...Berdosakah Mencintainya?...
Sinar mentari yang menyengat tak menyurutkan langkahnya untuk segera menemui orang tuanya. Dalam kerapuhan jiwanya, ia terus menggerakkan tubuhnya ke tempat pembaringan terakhir mereka yang terkasih. Spanduk bertuliskan TPU Muslimin tersebut menari-nari di atas kepalanya.
Langkah wanita muda itu kian tak bertenaga. Air matanya senantiasa terlahir dari ke dua belah mata indahnya. Wajahnya memerah menahan sakit batinnya, juga panasnya sinar mentari yang tak bersahabat. Air matanya kian deras mengalir ketika ia telah berada di hadapan makam orang tuanya. Ia tersungkur dalam larut lemahnya. Di antara makam orang tuanya, ia menangis sejadi-jadinya. Tangisannya agaknya dapat mengusik ketenangan penghuni makam lainnya.
"Ibu... orang kayaitu menyakiti hati Annisa!" teriaknya seraya menunjuk ke suatu arah entah keman. "Hati Nisa sakit karena lidahnya. Apa salah Annisa, Bu? Di mana salahnya? Apa jatuh cinta salah, Ibu? Berdosakah bila wanita miskin ini mencintai pria seberharga putranya? Kalau semua itu adalah sebuah kesalahan dan dosa yang nyata, maka putrimu ini tetap akan jatuh cinta dan mencintainya, Ibu. Bagiku, ini bukanlah sebuah kesalahan ataupun dosa. Aku hanya tidak tahu diri saja." keluhnya tak tertahankan.
"Ibu, tidak bisakah sekejap saja datang padaku? Mengecupku, memelukku erat, menguatkanku yang rapuh kini. Hatiku mempercayai bahwa Ibu selalu melakukannya dengan cara yang tak kutahu.
Tapi, tubuhku ini tak mempercayainya sebelum aku benar-benar dapat merasakannya. Tidak bisa, kah, Bu?" tuturnya sesak lalu merebahkan kepalanya di atas nisan ibunya, Fatimah binti Suherman.
Wanita muda itu tiba-tiba teringat sesuatu. Ia segera bangkit, lalu beralih menghadap makam ayahandanya. Secarik kertas berharga hampir saja terlupakan olehnya. Padahal hal itulah tujuan awalnya datang menyambangi kedua orang tuanya.
"Ayah...." sapanya berkaca-kaca. Semua perasaan ada dalam kalbunya.
"Lihat, Ayah! Nisa berhasil. Putrimu berhasil. Ayah berhasil. Kita berhasil, Ayah. Coba liat, Ayah!" ucapnya seraya memperlihatkan selembar kertas hasil UKDI ( Uji Kompetensi Dokter Indonesia)-nya penuh kebanggaan.
"Sekarang putrimu ini adalah seorang dokter. Dokter... Annisa... Fatarani..." Annisa mengeja namanya.
"Begitulah semua orang akan memanggilku. Mereka akan memanggil putri Ayah begitu. Lihatlah baik-baik, Ayah! Impian kita sedikit demi sedikit terwujud, Ayah. Perhatikan seksama, Ayah!" pintanya menyesak dada.
"Seharusnya sudah sejak hasil ini Annisa terima 15 hari yang lalu, Annisa datang kemari. Seharusnya Annisa segera memberitahu Ayah, kan? Annisa salah, Ayah. Maaf, Ayah. Annisa masih harus disibukkan dengan persiapan internship dan hal lainnya." Annisa memaparkan penjelasannya detail.
"Oh ya, Ayah. Annisa ditempatkan di Riau. Jauh ya, Yah? Subhanallah, Yah. Annisa bareng lagi penempatannya dengan Zahara. Mungkin hanya beda desa saja," ceritanya kemudian.
Annisa mengukir senyum kecil di ujung ceritanya. Ia tak menyangka masih dapat bersama dengan sahabatnya itu, lagi. Semua itu tentunya bukanlah sebuah kebetulan semata. Ia percaya bahwa semua itu adalah takdir yang telah ditentukan Rabb-nya. "Semua ini karena Ayah. Selain karena Annisa ingin hidup di dunia kesehatan ini, Annisa juga melakukan semua ini karena Ayah," sebut Annisa.
"Tak boleh ada orang sakit yang tak terjamah pengobatan selama Annisa mengetahuinya. Annisa akan berusaha semampu Annisa, Ayah," ikrar Annisa.
