NovelToon NovelToon

Serpihan Dirimu

Bab 1. Aku Pelukis Rupamu

Selamat Bu Davina, Anda hamil.”

Davina yang sendirian di ruangan dokter kandungan itu hanya bisa membeku. Dia ingin menangis tapi berusaha menahannya. Bukankah dia sangat menyedihkan? Dikhianati kekasihnya dan kini malah mengandung anak kekasihnya.

“Dok, boleh saya meminta bantuan?” pinta Davina pelan.

“Silakan.”

“Saya ingin menggugurkannya.”

Dokter itu nampak terkejut. Dia hendak membuka mulutnya kala pintu terbuka keras dari luar.

Brak

Seorang lelaki tiba-tiba masuk dengan wajah memerah. Dia menarik lengan Davina dengan kasar dan menghadapkan tubuhnya ke arahnya. Davina memalingkan wajahnya.

“Jangan pernah berani membunuh anakku.” Desisnya.

***

Satu minggu sebelumnya...

Seorang gadis cantik dengan rambut semampai dan kulit putih pucat sedang duduk di pinggir danau yang terbentang di tengah-tengah ibukota. Di pangkuannya ada buku gambar yang setengah terisi oleh sketsa. Dia asik menggambar tanpa memedulikan matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat.

Perempuan itu Davina Sandrina, mahasiswi jurusan seni lukis yang berasal dari keluarga kurang mampu. Berkat kecerdasannya dan bakat artistiknya, dia berhasil masuk ke Universitas Cakra, salah satu kampus bergengsi yang mencetak banyak lulusan berbakat. Davina berhasil masuk ke jurusan yang dia inginkan dan itu artinya dia bisa selangkah lebih dekat dengan cita-citanya.

Bagi gadis miskin sepertinya, menjadi seniman bukanlah pekerjaan impian yang akan mendatangkan banyak uang. Terlebih lagi dengan banyaknya perjuangan agar karya bisa diakui oleh industri seni. Tapi Davina selalu teguh dengan keinginannya. Dia ingin menjadi pelukis seperti cita-cita ayahnya yang terpaksa harus tenggelam karena ekonomi tak memihaknya untuk terus bermimpi.

Tapi Davina berbeda, meski tuntutan hidup selalu mengejar tepat dibelakangnya, menjadi seniman tetap impiannya yang dia kejar selangkah demi selangkah.

Jemari yang tengah berkutat dengan guratan halus pensil itu terhenti kala pipinya merasakan sensasi dingin. Davina menoleh dan senyumnya langsung tersungging kala melihat seorang yang dia cintainya menatapnya dengan es krim ditangannya.

“Kak Andra! Mengagetkan saja.” Ucap Davina pura-pura kesal namun tak ayal wajahnya merona. Dia senang dengan kedatangan kekasihnya itu.

Kenandra duduk di samping gadisnya, lalu menyerahkan es krim itu ke tangan Davina. Davina menerimanya dengan senang hati.

“Kamu terlalu fokus pacaran dengan buku gambarmu hingga mengabaikan panggilanku.” Ujar Kenandra pura-pura merajuk.

Davina tersenyum, “Maaf Kak Andra, aku terlalu fokus membuat sketsa soalnya ini untuk karya terakhirku di semester ini. Tapi aku janji, aku tidak akan mengabaikan panggilan kakak lagi. Silakan hubungi aku kapan saja.” Ucapnya penuh keseriusan.

Kenandra tak urung terkekeh kecil. Dia mencubit pipi kekasihnya dengan gemas.

“Aw, aku sedang serius, kenapa kakak malah mencubit aku?”

“Habisnya kamu lucu.”

“Lucu? Aku sedang tidak melawak.” Ucap Davina bingung. Ekspresinya sangat menggemaskan di mata Kenandra.

“Benar, jangan pernah melawak di depan lelaki lain kecuali kakak. Karena mereka akan tersihir dengan pesonamu.” Ucap Kenandra.

Davina tersenyum kecil, hatinya menghangat dan jantungnya meletup tak karuan. Lelaki didepannya ini selalu tahu bagaimana cara menyenangkannya.

“Apa aku secantik itu?” tanya Davina iseng.

Kenandra mengangguk.

“Berapa nilaiku dari 10?” tanya Davina penasaran.

Kenandra terdiam sebentar lalu menatap Davina yang menanti jawabannya dengan raut penuh rasa penasaran. Alis gadis itu naik turun.

“Sembilan.” Tandas Kenandra.

Raut Davina seketika mengeruh, “Satunya kemana?” tanyanya.

“Satunya?” Kenandra menjeda ucapannya, “Satunya untuk kusimpan setelah kita menikah nanti.” Pungkasnya dengan senyuman manis.

Davina terdiam. Wajahnya seketika memerah dan memanas. Gadis itu tersipu dengan ucapan lelaki yang dia cintai.

“Kakak akan menikahiku?” tanyanya pelan dan malu-malu.

Kenandra hanya tersenyum.

****

Davina sedang makan dengan tenang di kantin bersama Sindi. Gadis kaya yang mau jadi sahabat orang miskin sepertinya.

Tapi di tengah makan siang, Sindi meletakkan sendoknya dan menatap Davina.

“Tadi aku melihat wajah ular kampus Talitha, dan wajahnya menunjukkan kemarahan padamu. Sepertinya dia kesal lagi karena nilaimu kembali mengunggulinya.” Cerita Sindi.

“Kenapa dia harus kesal? Aku tidak berbuat curang.” Ucap Davina.

Sindi mendengus, “Untuk perundung tipe ular boa sepertinya, kamu adalah hambatan terbesarnya untuk menjadi nomor satu di jurusan ini. Seperti yang kau tahu, ibu tirinya adalah pemiliki galeri terbesar di Jakarta, dia pasti menginginkan anaknya menjadi penerusnya.” Ujar Sindi.

“Lalu apa hubungannya denganku? Kalau dia mau meneruskan usaha ibunya ya dengan bekerja keras, tidak perlu menganggapku sebagai musuh.”

Sindi mengibaskan tangannya, “Ah sudahlah. Jangan membahas dia yang akan membuat nafsu makanku turun.”ucapnya acuh. “Kita bahas saja soal kelanjutan hubunganmu dengan Kenandra itu.” lanjutnya antusias.

“Apa yang perlu dibahas?” tanya Davina.

“Semuanya! Apapun! Sekecil upil pun tidak masalah” Sindi memang sangat tertarik dengan kisah asmara Davina yang menurutnya manis dan tak masuk akal itu.

Davina terdiam sesaat, lalu memutuskan menceritakan kejadian kemarin sore saja.

“Aku bertanya soal kecantikanku dari nilai satu hingga sepuluh dan dia menjawab sembilan.” Cerita Davina. Sindi mendengarkannya dengan seksama.

“Saat kutanya alasannya, Kak Andra bilang, satu poinnya setelah kami menikah. Tapi saat kutanya dia akan menikahiku? Dia hanya tersenyum.”

“Aaa!” jerit Sindi gemas sendiri. “Ya ampun Davina, sampai saat tadi aku masih menganggap bahwa kisah cinta kalian itu konyol dan tidak masuk akal meski sangat manis seperti di drama korea. Tapi tak kusangka akan jadi semanis ini. Davi, dimana kau dapatkan lelaki model Kak Andramu?” tanya Sindi sungguh-sungguh.

Davina tersenyum, “Kurasa itu hadiahku atas hidupku yang sulit.”

