NovelToon NovelToon

Sacrifice Of Love

Awal

🌹Happy Reading 🌹

Fahira Gendis Rahayu, gadis cantik bemata coklat dan berbulu mata lentik membuat semua laki-laki akan terpesona dengannya. Tak ada yang menyangka jika gadis berambut seleher model bob adalah seorang Kowad. Dia terlahir dari seorang ibu yang sangat lemah lembut karena berasal dari kota Solo, berbeda dengan ayahnya yang menjadi salah satu pimpinan di Kesatuannya yaitu Kepolisian Indonesia.

Fahira, ya dia lebih tertarik untuk mendaftar Kowad di bandingkan Polwan karena merasa lebih tertantang dalam meraihnya. Dengan kecerdasannya, dia bisa masuk ke akademi militer tanpa bantuan dari sang ayah yang mempunyai kuasa. Dia hanya ingin di lihat sebagai Fahira, bukan sebagai putri dari Brigjen Pol Gunawan Mahendra. Berbeda dengan mamanya yang terkenal anggun dan lemah lembut, sang ayah terkenal dengan sikap otoriternya. Ini yang membuat Fahira lebih suka hidup sendiri tanpa di atur oleh papanya.

Ya, saat ini Fahira memilih bertugas di daerah pedalaman di bandingkan di kota besar yang menorehkan luka. Fahira gadis cantik yang tak ada satu cacatpun di wajahnya pernah mengalami luka yang mendalam karena cinta. Kekasih yang yang begitu ia sayang, ternyata berkhianat dan pergi meninggalkannya tanpa penjelasan.

"Ngelamun aja neng, kesambet hantu hutan seberang bari tahu rasa. " Ucap Letda Gabriel yang membuyarkan lamunan Fahira.

"Ya hantunya kamu." Balas Fahira dengan sengit.

"Lagi enak memandang indahnya alam, eh ada yang ganggu saja." Ucap Fahira kembali.

"Gue kesini kan kasihan ni ye sama dikau. Udah hampir 1 setengah tahun lebih dirimu di sini, tapi masih saja belum bisa move on sama dia " Gabrielpun menyindir Fahira. Dia tahu semua cerita tentang Fahira. Mereka adalah satu angkatan di pendidikan. Karena setiap tahun hanya ada kurang dari 10 casis di setiap angkatan, maka Fahira menjadi salah satu primadona di tempat mereka belajar. Untuk Gabriel, sejak dulu mereka sudah bersahabat. Tidak ada rasa cinta yang tertanam karena Gabriel sendiri sudah mempunyai tambatan hati yang sudah menemaninya sebelum menjadi seperti sekarang. Katanya, beberapa bulan lagi mereka akan menikah.

Sedangkan Fahira, banyak Siswa yang naksir dengannya. Pernah ada satu siswa yang menarik perhatiannya dan merekapun sempat berpacaran, sampai acara Inagurasi pun mereka pergi bersama. Tapi, apa dikata mereka tak berjodoh sehingga putuslah di tengah jalan. Dan sang mantan sudah menemukan pendampingnya. Berbeda dengan sang mantan yang masih berhubungan baik, tapi dengan mantan terakhirnya masih menyisakan trauma hingga ia enggan untuk menjalin sebuah hubungan kembali. Di usianya yang masih 26 tahun ini, dia lebih menyibukkan dirinya untuk menyembuhkan lukanya.

"Sotoy.... " Ucap Fahira membatah perkataan Gabriel.

"Ye lah, nggak usah di tutupin. Dari mata loe aja udah nunjukin jika loe belum bisa move on sama dia. Kayak nggak ada cowok lain aja. Tu si Rafa yang udah di depan mata dan selalu nunjukin perhatian ke loe nggak pernah loe tanggapi. Nah sekarang sama cowok yang udah nyakitin hati loe, malah masih di pikirkan. " Gerutu Gabriel yang gemas dengan sahabatnya.

"Entahlah Bri, gue masih belum percaya dia bisa segitu teganya ma gue. Meskipun dia terkenal flamboyan, tapi ketika sama gue dia tampak tulus dan jujur. Tapi, entahlah. " Ucap Fahira yang berubah sendu mengingat laki-laki tersebut.

