NovelToon NovelToon

Alisha

The First Day We've Met

Alisha POV

"Enggak ada yang aneh, cuma gak lazim aja ada yang mau ngajak ngobrol sama aku."

Masih teringat di kepalaku ucapan dari lelaki bermata sipit itu saat aku hendak membeli camilan goreng kepadanya. Tak biasanya aku memakan makanan berminyak itu, namun ada sesuatu yang menarikku agar membeli makanan tersebut. Apa mungkin itu adalah stategi penjualannya? Ah, bisa jadi. Jika diingat lagi, dia termasuk pedagang yang irit bicara saat aku pertama kalinya memulai dialog dengannya. Bahkan aku dianggap aneh karena terus mengajaknya berbicara. Dan kalimat kemarin sore itu sukses membuat aku terus mengingatnya dan bertanya tanya akan dirinya lebih lanjut. Memangnya ada apa dengan dirinya? Kenapa jika ada seseorang yang mengajaknya berbicara seolah olah itu adalah hal yang sangat aneh bagi dirinya? Ah, gara gara dia, sekarang aku jadi tidak konsen mendengar penjelasan guru di depanku ini.

Tapi, dilihat dari wajah serta postur tubuhnya, aku yakin dia masih disebut sebagai siswa, mungkin sebaya denganku.

'Tapi kenapa malah jualan gorengan dipinggir jalan sih? sayang banget kan muka mulus gitu.' kataku dalam hati mengingat kembali wajahnya yang menurutku amat tidak cocok untuk berpanas panasan dengan sinar matahari dan wajan penggorengan itu. Ia malah terlihat seperti seorang selebgram atau aktor drama China yang sering kali ku tonton.

"Heh kamu Alisha! Apa kamu sudah mengerjakan soalnya? Kamu melamun terus dari tadi saat bapak perhatikan." seru Pak Toto, guru matematika di kelasku yang membuat lamunanku terbuyarkan oleh seruannya.

"Emm sebentar pak." jawabku yang mulai tersadar dari lamunanku sambil tergesa membuka halaman soal yang ditugaskan di papan tulis. Aku pun membacanya dengan seksama, khayalanku tentang lelaki itupun menghilang berganti dengan sebuah soal angka yang cukup sulit kupecahkan. kemudian aku mencoba meneliti dan mencari jalan keluar soal tersebut. Tidak terlalu sulit ternyata, dua menit kemudian aku selesai mengerjakan.

Ku edarkan pandanganku kepada teman temanku yang ternyata masih berkutat dengan soal soalnya. Jari-jarinya bahkan ada yang tak sadar terus bergerak seperti sedang menghitung.

"Lish, lihat dong." pinta Dina dengan bisikan, ia adalah teman sekelas yang duduk di sebelahku. Di belakang bangku juga aku memiliki teman dekat, dia adalah Kina. Tubuhnya lebih mungil dariku dan ia sangat lemah, begitu mudah terserang penyakit.

Buku tulis milikku yang masih terbuka segera digeser ke hadapan Dina agar ia segera menyalinnya di buku miliknya sendiri.

Aku pun membiarkannya, kami sudah terbiasa berbagi jawaban. Karena ada kalanya aku juga kesulitan menjawab dan memilih meniru jawaban kepada Dina jika ia sudah mengerjakannya, kalian tahu kan, ini semacam bisnis, dimana kedua belah pihak sama sama diuntungkan dari kerja sama yang telah disepakati.

Abaikan, kalian jangan pernah coba mengikuti saranku. Itu bukanlah aturan untuk kalian patuhi, meskipun aturan itu sering kali digunakan saat waktu sempit.

"Ada yang sudah? coba maju kedepan. Tulis di papan." titah Pak Toto yang dibalas dengan gelengan para siswa. Sudah lima menit berlalu sejak aku selesai mengerjakan tugas itu, namun belum ada satu pun lagi teman temanku yang terlihat sudah selesai mengerjakannya.

Kemudia Pak Toto melihat dan menunjuk kearahku yang masih mengedarkan pandangan memastikan bahwa memang benar belum ada teman temanku yang sudah selesai mengerjakan soalnya.

"Kamu Jumsih. Sudah selesai dengan jawabannya?" Kacamata yang membingkai wajah tua itu sedikit menurun ke bawah disaat Pak Toto menunduk ke arahku.

"Loh, kok Jumsih pak! Saya Alisha pak." ucapku tak terima dipanggil Jumsih. Sedikit informasi, bahwa Pak Toto ini tipe guru pelupa yang suka memanggil nama siswanya sembarangan, dan aku adalah salah satu siswa yang sering terpanggil olehnya secara sembarang itu.