***

Davina menghampiri seorang lelaki yang sedang duduk sambil menghadap danau. Begitu berada di belakang lelaki itu, Davina langsung menutup mata lelakinya.

“Tebak siapa?” tanya Davina riang.

Kenandra tersenyum tipis, dia menggapai tangan Davina yang menutup kedua matanya setelah itu menariknya pelan untuk duduk di sampingnya.

“Siapa lagi kalau bukan malaikat cantik tanpa sayap bernama Davina Sandrina?” ucapnya manis.

Davina tersenyum malu-malu mendengarnya.

“Oh ya kak, aku berhasil mendapatkan nilai sempurna lagi untuk tugasku.” Cerita Davina.

“Benarkah?” Davina mengangguk senang.

“Wah, kekasih kakak memang sangat hebat. Selamat tapi jangan lupa pertahankan.” Ucap Kenandra lembut.

Davina mengangguk mantap, “Tentu. Aku harus melakukannya.” Kenandra tersenyum mendengarnya.

“Oh ya kak, aku punya sesuatu.” Ucap Davina. Perempuan itu merogoh tasnya dan mengambil sebuah kotak hadiah kecil yang dihiasi pita diatasnya.

“Untuk kakak.” Ujarnya memberikan hadiah itu pada Kenandra.

Kenandra menerimanya, “Dalam rangka apa?” tanyanya bingung.

“Tidak dalam rangka apapun. Aku memberikannya sebagai ucapan terima kasihku karena kakak sudah menemaniku di masa-masa sulitku. Terima kasih atas semangat dan dukungannya di saat aku hampir menyerah atas mimpiku. Terima kasih karena selalu ada.” ucap Davina menatap Kenandra sedalam-dalamnya.

Kenandra meraih tangan Davina dan menumpukannya dengan tangannya sendiri di pangkuannya, dia tersenyum lembut, “Sebagai seorang seniman, kakak merasa bertanggung jawab untuk mendukungmu atas cita-citamu. Dan sebagai seorang kekasih, kakak harus menemani melewati semua proses pencapaian di hidupmu.”

Davina tersenyum bahagia, “Aku bersyukur. Amat bersyukur karena di hidupku yang penuh kesulitan dan kesedihan ini, ada kakak yang dikirim semesta untuk datang ke hidupku. Aku amat sangat berterima kasih. Tolong, jangan tinggalkan aku. Kalaupun harus...” Davina menjeda ucapannya. Dia nyaris tak bisa mengatakannya. “Tolong beritahu aku sebelumnya agar hatiku bisa bersiap.” Lanjutnya pelan.

Kenandra terdiam, dia hanya mengelus surai Davina dengan lembut.

“Oh ya, boleh kakak membuka hadiahnya?” tanya Kenandra. Lelaki itu tidak membalas ucapan Davina sebelumnya entah kenapa.

Davina cukup terkejut kala Kenandra tidak membalas ucapannya tadi. Tapi Davina memilih berfikir positif dan mengangguk untuk memberi jawaban atas pertanyaan Kenadra barusan.

Setelah mendapat sinyal setuju, Kenandra langsung membuka hadiahnya. Dia tertegun kala melihat apa hadiah Davina untuknya.

“Kakak tidak menyukainya?” tanya Davina khawatir. Dia merasa tidak enak kala melihat Kenandra yang diam saja setelah membuka hadiah darinya.

“Aku bisa menggantinya dengan yang lain, kalau kakak tidak—“

Cup

Kenandra tiba-tiba mencium bibir Davina, memotong ucapan yang keluar dari bibir gadis itu. Dan Davina hanya terdiam. Dia terlalu syok untuk mencerna apa yang terjadi. Hingga Kenandra memundurkan wajahnya.

“Terima kasih. Kakak suka.” Ucapnya tersenyum manis. Dia menatap wajah Davina yang memerah atas ciumannya tiba-tiba.

Davina terkesiap, dia mengangguk patah-patah, “Ba-bagus ka-kalau kakak suka.” Ucapnya entah mengapa ia menjadi gugup.

Hadiah yang diberikan Davina adalah sebuah lukisan mozaik dengan rupa Kenandra sebagai potretnya. Davina menghabiskan waktu hingga tiga pekan untuk membuatnya. Jauh lebih lama dibanding semua tugas-tugasnya. Karena dia ingin menghadiahkannya untuk Kenandra. Jadilah Davina mencurahkan semua waktu, tenaga dan cintanya untuk membuat karya itu.

Lukisan itu adalah karyanya sebagai pelukis yang ingin melukis potret Kenandra, kekasihnya.

“Davina.” Panggil Kenandra setelah hening beberapa saat. Davina yang awalnya melihat danau seketika menoleh.

“Ada yang ingin kakak sampaikan padamu.” Ucapnya. Di telinga Davina, Kenandra tampak berhati-hati dalam mengucapkannya.

“Ada apa kak?” tanya Davina.

“Begini—“ Kenandra berdeham sebentar, dia jelas nampak bimbang. Tapi memutuskan untuk mengatakannya kala melihat raut Davina yang penasaran. “Kakak akan pergi ke luar negeri.” Tandasnya.

“Luar negeri? Berapa lama? Kakak akan kembali kan?” tanya Davina beruntun.

Kenandra diam. Dan itu membuat Davina mulai berfikir aneh-aneh.

“Jangan bilang kakak—“ Davina tak meneruskan ucapannya.

Kenandra mengangguk. Dan itu membuat Davina membeku.

“Kakak ingin belajar seni kotemporer di Prancis dan itu pasti akan membutuhkan waktu bertahun-tahun jadi—“

“Aku akan menunggu kakak.” Potong Davina.

Kenandra menatap Davina terkejut, “Jangan Davina, kamu akan lelah.” Tolaknya.

Davina menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “Aku akan menunggu kakak. Selama apapun itu, selelah apapun penantiannya, aku akan menunggu kakak. Tapi kakak harus berjanji, bahwa kakak akan pulang padaku lagi.” Tandas Davina penuh kesungguhan.

Kenandra mendesah pelan, dia juga berat meninggalkan Davina sendirian. Hatinya tak akan pernah tenang bila kekasihnya berada nun jauh dari matanya.

“Aku tahu ini terdengar seperti aku superhero yang pura-pura kuat, tapi aku serius. Aku bisa menunggu kakak sampai kapanpun. Aku tidak khawatir dengan seberapa jauh jarak yang nanti memisahkan kita. Aku hanya takut aku akan kehilangan kakak. Jadi aku akan melakukan segalanya termasuk menunggu kakak.” Ucap Davina.

Kenandra masih nampak ragu. Pasalnya belajar seni bukanlah hal yang mudah. Perlu waktu bertahun-tahun lamanya untuk menguasai suatu bidang seni. Seni bukanlah main-main. Perlu waktu hingga mungkin bertahun-tahun untuknya. Dan Kenandra tahu, Davina hanya akan sedih selagi menunggunya yang pulang entah kapan.

Davina tahu arti dibalik keterdiaman Kenandra maka dari itu gadis itu meraih tangan Kenandra seperti saat Kenandra melakukannya padanya. Dia menatap manik jernih kekasihnya dengan lembut tapi terkandung penuh ketegasan itu.

“Jangan khawatir. Menunggu kakak adalah urusanku sendiri. Dan aku akan bertahan dan tetap kuat. Fokuslah dengan impian kakak disana. Jangan biarkan aku menjadi variabel tak penting yang merusak tujuan kakak.”