"Sungguh menyedihkan hanya mampu mengurusi orang yang dicintai yang jatuh sakit tanpa bisa mengupayakan apapun. Seperti Ayah dulu." Annisa mengenang masa dulunya.
"Maafkan Annisa, Ayah!" ucap Annisa tercekat. "Dulu Annisa tak mampu mengupayakan pengobatan yang terbaik untuk Ayah. Maaf..." Annisa diam, berhenti bercerita, hanya tangis yang bergetar. "Ayah...." panggil Annisa lembut di tengah gemuruh hebat dalam dadanya, lalu pembicaraannya mengarah ke topik lain. Air matanya mengalir lagi.
"Ayah, Pak Tua itu jahat sekali. Ia menghempashan harga diri Annisa. Di matanya Annisa tak ada harganya, menghina Annisa seenaknya. Tanpa sadar ia telah menghina Ayah pula. Ia menghina setiap kucuran keringat, air mata, darah, kasih sayang, dan seluruh pengorbanan Ayah. Semua hal yang Ayah dan Ibu berikan untuk Annisa, dengan mudahnya si tua bangka kaya raya itu meludahinya. Sakit sekali hati ini, Ayah," papar Annisa dengan suara meninggi.
"Datanglah sekali saja, Yah! Datang dan ada di sisiku sekali ini saja," pinta Annisa menyesak dadanya. "Annisa tak yakin mampu menghadapi ini seorang diri," ucap lemah, melemahkan dirinya.
"Annisa sungguh mensyukuri nikmat Allah atas perasaan cinta yang disiapkan-Nya di hati ini atas Ayah, Ibu, Zahara, Keluarga baru Annisa, dan yang lainnya. Tetapi, Annisa mengkufuri cinta atas pria itu," tergugu Annisa menyuarakan isi hatinya.
"Tiap kali Annisa bertanya-tanya, mengapa cinta yang kukufuri dan ingin kusirnakan bisa datang, tumbuh dan hidup dalam hatiku dengan suburnya. Mengapa perasaan yang hanya akan mendatangkan sakit bagiku, baginya, dan orang lain yang tak merestuinya, Allah izinkan ada di sini?" tanya Annisa lirih, seraya menekan pelan dada kirinya.
"Wahai Allah! Aku tak bermaksud menyalahkan-Mu. Aku juga tak ingin perpikir buruk terhadap keputusan-Mu atas hidupku. Aku hanya minta agar Engkau membantuku agar aku mampu berdamai dengan diriku sendiri. Bantulah aku berdamai dengan hatiku ini, Allah!" Napasnya sesak mengutarakan pintanya pada Sang Penguasa.
"Ya Allah! Jika cintaku ini hanya akan membawa petaka baginya maka musnahkanlah kenangan atasku, cintanya padaku, dan keinginannya terhadapku. Buat saja dia lupa bahwa aku pernah ada dihidupnya. Buatlah kehadiranku dalam hidupnya tak ada artinya. Buatlah agar dia melupakan aku yang mencintainya seperti kecintaanku pada diriku sendiri. Aku mohon, ya Allah!" pinta Annisa berderai air mata.
"Tuhanku terkasih, haramkanlah air mata kesedihan hidup di hati dan di pipinya. Bahagiakanlah dia, Allah. Di manapun dia berada, apapun yang dia lakukan, dengan siapapun dia, maka buatlah dia bahagia, Allah. Lindungilah dia dari ketakutan dan kesedihan. Aku mohon!" do'a Annisa kembali menyesak dadanya.
"Bahagiakan dia, Allah! Karena Engkau Yang Menghendaki aku mencintainya hingga kucintai dia karena-Mu, maka bahagiakanlah dia. Bahagiakan pria itu, Allah!" lanjutnya makin menyesak.
Annisa menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Terbayang wajah pria yang di cintainya dalam diamnya itu, hingga makin pilu hatinya. "Aku berlindung kepada-Mu dari kedukaan hati karena makhluk-Mu. Ridakanlah aku terhadap apa yang telah menjadi ketetapan-Mu terhadapku Allah," pinta Annisa untuk kebaikan dirinya. Annisa mengusap wajahnya yang basah, lalu tersenyum getir memandang kepala nisan orang tuanya.
"Annisa tidak apa-apa, Ayah. Ayah dan Ibu tak perlu mencemaskan Annisa," jawabnya seolah-olah orang tuanya bertanya sebelumnya.
