Namanya Mentari, usia nya masih 17 tahun. Mentari terlahir dari keluarga yang cukup berada, ia masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Mentari memiliki seorang Kakak bernama Rembulan. Mentari adalah gadis periang, pembuat onar. Tak jarang kedua orang tuanya di minta menghadap guru karena kenakalan sang putri, yang sering sekali bolos di jam pelajaran yang tengah berlangsung.
Mentari memang gadis nakal, akan tetapi tidak suka mengganggu orang lain. Kecuali orang yang memang suka membuat masalah dengannya, kehidupan remajanya penuh dengan tawa dan juga canda yang hanya ada pesta dan pesta tanpa ada beban sedikit pun. Mentari memiliki dua sahabat, yaitu Lala dan Rika. Ketiganya bersahabat sejak duduk di bangku SMP, dan tidak mau di pisah sampai dengan saat ini.
Di mulai dengan pagi ini, mentari sudah bersinar dengan cerahnya. Tapi itu mentari yang menerangi bumi, bukan Mentari si anak nakal yang tengah tidur nyenyak di bawah selimut kuning kesayangannya. Setiap paginya sang Mama harus berteriak, untuk membangunkan putri tercintanya itu. Jika pembantu yang membangunkannya Mentari tidak akan pernah bangun.
"Mentari......" Ranti adalah Mama dari Mentari, ia menarik selimut sang putri dengan begitu kuat hingga Mentari tidak bisa lagi melanjutkan tidurnya, "Perawan tua bangun!"
"Mama......Tari nggak perawan tua, Tari masih sekolah, yang perawan tua itu Kak Ulan," Mentari sangat tidak suka sekali di beri gelar perawan tua oleh sang Mama.
"Kak Ulan mu itu sudah punya pacar, bentar lagi mau nikah," jawab Ranti yang sangat suka sekali menggoda putri bungsunya itu.
"Tari masih sekolah Ma," Mentari tidak mau mengalah, ia tetap tidak suka di katai perawan tua.
TOK....TOK.....TOK.....
Terdengar suara ketukan pintu, membuat Mentari dan juga Ranti melihat arah pintu.
"Bu, di bawah ada anak Ibu Linda, tetangga yang di depan rumah," jelas bik Sum sang Art.
"Iya Sum, kamu suruh masuk saja saya akan segera turun," jawab Ranti.
"Iya Bu."
Ranti menatap Mentari, "Kamu cepat cucu muka, ganti baju, Mama tunggu di bawah....." setelah mengatakan itu Ranti langsung pergi.
Ranti kini sudah menemui tamu yang tadi di maksud oleh Bik Sum, "Nak Arka ayo masuk," Ratih tersenyum ramah pada Arka, ia cukup mengenal Arka walaupun hanya sesekali saja pulang ke Indonesia.
"Di sini saja Tante," Arka hanya berdiri di teras rumah, karena ia memang tidak ingin berlama-lama di sana, "Ini Tante, Mami minta saya mengantarkan ini, kata Mami mungkin nanti Mami ke sini juga," Arka memberikan beberapa paperbag di tangannya.
"O....terima kasih," Ranti tersenyum dan menerimanya dengan senang hati, "Kamu baru pulang dari Amerika ya Nak?"
"Iya Tante, saya udah selesai kuliah dan sekarang Papi minta buat nerusin perusahaan," jelas Arka dengan ramah namun terlihat ia sangat sulit untuk tersenyum, akan tetapi Ranti tahu Arka memang lelaki yang tidak pandai berbasa-basi.
"Aduh, udah ganteng, tamatan S3, sekarang udah jadi pemimpin perusahaan.....hebat sekali ya," kata Ranti dengan senyum ramah.
Arka hanya tersenyum saja, ia memang bukan laki-laki yang banyak bicara, "Saya pamit Tante."
"Iya, sampaikan terima kasih Tante ke Mami ya Nak."
Arka tersenyum dan ia berbalik, untuk melangkah pergi. Namun tiba-tiba kakinya tanpa sengaja menginjak benda yang terasa licin.
BUKKK.....
Arka terpeleset, matanya langsung menatap ke atas karena kulit pisang itu barusan di lemparkan dari sana. Hingga Arka tidak bisa menghindar. Arka melihat seorang gadis, dia adalah Mentari yang melempar kulit pisang dengan sembarangan.