“Kamu bukan variabel tak penting. Kamu adalah yang terpenting.” Tukas Kenandra.

Davina tersenyum, “Kalau aku yang terpenting, maka dengarkan perkataanku. Pergilah ke luar negeri dan raih impian kakak disana. Dan aku, akan menunggu kakak disini. Besok, sebulan lagi, setahun lagi atau bahkan sepuluh tahun lagi, aku akan tetap menunggu kakak. Menanti kakak dengan harapan yang tak pernah padam. Jangan khawatirkan aku akan lelah, karena cinta kita akan menguatkanku.”

Kenandra terenyuh mendengarnya, “Kakak berjanji tidak akan membuatmu menunggu lama.” Tandasnya.

Davina menganggukan kepalanya. Dan Kenandra langsung menarik Davina ke pelukannya. Mendekap erat kekasih hatinya yang akan dia rindukan ketika berada di negeri orang. Merasakan kahangatan dan sebesar apa cinta Davina untuknya.

...----...

Aku tahu aku gila publish cerita baru disaat cerita Alfin belum seperempatnya😭 Tapi serius, cerita ini udah lama jadi draft dan aku yang stress dengan kelanjutan cerita Alfin akhirnya mutusin buat publish ini aja. Daripada aku lupa dan akhirnya ini jadi sia-sia, padahal idenya lumayan. Jadi, mohon dimaklumi. Kalau mau dibaca silakan, semoga suka:)

Dann tenang aja, meski aku ngelola dua karya on-going sekaligus, insyaallah gak akan keteteran. Dan semuanya akan tamat. Tapi paling up nya selang-seling, misal hari ini bagian The Love of Guardian, maka besoknya bagian Serpihan Dirimu gitu aja sih:'

Intinya selamat baca, semoga suka😊😉

Bab 2. Kaca Harapan yang Pecah

Davina sedang duduk di taman kampus ketika ponselnya bergetar. Dia memeriksa pesan yang masuk dan seketika matanya terbelalak.

Ibu Kost

Davina, kamu belum bayar kost untuk tiga bulan ini. Hari ini terakhir, usahakan kamu bayar atau kamu saya tendang dari kostan!

Davina seketika berdiri. Dia terkejut tatkala membaca pesan yang dikirimkan ibu kost itu. Uang kostan? Bukankah dia sudah membayarnya? Davina yang bingung langsung saja bertanya.

Davina

Bukannya saya sudah bayar selama tiga bulan ini bu? Saya selalu membayar tepat waktu setiap bulan.

Usai mengirim, Davina menunggu balasan dengan gelisah.

Drrt

Pesan jawaban masuk dari ibu kostnya.

Ibu Kost

Bayar apaan, jangan coba mengelabui saya. Cepat pulang dan lunasi segera.

Davina makin bingung dengan situasinya yang terjadi.

“Aku sudah membayarnya lewat Devia, atau apakah dia lupa tidak membayarnya?” gumam Davina.

Davina akhirnya memutuskan menelfon adik tirinya itu untuk bertanya. Tapi sayangnya, telfonnya tidak diangkat oleh Devia. Davina pun memutuskan untuk pulang.

Begitu sampai dikostannya, Davina amat terkejut kala melihat kamarnya berantakan. Barang-barangnya berceceran kemana-mana. Davina merasa perasaannya tidak enak, dia lekas memeriksa lemarinya. Tapi betapa terkejutnya bahwa semua uang simpanannya tidak ada.

“Ada malingkah? Tapi kalau ada maling, ibu kost paling tidak akan memberitahuku.” Gumamnya panik.

Dia pun pergi menuju rumah pemilik kostnya. Dan begitu bertemu, Davina langsung bertanya.

“Apa tadi ada maling bu?” tanyanya panik.

“Maling? Tidak ada. Sebaiknya kamu segera lunasi tunggakan tiga bulanmu. Saya tahu kamu memang anak yang baik tapi kamu tetap harus membayarnya tanpa alasan apapun.”

“Saya sudah membayarnya bu. Saya menyerahkannya pada Devia untuk diberikan pada ibu.” Ujar Davina.

“Devia? Adikmu itu?” Davina mengangguk membenarkan. “Dia tidak memberikan sepeser pun. Kau yakin kau menyerahkannya padanya?”

Davina terkejut. Devia tidak menyerahkan uang yang dititipkannya pada ibu kost?

“Kalau ibu bisa kasih pesan, jangan terlalu percaya pada Devia itu. Dari sejak ibu melihatnya, dia tampak bukan gadis baik. Kamu harus hati-hati meski itu keluargamu sekalipun.”

Mendengar ucapan ibu kostnya, Davina seakan tersadar sesuatu.

“Apa Devia sempat pulang kesini?” tanyanya.

Ibu Kostnya mengangguk. “Dia baru datang, cukup lama dia di rumah tapi setelah itu dia pergi lagi. Dan ada yang aneh.”

“Aneh? Apa maksud ibu?”

“Devia membawa tas besar dan dia pergi terburu-buru.”

Davina terkejut. Kini dia tahu apa yang terjadi sebenarnya. Alasan kenapa rumahnya bisa berantakan dan uangnya hilang.

“Ibu tahu kemana dia pergi?” tanya Davina.

“Dia bilang dia mau ke terminal. Katanya mau kembali ke desa.” Jawab Ibu Kost.

Davina menganga. Adiknya akan pulang kampung? Dengan kabur membawa uangnya?

“Kapan dia pergi?” tanya Davina seketika panik.

“Baru saja, mungkin lima menit yang lalu.”

Davina mengangguk berterima kasih, “Saya berjanji saya akan melunasinya. Tolong beri saya waktu bu.” pintanya.

“Ya sudahlah, karena kamu anak yang baik dan selalu tepat waktu membayar, saya kasih keringanan. Tapi ingat, segera lunasi atau saya tidak punya pilihan selain mengusir kamu.”

Davina mengangguk penuh rasa terimakasih, “Terima kasih bu, sekali lagi terima kasih.”

***

Setelah urusannya selesai dengan pemilik kostnya, Davina langsung menuju terminal terdekat. Dia hendak mencari Devia yang sudah dipastikan mencuri uangnya. Dia harus menemukannya dan membawa uangnya kembali.

Davina sampai di terminal, dia langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mencari siluet Devia. Dia yakin bahwa Devia belum berangkat.

“Yogyakarta. Yogyakarta.”

Davina menoleh ke sumber suara. Ada bus menuju Yogyakarta, kampung halamannya. Dan Devia pasti akan naik ke bus itu. Davina segera berlari mencari bus tujuan Yogyakarta itu.

Dan dugaannya benar. Di kejauhan, dia melihat Devia mengantri hendak masuk ke dalam bus. Davina mempercepat larinya.

“Devia!” teriaknya.

Dan begitu dia berteriak, tangannya berhasil mencekal Devia yang hendak masuk ke dalam bus. Davina langsung menyeretnya turun.

“Kakak..” lirih Devia ketakutan.

Davina menatap tajam adiknya itu, “Mau kemana kamu? Dan mana uang kakak?” tanyanya.

“Aku ingin pulang ke Yogya. Dan uang? Apa yang kakak bicarakan?” Devia berpura-pura tak tahu. Dan Davina sangat muak melihatnya.

“Jangan pura-pura tidak tahu. Kakak tahu kamu mencuri uang kakak bahkan ikut menggelapkan uang yang kakak titipkan untuk membayar kost!”