"Terserah Bapak, mau manggil kamu Jumsih, Esih, Eti, Ningsih juga. Sudah cepat kamu tulis jawaban kamu, nanti disamakan dengan jawaban bapak. Lama kalau nunggu kalian semua selesai." perintahnya yang langsung disoraki protesan oleh semua murid.

"Diam diam! Cepat Esih." Pak Toto kembali memanggilku dengan nama yang salah.

"Ish bapak. Dibilangin Alisha." Aku menggerutu, lalu menyeret buku yang masih di tangan Dina dan beranjak dari kursi mengambil spidol dan menuliskan jawabanku di papan tulis. Kuabaikan wajah Dina yang memelas karena sumber jawabannya sudah kuambil secara paksa.

Setelah selesai menyalin jawaban ke papan tulis, aku kembali ke kursiku lagi dan menutup buku di atas meja karena kulihat Dina sudah selesai menyalin tulisanku yang berada di papan tulis.

"Nah pintar juga si Elis. Heh, kalian semua. Contoh tuh si Elis, belajarnya makin ningkat. Jadi kan bisa mengerjakan soal soal sulit seperti tadi." ceramah Pak Toto yang banyak tidak mendengarkan, dan kulihat, mereka, maksudku teman temanku, malah mencibir guru yang sudah berumur itu diam diam.

Hingga akhirnya, pembelajaran Matematika pada hari ini malah dilanjutkan dengan ceramahan Pak Toto sampai bel Istirahat pertama berbunyi.

Sepeninggalnya Pak Toto dari kelas. Aku bersama Dina, teman sebangku-ku keluar untuk membeli makanan.

Seperti biasa, selalu saja setiap jam istirahat teman temanku yang malas keluar kelas menghalang halangi kami yang ingin keluar agar berbaik hati mau menerima titipan pesanan dari mereka.

"Eittss ... Lish ke kantin? Titip nasi sama ayam ya." ucap Gilang tiba tiba menghampiriku dengan tangannya yang mengulurkan uang lembar sepuluh ribu kepadaku.

Aku menggeleng, lalu uluran tangan Gilang beralih ke hadapan Dina.

"Din? Please lah!" pinta Gilang dengan wajah memelas, berbanding terbalik dengan nada suaranya yang terdengar memerintah dan tak bisa dibantah. Khas seorang ketua kelas.

"Ogah. Aku mau ke Koprasi ya.. sama Dina juga. Jadi buat kalian kalian yang mau nitip ke kantin, menyingkir!" tolakku sarkastis sambil berjalan keluar kelas bersama Dina.

"Awas ya kalau kalian ternyata ke kantin." Terdengar jelas ancaman Gilang hingga keluar kelas, tapi ku biarkan, karena aku dan Dina kali ini memang hanya ingin pergi ke koprasi siswa sekalian untuk menabung.

Saat menuruni tangga terakhir, kulihat sosok pendiam dan cuek yang kemarin aku ajak bicara menampakkan diri dengan kaus putih lusuh dengan celana cokelat pendek selutut tengah menjinjing keresek putih yang aku tahu apa itu isinya.

"Dika!" seruku dengan suara keras. Kulihat keadaan sekitar sebelum menghampirinya. 'Untungnya lingkungan disini sekarang sepi.' Dia menoleh kearahku dan sedikit terkejut.

Melihat reaksinya yang melihatku seperti itu membuatku cemberut kesal merasa tak enak. 'Bisa bisanya dia kaget sepertu melihat penjahat saat melihat diriku.'

Meskipun begitu, aku sedikit berlari menghampirinya dan bertanya perihal kenapa dia bisa ada di sekolah ini saat waktu istirahat belajar.

"Mau kemana?" tanyaku begitu sampai di hadapannya.

"Nganter pesanan. Udah ya." jawabnya terburu buru dan mempercepat langkahnya seperti sedang menghindar dariku membuatku merasa semakin kesal padanya.

"Siapa Lis?" tanya Dina yang kini berada di sampingku.

"Kepo." ucapku seraya menjulurkan lidah sedikit merespon keingin tahuan Dina akan laki-laki tadi.

"Dih. kamu naksir sama emang emang itu ya?" tuduh Dina seraya menunjuk punggung Dika yang hendak memasuki ruang guru.