"Allah kuasa mempergilirkan suka dan duka dalam kehidupan makhluk-Nya. Jika Allah berkehendak maka duka karena kehilangannya akan diganti-Nya dengan cinta yang lebih baik dari seseorang yang terbaik atas izin-Nya," ujar Annisa mengamini kekuasaan Tuhannya.
"Ayah.... Ibu.... kalau dipikir-pikir dia memang benar. Dia benar sekali!" ucap Annisa membenarkan kata-kata berbisa dari lisan Pak Muchtar. "Hanya saja aku yang miskin ini tak sudi ada yang mengataiku begitu, meskipun begitu keadaannya," lanjut Annisa berusaha melindungi harga dirinya.
"Ayah...Ibu... sungguh akan benar-benar membahagiakan jika kalian dapat hadir di acara wisuda Annisa besok. Datanglah, Yah, Bu. Annisa ingin kalian ada."
...*****...
...Bagaimana part 1 ini? Apakah kalian suka atau tidak? Jika suka alhamdulillah 😊...
...Dan jika tidak, maafkan aku. Karena alur kehidupanku memang seperti itu....
...Sehat selalu buat kalian....
...____________...
...With Love❤...
...Olivia Dewi...
🌷🌷🌷
Tirai malam telah digelar dan nyanyian kegelapan pun tengah didendangkan. Seorang anak manusia nan jauh di bawah kerlap-kerlip bintang dan sinar bulan purnama yang terang benderang sedang memikirkan sesuatu yang menyita waktu dan menguras pikirannya.
Ia berusaha mengambil keputusan dan membulatkan tekad akan perkara hatinya yang hanya diketahui oleh Tuhannya, Rasulnya, bulan, serta gemintang yang senantiasa menemaninya menanti hingga saat-saat yang dinantinya tiba. Tak lama lagi, waktu itu akan dijelangnya.
Tatapannya jauh sekali pada dunia di balik gemintang dan bulan dalam keadaan tandan tua itu. Adindanya yang cerewet mengembalikannya ke dunia nyata dikarenakan kehadirannya yang tiba-tiba. Zahara langsung mengambil posisi di samping Khairul, melepas rindu pada Khairul yang telah lama jauh dari jangkauannya.
"Ayo, Mas! Lagi ngapain? Lagi menghitung bintang, ya?" candanya cepat.
"Husshhh... kamu ini! Memangnya mas tidak punya kerjaan, apa?" bantah Khairul tak terima.
"Trus, Mas lagi apa? Kenapa memandangnya jauh sekali ke atas sana? Sedang mencari bidadari?" Zahara mencecar Khairul dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jeda.
"Percuma, Mas! Jika itu tujuan Mas, maka akan sia-sia saja. Karena bidadari itu ada di samping Mas sekarang." Zahara menjawab sendiri pertanyaannya.
"Hahaha..." tawa Zahara puas.
"Kamu ini!" balas khairul geram. Khairul mengelus-elus kepala Zahara, membuat jilbab adiknya berantakan.
"Aduh, Mas..." keluh Zahara.
"Kepala Ara, Mas! Memangnya Ara si Catty, kucing anggora Mas itu." Zahara protes.
"Mas tau kamu udah gede. Siapa sangka pula si cerewet ini sekarang udah jadi dokter. Tapi kamu tetap aja ngegemesin seperti Catty," terang khairul.
"Ya...ya...ya... Ara tahu, Mas. Kalau Ara ini cantik, manis, mungil, dan menggemaskan," cerocos Zahara membanggakan diri.
"Huuu.... PD-nya!" ejek Khairul.
Mereka diam. Khairul mengangkat wajahnya kembali ke langit malam yang indah itu. Zahara memperhatikan saudaranya lekat. Matanya berkaca-kaca, cepat-cepat disekanya ujung-ujung matanya. Menahan diri dan hatinya untuk tak mencari tahu yang sebenarnya dirasa saudaranya terkasihnya.
"Mas sedang apa disini? Lagi mikirin apa sih?" tanya Zahara serius.
"Tidak! Bukan apa-apa!" jawab Khairul enggan mengaku.
"Subhanallah, Mas! Aku ini, kan, adikmu. Kenapa disembunyikan dari dr. Zahara Dwi Septina Wahab ini? Ayolah! Katakan saja yang sebenarnya," bujuk Zahara.
"Ara tau, Mas sedang berbohong." Khairul tersenyum kecil membenarkan dugaan adiknya.