“Kak, kenapa menuduhku? Kakak menuduh aku mencuri uang kakak? Uang kakak bahkan tidak seberapa!” sentak Devia kesal.

“Oh benarkah? Jadi kamu tahu berapa nominalnya ya.”

Devia gelagapan, dia berusaha menghindari tatapan kakaknya.

“Intinya aku tidak mencurinya. Sudah, aku mau berangkat. Jangan halangi aku lagi.” Ketusnya. Tapi baru saja hendak pergi, tangannya dicekal kembali oleh Davina.

“Kau boleh pergi setelah mengembalikan uangku yang kau curi.” Desis Davina.

Devia menyentak tangan kakaknya kasar, dia menatap kesal kakaknya. “Sudah kubilang aku tidak mencurinya. Lagipula siapa yang akan mencuri uang receh itu dari kakak?” ucapnya tajam.

“Dan orang itu adalah kamu.” Tandas Davina. Devia tersentak.

“Sekarang, kembalikan. Kembalikan uang kakak.” Davina berusaha mengambil tas Devia tapi Devia melawan.

“Kembalikan, Devia.” Tekan Davina terus berusaha mengambil tas Devia. Dia yakin uangnya ada disana.

“Sudah kubilang tidak ada.” keukeh Devia.

“Kembalikan!” teriak Davina.

“SUDAH KUBILANG TIDAK ADA!” sentak Devia. Dia menyentak Davina dengan keras hingga Davina terjatuh. Setelah itu langsung kabur.

“DEVIA!” teriak Davina berusaha bangun.

Davina mengejar Devia yang kabur. Sambil berlari, dia terus memanggil-manggil nama Devia. Tapi Devia tidak berhenti bahkan sekedar menoleh. Hingga mereka sampai di jalan raya. Devia langsung menyebrang ke seberang jalan.

“Devia, berhenti kamu!” seru Davina. Dia berhenti di pinggir jalan. Menatap kesal Devia yang sudah menyebrang. Davina berusaha menyebrang tapi sialnya lalu lintas tiba-tiba ramai hingga Davina kesulitan menyebrang.

Sedangkan Devia yang berada di seberang jalan, sudah tahu bahwa kakaknya tidak bisa mengejarnya lagi karena terhalang lalu lalang kendaraan.

“AKU MEMANG MEMBAWA UANG KAKAK. TAPI AKU MEMINJAMNYA, NANTI AKAN KUKEMBALIKAN. JANGAN MENGEJARKU LAGI. AKU PERGI.” Teriaknya. Dia tersenyum senang setelah itu berlalu pergi tanpa merasa bersalah.

Davina yang mendengar teriakan Devia berusaha menyebrang lagi tapi gagal.

“DEVIA! DEVIA!” panggil Davina pada Devia yang pergi begitu saja. Davina berlari mengejarnya dari seberang jalan.

“Devia berhenti kamu!” teriaknya. Dan Devia sungguhan berhenti. Dia menoleh pada Devina dan tersenyum kecil. Dia melambaikan satu tangannya pada kakaknya dengan senyum kemenangan. Setelah itu menyetop angkot dan pergi.

Davina yang melihatnya seketika duduk lemas. Dia tidak percaya bahwa adiknya membawa semua uang simpanannya selama ini. Air matanya tiba-tiba meluncur turun. Davina menangis. Kesedihannya amat berkali lipat. Karena bukan hanya kehilangan uang, dia juga kehilangan kepercayaan pada Devia yang dia anggap sudah seperti adik kandung sendiri.

***

Davina melangkah lunglai. Air matanya terus menetes ke pipinya. Dia tidak berniat menyekanya dan membiarkannya mengalir begitu saja. Hatinya sangat sakit dan hidupnya kacau.

Davina memutuskan singgah ke ATM. Dia hendak memeriksa berapa jumlah tabungannya. Tapi begitu diperiksa, dia mendesah pelan. Uangnya hanya cukup membayar uang bulanan selama tiga bulan.

“Aku mungkin harus meminjam dana pinjaman mahasiswa kalau begini. Atau bekerja paruh waktu untuk mencari makan.” Desahnya.

Davina pun menarik seluruh uangnya. Dia hanya meninggalkan lima puluh ribu saja. Jaga-jaga kalau dia butuh, dia setidaknya masih ada lima puluh ribu lagi. Setelah menarik uangnya, Davina pulang ke kostan dengan wajah keruh.

Setelah sampai di kostan, Davina langsung menghampiri ibu kostnya. Dia menyerahkan uang untuk membayar sewa kostnya.

“Kamu sudah ketemu dengan Devia?” tanyanya. Davina mengangguk lalu menggeleng.

“Apa maksud kamu? Kalau sudah bertemu kenapa menggeleng?” tanya ibu kost bingung.

“Tidak ada bu. Hanya bertemu tapi tidak berhasil mendapatkan uangnya.” Lirih Davina.

“Jadi adikmu sungguhan membawa semua uangmu?” kejut ibu kost.

Davina mengangguk pelan.

“Oh ya ampun.”

Davina hanya tersenyum tipis, “Saya hanya bisa bayar sampai bulan ini. Untuk bulan depan, saya akan memikirkan caranya. Tapi tolong jangan usir saya. Saya tidak tahu harus kemana nanti.” Pinta Davina penuh keputus-asaan.

Ibu kost itu pada akhirnya luluh. Dia mengangguk.

“Kau bisa bayar kapanpun asal jangan lupa. Kamu tahu ibu tidak memberi kesempatan kedua pada siapapun. Kalau kamu tidak bisa membayar maka mau tidak mau kamu harus pergi.”

Davina mengangguk mengerti, “Terima kasih bu. Kalau begitu saya permisi ke kamar dulu.” pamitnya.

“Ya sudah istirahat saja. Jangan fikirkan kejadian tadi dulu.”

Davina mengangguk. Perempuan itu lantas undur diri dan pergi menuju kamarnya.

Begitu di dalam kamar, Davina langsung terduduk lemas. Dia kembali menangis. Hidup sulitnya akan dimulai sebentar lagi.

***

Di kampus keesokam harinya, “Davina! Ada kabar bahagia untukmu!” seru Sindi riang. Dia langsung duduk di depan Davina.

“Kabar apa?” tanya Davina lesu.

“Lihat ini. Ada pameran seni di Hotel Tan sebentar lagi. Dan kau tahu, semua karyanya berasal dari Prancis!” serunya.

“Lalu?” tanya Davina acuh.

“Kenapa tanggapanmu acuh dan malas seperti itu? Seperti bukan kau saja.” Ujar Sindi bingung.

Itu karena perasaannya sedang tak baik-baik saja saat ini.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya kelelahan dan kurang tidur karena mengerjakan tugas.” Jawabnya bohong.

“Ah benarkah? Kau sangat rajin. Aku bahkan belum mengerjakan setengahnya.” Keluh Sindi.

“Kau harus segera mengerjakannya. Sebentar lagi ujian semester.” Peringat Davina.

“Ah, jangan bahas hal yang mengerikan itu dulu.” tukas Sindi acuh. Davina hanya memutar bola matanya malas. “Ada yang lebih penting, apakah Kak Andra-mu itu juga akan datang?”

Davina terdiam, dia mengendikkan bahunya, “Entah.”

“Hah? Kau tidak tahu?” tanya Sindi bingung.

“Aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya sejak dua minggu yang lalu. Pesanku bahkan belum dibalas. Padahal dia pergi sudah sebulan.” Desah Davina.

