diperko*sa, Ci." Dengan nada bergetar Anindita mengatakan kemalangan yang menimpa dirinya malam itu.
*
*
*
Bersambung ...
Happy Reading ❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!