...#Akumautanya...
...Kalian nemu cerita ini dari mana?...
...Cantik menurut kalian itu seperti apa?...
.......
.......
.......
Tidak ada yang spesial dari Harin. Dia tidak begitu cantik. Tidak tinggi, tidak terlalu pintar, tidak populer, tidak fashionable, dan tidak punya pacar.
Sejauh ini keadaan Harin baik-baik saja. Keluarga yang harmonis dan teman yang begitu setia. Bagi Harin itu sudah cukup. Jauh lebih cukup dari pada punya banyak teman yang penuh racun.
Ya, meskipun kadang Harin disebut cewek aneh. Jarang tersenyum dan matanya yang tajam membuat sebagian orang enggan berinteraksi dengan gadis itu. Kadang terlihat suka melamun, berbicara sendiri dan melakukan sesuatu yang membuat orang lain bertanya-tanya.
Seperti saat ini. Tanpa rasa takut Harin duduk di pinggiran pembatas rooftop sekolah. Mengamati sekitar dari atas. Tidak banyak yang menarik. Hanya lalu-lalang murid lain.
"Lihat, deh. Kasihan ya perempuan itu. Sebentar lagi mati." Elise menunjuk perempuan berkacamata tebal yang sedang membawa tumpukan buku menuju area perpustakaan. Gadis kecil itu tersenyum samar-samar dari balik rambutnya yang menjuntai.
"Takdir." sahut Harin cuek.
"Tidak, bukan takdir." Elise menyangkal. Tahu apa yang akan terjadi pada perempuan berkacamata tebal itu.
Harin menoleh ke sisi kirinya. Menatap anak kecil yang duduk dengan kaki diayunkan. "Kamu pikir kematian bukan takdir?"
"Iya kalau matinya baik-baik. Kalau bunuh diri ya namanya bukan takdir. Tapi menentang takdir. Manusia-manusia seperti itu adalah manusia yang tidak pernah mensyukuri hidup." jelas Elise.
Elise tersenyum miring. "Mati itu tidak enak. Terlalu banyak urusan yang belum selesai membuat orang mati akan tersesat."
"Seperti kamu."
"Aku sengaja tidak mencari jalan, karena Elise mau Harin." ungkap bocah itu dengan jujur.
Tidak ada balasan dari Harin, membuat Elise kembali menatap perempuan berkaca mata itu. "Dia, akan mati dengan mengenaskan." lanjut Elise kemudian terkikik geli.
"Sok tau."
"Elise udah pernah ngalamin, Harin. Bedanya—"
Harin menatap Elise dengan tajam. Gadis cilik yang terlihat berusia 8 tahun itu selalu bisa membantah omongannya. Namun ketika ditatap Harin seperti itu seketika Elise terbungkam.
..._0.0_...
"Aku boleh ikut main tidak?"
Saat itu suatu sore yang hampir gelap. Harin pertama kali bertemu Elise. Gadis cantik yang wajahnya agak bule. Rambutnya pirang, kulitnya putih bersih. Memakai gaun selutut berwarna putih.
"Selamat ulang tahun." Harin tersenyum kepada Elise. Bocah berusia 5 tahun itu mengira Elise sedang berulang tahun karena bajunya yang begitu bagus.
"Aku boleh ikut main?" Elise mengulang pertanyaannya ketika Harin tidak merespon.
"Boleh." jawabnya senang.
Rumah Harin memiliki halaman yang begitu luas, banyak pohon di sekeliling pagar rumahnya. Jarang sekali ada anak lain yang berkunjung ke rumahnya membuat Harin begitu kesepian.
Sekarang entah dari mana datangnya, seorang anak perempuan tengah berdiri di sampingnya dengan wajah ceria.
"Sekarang kita teman." Elise menautkan jari kelingking mereka berdua pertanda pertemanan mulai terjalin.
Harin tidak sadar, bahwa anak perempuan yang sekarang menjadi temannya adalah arwah gentayangan yang sudah berpuluh-puluh tahun meninggal dunia.
Sementara arwah anak perempuan itu tersenyum senang, akhirnya dia menemukan seseorang yang bisa dia jadikan teman.
..._0.0_...
Halo!
Kenalin aku Pad. Ini cerita pertama aku di sini. Masih banyak hal yang perlu dibenarkan dari ceritaku. Aku akan senang jika kalian mau memberi kritik dan saran.
Semoga kalian suka ^^
...Hai...
...Jam berapa kalian baca bagian ini?...