“Mungkin ada urusan. Pekerjaannya sangat banyak. Positive thinking saja.” Ujar Sindi menenangkan.

Davina menganggukan kepalanya.

“Nah intinya, bagaimana kalau kita datang? Katanya ini bukan hanya sekedar pameran biasa. Ini adalah pameran untuk menandai debut seni kotemporer dengan konsep lebih segar di Indonesia dengan memperkenalkan karya para seniman terkenal di Prancis. Dan siapa tahu, Kak Andra-mu juga akan datang.”

“Haruskah?” gumam Davina bimbang.

“Kenapa?” tanya Sindi.

“Aku ingin datang, tapi aku tidak punya uang untuk membeli tiketnya.” Jawab Davina jujur.

“Soal itu gampang. Aku mengajakmu bukan tanpa persiapan. Itu karena aku sudah memiliki dua tiketnya. Satu kuberikan padamu.” Ucap Sindi riang. Dia merogoh tasnya dan mengambil tiket yang dia maksud.

Davina menerima tiket itu dan menatapnya dengan senang. Dia menatap Sindi, “Terima kasih. Aku tidak tahu harus membalas perbuatanmu dengan apa.” Ujarnya.

“Alah sudahlah, hanya selembar tiket saja. Tidak masalah untukku.” ucapnya santai.

“Jadi hubungi lebih dulu Kak Andra-mu itu lalu beritahu kau akan datang kesana. Semoga saja kerinduanmu bisa terbayarkan. Kau mengerti?”

Davina mengangguk, “Aku pasti akan datang.” Tandasnya.

“Good. Kalau begitu sampai ketemu Hari Sabtu. Omong-omong, aku harus pergi.” Pamitnya tiba-tiba.

“Kemana?”

“Kencan buta.” Bisik Sindi terkikik. “Aku pergi ya. Sampai jumpa.”

Davina melambaikan tangannya sambil tertawa pelan. Sindi dan kencan butanya memang tidak pernah terpisahkan.

Sepeninggal Sindi, Davina menatap tiket di tangannya. Dia menyunggingkan senyumnya. Semoga dia bisa bertemu dengan kekasihnya di pameran ini. Harapnya.

***

Hari Sabtu tiba. Davina sudah berada di Hotel Tan untuk menghadiri pameran seni. Sebenarnya untuk mengadakan suatu pameran seni tentu harus berada di galeri tapi di hotel juga tidak masalah. Seperti yang dikatakan Sindi, ini adalah pesta sekaligus pameran untuk menandai debut seni kotemporer di Indonesia.

“Davina!” panggil seseorang dari kejauhan. Sindi melambaikan tangannya.

Davina balas melambaikan tangan lalu mendekati Sindi.

“Oh Davina, kau cantik sekali.” Puji Sindi. Davina hanya tersenyum malu.

“Kau juga cantik bahkan jauh cantik.” Puji balik Davina.

“Terima kasih.” Ucap Sindi senang. “Kalau begitu ayo masuk.” Ajaknya.

Davina dan Sindi masuk ke dalam hotel. Mereka meliaht-lihat banyak karya seni mahal yang terpajang.

“Sindi, aku ke toilet dulu.” ucap Davina. Sindi mengangguk mengiyakan.

Davina mencari-cari toilet tapi dia malah tersesat. Ini salah satu kebiasaannya, dia selalu lupa menanyakan arah. Alhasil, dia terus saja berkeliling di lantai itu.

“Kita putus, Kean!” suara seseorang dengan nada amarah terdengar keras di telinga Davina.

Davina berjalan sebentar, dan terlihat di sebuah kamar yang redup, sebuah pasangan sedang bertengkar. Dan alangkah terkejutnya dia kala lelaki itu mencium pasangannya dengan paksa. Perempuan itu meronta-ronta minta dilepaskan. Hingga sebuah tamparan melayang ke pipinya.

“Sebaiknya atasi mabuk-mabukanmu. Dan jangan pernah menghubungiku lagi!” tekan perempuan itu langsung keluar dari kamar. Davina langsung bersembunyi agar tidak ketahuan.

“Davina, kenapa kamu penasaran dengan masalah orang lain?” gumamnya menyadarkan diri.

Davina pun hendak pergi tapi sebuah tangan malah menariknya dari dalam kamar tadi. Davina menjerit tapi mulutnya langsung dibekap.

Blam

Pintu ditutup keras. Davina yang awalnya ketakutan seketika membulatkan matanya kala lelaki yang tadi bertengkar itu dan kini menariknya masuk ke kamar adalah seseorang yang dia kenali.

“Kak Andra?!” pekiknya.

Mata Davina membulat, “Jadi, yang tadi itu kakak? Kakak selingkuh? Kakak mencium perempuan lain. Kakak sungguh selingkuh dariku?!” teriaknya marah.

Tapi kekasihnya tak menggubris ucapannya, “Kau tidak akan bisa kemanapun, Vidya. Aku akan menodaimu agar kau terus terikat denganku.” Ucap lelaki itu dengan smirknya.

Davina langsung ketakutan, “Kak jangan! Aaa!

Davina dibanting ke ranjang. Perempuan itu ketakutan setengah mati kala kekasihnya membuka pakaiannya. Dia menggerayangi Davina dengan wajah nakal.

“You’re mine, Vidya.” Desisnya.

“Tidak!”

***

Davina terbangun keesokan harinya. Tubuhnya remuk tak bertulang. Dia melirik ke sampingnya, kekasihnya masih tertidur pulas dengan wajah tanpa dosa. Seketika air mata Davina mengalir.

Apa yang telah dia lakukan? Bagaimana bisa dia diperkosa oleh kekasihnya sendiri. Davina serasa hancur luar dalam.

Sambil menahan isak, perempuan itu bangun. Area bawahnya sangat ngilu. Dengan tertatih-tatih, Davina memungut pakaiannya dan memakainya secepat kilat. Setelah itu, dia menuliskan sesuatu untuk kekasihnya.

Setelah semuanya usai, Davina keluar dari kamar hotel membawa perasaannya yang terluka.

***

Lelaki itu terbangun tak lama setelah Davina keluar. Dia memijit keningnya kala pusing menyerangnya. Dia mengerang tanpa suara.

Hingga sesuatu menarik perhatiannya. Dia mengambil memo yang tadi ditinggalkan Davina.

Untuk : Kenandra Hammasta

Aku tidak tahu kenapa kakak melakukan ini padaku. Kakak mengkhianatiku selama ini tapi aku bisa menerimanya. Tapi kakak juga menodaiku bahkan berfantasi dengan menyebut nama wanita lain. Aku tidak bisa menerimanya lagi. Kita putus!

^^^Dari : Wanita yang kau sakiti^^^

Lelaki itu terkejut bukan kepalang. Dia memegang kepalanya frustasi.

“Apa yang telah kulakukan?!” rutuknya.

***

Davina sampai di kostannya dengan keadaan kacau hingga ibu kostnya bahkan terkejut saat melihatnya. Davina langsung mandi dan menangis sejadi-jadinya dibawah kucuran shower. Dia meratapi tentang kemalangan demi kemalangan yang terjadi padanya.

Dan satu minggu kemudian, Davina berubah menjadi mayat hidup. Dia tidak tidur dan tidak makan. Kondisinya memburuk kala makanan yang dia makan selalu saja dimuntahkan. Hingga akhirnya Sindi yang sudah sangat khawatir membawanya ke rumah sakit.