"Arka," Ranti cepat-cepat mendekat dan membantu Arka berdiri, "Kamu nggak papa kan Nak?" tanya Ranti sambil memperhatikan kaki Arka.
Arka tersenyum, ia ingin meremas gadis yang menatapnya dari atas balkon.
"Mentari, turun kamu dan minta maaf sama Arka!" perintah Ranti dengan tegas.
"Apaan sih Ma, lebay banget deh.....nggak kenapa-kenapa jugakan dianya," jawab Mentari dari atas sana.
Arka mengangkat alisnya mendengar jawaban Mentari, wanita tomboy itu bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun.
"Heh.....kalau kamu nggak turun, dan minta maaf. Kamu nggak dapat uang jajan selama satu minggu," Ancaman paling mujarab itu di keluarkan oleh Ranti.
"Mama apasih.....ngancem ya segitu amat," kata Mentari dengan mengerucutkan bibirnya.
"Heh....minta maaf nggak!" Ranti menatap Mentari dengan kesal.
"Om....maaf ya," kata Mentari dari atas sana tanpa berniat turun.
"Mentari....."
"Iya Ma."
"Turun kemari dan minta maaf, lalu kamu obati kali Arka!"
"MAMA.....!" teriak Mentari dengan refleks.
"Tari turun sekarang Mama bilang!" titah Ranti dengan berkabut emosi.
"Iya...." dengan menghentakan kakinya, Mentari menuruni tangga dan menuju teras rumah di mana ada Ranti dan Arka di sana.
"Cepat kemari."
"Iya Ma, iya, ngancem nya uang jajan pula," gerutu Mentari dan kini ia sudah berada di teras rumah.
"Ini kotak obatnya," Ranti meletakkannya di atas meja, "Arka, Tante masuk dulu ya Nak," pamit Ranti
"Iya Tante."
Ranti masuk ke dalam rumah, meninggalkan Mentari dan Arka di sana.
"Auuu...." pelan-pelan, Arka merasa wanita yang kini di hadapannya sama sekali tidak menarik. Bahkan mungkin Mentari tidak pantas di sebut sebagai wanita, sebab semua yang melekat di tubuh Mentari adalah barang-barang milik pria.
"Cengeng," mentari menekankan kapas di tangannya.
"Sakit bodoh!" Arka menatap Mentari dengan tajam, ia langsung berdiri karena tidak ingin di obati oleh Mentari lagi.
"Lu ngatain gw bodoh??" Mentari berkacak pinggang, dan mendongkak menatap Arka, walau pun Arka lebih tinggi darinya tapi Mentari tidak merasa takut sama sekali.
"Ternyata kamu tuli juga ya?" tanya Arka dengan sinis.
"Sialan lu," Mentari menepuk kaki Arka yang membiru.
"Au sakit....."
"Mampus lu, belagu sih, cengeng....."Mentari menjulurkan lidahnya pada Arka.
"Anak nggak tau sopan santun!"
"Gw tau sopan santun, gw kan sekolah bego!" jawab Mentari tidak mau kalah.
Arka menggelengkan kepala melihat sikap Mentari, ia baru kali ini melihat wanita yang berbicara sembarangan pada dirinya.
"Minggir," Arka menyenggol Mentari sedikit lalu ia pergi begitu saja tanpa perduli pada Mentari yang menatapnya penuh kebencian.
"Dasar Om....om nggak ada etika, gila....." teriak Mentari.
"Mentari!" terdengar suara Ranti yang ternyata sudah berada di dekat nya, dan entah sejak kapan Ranti ada di sana.
"Mama..." Mentari ketakutan, ia bahkan seperti kucing yang tersiram air.
"Mulut kamu ya bener-bener," Ranti menarik telinga Mentari dengan cukup kuat, sambil membawanya masuk ke dalam rumah.
"Ampun Ma......sakit.....Ma....."
Arka dari kejauhan menertawakan Mentari, sementara Mentari ingin menelan Arka hidup-hidup saat menertawainya.
Kini Mentari sudah menggunakan seragam sekolahnya, ia hari ini mendapat hukuman dengan pergi ke sekolah tanpa mobil kesayangannya. Sebab tadi pagi-pagi ia sudah membuta ulah, Mentari berdiri di gerbang rumahnya menunggu ojek yang lewat. Namun setelah lama menunggu tidak satupun kendaraan umum yang lewat.