...Berdoa dulu sebelum baca :v...
.......
.......
.......
"Tadi pagi Ian bingung nyari handphone ada dimana. Sampai bawah kasur dia cari tapi nggak ketemu. Padahal cuma ada di meja. Tapi aku dudukin. Hihihi." Elise terkikik mengingat kejadian pagi tadi. Ketika Ian kebingungan mencari ponselnya yang sebenarnya ada di meja.
"Siapa suruh mindahin boneka aku yang ada di kamar Ian. Ya udah, handphonenya aku umpetin."
"Ian takut sama Nina." balas Harin melalui batinnya. Bisa dikata gila jika Harin menyahuti Elise seperti biasa.
Nina, boneka milik Harin saat masih kecil dulu. Bentuknya memang tidak menyeramkan, tetapi bagi Ian apapun yang sudah tersentuh atau sudah diklaim milik Elise semua jadi serba horor.
"Tapi Nina lebih takut sama pacarnya Ian yang kaya Anabelle."
"Serem. Kalau pakai tepung di wajah tebel banget. Mana dibibirnya ada cabai merah lagi. Hiii serem."
Sepanjang koridor Elise terus saja mengoceh. Dia adalah tipe anak yang cerewet, ceria, juga usil. Ya, meskipun yang sering kena usil Elise hanya Ian.
Sejak Harin sadar jika Elise bukan anak kecil pada umumnya, Harin selalu bertanya-tanya. Dari mana Elise? Siapa Elise? Ada perlu apa Elise? Dimana keluarga Elise?
Dulu waktu kecil, setiap Harin bertanya seperti itu kepada Elise. Gadis itu selalu mengalihkan pembicaraan. Entah itu mengajak main, entah dia mau pergi atau dia beralasan lupa.
Tapi lama kelamaan Elise mau bercerita. Bahkan, Elise pernah menunjukkan rupa aslinya ketika gadis itu meninggal.
"Aku nggak suka tahu sama kakak yang ada di pohon itu." tunjuk Elise pada sosok perempuan berwajah datar di bawah pohon beringin pinggir lapangan upacara.
"Dia galak, tapi kadang nangis-nangis. Kayaknya ditinggal nikah, deh." adu Elise.
"Kamu diam aja. Jangan ganggu." ingat Harin.
Meskipun hantu, terkadang Harin lupa jika Elise masih anak-anak. Dia masih polos, tahunya hanya main dan bersenang-senang.
Terakhir kali saat Elise terpisah dengan Harin seharian, gadis itu ternyata dibawa kuntilanak perempatan komplek.
Beruntung Harin ketemu Asep. Hantu cowok yang kadang datang kepada Harin saat butuh cerita. Asep mengatakan jika Elise lagi digendong sama kunti.
Kalang kabut Harin maghrib-maghrib ngajak Ian untuk menjemput Elise.
Saat itu Ian bilang. "Gue iket juga tuh bocah pecicilan amat."
"Aku mau jalan-jalan dulu. Nanti kalau butuh aku panggil aja."
Belum sempat Harin menjawab, Elise sudah lebih dulu berlari menjauh. Tidak tahu mau kemana.
Sesampainya di kelas Harin segera meletakkan tasnya ke meja. Kalau kalian pikir Harin akan terbebas dari makhluk ghaib kalian salah besar. Karena sekarang ada 3 hantu yang mengerubungi Harin.
"Rin, ini hantu baru yang minggu kemarin meninggal." kata Asep.
"Rin, bantu dia mau cari tulangnya masih ada yang ketinggal." Yuli ikut menimpali.
"Kalau nggak bilangin aja ke keluarganya biar mereka yang cariin."
"Dimana lokasinya?" tanya Asep.
"Di rumput-rumput." sahut si cewek yang satunya.
"Diam!" bentak Harin.
Seketika seisi kelas menoleh kepada Harin. Tentu saja dengan tatapan yang sulit diartikan.
Harin tidak merasa malu atau sebagainya. Gadis itu malah menatap tajam orang-orang yang saat ini berbisik-bisik. Membuat nyali mereka seketika menciut.
Kalau sudah seperti ini Asep dan Yuli memilih kabur. Hawa tidak enak langsung menyergap ke sekitarnya.
Dunia Harin memang lebih berisik dan lebih sibuk dari pada yang lainnya. Terkadang malah jauh lebih menyeramkan dan menjijikkan karena harus melihat makhluk-makhluk tak kasat mata.