Setelah diperiksa cukup lama, Davina malah disuruh ke ruangan dokter kandungan. Sindi yang bingung menurut saja. Dia membawa Davina yang pucat ke ruang dokter kandungan. Dan sesuatu yang tak pernah disangka Davina terjadi.

“Selamat Bu Davina, Anda hamil.”

Davina yang sendirian di ruangan dokter kandungan itu hanya bisa membeku. Dia ingin menangis tapi berusaha menahannya. Bukankah dia sangat menyedihkan? Dikhianati kekasihnya dan kini malah mengadung anak kekasihnya.

“Dok, boleh saya meminta bantuan?” pinta Davina pelan.

“Saya ingin menggugurkannya.”

Dokter itu nampak terkejut. Dia hendak membuka mulutnya kala pintu terbuka keras dari luar.

Brak

Seorang lelaki tiba-tiba masuk dengan wajah memerah. Dia menarik lengan Davina dengan kasar dan menghadapkan tubuhnya menghadapnya. Davina memalingkan wajahnya.

“Jangan pernah berani membunuh anakku.” Desisnya.

“Kau siapa? kau tidak berhak ikut campur!” pekik Davina dengan air mata yang mengalir. Kebencian sudah mendarah daging padanya.

“Aku adalah ayahnya. Jadi jangan pernah memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan.” Tekannya dengan wajah dingin.

“Aku tidak sudi mengandung anakmu.” Desis Davina. Dia mengambil gunting yang tergeletak di atas meja dan menusuk perutnya sendiri.

Bless

Seketika Davina terjatuh tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir di perut dan juga pahanya.

Bab 3. Meninggalkanmu dan Kembali dengan Serpihanmu

Kedua kelopak mata Davina terbuka. Dia sadar setelah lima jam terbaring. Davina meringis dan itu membangunkan Sindi yang sedang tidur nyenyak di sampingnya.

“Davina?” lirihnya dengan mata memerah. Ada bekas air mata di pipi gadis cantik itu.

“Minum.” Bisik Davina.

Sindi langsung mengambilkan minum dan meminumkannya pada Davina yang langsung meminumnya dengan tandas. Setelah itu Sindi meletakkan kembali ke tempat semula.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya khawatir.

“Maafkan aku Sindi. Aku tidak jujur padamu dan kau harus mengalami ini semua.” Ucap Davina lirih.

Sindi menggeleng, “Tidak, jangan salahkan dirimu. Aku sudah mengerti apa yang terjadi. Kekasihmu itu sangat brengsek. Aku menyesal telah memujinya sebagai kekasih idaman.” Rutuknya.

Davina tersenyum kecil.

“Kau masih bisa tersenyum?” seru Sindi tak percaya. “Kalau aku, aku pasti akan langsung membunuhnya. Seharusnya kau menusukkan gunting itu ke tubuhnya bukan pada dirimu!” gerutunya kesal.

“Aku tidak bisa berfikir jernih saat itu. Aku terlalu kacau.” aku Davina.

Sindi mendesah pelan, “Jangan ulangi lagi.” Pintanya. Davina mengangguk.

“Jadi bagaimana kondisiku?” tanya Davina.

“Entah semesta membantumu atau mendorongmu makin jatuh, tapi janinnya selamat. Dia baik-baik saja.” Jawab Sindi.

Davina mendesah kasar, “Aku tidak tahu harus bahagia atau kecewa.” Lirihnya.

“Kau membencinya?” tanyanya dengan nada hati-hati.

Davina hanya terdiam.

“Davi, ini bukan kesalahan calon anakmu. Kau tidak pantas membencinya.” Ucap Sindi.

“Tapi kenapa dia harus hadir di waktu yang tidak tepat?” seru Davina pilu.

Sindi mengelus bahu Davina menenangkan, “Aku yakin selalu ada hikmah dibalik setiap cobaan.” Hiburnya.

“Tapi apa yang harus kulakukan Sindi?” tanyanya frustasi.

“Kau membenci kekasihmu jadi aku yakin kau pasti tidak ingin hidup dengannya. Jadi bagaimana kalau kau kabur saja?” usul Sindi.

“Kabur?” tanya Davina.

Sindi menganggukkan kepalanya, “Aku sudah memikirkannya dari lima jam yang lalu. Kita kabur saja ke luar negeri. Ada flat tidak terpakai milik salah satu sepupuku yang pernah berkuliah disana. Kau bisa tinggal disana dengan bayimu sambil menenangkan dirimu. Dan aku jamin, lelaki bajingan itu tidak akan menemukanmu.”

“Dimana itu?” tanya Davina mulai penasaran.

“Hungaria.”

***

Di sisi lain, seorang lelaki sedang tertidur di kursi tunggu. Lelaki itu sedang menunggu keadaan Davina yang masih tak sadarkan diri tanpa tahu apa yang sudah terjadi.

“Tuan Keandra.” Panggil seseorang membangunkan lelaki itu dari tidurnya.

Lelaki yang disebut Keandra itu terbangun. Dia menatap sekretarisnya yang membangunkannya tadi.

“Andre, kau sudah datang.” Ucapnya sambil menguap. Dia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku karena tidur dalam posisi duduk.

“Ada telfon dari Tuan Pertama.” Ucapnya menyerahkan ponselnya pada Keandra.

Keandra membeku. Dia ragu-ragu menerima ponsel itu, jantungnya berdegup cepat.

“Halo, dik, kenapa lama sekali?” tanya kakaknya dari seberang telfon.

“A-ada apa?” tanya Keandra tergagap.

“Kamu sudah bertemu dengan Davina kan?” tanyanya.

“Su-sudah.” Balas Keandra.

“Bagaimana keadaannya?” tanya kakaknya itu dengan antusias.

Keandra terdiam sesaat. Sial, dia harus berbohong saat ini.

“Dia baik-baik saja.” Bohongnya.

“Ah benarkah? Kalau begitu apa yang sedang dia lakukan saat ini?” tanyanya lagi.

Keandra bangkit dari duduknya. Dia melangkah menghampiri ruang rawat Davina.

“Dia...”

Ceklek

Begitu Keandra membuka pintu, dia membeku. kamar Davina kosong. Tangannya terkepal erat.

“Kean?”

Satu tangan Keandra terkepal erat, “Dia sedang berlibur dengan temannya.” Desisnya menahan emosi.

“Ah benarkah?”

“Kak, aku akan menelfonmu kembali.” tiba-tiba Keandra memutuskan sambungan. Dia melemparkan ponsel itu keras.

“Sial, dimana perempuan itu?!” teriaknya.

Andre yang melihatnya seketika menghubungi bawahannya. Dia langsung memerintahkan untuk melacak kepergian Davina.

“Saya sudah memerintahkan untuk mencarinya tuan.” Lapor Andre.

“Kalau sampai kita kehilangannya, aku akan kehilangan semua saham kakakku.” Desisnya penuh emosi.

Dan Keandra amat marah kala mengetahui kepergiaan Davina tanpa izin. Lelaki itu akan kehilangan kesempatannya menjadi pewaris tahta perusahaan keluarganya kalau sampai kakak kembarnya tahu bahwa kekasihnya menghilang. Iya, Keandra dan Kenandra. Dua kakak beradik kembar yang berbeda kepribadian. Dan Keandra lah yang telah menodai Davina bukan Kenandra. Kakaknya itu sedang berada di Prancis dan dia kesini karena ditugaskan untuk mengecek kondisi kekasihnya.