"Apaan sih gak nyambung banget. Lagian dia bukan emang-emang ya. Dia seumuran sama kita kayaknya. Ayolah, gak usah dibicarain lagi." Beritahuku yang langsung mengalihkan pembicaraan setelahnya.

"Sama aja Lish, emang dagang haha." Dina tertawa keras sehingga aku mencubit lengannya gemas membuat ia meringis kesakitan.

"Ayo."

*****

Jam pelajaran terakhir sebentar lagi selesai. Ku lirik terus jam dipergelangan tanganku berharap agar jarum jam panjang tersebut segera menuju tepat di angka enam.

Ku kipas kipas badanku menggunakan telapak tangan yang basah oleh keringat karena telah melakukan kegiatan olahraga yang cukup melelahkan, ditambah pula dengan panas matahari yang tepat berada diatas kepala yang membuatku basah kuyup oleh keringat dan merasa sedikit pusing.

"Pak, pulang ya. Ke kelas deh, capek nih." pinta Rara, temanku yang sedang meluruskan kakinya di depanku kepada Pak Mino yang sedang duduk santai di kursi plastik memainkan ponselnya.

"Sebentar lagi. Itu yang laki laki belum selesai main bolanya." jelas Pak Mino yang memang waktu pulang masih sepuluh menit lagi.

"Yah pak. Biarin aja laki mah." Protes seseorang dari belakang, salah satu temanku lainnya. Aku-pun mengangguk menyetujuinya.

"Tapi ke kantin boleh kan Pak?." tawar satunya lagi.

"Yaudah sana. Tapi jangan sampai ketahuan sama keamanan. Apalagi kepala sekolah." ucap guru olahragaku memberi keringanan. 'Guru olahraga emang terbaik."

"Yes, makasih pak." Semua murid perempuan kompak berdiri dan berjalan dengan tergesa pergi ke kantin, termasuk diriku.

"Heh mau kemana? Udah balik?"

tanya salah satu murid lelaki yang sedang bermain sepak bola.

"Ke kantin." teriak Windi tanpa menoleh kearah para lelaki dan terus berjalan sedikit melenggokkan badan.

"Eh titip minuman buat semua cowok." Seperti biasa, Gilang setengah maksa memerintah, sang ketua kelasku.

"Ogah." jawab murid perempuan serempak mengikuti gaya Windi tadi. Kemudian kami tertawa bersama melihat kekompakan yang baru saja terjadi.

PreFix We are Friends

Pukul 15.30 aku baru keluar dari gerbang sekolah setelah sebelumnya aku piket kelas terlebih dahulu bersama Dina dan teman teman lainnya.

"Duluan ya." kata Dina seraya menaiki motor yang dikendarai oleh Reno, pacarnya.

"Iya sana, pegangan yang kuat biar gak jatuh haha." ucapku mengingatkan dengan nada gurauan yang dibalas dengan acungan jempol dari Reno.

Setelah Dina dan Reno menghilang dari pandanganku, aku melangkahkan kaki ku menuju Alun alun kota. Kulihat sekelilingku selama kaki ku melangkah menuju arah utara alun alun menuju ke sebuah gerobak dagangan yang selama ini menarik perhatianku.

'Bukan gerobaknya sih, tapi orangnya. Hihi.'

Aku tersenyum kecil mendengar pengakuan kata hatiku sendiri. Ku lirik kiri kananku, takut ada yang memperhatikan ku senyum senyum sendiri. Aku bisa di anggap gila oleh orang yang melihatnya.

Setelah menyebrangi jalan, ku percepat lagi langkah kaki ku agar bisa cepat tiba di lapak dagangan miliknya yang kebetulah di pinggir jalan 'Ya namanya juga kaki lima lis.' kata hatiku kembali bersua mengingatkan.

"Permisi mas?" tanyaku sopan kepadanya yang kulihat sedang sibuk menggoreng bakwan di wajan besar.

"Ya mau beli apa?" tanya nya tanpa menoleh kepadaku, ia ternyata masih sibuk dengan kegiatan menggorengnya.

"Campur boleh." jawabku mendekat kearahnya. Ku lihat dia menengok ke arahku.

"Ck kau lagi." balasnya dengan muka masam. Aku pun cemberut melihatnya.

"Emangnya kenapa? Kan mau beli." selorohku sambil menepuk bahunya, 'Sok akrab!'

"Ganggu." jawabnya singkat.

"Yang lain juga ganggu." Aku mencoba tak mengalah sembari melihat orang orang di sekitarku yang hendak membeli gorengan kepada Dika.

"Tapi mereka gak secerewet kamu." jawabnya lagi ketus.