Harin tidak pernah mau menutup mata batinnya karena Harin mau Elise. Temannya yang begitu setia.
...__0.0__...
Hari berikutnya masih sama saja. Seputar Elise dan hantu-hantu lainnya. Tidak ada yang menarik.
Tapi kali ini ada yang sedikit berbeda. Elise, gadis cilik yang Harin kita begitu polos berlari kencang kearahnya.
"Ada cowok ganteng." Kata Elise heboh.
"Anak baru." katanya lagi saat tak kunjung mendapat respon dari Harin.
"Terus?" tanya Harin.
"Elise senang. Yeeee!" Elise melompat-lompat seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah di hari ulang tahunnya.
"Elise mau gulali." pekik Elis riang. Setiap kali merasa senang, Elise selalu meminta gulali.
"Minta sama Ian." ucap Harin kemudian berlalu.
"Ian terus Ian terus." gerutu Elise.
Ya karena mau berteriak dan merengek seperti apapun Ian tidak akan pernah membelikannya. Karena sampai saat ini Ian belum pernah melihat Elise secara langsung.
Karena Ian berbeda dengan Harin.
...__0.0__...
"Harin, ini Bara nitip buku catatan kamu." Echa—teman sekelas Harin—menyodorkan buku tulis kepada Harin.
Dua hari lalu, Bara anak kelas sebelah sempat meminjam buku catatan bahasa Indonesia kepadanya. Padahal kalau dipikir, teman sekelasnya pasti punya. Kenapa harus repot-repot nyeberang kelas?
"Makasih." balas Harin seadanya. Ia tidak suka basa-basi.
Echa hanya tersenyum. Memaklumi Harin karena dia tahu Harin itu seperti apa. Ia juga tidak mempermasalahkan nada bicara Harin yang selalu ketus.
"Oh, iya. Tadi Bara minta kamu buka chat dia." ucap Echa.
"Iya. Nanti gue buka."
Setelah itu Echa kembali ke tempat duduknya nya berada di belakang bangku Harin.
Sementara Harin, gadis itu memilih membuka ponsel. Lebih tepatnya membuka room chatnya dengan Bara.
Bara
|Catetan lo lengkap. Kapan-kapan gue pinjem lagi
07.33
^^^Iya, sama-sama|^^^
^^^08.14^^^
|Hehehe
|Makasih
08.14
Tak lama kemudian Bu Hayu memasuki kelas. Bersama seorang laki-laki yang mungkin dimaksud Elise tadi pagi.
"Anak-anak kalian kedatangan teman baru dari Jogja." ucap Bu Hayu.
Seketika kelas menjadi gaduh. Terutama para perempuan. Siapa yang tidak senyum-senyum jika mendapat teman sekelas yang begitu tampan.
"Silahkan perkenalan."
"Nama saya Ilham Marselino Biasa dipanggil Ilham. Mohon bantuannya."
"Baik Ilham. Kamu boleh duduk di situ." Bu Hayu menunjuk bangku kosong seberang meja Harin.
"Terimakasih, Bu." ucap Ilham yang dibalas anggukan dari Bu Hayu.
"Oke anak-anak kita mulai pembelajaran pagi ini."
Pelajaran berlangsung dan Harin sama sekali tidak tertarik. Kalau boleh milih, ia lebih memilih mendengar cerita Elise.
Tapi mengingat ia bukan akan jenius seketika Harin mengerjabkan matanya beberapa kali, mencoba untuk fokus.
"Jadinya gimana? Kamu mau kan bantu cari tulangnya?" Asep tiba-tiba sudah muncul di samping Harin.
"Enggak, Sep. Gue sibuk."
"Kasihan dia kejebak disini karena tulangnya belum ketemu."
"Bantu orang itu perbuatan baik, Rin."
"Tapi dia bukan orang lagi."
"Harin,"
Harin berdecak sebal. Membuat Ilham yang mendengar itu menoleh. Pandangan keduanya bertemu. Ilham tersenyum kepada Harin sebagai bentuk sapaannya kepada teman barunya itu.
Tapi Harin tetaplah Harin. Jangankan tersenyum barang sedetik. Perempuan yang rambutnya dibiarkan tergerai itu malah melengos.
Yang mana malah membuat Ilham penasaran. Apakah dia terlihat menyeramkan? Atau menyebalkan? Kenapa teman barunya tidak tersenyum juga saat ia tersenyum?
..._0.0_...