"Tari....." Rembulan datang dan membuat sang adik terkejut.
"Lu bener-bener ya Kak, nggak ada akhlak lu ya.....gimana kalau jantung gw copot!" omel Mentari dengan begitu kesal.
"Yaelah Dek, cuman segitu doang, nggak usah lebay deh ah......" jawab Rembulan dengan ketus, dan tidak merasa bersalah sedikit pun.
"CK....." Mentari memutar bola matanya dengan malas, ia memang tidak pernah akur dengan Rembulan. Akan tetapi mereka berdua tetap saling menyayangi, pertengkaran kecil memang sering terjadi di antara keduanya.
"Heh....lu ngapain di sini? Mobil lu kemana?" tanya Rembulan, sebab setahunya Mentari tidak pernah absen menggunakan mobilnya. Kecuali di sita oleh sang Mama bos mereka.
"Ngapain nanya? Lu ngapain di sini? Mobil lu kemana?" Mentari tidak berminat menjawab pertanyaan Rembulan, yang ada ia yang bertanya kembali pada sang Kakak.
"Mobil gw bannya kempes, lu tau kan Dek gw baru di terima kerja di perusahaan Om Anggara Wijaya?" kata Rembulan dengan bangga.
"Kagak....gw kagak tau, dan kagak mau tau," ketus Mentari.
"Sialan lu," Rembulan juga tidak mau kalah berdebat dengan sang adik.
"Caelah......lu nggak usah kerja di perusahaan mending urusin perkebunan Papa," jelas Mentari, karena sang Papa memang memiliki perkebunan yang cukup luas. Mereka memang tidak sekaya keluarga Anggara Wijaya, akan tetapi kondisi ekonomi keluarga tidak ke kekurangan. Sebab perkebunan, dan juga ladang milik kedua orang tuanya yang cukup luas. Bahkan pekerjanya pun sangat banyak.
"Apasih lu, Papa itu masih sanggup ngurusin perkebunan Dek," jawab Rembulan.
"Taukah, gelap......." Mentari mengibaskan tangannya, ia terus melihat ke kanan dan ke kiri. Namun tidak ada kendaraan untuk diri nya, jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul delapan.
TIIIN.......
Terlihat sebuah mobil berwana hitam berhenti di hadapan Mentari dan Rembulan, lalu sang pengemudi turun.
"Rembulan," Arka langsung menyapa Rembulan, mereka memang teman sejak kecil, dan juga bersekolah di tempat yang sama. Di mana usia mereka terpaut tiga tahun.
Rembulan tersenyum, "Arka?!" Ia langsung membalas uluran tangan Arka, keduanya memang sudah lama tidak bertemu sebab Arka melanjutkan pendidikan nya di luar negeri, "Kamu kapan balik?" tanya Rembulan dengan antusias.
"Kemarin, tadi pagi aku ke rumah kamu tapi kamu nggak kelihatan," kata Arka mengingat pagi tadi ia memang ke rumah Rembulan, tapi bukan Rembulan yang ia jumpai malah mentari.
"O.....aku masih di kamar kali ya," Rembulan terus tersenyum, ia tidak bisa menggambarkan bertapa ia sangat bahagia kini.
"Kamu mau ke mana?" Arka melihat penampilan Rembulan yang sangat anggun, sangat berbeda dengan gadis sangat berbeda dengan gadis yang ada di samping Rembulan siapa lagi kalau bukan Mentari.
"Aku mau ke kantor."
"Kamu kerja di mana?"
"Di perusahaan kamu, aku baru di terima di sana. Tapi kayak nya aku telat deh......mobil aku mogok soalnya dari tadi aku nunggu taxi tapi nggak ada yang lewat," jelas Rembulan.
"Em," Arka mengangguk mengerti, "Aku juga mau ke kantor, dan aku juga mulai hari ini bakal bekerja di sana."
"Waw....jangan pecat saya ya Bos, saya nggak bermaksud buat telat," seloroh Rembulan sambil terkekeh.
"Garing....." gerutu Mentari.
Arka dan Rembulan langsung menatap Mentari, yang terlihat menunjukan wajah masamnya.
"Kamu bareng aku aja yuk," tawar Arka.