"Biarin. Pembeli kan ratu, jadi harus dilayani dengan baik."

"Dan kamu adalah ratu paling menyebalkan yang pernah ku temui." ucapnya sarkastik.

"Makasih yang mulia raja." Aku terkekeh mendengar perkataanku sendiri yang tidak direspon olehnya. 'Geli juga haha.'

"Berapa?" ucapnya mengacuhkan perkataanku namun mencoba melayani pesananku.

"10 deh. Aku duduk ya." Aku pun duduk di kursi panjang yang disediakan di belakang. Kulihat dirinya yang cekatan bergerak kesana kemari dalam bekerja, terlihat betapa mahirnya ia dalam memotong dan mengolah bahan. Hingga lama lama aku terhanyut dalam lamunan akan dia.

"Hm sayang sekali." ucapku lirih.

"Apanya yang sayang?" tanya Dika yang berdiri tepat di depanku sambil menyodorkan plastik putih yang berisi gorengan sesuai pesananku.

"Eh?" Aku tersadar dari lamunanku.

"Nih. Mana uangnya?" tanyanya tidak sabar sambil menyodorkan keresek tadi kepadaku dan menagih pembayarannya.

"Sebentar." Aku merogoh uang di dalam tas dan dompetku. Namun selembar kertas pun tak jua kutemukan. 'Duh, dimana ya? kok gak ada? apa tadi dipake jajan?'

"Ehm..Kalau gorengannya dikembalikan gimana?" Aku resah karena baru ku ingat bahwa uangnya tadi aku belikan bakso di kantin!

"Eh? Gak terima pengembalian barang." ucapnya menolak.

"Tapi uangnya gak ada." Aku usahakan wajahku se memelas mungkin meminta keringanan padanya.

"Terus kenapa beli kalau gak ada uang!?" Ia berucap sedikit membentak. Aku tak suka! Kenapa ia kasar sekali. Aku ingin menangis, tapi sebisa mungkin aku tahan.

"Aku gak ingat kalau uangnya udah habis. Aku juga gak tahu gimana pulangnya nanti." ucapanku mulai terbata bata menahan tangis karena semua uangku sudah habis dibelikan saat di kantin sekolah tadi.

"Aku.. Besok deh bayarnya ya.. Dik..." ucapku mencoba bernegosiasi dengan Dika. Tak lupa wajah memelas ku tampilkan agar Dika mau memberikan rasa empatinya terhadapku.

"Gak usah sok akrab deh. Udah, gak usah bayar bayar." katanya berbalik badan menghampiri gerobaknya kembali. Aku tahu dia marah.

"Sekalian gak usah kesini lagi." lanjutnya dingin.

Aku sedih mendengar kalimat tak berprikepembelian itu. Aku kan cuma mau beli, cuma ya ada modus modus nya sedikit.

"Makasih." ucapku lirih meninggalkan dirinya yang tetap mengacuhkanku.

Pukul 5 sore aku sampai di rumah setelah turun dari bus dengan uang yang dipinjamkan oleh Dina saat aku sedang berkeluyuran di tengah alun alun dengan wajah yang menyedihkan. 'Syukur syukur aku ketemu Dina tadi.'

Ku taruh sepatu di rak depan rumah kemudian membuka pintu mengucapkan salam.

"Bawa apaan Lis?" tanya mama yang sedang duduk menonton TV.

"Gorengan." jawabku lesu kemudian meletakkan keresek berisi gorengan di meja tempat mama duduk.

Aku beranjak ke kamar untuk membersihkan diri. Ketika sedang menyisir rambut, aku teringat kejadian tadi sore dengan Dika.

"Ma... besok uang jajannya tambahin sepuluh ribu ya." teriakku masih dari dalam kamar.

"Buat apa? Emang gak cukup uang jajan yang biasa mama kasih?"

"Buat bayar gorengan." jawabku jujur.

"Kamu bawa makanan hasil hutang? Bisa bisanya, malu maluin ih." jawab mama mengejek, namun dapat ku tebak mama sedang membuka keresek berisi gorengan itu untuk dimakan.

"Ih mama kan uangnya habis, terus gak bisa dibalikin lagi gorengannya." jawabku masih kesal karena mengingat perlakuan Dika, sang penjual yang jauh dari kata ramah itu.

"Ck kamu ya, kalau mau jajan liat dulu dompet. Nanti mama kasih." Mamaku akhirnya berbaik hati memberikan uang jajan lebih untuk membayar jajananku yang belum ku bayar itu.

"Iya ma."