Jangan lupa komentar ya gais. Aku suka kalian spam :3
Harin terbangun ketika jam menunjukkan pukul dua malam. Penyebabnya apalagi jika bukan suara tersedu-sedu yang asalnya entah dari mana. Sudah beberapa hari ini suara itu mengganggu Harin, tetapi ia tidak pernah melihat wujudnya seperti apa. Dia pandai bersembunyi.
Menyingkap selimut, Harin berjalan keluar kamar. Mengitari isi rumah. Dimulai dari kamar Ian yang letaknya di depan kamar Harin. Tapi suaranya tidak begitu terdengar.
Harin berpindah turun ke ruang tamu, depan kamar orang tuanya dan kamar mandi bawah. Nihil, suaranya tidak ada.
Beralih ke dapur, samar-samar suaranya mulai terdengar lagi.
Hiks hu hu hu
Semakin mendekat, suaranya semakin menjauh. Jujur, Harin paling tidak bisa untuk mencari arah sumber suara.
Sampai ia merasakan ujung bajunya ditarik-tarik. Harin sempat terkejut, jantung berdegup kencang. Tapi tak berlangsung lama ketika suara Elise mulai terdengar.
"Harin," Elise bersembunyi dibelakang Harin. Gadis kecil itu terlihat sangat ketakutan. Wajah cerianya tergantikan wajah penuh guratan cemas dan gelisah.
"Kenapa?" tanya Harin khawatir. Tidak biasanya Elise seperti ini.
"Ada orang barat. Elise takut." bisik Elise.
Ya, ketakutan terbesar Elise adalah hantu bule atau hantu-hantu orang barat. Padahal, Elise juga termasuk orang barat. Tapi dia takut, terlebih masa lalunya yang begitu mengerikan mengenai orang-orang barat.
"Dimana?" Tanya Harin penasaran.
"Samping rumah,"
Harin segera menuju jendela yang mengarah ke halaman samping. Membuka sedikit gordennya dan mengintip diam-diam.
Perempuan yang begitu cantik. Mengenakan gaun pernikahan lengkap berwarna putih.
Tahu jika sedang diperhatikan sosok perempuan itu menoleh. Ia tersenyum kepada Harin dan Elise. Namun, itu terlihat bukan seperti senyuman, melainkan sebuah seringaian.
Elise semakin memegang erat ujung baju Harin. Keduanya seperti ibu dan anak yang sedang bersembunyi dari kejaran penjahat.
"Ayo, Harin."
"Iya iya."
Harin membawa Elise ke dalam kamarnya. Gadis cilik itu langsung melompat ke tempat tidur. Bersembunyi di antara tumpukan boneka Harin.
"Jangan lupa kunci pintu."
"Lampunya jangan dimatikan. Nanti orang barat itu masuk rumah."
Harin memutar bola matanya malas mendengar ocehan Elise. "Dia gak bisa masuk rumah. Kamu jangan rewel."
Elise mengerucutkan bibirnya, khas anak kecil. Kali ini Elise hanya diam saja, ia tahu jika Harin mengantuk. Maka dari itu ia membiarkan Harin tertidur, lalu mematikan lampu saat Harin benar-benar terlelap.
"Elise teman Harin... Selamanya."
...🎃🎃🎃...
Harin baru keluar dari kamar saat orang rumah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
"Sayang dasi aku tadi kamu taruh dimana?" Arya berteriak dari kamar.
"Di meja rias aku mas." Ayudia yang sedang memasak di dapur pun menyahut.
"Ma, ma, jaket aku yang warna hitam dimana, ya?"
"Lemari nomor 2 kak."
Tak lama kemudian Ayudia datang ke meja makan sembari membawa nasi goreng yang sudah ia buat tadi.
"Selamat pagi sayangnya mama." Ayudia mencium kening Harin.
"Pagi, Ma."
"Gimana tidurnya? Nyenyak?"
"Nyenyak kok, Ma."
Ayudia tersenyum untuk menanggapi itu. Sejak tahu jika Harin memiliki kemampuan melihat makhluk astral, Ayudia selalu khawatir Harin tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Pernah beberapa kali Ayudia memergoki Harin keluar rumah dini hari hanya untuk menghampiri makhluk-makhluk astral yang mengganggu tidurnya.
"Ikat rambutnya Harin." suara Ian menggema ke seluruh ruangan.
Cowok dengan jaket warna hitam itu segera mengambil tempat duduk.