"Nyakin?" tanya Rembulan.
"Iya."
"Nggak ngerepotin?" tanya Rembulan lagi.
"Nggak sama sekali."
"Ok......" Rembulan tersenyum kemudian menatap Mentari, "Tari mau bareng nggak?"
"Kagak!" ketus Mentari.
Arka lagi-lagi geleng-geleng melihat tingkah Mentari yang sangat jutek.
"Entar telat lu Dek, ini udah jam berapa?" Rembulan menunjukan jam tangannya.
"CK......" sejenak Mentari menatap Arka dengan mengerucutkan bibirnya, ia menimbang tawaran Rembulan, "Gw naik ojek aja."
"Yakin?"
"Em."
"Telat mampus lu Dek, gw nggak mau lagi bantuin lu. Entar kalau di panggil orang tua gw bakalan langsung bilang ke Papa, mampus lu kalau Papa yang datang ke sekolah, uang jajan lu bakal lan terus di tahan nyokap, mobil lu bakalan di jual Papa," Rembulan memang sering kali ke sekolah untuk menghadap kepala sekolah karena kenakalan Mentari, dan ia pergi tanpa sepengetahuan kedua orang tua mereka. Sebab sang Papa bisa saja marah dengan membabi buta pada Mentari, dan ia pun memang sangat menyayangi sang adik. Sebab bila ia pun melakukan kesalahan Mentari yang akan menyelamatkannya, dari kemarahan sang Papa.
"Sialan lu, Kakak durhaka emang lu, udah ah gw ikut," Mentari langsung naik ke mobil Arka, tanpa meminta ijin pada sang pemilik. Ia duduk di kursi belakang seperti seorang majikan, Mentari memang jutek dan itu sudah menjadi ciri khas wanita itu.
"Maaf ya Arka, adik aku memang jutek banget," Rembulan tersenyum canggung pada Arka.
"Nggak papa, namanya juga masih anak-anak," kata Arka sambil membukakan pintu mobilnya untuk Rembulan.
"Gw udah gede keles....." omel Mentari.
"Dek, mulut lu brisik," kata Rembulan.
Arka hanya menarik nafas dengan panjang, sejenak ia bingung mengapa orang sebaik dan sesopan Rembulan bisa memiliki adik seketus Mentari.
Arka mulai mengemudikan mobilnya, ia bercakap-cakap ria dengan Rembulan. Bahkan sesekali Rembulan tertawa lepas, sementara Arka adalah orang yang sangat sulit untuk tertawa dan tersenyum pun ia sudah cukup membuat orang di sekitarnya merasa bahagia, karena memang begitulah Arka.
"Arka nanti main ke rumah aku ya, dulu juga kamu sering main ke rumah aku kan?" kata Rembulan.
"Em, tapi kamu masakin buat aku ya?" jawab Arka yang hanya menatap jalanan.
"Iya gampang, masalah masak mah....aku jagonya," kata Rembulan membanggakan diri.
"Lebay," gerutu Mentari, yang hanya menatap jalanan.
"Tari," Rembulan menegur sang adik.
Arka menatap Mentari dari kaca spion, ia lagi-lagi bingung dengan gadis remaja itu. Tidak ada kesan anggun apa lagi lembut dalam tutur kata.
"OM BERHENTI OM......" teriak Mentari yang seketika membuat Arka mendadak mengerem mobilnya.
CITT......
"Tari......" Rembulan sangat kesal pada Mentari yang sangat suka bertingkah semaunya.
"Sorry Kak, gw Sampek sini aja ya no..." Tari menunjuk seorang laki-laki, laki-laki itu adalah salah satu dari temannya, "Gw bareng Repan aja, bye...
" Mentari langsung turun di lampu merah karena melihat temannya, "Pan," Mentari menepuk pundak temanya itu.
"Tari, lu di sini?" Repan terkejut melihat mentari tiba-tiba ada di lampu merah.
"Gw bareng lu ya?"
"Naik."
"Ok bro....." Mentari langsung naik kesepeda motor Repan, ia sudah seperti laki-laki.
Sementara Rembulan dan Arka hanya menatap dari mobil.
"Sorry ya Ka, adik aku memang begitu, tapi aslinya dia baik kok," kata Rembulan tetap membanggakan sang adik.