Keesokan harinya setelah pulang sekolah aku kembali menghampiri Dika yang sedang berjualan. Terlihat wajah ketusnya nampak saat melihat aku kembali ke tempat dagangnya.

"Nih." Tanpa basa basi aku menyodorkan uang sepuluh ribu untuk gorengan kemarin yang belum ku bayar.

"Kamu gak bakal lupa apa yang aku omongin kemarin." ucapnya tak menerima uang yang ku asongkan kepadanya.

"Kenapa kamu begini? Aku cuma mau kenal sama kamu, aku gak bahaya in kamu, aku gak berbuat jahat. Kenapa kamu bertindak seolah olah aku ini berbahaya." sungutku yang sudah tak bisa menerima keketusannya.

'Cowok kok ketus banget.'

"Karena kamu gak pantes buat kenal atau berhubungan denganku" jelasnya sedikit kasar agar aku berhenti mendekatinya. Aku tahu dia risih, tapi entah kenapa aku ingin lebih mengenalnya dan dekat dengan dirinya.

"Kenapa?" tanyaku lirih.

"Bang nitip dagangan ya." pinta Dika kepada pedagang minuman di sebelahnya sambil berjalan menjauhiku, mengacuhkan aku dan meninggalkanku sendiri di depan gerobaknya.

Aku yang merasa hal ini belum selesai memilih mengikutinya dan membawa kembali uang yang tadi di biarkan tersimpan di atas meja olehnya.

"Kamu mau kemana?" tanyaku yang masih mengikuti di belakangnya.

"Pulanglah." perintahnya sambil berhenti berjalan tanpa menoleh ke arahku kemudian melangkah lagi memasuki gang sempit perkomplekan cina.

"Gak." ucapku tegas sambil menyamakan langkahnya.

Dika terus berjalan tanpa menengok ke arahku hingga akhirnya betis ku tergores oleh besi karat dari bangunan di sisi kananku karena aku berjalan terlalu menyisi. Ku lihat betis ku yang sedikit mengeluarkan darah dan perih, lalu ku tiup tiup untuk menghilangkan sedikit rasa perihnya.

Saat aku melihat ke depan, aku tak dapat melihat Dika lagi di sana. Entah kemana dia. Aku pun bingung harus kemana dan komplek disini sangatlah sepi.

Ku teruskan langkahku ke depan mencari warung terdekat untuk membersihkan lukaku sekalian membeli plester.

Akhirnya di pertigaan gang sempit ini aku menemukan warung kecil yang di sebelahnya terdapat masjid kecil, atau mungkin bisa disebut mushola.

'Ah bisa sekalian sholat.' pikirku.

Aku berjalan menuju mushola tersebut dengan jalan sedikit pincang. Aku harus segera sampai agar bisa membersihkan luka ku ini, aku takut bisa berinfeksi parah.

"Kenapa?" Aku mendengar seseorang bertanya kepadaku saat aku akan memijakan kaki di lantai mushola. Kudongakkan kepalaku yang tadi sedang melihat luka ku.

"Eh? Kamu sholat?" tanyaku bingung kepada Dika yang berdiri di depanku. Aku pikir dia-.

"Itu kewajibanku." jawabnya acuh kemudian mengambil sendal untuk dipakainya kembali.

Aku menghela nafas melihatnya, biarlah, mending bersihin dulu lukanya terus sholat, terus pulang!

Aku langkahkan kaki ku menaiki lantai mushola dengan pelan. Ku simpan tas ku di dalam mushola dan keluar lagi mencari tempat wudhu.

Aku meringis sesekali ketika air tersebut menyentuh luka ku. 'Perih.'

Setelah selesai sholat ashar aku memakai kembali sepatu ku dan menghampiri warung untuk membeli plester.

"Permisi." ucapku memberi tahu kepada pemilik warung bahwa ada pembeli.

Aku tidak melihat dan mendengar sahutan pemilik warung tersebut. Tapi warung tersebut masih buka.

Aku memutuskan menunggu sambil duduk di kursi panjang depan warung itu sambil memainkan ponselku.

Tak lama kemudian aku melihat dia keluar dari warung tersebut sambil membawa baskom dan keresek putih. 'Dika.'

"Ehm yang punya warung kemana ya?" tanyaku kepadanya yang kini duduk di sebelahku.

"Ada lagi sholat." jawab Dika cuek dengan tangan yang mengeluarkan benda benda dari dalam kresek yang dibawanya.

"Oh. Aku mau beli plester dua, boleh di ambilin gak? Aku pikir kamu kenal pemilik warung ini."