"Baiklah! Kamu benar, Ra. Memang ada sesuatu yang mas pikirkan," jawab Khairul tenang. "Apa?" tanya Zahara serius sungguh-sungguh ingin tahu. "Rahasia!" jawab Khairul singkat tanpa beban dengan wajah jahil. "Iiihh... Mas ini, buat penasaran saja," ungkap Zahara kesal lalu menepuk pundak Khairul kencang menumpahkan kekesalannya.
"Aaauu..." Khairul mengerang pedih, mengelus pundak kanannya pelan. "Ya sudahlah! Kita bahas yg lain saja." Zahara mengalah.
"Besok Mas ikut, kan?" tanya Zahara mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya, dong, dokter Zahara Dwi Septina! Mas ingin menjadi saksi hari bersejarah kamu dan Annisa," ungkap Khairul santai lalu mengurai senyum di bibirnya.
"Ahh..." Zahara menghela napas panjang.
"Masih panjang perjalanan adikmu ini untuk menjadi seorang spesialis anak, Mas. Setelah ini masih ada internship dan PTT ( Pegawai Tidak Tetap )," sebut Zahara menceritakan beban pikirannya.
"Ara ingin liburan." Zahara mengungkapkan hajatnya. Zahara merentangkan tangannya, menghela napasnya panjang.
"Aahh....! Alhamdulillah! Lega rasanya, Mas. Bangga rasanya bisa menyelesaikan studi S1-ku ini dan lulus dengan pujian," lanjut Zahara, "Cumlaude! Cumlaud!" membanggakan diri.
"Rasanya semua jari payah Ara bersusah payah dengan dunia perkuliahan yang super ribet ini terbayar sudah. Masih terlalu dini untuk berpuas diri sebenarnya. Meskipun begitu, Ara bersyukur karena Allah memudahkan ilmu ini bagi Ara. Meskipun bukan sebaik Annisa yang berhasil menjadi lulusan terbaik, paling tidak hasilnya cukup membuat adikmu ini melayang hingga kelangit ke tujuh, Mas." cerita Zahara riang.
"Oh ya, Mas tau tidak bagaimana perasaan Ara saat terjun langsung menangani pasien saat koas? Waktu itu usai subuh, jantung Ara terus berdebar-debar tak karuan. pengalaman mengagumkan apalagi yang akan menghampiri Ara nanti? Subhanallah! Perasaan yang sangat luar biasa. Hebat, Mas! Saat gadis manis mungil usia 12 tahun yang menderita kangker usus itu mencoba tersenyum padaku..." Zahara kembali pada salah satu sejarah paling mengharukan dalam hidupnya itu.
"Subhanallah! Senyum manis yang coba diukir oleh bibir kering dan wajah pucat itu takkan terlupakan selamanya, Mas. Gadis kecil itu pasien pertama Ara di hari pertama adikmu ini koas," ucap Zahara haru dengan mata berkaca-kaca. Berikanlah tempat yang indah di sisi-Mu untuk Tami, Allah! do'a Ara dalam kalbunya.
"Ketika masih kuliah dulu, Ara banyak ngeluhnya. Menyesali diri mengapa memilih kedokteran sebagai jurusan studiku. Namun karena gadis kecil itu, Ara sadar, kalau dunia ini memanglah yang terindah untuk Ara, Mas. Subhanallah!" lanjutnya memamerkan kebahagiannya, kembali mrmuji Tuhannya.
"Untung saja ada sahabatku, Annisa. Kalau tidak, mungkin Ara masih setia berkutat dengan buku-buku tebal yang bikin pusing kepala itu, Mas.
Jangankan untuk lulus tahun ini, mungkin sekarang ini Ara masih koas atau mungkin lebih parah dari itu. Gelar Sarjanak Kedokteran saja mungkin belum.
"Zahara mengestimasi kemungkinan terburuk. "Mas tahu kan bagaimana malasnya Ara?"
"Jika sebuah materi sulit masuk ke kepalaku ini, maka Ara akan lebih memilih tidur." Zahara mengakui kebiasaan buruknya.
"Huuffftt....! Mas tau tidak, bagaimana Annisa itu memarahi Ara? Dia menceramahi Ara, bahkan lebih parah dari Umi. Dia berceloteh tak mau henti hingga Ara mengerjakan semua tugas-tugas. Dia tidak mau berhenti sebelum Ara menguasai 😱😢 dengan terpaksa😧😟 semua materi itu. Bagaimana bisa tidur?" keluh Zahara.