Harin yang sedang mengolesi roti dengan selai coklat pun berhenti sejenak. Mengambil ikat rambut di tas dan mengikat rambutnya asal.
"Mau diantar apa ke sekolah sendiri, Rin?" tanya Arya yang baru tiba di ruang makan.
"Berangkat sendiri aja, Pa."
"Yakin?"
"Yakin, Pa."
Seakan teringat sesuatu, Ian menatap Harin serius. "Semalem Elise nangis ya? Kenapa?"
"Elise nangis? Sejak kapan Elise tahu caranya nangis?" sahut Arya.
Keluarga Harin memang sudah tahu lama hal yang terjadi pada Harin. Pernah mereka mencoba untuk menutup mata batin Harin karena takut mengganggu psikis anak perempuan itu namun usahanya sia-sia.
Malahan orang yang disuruh menutup mata batin Harin sempat bilang jika hal itu tidak masalah selagi anaknya bisa mengendalikan diri. Lagi pula Harin mendapatkan itu sejak lahir, keturunan dari kakeknya.
"Bukan Elise, tapi orang barat."
"Baru meninggal apa gimana?" tanya Ian kepo.
"Baru sampai sini. Kalau meninggalnya udah lama."
"Kok lo tahu, dek?"
"Semalam Harin tanyain."
Tidak heran lagi sih Ian. Sudah sering Harin berkeliaran tanpa raga. Yang Ian takutkan hanyalah ketika Harin pergi dan tidak bisa kembali.
"Terus?"
"Dianya nggak mau pergi, jadinya Harin taruh di pohon mangga."
"Besok Papa nanam banyak pohon lagi kalau gitu." ujar Arya. Hampir semua pohon di pekarangan rumahnya sudah ada yang menempati.
Kalau seperti ini, Arya merasa seperti punya banyak peliharaan.
"Mama sampai heran, emangnya nggak bisa apa mereka kamu suruh pergi. Mama tuh takut di rumah sendirian kalau gini, Rin."
"Mereka nggak bakalan ganggu kok Ma. Nggak bisa masuk rumah juga." jelas Harin meyakinkan Ayudia.
"Ya jangan sampai lah. Cukup Elise aja yang bisa masuk rumah. Si Asep Asep itu juga jangan dibolehin." omel Ayudia.
"Iya."
"Ih, padahal Asep suka keliling rumah, terus mainan kulkas. Katanya Asep adem." adu Elise yang sejak tadi berdiri di samping Harin.
"Diem. Jangan buat ulah." batin Harin.
"Iya."
Setelah selesai sarapan, Harin pamit berangkat terlebih dahulu. Tidak lupa bekal yang sudah mamanya siapkan ia masukkan ke dalam tas.
...🎃🎃🎃...
Sesampainya di kelas Harin sudah disiguhi senyum manis milik Ilham. Yang mana membuat kedua pipi lelaki itu muncul kawah kecil di setiap sisinya.
Ilham mengulurkan tangannya di depan Harin. Bermaksud mengajak kenalan karena sejak kemarin hanya Harin yang belum benar-benar ia sapa.
"Gue Ilham." ucapnya pertama kali.
"Udah tau." balas Harin singkat. Tidak bersahabat sama sekali.
Namun Ilham masih mencoba memaklumi. Tidak semua orang ramah kepada orang lain. Lagi pula Ilham masih anak baru.
"Kalau nama lo siapa?"
Sejutek dan secuek-secueknya Harin, ia tidak akan mengabaikan sapaan orang lain. Maka, gadis itu menerima uluran tangan Ilham. Meskipun hanya sebentar tetapi itu cukup membuat Ilham lega. Dia tidak diabaikan.
"Harin."
Keduanya kembali ke tempat duduk masing-masing. Belum semenit, Harin membuka suara lagi. Telinganya terasa berdengung sangat keras.
"Balik?"
"Ha?"
"Jogja."
"Gue? Balik ke Jogja?" tanya Ilham yang dibalas anggukan dari Harin.
Ilham kebingungan sendiri. Baru seminggu di Jakarta, masa sudah balik ke Jogja. Padahal rencananya ia mau ke Jogja saat libur semester.
Harin mengangkat kertas dengan gemetar. Rambutnya yang tergerai menjuntai ke depan.
"Mati?" Ilham membaca tulisan jelek di kertas itu. "Siapa yang mati? Gue? Atau siapa?"
..._0.0_...
Kalau kalian jadi Harin, kira-kira akan diam saja atau mencari sumber suara itu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!