"Gak usah. Mana lukanya?" Dika menanyakan keberadaan lukaku.

Aku memperlihatkan kaki kiriku yang sedikit masih mengeluarkan darah. Dia mengangkat sedikit kaki ku ke pangkuannya dan mengompres luka ku dengan air dingin di baskom. Aku kembali meringis saat rasa perih hadir di betisku yang terluka.

Ia dengan telaten membersihkan lukaku tanpa banyak bicara. Ku pandangi wajah seriusnya yang sesekali mengkerut mencoba sepelan mungkin membersihkan lukaku membuatku tersenyum melihat raut wajah yang menurutku imut tersebut.

"Kenapa senyum?" tanya nya sambil membuka kain kasa dan membungkus lukaku dengan kain kasa itu setelah ditetesi obat merah.

"Sakit."

"Kamu aneh."

"Hm. Kamu tinggal di daerah sini? Aku boleh main ke rumah kamu? Kamu tinggal sama siapa?"

Aku terus saja mengoceh berharap Dika yang sedang mengobati lukaku itu meresponnya, namun hanya gumaman tak jelas Dika lontarkan membuatku akhirnya menyerah dan kembali diam.

"Aku minta maaf." ucapku setelah beberapa saat tadi terdiam. Dika menolehkan kepalanya melihatku, mimik wajahnya menunjukan pertanyaan kenapa aku berkata seperti itu. Namun aku hanya mengedikkan bahu enggan menjelaskan.

Karena aku rasa aku sudah sadar dan keterlaluan telah mengganggunya terus menerus sehingga ia kelihatan risih akan kedatanganku.

"Oh iya, Ini uang yang kemarin, terima ya. Sanksinya aku gak bakal ganggu kamu lagi. Aku pulang ya, makasih obatnya."

Aku beranjak dari posisi dudukku dan membawa tasku untuk ku gendong.

Aku hendak melangkah pergi dari warung tersebut, namun telapak tanganku digenggam oleh Dika. Aku terkejut dan menoleh dengan wajah bertanya.

"Aku antar." ucap Dika yang tiba tiba menawarkan untuk mengantarkanku pulang.

"Hah?" Aku masih terdiam di posisi semula dengan mulut terbuka. Kulihat dia memandang datar ke arahku dan berdiri, masih dengan menggenggam tanganku.

"Aku antar kamu pulang." putusnya kini dengan senyuman pelitnya, sangat tipis sekali sehingga aku sulit menebak apakah dia sedang tersenyum atau tidak.

Aku yang masih mencerna ucapannya hanya mengangguk nganggukkan kepala hingga sesaat kemudian aku tersadar.

"Kamu... Beneran?" tanyaku memastikan. 'Kenapa dia tiba tiba menawariku diantarkan pulang?'

"Ya."

"Oo-ke" ucapku tergagap namun senang sambil mengayun ngayunkan tangan Dika yang masih memegang lenganku.

Start to be near

Alisha POV

Sore bertabur langit senja yang dihalangi oleh bangunan bangunan tinggi membuat pandanganku sedikit terhalangi melihat langit abstrak oranye itu. Sedikit demi sedikit roda ini membawaku ke tepian dari tempat sempit ini, membawa seluruh kebahagiaan yang tadi aku dapatkan bersamanya.

"Kamu beneran mau anter aku sampai rumah? Rumahku jauh loh." kataku yang duduk di belakangnya sembari melihat punggung lebar milik Dika.

"Hm.."

"Orang tua kamu gak bakal nyariin kamu?" tanyaku lagi. Memancing dia agar merespon.

"Gak."

"Padahal sebentar lagi maghrib loh."

Aku mencebik kesal ketika Dika tak menjawab, ia sangat irit bicara, dan itu menyebalkan sekali.

"Pasti capek gowesnya, aku berat ya?" tanyaku sekali lagi. Kali ini benar benar untuk memastikan, karena kulihat punggung yang tertutupi kaos putih itu basah oleh keringat.

"Bisa diem gak? Gak sampai sampai kalau kamu ngajak ngomong terus." protesnya yang tak suka mendengarku terus mengoceh mengajaknya bicara.

"Ck aku kan cuma nanya. Kamu gak ikhlas ya? Ya udah turunin aja di sini. Aku bisa naik angkot." jawabku asal saking kesalnya pada Dika.

"Cewek maunya apaan sih?" ucapnya menggerutu.

"Beneran mau sampai sini? Ya udah nih turun." ucapnya benar benar sambil menghentikan laju sepedanya.