Keandra tahu dia sudah melakukan dua kesalahan fatal: menghamili kekasih kakaknya dan membuat kekasih kakaknya melarikan diri.

***

Lima tahun kemudian...

“Lukisan ini adalah perwujudan dari gairah para pelukis muda yang masih belum tahu tentang jati dirinya. Digambarkan dengan abstrak dengan perpaduan warna yang gelap menjurus terang untuk memberikan harapan bahwa proses melelahkan itu akan menuju titik akhir yang bahagia.”

Prok prok

Suara tepuk tangan menggemuruh di aula gedung. Seorang anak kecil yang tadi menjelaskan membungkukkan badannya dan turun dari panggung. Saat ini ada sebuah perlombaan lukis anak yang berusia lima hingga delapan tahun dari salah satu klub lukis bergengsi di Hungaria.

“Pemenang lomba lukis klub PaintArt adalah Davandra Michel Rembrandt!”

Anak lelaki tadi kembali maju ke panggung. Dia menerima hadiah tropi dan uang tunai. Dia tetap tersenyum tenang kala dia dan lukisannya dipotret. Nampak tak ada kegugupan atau rasa senang. Hanya raut datar yang berbingkai senyuman saja.

Usai perlombaan itu, Davandra Michel Rembrandt atau yang biasa dipanggil Dave itu pulang menemui sang ibu. Dia berlari pulang dengan satu tangan menggengam tropinya. Meski wajahnya datar, dalam hatinya dia bersorak bahagia. Ibunya pasti akan bangga padanya.

“Anya! Anya!” (Ibu! Ibu!) teriaknya dengan kencang.

Seorang perempuan muda nan cantik keluar dari dari dalam rumah. Dia langsung tersenyum lebar kala melihat anak sulungnya berdiri sambil memegang tropi. Dia langsung memeluknya.

“Apakah anak mama kembali juara?” tanyanya padahal sudah tahu jawabannya.

Dave mengangguk.

“Kali ini tema lukisannya apa?” tanya perempuan itu.

“fiatal festő szenvedély." (Gairah pelukis muda)

“Apa lukisan itu sedang membicarakan tentangmu?” tebak perempuan itu.

Dave kembali mengangguk, “Aku meniru gaya lukis Rembrandt, antara cahaya dan bayangan. Aku memasukkannya sebagai proses mencari jati diri pelukis muda yang akan menemui titik akhir.” Jelasnya.

Sang ibu tersenyum bangga, “Bagaimana bisa kau sejenius ini, Nak? Untung mama memberikanmu nama Rembrandt dan Michel. Ternyata darah seni sungguh mengalir di tubuhmu.”

“Davina! Dave!” Seseorang memanggi-manggil keduanya dengan antusias.

“Tante Sindi?” tanya Dave ragu. Dia kurang bisa mengenali rupa.

“Yap, ini tantemu datang! Sini peluk dulu.” ucapnya. Dia langsung memeluk Dave dengan erat.

Perempuan yang tenyata Davina hanya tersenyum kala Dave meronta-ronta ingin dilepaskan. Akhirnya Sindi pun melepaskannya kala Dave terlihat ingin menangis.

“Kau sungguh pelit, Dave. Masa tante peluk saja sudah mau menangis.” Gerutu Sindi sebal padahal kan dia kangen.

“Setidaknya itu membuktikkan bahwa anakku masih kecil.” Komentar Davina geli.

Sindi mengangguk setuju.

“Dave, gantilah bajumu setelah itu makan siang ya. Mama sudah menyiapkannya di meja makan.”

Dave mengangguk.

“Good boy.” Puji Davina lantas Dave masuk ke dalam rumah.

Lalu Sindi mengisyaratkan agar mereka berbicara berdua. Davina pun membawanya ke studionya tepat di samping rumah.

“Kabarmu baik? Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Davina sambil membawa teh untuk sahabatnya. Setelah itu dia duduk di depan Sindi.

“Aku baik dan pekerjaanku jelas melelahkan. Ada banyak dokumen yang harus kuperiksa. Dan sialnya selalu saja tidak sesuai. Kurang seribu lah, kurang sejuta lah, masih mending kalau aku menghitung ada wujudnya, lah ini uang gaib!” keluhnya.

Davina tersenyum tipis, “Seharusnya kau ambil yang sesuai jurusanmu. Kenapa malah banting setir ke akuntasi.” Ucapnya.

“Tentu saja karena papa kesayanganku itu mengharuskanku mewarisi bisnis keluarga. Aku bisa apa selain menganggukan kepala?” balas Sindi lelah.

“Hem, aku lupa kau terlahir sebagai sendok perak.” Ucap Davina santai.

“Lupakan soal itu. Aku muak kalau harus mengingatnya lagi.” Ucapnya mengibaskan tangannya. “Tujuanku kesini selain untuk menjenguk kalian, juga ada yang ingin kusampaikan.” Lanjutnya menatap serius sahabatnya itu.

“Apa? Kau akan menikah?” canda Davina.

“Bukan, Davi. Tapi aku ingin membawamu kembali ke Indonesia.”

Muka Davina langsung berubah keruh, “Aku tidak mau.” ucapnya dengan nada tak suka.

“Ayolah Davi, ini sudah lima tahun, mana mungkin juga lelaki brengsek itu akan bertemu denganmu lagi, kan? Mungkin saja dia sudah menikah atau syukur-syukur dia sudah mati.” Jawab Sindi.

“Tapi aku tetap tidak mau kembali. Untuk apa kembali ketika kehidupanku disini sudah nyaman?”

“Karena aku membutuhkan kurator baru. Temanku membuka galeri baru di Jakarta dan dia sedang membutuhkan kurator. Dia meminta bantuanku karena dulu aku anak seni.”

“Dan kau membawa-bawa namaku?”

Sindi mengangguk.

“Aku tidak bisa menolaknya dan lagi diantara semua orang yang kukenal, hanya kamu yang memenuhi kualifikasi.”

“Kau tahu bahwa aku tidak lulus kuliah, apa maksudnya dengan memenuhi kualifikasi?” tukas Davina tak habis fikir.

“Maksudku, tentang perjuanganmu. Kau datang tanpa bekal apa-apa saat kesini, berusaha diterima di studio keramik meski tidak lulus kuliah. Dan lihat, seiring waktu berlalu, kau bahkan sudah punya studio sendiri. Itu sudah sangat memenuhi kualifikasi berpengalaman dan hebat dalam standarku.” Jelas Sindi.

Davina tersenyum geli, “Ini hanya studio kecil-kecilan.”

“Tidak. Kau membangun semuanya dari nol dan menurutku itu luar biasa. Dan aku menceritakan ini pada temanku, tentu saja temanku juga setuju dengan pendapatku kalau kamu memang hebat.”

“Tapi tetap saja aku tidak bisa. Selain karena hatiku yang masih menolak, aku juga tidak tega pada Dave kalau dia harus berpisah dengan teman-temannya. Dia juga harus pindah sekolah. Kau tahu bahwa Dave tidak bisa bergaul dengan banyak orang.”

“Tenang saja. Aku yakin Dave bisa beradaptasi dengan baik. Dia anak jenius, aku yakin dia akan nyaman dengan sendirinya. Dan Dave harus tahu dimana kampung halamannya. Kau tidak bisa terus tinggal di Hungaria.”

Tapi Davina nampak masih khawatir.