"Udah nggak usah sedih. Loe udah pergi jauh ke sini harusnya untuk menyembuhkan luka hati loe. Ya dengan membuka hati lagi, menjadi salah satu penawarnya. " Gabriel pun memberikan nasehat kepada Fahira.

"Tak segampang itu. " Balas Fahira dengan senyuman paksa di bibir nya.

"Terserah loe lah. Gue udah nasehatin loe. Sekarang tinggal gimana loe mau menjalankannya. " Ucap Gabriel kembali.

"Udah sekarang gue traktir makan bakso di warung pojok biar buat kamu sadar dari pada di sini sendiri. " Ajak Gabriel akhirnya.

"Dua mangkok ya. " Jawab Fahira dengan memalak.

"Bushed dah soal makanan number one, langsung semangat aja. " Gabriel pun hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol sang sahabat.

. "Gimana, jadi nggak makan baksonya? "

"Okeu deh. Makasih Gabriel yang ganteng. " Jawab Fahira dengan semangat. Dia pun segera berdiri dari duduk di rerumputan yang terhampar luas. Tidak lupa ia membersihkan celananya dengan menepuk bagian belakang sebelum menyusul Gabriel berjalan.

"Mereka berdua pun pergi ke warung tenda penjual bakso dekat dengan asrama. Jika orang lain melihat, pasti mereka berfikir Gabriel dan Fahira adalah seorang sepasang kekasih. Padahal mereka hanya bersahabat saja.

" Pak, baksonya tiga dan es jeruknya juga. " Ucap Gabriel kepada pedagang bakso.

"Baik om. " Jawab penjual bakso.

Sambil menikmati hamparan pemandangan yang indah di depan warung, Fahira dan Gabriel menunggu pesanannya di buat.

"Ra, bulan depan gue mau balik ke rumah. Loe tahu sendiri gue akan segera menikah. " Ucap Gabriel.

"Gue tahu. " Balas Fahira pendek.

"Berapa lama cutinya? " Tanya Fahira kembali.

"Sekitar 1 bulanan sekalian ambil cuti tahunan." Jawab Gabriel dengan menikmati es jeruk yang sudah di antar ke meja mereka.

"Lama juga, tapi gue bahagia akhirnya loe bisa menikah dengan Gladys."

"Tapi,.... " Ucap Gabriel menggantung.

"Tapi apa? "

"Gue dan Gladys berharap loe bisa datang untuk mendampingi kami menikah. " Jawab Gabriel dengan pelan. Dia ingin Fahira mau datang ke pernikahannya. Dia tahu selama ini Fahira tak ingin pulang ke rumahnya karena akan mengingatkan luka di hatinya. Sifat papanya yang otoriter yang tak memikirkan perasaannya dan kegagalan dan percintaan membuat ia mengasingkan diri dari kota kelahirannya. Dia cukup damai tinggal di wilayah perbatasan dengan negara tetangga ini. Keindahan pantai dan pemandangannya membuat dia enggan kembali. Entah sampai kapan.

Deg...

"Gue nggak janji Bri. Toh ada gue atau tidak di nikahan kalian, gue akan tetap selalu mendoakan untuk kebahagiaan kalian. Apalagi gue juga bisa bertemu Gladys di sini ketika loe boyong dia. " Jawab Fahira.

"Tapi ini keinginan Gladys dan nyokap gue Ra. Loe tahu sendiri nyokap gue sama loe gimana sikapnya. Kadang gue aja kayak di anak tirikan sama beliau.Sampai ngirim makanan aja loe yang utama. Itu juga sama Gladys sikapnya sama. Gue sampai heran mana anak kandung dan bukan. " Curhat Gabriel yang mengingat perlakukan ibunya.

"Hahaha... itu sih salah loe juga. Udah tahu tante Bertha selalu nungguin kabar dari loe. Eh ini yang jadi anaknya nggak pernah menghubungi. Sampai beliau yang gemaspun malah ngubungin gue. " Fahira juga sudah mengenal keluarga besar Gabriel.

"Ya mana gue sempat buka HP, loe tahu sendiri gue latihan di luar 2 mingguan tanpa membawa HP. " Gabrielpun membela dirinya.