"Tuh kan. Baru aja baikan udah main turun turunin aja." Aku turun dari sepedanya sambil menggerutu, ia kembali mengayuh sepedanya ke depan meninggalkanku.

"Dika!" teriakku kesal. Aku berjalan dengan kaki pincang mengejar dirinya yang sudah melaju di depan.

Ia menghentikan sepedanya lalu menengok kearahku sambil tertawa kecil.

"Ayo." Ajaknya dengan senyum lebar membingkai di wajahnya yang baru kali ini kulihat.

'Baru bisa tersenyum kalau lihat orang kesusahan ya?!' Aku menggerutu seraya berjalan mendekat kepada Dika dengan kaki masih terpincang pincang.

Aku hendak menaiki sepedanya saat aku sudah berdiri di dekatnya, tapi ia malah memajukan sedikit sepedanya sehingga aku tak jadi naik, membuat satu kakiku menggantung di udara. Ia sepertinya sedang mempermainkan aku.

"Kenapa!?" tanyaku ketus.

"Masih mau nebengnya?" tanya nya dengan senyuman geli ke arahku.

"Siapa yang nebeng? Kamu kan yang ngajak nganter aku pulang." Aku mencibir karena ucapannya yang seolah olah aku yang memaksanya untuk mengantarkanku pulang.

Aku berusaha menaiki sepedanya kembali, tapi ia memajukan kembali sepedanya sehingga aku gagal naik lagi.

"Ayo, tapi jangan berisik." Ajaknya dengan senyum manisnya.

"Gak tuh. Aku gak berisik ya." jawabku masih dengan nada ketus, tapi tak membuatku menunda nunda untuk naik ke sepedanya, duduk di belakang boncengannya.

"Ayo." ucapku sambil menepuk pundaknya. Dan ia pun kembali mengayuh sepedanya sampai di halaman rumahku.

Sesampainya di rumah, aku mengajaknya masuk ke rumah dulu karena pastinya ia sangat kelelahan.

"Ayo masuk dulu." ajakku sambil menyeretnya ikut ke dalam rumah tanpa meminta persetujuannya.

"Gak papa?" tanya nya memastikan.

"Iya."

Aku membuka sepatuku pelan pelan karena lukanya masih terasa sakit sampai ujung kaki. Aku merasa bahwa Dika sedang memperhatikanku, aku pun mendongak ke arahnya.

"Sakit?" tanya Dika sedikit perhatian.

"Sedikit, ayo."

Ku ucapkan salam sambil membuka pintu tanpa mengetuknya segala. Ku dengar suasana rumah sedikit ramai, mungkin sedang ada tamu. Aku berjalan menuju ruang tengah diikuti Dika di belakangku.

"Ma? Eh om?" Aku terkejut melihat Om Agung sedang berkunjung ke rumah. Kulihat ia sedang asik bermain game sambil mengunyah camilan di pangkuannya.

'Gawat.'

"Lish, baru pulang?" tanya Om Agung yang masih fokus dengan game di ponselnya sambil menyodorkan tangannya untuk ku salami.

Aku pun menyalaminya, berharap ia tak menyadari ada seorang laki laki di belakangku. Tapi alangkah terkejutnya aku saat melihat Dika ikut menyalami tangan Om Agung yang masih terangkat. Aku yang melihatnya hanya meringis, menunggu detik detik om ku tersadar.

Dan benar saja, detik berikutnya saat Dika melepaskan salaman tangannya, Om Agung mengalihkan pandangannya dari ponsel menuju ke arah Dika, lalu menatapku lama. Aku yang ditatapnya hanya bisa tersenyum sambil meringis. Aku tahu arti tatapan om ku yang protektif kepadaku itu, apalagi dengan persoalan laki laki.

"Siapa Lis?" tanya Om Agung mulai meletakkan ponselnya di atas meja dan berdiri di hadapanku dan Dika. Sepertinya game dalam ponselnya sudah tak tertarik lagi dan kini lebih tertarik akan diriku yang membawa Dika mampir ke rumah.

"Saya Dika om." jawab Dika sopan kepada Om Agung.

"Saya nanya nya sama Alish." ucap Om Agung ketus dengan matanya meneliti Dika dari bawah ke atas. 'Apaan sih om.' aku tak tahu kenapa om ku itu harus menatap penampilan Dika seperti itu. Yang pasti Dika merasa risih ditatap seperti itu.

"Ini Dika om, temen Alish." jelasku sambil tersenyum kikuk.