“Aku yang akan mengurus semuanya. Kau tinggal bereskan keperluanmu disini dan setelah itu ikut denganku ke Indonesia. Rumah, akomodasi, bahkan sekolah baru Dave akan kusiapkan.” Tandas Sindi.

“Fikirkan baik-baik ya? Fikirkan demi kebaikanmu dan juga Dave.” Pinta Sindi.

Davina hanya diam saja.

***

Waktu makan malam tiba. Davina, Sindi dan Dave sedang makan bersama. Di tengah makan malamnya, Sindi melirik Davina. Dia lalu menyenggol tangan Dave membuat Dave menoleh padanya.

“Dave, kamu tahu kalau mamamu bukan orang sini?” tanyanya.

“Sindi..” tegur Davina. Tapi Sindi hanya tersenyum santai.

“Tahu tidak Dave?” tanya Sindi lagi. Dave akhirnya mengangguk.

“Tahu mamamu dari negara mana?” tanya Sindi lagi.

“Indonesia.” Jawab Dave singkat.

“Pintar. Sepertinya mamamu pernah menceritakannya.” Puji Sindi.

Dave mengangguk, “Mama bilang dia dari Indonesia, salah satu negara kepulauan yang diapit dua benua dan dua samudera. Saah satu yang termasuk ke dalam negara berkembang dari Asia Tenggara. Dan termasuk ke dalam negara dimana mama pernah terluka karena cinta.” Papar Dave.

Davina menganga mendengar penjelasan Dave sedangkan Sindi terkikik geli.

“Wah sepertinya mamamu juga menceritakan kisah cintanya.” Sindir Sindi melirik Davina yang menutup wajahnya karena malu.

“Jadi Dave, kamu mau ke Indonesia tidak?” tawar Sindi.

Dave mengangguk.

“Mau?” seru Sindi terkejut. Dave sekali lagi mengangguk.

“Aku pernah melihat di berita soal Indonesia. Kufikir, sejauh manapun kita pergi, kita tetap akan kembali ke tanah kelahiran kita.” Ucap Dave.

Sindi tak percaya mendengar ucapan sedewasa itu dari mulut anak berusia lima tahun. Dia menatap Davina.

“Davi, kau beri dia makanan apa hingga secerdas ini?” tanyanya penasaran.

“Kuberi dia makan buku sejarah, puas?” balas Davina sebal. Sindi hanya mengendikkan bahunya acuh.

“Karena kamu sangat cepat dalam memahami informasi maka tante akan langsung bicara saja. Jadi mamamu diberi tawaran menjadi seorang kurator di salah satu galeri seni di Jakarta. Dan kamu pasti tahu bahwa mamamu dulunya mahasiswa seni yang sangat hebat. Dan menjadi kurator adalah impiannya.” Jelas Sindi.

“Aku tahu. Kita pulang saja ke Indonesia.” Ucap Dave serius.

“Dave, jangan asal setuju saja. Kenapa kamu mudah sekali dicuci otaknya oleh Tante Sindi?”

“Aku serius ma. Menjadi kurator adalah impian mama. Dan sekarang sudah ada kesempatannya. Mama harus mengambilnya kalau tidak ingin menyesal.”

“Wah, keponakan tante memang sangat bijak. Sini peluk dulu.” Sindi memeluk Dave gemas tapi langsung dilepaskannya karena Dave meronta-ronta.

“Kamu yakin mau kesana?” tanya Davina serius.

Dave mengangguk.

Akhirnya setelah lama menimbang-nimbang ditambah dengan Dave setuju, Davina pun menganggukan kepala.

“Aku setuju. Ayo kita pulang, Sindi.” Ucapnya.

***

Di Jakarta, di sebuah ruangan besar dengan banyak peralatan mahal, seorang lelaki dewasa sedang melihat-lihat berita melalui tabnya. Dia adalah Keandra Hammasta, presdir baru HM Group setelah kakaknya lengser setahun yang lalu.

Dia mentap-tap berita luar negeri, membacanya dengan bosan hingga sebuah berita menarik perhatiannya. Dia tertegun kala melihat rupa anak kecil yang dipotret di samping lukisan itu mirip dengan dirinya saat kecil. Keandra tanpa sadar membuka berita itu.

Keandra membacanya dan tertegun dengan isinya. Dia lalu menatap potret anak kecil tadi yang difoto dari jarak dekat. Semakin dilihat, semakin mirip dengannya di saat kecil. Dan entah kenapa hal ini membuat Keandra teringat dengan Davina.

Tok Tok

Andre muncul menghampirinya. Keandra pun langsung menunjukkan foto anak kecil asing itu.

“Bagaimana menurutmu?” tanyanya.

“Kenapa tuan memberikan saya foto masa kecil tuan?” tanya balik Andre bingung.

“Benarkan! Ini mirip denganku.” Ucap Keandra.

“Apa maksud Anda?” tanyanya.

“Ini bukan aku. Ini seorang anak kecil bernama Davandra Michel Rembrandt, seorang pelukis cilik jenius dari Hungaria.” Jelas Keandra.

“Tapi kenapa sangat mirip dengan Anda?” tanya Andre.

“Aku juga berfikir demikian. Ini tidak mungkin sebuah kebetulan. Tidak mungkin ada kemiripan sesempurna ini.”

“Ini seperti duplikat Anda.” Timpal Andre. Keandra terdiam bingung. Padahal bisa saja dia menganggap ini hanya kebetulan tapi entah kenapa dia tidak bisa melakukannya.

“Tuan, hari ini Anda akan melakukan kunjungan ke TK Bina International School.” Ucap Andre.

“Kenapa aku harus ke TK itu lagi? Seperti tidak punya kerjaan.” Decak Keandra.

“Itu harus tuan. Ketua menginvestasikan dana untuk membangun ruang seni berstandar internasional disana. Jadi kita harus melihatnya.”

Keandra berdecak, “Seharusnya kalau dia punya uang, investasikan membangun galeri bukannya ruang seni TK!”

***

Tapi Keandra mau tak mau melakukannya. Dia berkeliling TK yang sering disebut BIS itu dengan wajah datar. Terakhir, dia dibawa ke ruang seni yang ayahnya bangun itu. Dan wajah bosannya langsung berubah kala melihat sebuah lukisan tak asing terpajang di salah satu sandaran kanvas.

“Itu...”

Belum selesai Keandra berbicara, seorang anak menerobos masuk ke dalam ruang seni. Dia berdecak sebal kala melihat lukisannya dipajang di dinding tanpa seizinnnya.

“Dave!” panggil seseorang dari belakang. “Permisi.” Ucapnya meminta jalan untuk masuk ke ruang seni. Keandra terdiam, dia seperti mengenal suara itu.

“Dave! Sudah mama bilang jangan main pergi begitu saja. Kalau kamu tersesat bagaimana?!” omelnya.

Keandra sudah tidak salah lagi menebak. Dia benar-benar seseorang dengan suara yang dikenalinya lima tahun lalu. Keandra menatap punggung kecil itu hingga akhirnya si pemilik punggung itu berbalik.

Davina terkejut karena dia kembali bertemu dengan orang yang sangat dia benci itu. Begitupun Keandra yang tak menyangka bahwa tebakannya benar. Dia kembal bertemu dengan kekasih kakaknya lagi. Dan lagi tadi Davina mengatakan apa? Mama? Davina adalah ibu dari anak yang digandengnya itu?

“Kau Davina kan?” tanya Keandra.

Davina membeku. Jemarinya menggenggam erat jemari kecil Dave.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!