"Yaudah...lupain aja, kita jalan."
Satu bulan sudah berlalu, selama satu bulan itu Rembulan dan juga Arka semakin dekat. Hingga kedua orang tua mereka pun sepakat untuk menikahkan keduanya, Rembulan tersipu malu takkala Linda sang Mami dari Arka memintanya untuk menikah dengan sang putra.
Bahkan tanpa di duga malam ini Linda dan suaminya Anggara Wijaya datang berkunjung ke kediaman Rembulan, untuk membicarakan perihal hubungan Rembulan dan Arka tentunya. Sebab karena kedekatan mereka banyak yang mempertanyakan, bahkan di kantor saja kedekatan mereka sudah menjadi pertanyaan besar. Dan juga bahan omongan, karena Linda tidak ingin ada fitnah jadi ia memutuskan mendatangi Rembulan. Sebelumnya ia sudah terlebih dahulu bertanya pada Arka, dan Arka mengatakan setuju bila menikahi Rembulan dalam waktu dekat ini.
Dan kini mereka sudah duduk di sofa, di sana ada Anggara dan Linda, namun Arka tidak ada karena ia tengah dinas di luar kota. Dan juga ada Rembulan tentunya bersama dengan kedua orang tuanya, lalu jangan lupakan si wanita tomboy Mentari yang tengah asik bermain game di temani lolipop di mulutnya.
"Tari duduknya yang sopan," Ranti menegur sang putri bungsunya.
"Hehehehe....." Mentari tersenyum canggung pada Linda, "Maaf Tante," Mentari terbiasa dengan sikap tomboynya dan ia pun kadang tidak menyadari jika yang ia lakukan tadi kurang sopan di hadapan Linda. Walau pun ia dan Arka selalu bertengkar, tapi Mentari tetap menghormati Linda dan juga Wijaya.
Linda tersenyum tulus, "Kamu juga tidak kalah cantik ya dari Rembulan," Linda tersenyum memuji Mentari.
"Iya dong jeng, tapi Mentari belum ada jodohnya. Kalau minsalnya jeng punya keponakan laki-laki jodohkan saja dengan Mentari, anak bungsu aku ini udah gadis tua soalnya jeng," seloroh Ranti.
"Mama......" Mentari mendesus kesal karena selalu saja mengejeknya, "Mentari masih sekolah Ma," kata Mentari lagi membela diri, jika ia belum perawan tua.
"Ahahahhaha....anak bungsu mu ini lucu sekali jeng," Linda tertawa melihat kelucuan Mentari, yang masih terlihat begitu polos.
"Jeng bisa aja," Ranti tersenyum, ia juga memang menyadari kepolisan putri bungsunya itu. Akan tetapi Ranti tidak pernah membedakan antara Rembulan dan juga Mentari.
Linda menatap Rembulan, "Jadi bagaimana Rembulan, apa kamu mau jadi menantu Tante?" tanya Linda dengan sungguh-sungguh.
Rembulan terdiam, ia merasa sangat malu menjawab ia di hadapan Linda. Padahal tanpa di tanya pun ia sudah sangat mau sekali.
"Caelah......senyum aja......bilang aja mau," celetuk Mentari, karena ia tahu jika Kakaknya itu memang menyukai Arka. Bahkan tak jarang Rembulan selalu menceritakan tentang Arka pada dirinya, padahal Mentari tidak menyukai Arka. Dan entah mengapa ia selalu ingin memukul wajah Arka, dari semenjak kejadian di pagi itu hingga berdampak buruk padanya karena mobilnya di sita sang Papa untuk dua minggu dan uang jajan di kurang lima puluh persen dengan harapan agar Mentari berubah menjadi anak yang lebih sopan.
"Tari," Ranti menegur sang putri, yang suka sekali bicara asal.
"Udahlah Tan, Tari aja yang jawab....mau," kata Mentari tanpa perduli teguran sang Mama.
"Tari," Ranti kembali memperingati Mentari.
"Maaf Ma," Mentari tersenyum pada sang Mama.
"Udah jeng nggak papa," kata Linda yang tidak ingin Mentari di marahi.
"Sekali lagi maaf ya jeng," Ranti lagi-lagi minta maaf karena tidak enak.