Obrolan mereka pun berhenti setelah bakso pesanan mereka sudah di antar ke meja.

*****

Nah... nah ada cerita baru ni. Hayo tebak cerita siapa ini???? 🙈🙈🙈

Jejak Masa Lalu

****

Fahira menatap kosong ke arah cakrawala yang mulai memerah. Matahari perlahan tenggelam di balik barisan pegunungan, memberikan kilau keemasan yang indah pada awan di langit. Namun, seindah apapun pemandangan itu, tidak mampu menghapus rasa kosong yang ia rasakan di dalam hatinya. Sebuah nama yang terus terngiang-ngiang di pikirannya, nama yang sudah berbulan-bulan berusaha ia lupakan: Doni.

Doni Haryadi, lelaki sederhana dengan senyum hangat yang pernah mengisi hari-harinya. Lelaki yang membuat Fahira merasa dihargai tanpa harus menjadi seseorang yang sempurna. Namun, kini lelaki itu menghilang tanpa pesan, meninggalkan kenangan yang menyakitkan dan banyak pertanyaan tak terjawab.

Setahun yang lalu, Fahira masih ingat saat pertama kali ia bertemu dengan Doni di sebuah acara perayaan hari ulang tahun Kepolisian Indonesia. Doni saat itu adalah seorang bintara muda yang penuh semangat. Ia bukan berasal dari keluarga terpandang, tetapi semangatnya untuk melindungi dan mengabdi pada negeri membuatnya menonjol di antara yang lain.

Di tengah suasana formal yang penuh protokol, Doni berhasil mencuri perhatian Fahira dengan candanya yang sederhana namun tulus. Ia tidak berusaha untuk menonjolkan diri seperti yang lainnya. Ketika Doni berbicara, Fahira merasa seolah dunia menjadi lebih ringan. Dalam sekejap, percakapan mereka berubah dari formalitas menjadi pembicaraan hangat tentang mimpi, keluarga, dan cita-cita.

Doni tidak seperti lelaki lain yang mencoba mendekati Fahira karena statusnya sebagai putri seorang Brigadir Jenderal. Ia tidak peduli dengan jabatan ayah Fahira atau latar belakang keluarganya. Bagi Doni, Fahira adalah seorang wanita mandiri yang kuat, yang telah membuktikan dirinya sebagai Kowad dengan usaha kerasnya sendiri.

Namun, semua itu berubah.

Doni tiba-tiba menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, tidak ada alasan. Fahira mencoba menghubungi Doni berkali-kali, tetapi semua pesannya tidak pernah dijawab. Teleponnya tidak pernah diangkat. Bahkan, media sosialnya yang biasanya aktif pun tiba-tiba sunyi.

Pada awalnya, Fahira berpikir Doni hanya sedang sibuk dengan tugasnya. Namun, setelah berminggu-minggu tanpa kabar, ia mulai merasa ada yang tidak beres. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi ketika ia mendengar kabar dari seorang rekan bahwa Doni telah meminta pindah tugas ke daerah terpencil.

"Kenapa dia pergi tanpa memberitahuku?" gumam Fahira dalam hati.

Fahira mencoba mencari tahu alasan di balik keputusan Doni. Ia bahkan meminta bantuan Gabriel untuk menanyakan kabar Doni melalui rekan-rekannya di Kepolisian. Namun, hasilnya nihil. Doni seperti menghilang tanpa jejak.

Gabriel yang biasanya ceria bahkan mulai merasa kesal melihat Fahira terus-menerus memikirkan Doni.

"Ra, lo nggak bisa terus kayak gini. Dia udah pergi, dan mungkin itu artinya dia nggak mau ada urusan lagi sama lo," ujar Gabriel suatu malam saat mereka duduk di depan asrama.

Fahira menghela napas panjang. "Gue cuma mau tahu kenapa, Bri. Gue nggak bisa nerima dia pergi gitu aja tanpa alasan. Apa salah gue? Apa gue kurang cukup buat dia?"

Gabriel menatapnya dengan tatapan serius. "Lo nggak salah, Ra. Kalau dia pergi tanpa bilang apa-apa, itu masalah dia, bukan lo. Lo udah cukup baik, cukup kuat. Dia yang nggak cukup berani buat ngadepin semuanya."