"Om sendiri ke sini? Kak Raya kemana?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keberadaan kak Raya, tunangan om Agung.

"Dia lembur." jawab Om Agung sambil duduk dan mengambil ponselnya kembali.

"Lish? Udah sholat belum? Eh sama siapa tuh?" tanya mama yang baru saja dari dapur dan menghampiriku. Aku mencium tangan mama dan diikuti oleh Dika juga.

"Saya Dika, teman Alisha, kebetulan Alisha pulangnya sore dan kakinya terluka, jadi saya antar pulang." jelas Dika dengan sopan kepada mama agar mama tidak berfikiran negatif tentang kami berdua.

"Loh kenapa bisa luka kakinya Lish?" tanya mama khawatir sambil memeriksa kaki ku yang terluka berbalut kain kasa.

"Ini ma tadi kaki Alish ke gores potongan besi yang nempel di tembok rumah orang."

"Kamu kalau jalan lihat lihat, kan jadi luka begini. Sudah, sekarang kamu mandi terus sholat."

"Ehm, tante saya juga mau ikut sholat?"

Mamaku terlihat seperti terkejut dan terdiam sejenak sebelum membalas perkataan Dika. "Eh? Lohh ... Oh boleh boleh ayo, itu kamar mandinya. Lish kamu bawa handuk baru di lemari kamu untuk Dika." Aku mengangguk meng-iya kan

"Permisi." izin Dika menuju kamar mandi.

"Temen apa temen tuh?" tanya om Agung tiba tiba menghampiri diriku yang sedang berada di kamar dan langsung berbaring di kasur milikku.

"Apa sih om, Dika itu cuma teman Alish." jawabku seraya mengambil handuk di dalam lemari untuk diberikan kepada Dika.

"Awas ya kalau ketahuan pacaran. Om gak akan biarin lama lama." ancam Om Agung yang sudah aku tebak dan selalu menjadi kenyataan, tapi bukan berarti aku sering bergonta ganti pacaran ya. Aku bahkan tak pernah pacaran dan mereka yang mendekatiku langsung menjauh begitu Om Agung bertindak.

Aku tidak tahu apa yang om ku bicarakan pada mereka, hanya saja setelah itu mereka tak mau lagi berhubungan lebih dekat denganku, bahkan ada yang langsung memblokir kontakku dan tak tahu lagi kemana mereka menghilang.

"Siapa juga yang pacaran. Udah ah, Alish mau kasih handuk ke Dika. Om jangan macam macam ya, Dika anaknya baik kok. Makanya Alish mau temenan sama dia." Aku mencoba menyiasati agar Om Agung tidak mengganggu Dika karena memang aku ingin berteman baik dengannya.

Aku pun berjalan keluar dari kamar meninggalkan om ku yang masih ingin berbaring. Aku menunggu Dika di depan pintu kamar mandi dengan dua handuk di tanganku, satu untukku dan satu lagi untuk Dika.

Pintu kamar mandi terbuka. Aku menyerahkan handuk baru sambil terus menatap Dika sehabis wudhu. Tangannya menggosok gosokkan rambutnya yang basah menggunakan handuk pemberianku.

"Ekhm, musholanya dimana Lish?" Dika sedikit berdehem menyadarkanku dari keterpanaanku.

"Alish, kapan kamu mandinya? Waktu maghrib sudah mau lewat." tanya mama di belakangku menyadarkan keterpakuanku.

"Eh iya ma. Itu musholanya Dik." Aku menunjuk ruangan mushola lalu masuk ke kamar mandi terburu buru.

Selesai mandi dan memakai baju, aku langsung ke mushola untuk sholat maghrib. Aku melihat Dika masih ada di sana sambil duduk sila menghadap ke arah kiblat yang berarti membelakangiku. Aku mengambil mukena ku dan memakainya tergesa. Dika menoleh menyadari kehadiranku, kemudian ia berdiri.

"Udah rapi?" Aku hanya mengangguk dan mulai merapalkan niat sholat.

"Iqomah Lish." ucapnya membalikkan badan, menghentikan niat sholatku. Aku melongo tak percaya sambil menatapnya.

"Loh? Kamu belum sholat?" tanyaku tergagap agar tidak terlalu kontras dengan kegiranganku.

"Belum. Cepat iqomah, nanti keburu isya." jelasnya memperingatkanku.

Aku pun melantunkan lafadz iqomah tanpa memikirkan apa apa lagi dan mulai melaksanakan sholat dengan Dika sebagai imamnya. Aku tersenyum sebelum melakukan niat sholat di dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!