"Udah lah jeng.....biarin aja, saya suka kok anak seperti Mentari ini," Ranti mengelus dagu Mentari, sesaat kemudian ia menatap Rembulan, "Ulan, jadi gimana kamu mau kan menikah dengan Arka?, kalau kamu nggak mau kalian harus jaga sikap dan juga jarak karena orang-orang sangat banyak membicarakan kalian di kantor.....Tante cuman mau menghindari fitnah dan rasanya berdosa sekali jika kami selaku orang tua hanya membiarkan saja," jelas Linda sambil mengelus rambut Rembulan.
Rembulan menggangguk, "Iya Tante, Ulan mau," jawab Rembulan tanpa menatap Linda dan yang lainnya, wajahnya sudah merah seperti tobat karena ia mang sejak lama sudah jatuh hati pada Arka. Bahkan kemarin di kantor saat Arka memintanya membuatkan kopi, dan saat itu Arka sempat mengecup bibirnya. Rasanya sangat bahagia tiada kata.
"Tuh.....kan Tante, dari tadi juga Tari bilang apa?" celetuk Mentari lagi, "Mau kan?"
"Iya sayang,.....iya," Linda tersenyum melihat kelucuan Mentari.
"Asek.....kalau lu mau nikah gw bahagia banget Kak," kata Mentari.
"Makasih adik aku," Rembulan menarik hidung Mentari.
"Karena gw nggak ada saingan di rumah ini, gw juga bosan banget liat wajah lu, apa lagi kalau pulang kantor abis ketemu Om Arka lu ceritanya Om Arka Mulu...."
"Tari," cepat-cepat Rembulan menutup mulut Mentari, karena adiknya itu suka sekali bicara ceplas ceplos.
"O.....jadi begitu kah ceritanya?" Linda menggoda Ulan, ia merasa tindakan nya ini memang benar karena ternyata Rembulan pun menyukai Arka.
"Tante," Rembulan tersenyum canggung, dan ia ingin menjitak kepala Mentari.
"Tapi kamu nggak boleh panggil Arka Om juga Tari," kata Linda, ia mang sering kali mendengar Mentari memanggil Arka dengan sebutan Om.
"Terus Tari panggi apa Tante?" tanya Mentari.
"Kakak, mungkin atau Mas Arka," kata Linda, mengingat sebentar lagi Arka akan menjadi anggota keluarga Mentari juga.
"Tapi enakan manggil Om Arka Tante," jawab Mentari.
"Kamu ini ya, ada-ada saja," Linda tersenyum, ia benar-benar merasa tidak akan kesepian bila selalu berdekatan dengan Mentari yang banyak bicara. Sebab suaminya setiap pagi pergi bekerja, begitu juga dengan Arka, jadi cocok sekali rasanya bila ia mendapat menantu cerewet seperti Mentari. Walau pun begitu Linda juga tetap menyukai Rembulan yang akan menjadi calon menantu nya.
"Yaudah jeng, karena semua keluarga sudah di sini.....jadi kapan acaranya?" tanya Ranti dengan bahagia.
"Rembulan kamu maunya kapan Nak?" tanya Linda, sebab bagaimanapun ini bukan main-main, jadi harus bertanya pada mempelai yang akan menjalani pernikahan.
"Secepatnya saja Tante," jawab Rembulan.
"O.....sudah tidak sabar rupanya ya...." seloroh Linda.
"Besok kita langsungkan pertunangan dulu gimana Pi?" tanya Linda pada sang suami.
"Boleh Mi," Anggara menatap Arya ayah dari Rembulan, "Gimana Arya kamu setuju?" tanya Anggara, keduanya memang berteman jadi memanggil nama sudah biasa.
"Setuju sekali," jawab Arya tersenyum, karena mereka akan menjadi besan.
"Baiklah karena semua sudah setuju, jadi besok malam Rembulan dan Arka akan bertunangan dan dua hari kemudian mereka akan menikah, bagaimana semua nya?" tanya Linda.
"Setuju jeng," jawab Ranti tersenyum, begitu pun dengan kedua pria paruh baya yang saling berjabatan tangan karena terlalu bahagia.
"Cieeeeer nikah......" Mentari menggoda sang Kakak yang akan segera menjadi seorang istri, ia pun terlihat sangat bahagia.
"Tari," Rembulan terharu dan ia langsung memeluk Mentari dengan erat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!