Fahira terdiam. Kata-kata Gabriel memang masuk akal, tapi hatinya tetap tidak bisa berhenti bertanya-tanya.

Di sisi lain, jauh dari Fahira, Doni tengah menjalani kehidupannya yang penuh tantangan. Ia telah memutuskan untuk meninggalkan kehidupan lamanya demi melindungi orang-orang yang ia cintai. Keputusan itu bukanlah keputusan yang mudah.

Doni terpaksa pergi setelah menerima ancaman langsung dari Brigjen Gunawan, ayah Fahira.

"Jangan pernah berpikir kau pantas untuk anakku," kata Gunawan dengan nada dingin ketika memanggil Doni ke kantornya suatu malam.

Doni yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menunduk.

"Aku tahu kau pria baik, Doni. Tapi kau tidak sederajat dengan Fahira. Dia tidak pantas hidup dengan lelaki sepertimu. Kalau kau mencintainya, buktikan cintamu dengan pergi. Jangan biarkan keluargamu menjadi korban," lanjut Gunawan, menekankan kata-katanya dengan tatapan tajam.

Ancaman itu menghantui Doni setiap malam. Ia tahu Gunawan tidak main-main. Sebagai seorang pejabat tinggi di Kepolisian, Gunawan memiliki kekuatan untuk menghancurkan hidupnya dan keluarganya. Doni merasa tidak punya pilihan lain selain pergi.

Namun, meski telah pergi, hati Doni tidak pernah benar-benar jauh dari Fahira. Diam-diam, ia masih terus memantau Fahira dari kejauhan. Ia memastikan Fahira baik-baik saja melalui informasi dari teman-teman lamanya. Kadang, ia bahkan mengunjungi tempat-tempat yang sering dikunjungi Fahira, meskipun hanya untuk melihatnya dari kejauhan.

Kembali ke kehidupan Fahira, bayangan tentang Doni terus menghantui. Ada malam-malam di mana ia terbangun dengan mimpi buruk, memanggil nama Doni di tengah keheningan malam. Luka itu semakin dalam ketika ia mendengar rumor tentang Doni yang kini bekerja di bawah naungan sebuah unit rahasia.

"Sebenarnya siapa dia sekarang? Kenapa dia memilih jalan seperti itu?" pikir Fahira dengan frustrasi.

Di satu sisi, Fahira ingin melupakan Doni dan melanjutkan hidupnya. Namun, di sisi lain, ia tahu hatinya masih terikat pada lelaki itu. Doni adalah orang pertama yang membuatnya merasa dilihat sebagai Fahira, bukan sebagai "putri Brigjen Gunawan."

Suatu malam, ketika Fahira sedang duduk sendirian di balkon asramanya, angin malam yang dingin membawa aroma nostalgia. Ia meraih sebuah liontin kecil yang tergantung di lehernya, hadiah dari Doni pada ulang tahunnya yang ke-25.

Di dalam liontin itu, terselip sebuah foto kecil mereka berdua, diambil saat mereka pertama kali menghadiri acara bersama. Senyuman Doni yang tulus dan tatapan lembutnya terasa begitu nyata, seolah ia ada di hadapannya saat itu.

"Doni... kenapa kau pergi tanpa menjelaskan apa pun?" bisik Fahira dengan mata berkaca-kaca.

Liontin itu kini menjadi satu-satunya pengingat tentang Doni yang masih ia simpan. Fahira tahu ia harus melepaskan masa lalu, tetapi kenangan bersama Doni terlalu kuat untuk dilupakan.

Di tempat lain, Doni duduk di tepi sungai yang mengalir deras, memandangi bulan yang memantulkan cahayanya di atas air.

"Doni, apa kau yakin dengan keputusanmu?" tanya seorang rekan yang duduk di sebelahnya.

Doni hanya tersenyum tipis. "Aku tidak punya pilihan. Ini demi kebaikannya."

"Tapi kau menyakitinya dengan pergi begitu saja," sahut rekannya.

"Aku tahu," jawab Doni pelan. "Tapi kalau aku tetap di sampingnya, aku hanya akan membawa masalah. Lebih baik dia hidup tanpa aku."

Meski terlihat tegar, di dalam hatinya, Doni merindukan Fahira lebih dari apa pun. Namun, ia tahu bahwa cinta saja tidak cukup untuk melindungi seseorang.

Jejak masa lalu mereka kini menjadi luka yang terus terbuka. Bagi Fahira, kepergian Doni adalah misteri yang tidak terpecahkan. Sementara bagi Doni, meninggalkan Fahira adalah pengorbanan terbesar yang pernah ia lakukan.

Namun, mereka tidak tahu bahwa takdir sedang merangkai jalan mereka kembali. Jejak masa lalu itu akan membawa mereka pada perjalanan baru yang penuh ujian, sekaligus harapan.

#Happy Reading#

Perpisahan yang Menyakitkan

*******

Fahira masih mengingat malam itu dengan jelas. Suara hujan yang deras menghantam atap, angin yang berhembus kencang, dan perasaan tidak menentu yang terus menghantui pikirannya. Doni berdiri di hadapannya, wajahnya tampak berat seolah menyembunyikan sesuatu yang besar. Ia tidak lagi tersenyum hangat seperti biasanya.

"Kenapa kamu tiba-tiba ingin bertemu di sini, Don?" tanya Fahira, mencoba menyelami pandangan dingin di mata pria yang selama ini mengisi hatinya.

Doni tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Fahira dengan penuh keraguan. Tangannya mengepal kuat, seolah menahan sesuatu yang ingin ia sampaikan tetapi terlalu menyakitkan untuk diucapkan.

"Fahira," ucap Doni akhirnya, suaranya terdengar serak. "Aku ingin kita... berhenti di sini."

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah hujan. Jantung Fahira seketika berhenti berdetak. Ia menatap Doni dengan mata membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Apa maksud kamu, Don? Berhenti di sini? Kita bahkan belum memulai apa-apa," ucap Fahira, suaranya bergetar.

Doni mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menatap mata Fahira yang penuh dengan kekecewaan. Ia tahu bahwa setiap kata yang ia ucapkan saat ini akan melukai Fahira, tetapi ia tidak punya pilihan.

"Ini yang terbaik untuk kita berdua, Fahira. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku harus pergi," ucap Doni, mencoba terdengar tegas meski di dalam hatinya ia berperang dengan dirinya sendiri.

"Tapi kenapa, Don? Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Kalau ada masalah, kita bisa bicara. Jangan seperti ini," pinta Fahira, suaranya mulai pecah. Air matanya mengalir tanpa ia sadari.

Doni merasa dadanya sesak. Ia ingin memeluk Fahira, ingin mengatakan bahwa ini bukan salahnya. Tetapi ancaman dari ayah Fahira terus terngiang di pikirannya. Jika ia tetap bersama Fahira, keluarganya akan menjadi korban. Ia tidak bisa mengambil risiko itu. Fahira adalah cintanya, tetapi keselamatan keluarganya adalah yang utama.

"Fahira, ini bukan salahmu. Ini keputusan yang harus aku ambil. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku. Seseorang yang bisa memberikanmu kehidupan yang layak," ucap Doni dengan nada dingin yang dipaksakan.

Fahira menggelengkan kepala. Ia tidak peduli dengan alasan yang Doni berikan. Baginya, cinta adalah tentang menerima segala kekurangan, bukan menyerah di tengah jalan.

"Kamu tahu aku tidak peduli dengan semua itu, Don. Aku mencintaimu apa adanya. Kenapa kamu tidak percaya padaku?"

Doni menutup matanya, mencoba menahan emosi yang memuncak. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ia mencintai Fahira lebih dari apa pun, tetapi kata-kata itu hanya akan membuat segalanya semakin sulit.

"Fahira, aku harus pergi. Jangan mencariku. Jangan mencoba menghubungiku lagi," ucap Doni dengan tegas. Dengan ingin cepat-cepat berpaling menahan butiran kristal yang pecah dari matanya agar tak terlihat oleh sang pujaan hati.

Fahira berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Kata-kata Doni seperti pisau tajam yang menghujam jantungnya.

"Doni, tolong... jangan lakukan ini," ucap Fahira dengan suara lirih.

Namun, Doni tidak menjawab. Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Fahira yang kini terisak di bawah hujan deras. Meratapi nasib hatinya kedepannya. Dan semestapun tahu bagaimana perasaannya saat ini.

Hari-hari setelah perpisahan itu adalah hari-hari terberat dalam hidup Fahira. Ia mencoba mencari alasan di balik keputusan Doni, tetapi tidak menemukan apa-apa. Setiap kali ia mencoba menghubungi Doni, teleponnya tidak pernah diangkat. Pesan-pesannya hanya berakhir tanpa balasan.

Gabriel, yang melihat perubahan drastis pada Fahira, mencoba memberikan dukungan sebisanya.

"Ra, lo harus kuat. Gue tahu ini berat, tapi hidup lo nggak berhenti di sini," ucap Gabriel suatu hari ketika mereka duduk di tepi pantai.

"Aku cuma pengen tahu kenapa, Bri. Apa salahku sampai dia tega pergi begitu aja?" tanya Fahira dengan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis.

"Lo nggak salah, Ra. Kadang orang pergi bukan karena lo kurang, tapi karena mereka yang nggak cukup kuat buat tetap tinggal," jawab Gabriel, mencoba menenangkan.

Fahira terdiam. Kata-kata Gabriel masuk akal, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan rasa sakit di hatinya.

Sementara itu, jauh dari Fahira, Doni menjalani kehidupan yang penuh dengan rasa bersalah. Keputusan untuk meninggalkan Fahira adalah keputusan terberat yang pernah ia ambil, tetapi ia tahu itu adalah satu-satunya cara untuk melindungi orang-orang yang ia cintai.Doni yang terkenal ceria dan banyak bicara, sekarang berubah menjadi Doni yang dingin tak tersentuh.

Doni kini bekerja sebagai bagian dari tim rahasia yang ditugaskan di wilayah konflik. Kehidupannya dipenuhi dengan misi berbahaya dan ancaman yang datang dari segala arah. Tetapi, di tengah hiruk-pikuk itu, pikirannya selalu kembali pada Fahira.

Setiap malam, ketika ia duduk sendirian di barak, ia membuka sebuah foto kecil yang ia simpan di dompetnya, foto Fahira yang tersenyum cerah. Foto itu adalah satu-satunya pengingat tentang cinta yang pernah ia miliki.

"Doni, apa lo yakin dengan keputusan lo?" tanya salah satu rekannya suatu malam ketika mereka sedang berjaga.

Doni hanya tersenyum tipis. "Kadang keputusan yang benar nggak selalu yang paling mudah. Gue cuma pengen dia bahagia, meski itu artinya gue harus pergi."

"Tapi lo nggak bahagia, kan?"

Doni tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah langit malam yang penuh bintang. Ia tahu rekannya benar, tetapi ia memilih untuk mengabaikan perasaan itu.

Waktu berlalu, tetapi luka di hati Fahira tidak kunjung sembuh. Setiap kali ia melihat sesuatu yang mengingatkannya pada Doni, rasa sakit itu kembali menghantamnya.

Suatu malam, Fahira menemukan liontin yang pernah diberikan Doni sebagai hadiah ulang tahun. Ia memegang liontin itu erat-erat, seolah mencoba merasakan kehadiran Doni melalui benda itu.

"Doni... kenapa kamu pergi tanpa memberiku alasan?" bisiknya pelan.

Liontin itu adalah satu-satunya benda yang membuat Fahira merasa Doni masih ada di dekatnya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia harus mulai berfikir jernih dengan mencoba menghapus jejak-jejak masa lalunya yang sudah meninggalkan bekas luka yang mengangah.

Di tempat lain, Doni duduk di tepi sungai, memandangi air yang mengalir deras. Hatinya penuh dengan kerinduan yang tak bisa ia ungkapkan. Kenangan kebahagiaan, canda dan tawa Fahira sudah tertanam di relung hatinya.

"Fahira, maafkan aku," bisiknya pelan.

Meskipun mereka terpisah oleh jarak dan keadaan, cinta mereka tetap hidup di dalam hati masing-masing. Namun, takdir sepertinya belum selesai merangkai cerita mereka. Perpisahan yang menyakitkan itu hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan ujian dan harapan.

.. *****.......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!