"Terkadang Ara merasa bahwa Ara ini cucunya. Cerewet sekali Mas!" sebut Zahara sambil geleng-geleng kepala. "Katnya, to the best and you will get the best. So perfectionist! Ya! Dia memang begitu. Kalo bisa mendapatkan 1000, kenapa menginginkan 999. Kalau ada peluang menjadi yang pertama maka jangan memilih untuk jadi yang kedua. Letakkan tujuanmu pada tingkat tertinggi. Jika memang tidak bisa menjadi yang pertama, maka berbedalah!" Zahara menirukan kalimat yang pernah disampaikan Annisa padanya. "Iiihh... ngeri!" gumam Zahara seraya menggigilkan tubuhnya seperti melihat hantu.
"Standarnya tinggi, Mas. Terkadang terkesan keras bahkan pada dirinya sendiri. Bukan, bukan!" Zahara membenarkan kalimatnya.
"Dia memang keras. Keras kepala sekali malah. Jadi, berhati-hatilah dengan wanita satu itu!" Zahara memberikan nasihat eksklusifnya.
"Jika tidak punya apa-apa, maka menyerah saja! Menurut penilaian Ara, hanya pria gila yang akan mendapat perhatiannya."
"Lantas bagaimana dengan pria-pria yang mendekatinya?" tanya Khairul serius dengan nada suara yang diusahakannya setenang angin.
Zahara memperkatikan wajah saudarinya seksama. Wajah tenang saudaranya seketika berubah begitu serius, begitu ingin tahu. Hati Zahara pedih menyadari kebenaran isi hati Khairul yang baru diketahuinya dan kini raut wajahnya menjelaskan segalanya. Zahara berusaha menguapkan pedihnya, mencoba untuk bersikap sewajarnya seolah-olah tak ada yang diketahinya.
"Kebanyakan dari mereka minder duluan, Mas. Mundur teratur saja. Jikapun ada yang berani mencoba, usaha mereka entah mengapa pupus begitu saja, patah ditengah. sementara sebagian lainnya, cinta dalam hati saja, Mas," jelas Zahara.
Zahara tertawa kecil mengingat pria-pria yang berusaha mendekati Annisa. "Lumayanlah penggemar Annisa, Mas. Tapi, tidak sebanyak penggemar Zahara. Maklumlah, Mas! Kembang kampus! Hahaha...." Zahara melepas tawanya, mengalung kepercayaan dirinya yang berlebih.
...*****...
...Author :...
...Terkesima sebentar sama Si Khairul...
...Terus habis itu malah pingsan❔❔...
...Makasih sudah baca....
...Sehat selalu buat kalian ya....
...With Love 💋 ...
...Olivia Dewi...
🌷🌷🌷
"Dia sangat menjaga jarak dengan pria, Mas. Sedangkan Ara, sedikit lebih membuka persahabatan dengan pria. Tapi tetap dengan batasan-batasan yang wajar." Zahara meluruskan kata-katanya agar Khairul tak salah mengerti.
"Ara juga takut mendapat laknat Allah jika Ara melakukan yang tidak diinginkan-Nya. Begitulah." Zahara mengakhiri ceritanya.
"Sekarang ceritakan tentang London, Mas! Apa hebatnya London itu, hingga mampu menahan Mas, bahkan hampir menggenapi tahun ke sembilan menetap disana, jika tak dijemput paksa Abi dan Umi. Apa hebatnya memangnya negara itu, Mas? Sepertinya Mas betah sekali di sana. Apa wanita-wanita di sana ada yang menarik hati Mas hingga tak mau pulang?" tanya Zahara antusias.
Khairul menatap adiknya penuh kasih, tersenyum hangat, kemudian melayangkan pandangannya ke langit malam, mengenang masa-masa yang dilaluinya di negeri rantaunya itu.
"Hmm.... bagaimana, ya? Cantik, sih. Cantik-cantik sekali malah. Hanya saja tak ada yang membuat Mas tertarik, Ra. Mereka cantik ala barat dengan pakaian yang kekurangan bahan di mana-mana. Mas paling tidak suka wanita-wanita yang mempertontonkan auratnya pada dunia. Menyedihkan sekali rasanya wanita-wanita itu. Hampir seluruh auratnya telah dipertontonkannya. Kasihan suami mereka, Ra, hanya dapat sisanya," nilai Khairul.
"Mas suka wanita yang cantik ala islam. Bukan berarti di sana tidak ada muslimah, Ra. Ada, Tapi, sekali lagi. Tak ada yang mampu membuat Mas tertarik," cerita Khairul tenang.
"Khairul diam, ditolehnya sejenak Zahara yang tak beralih memandangnya sejak ia mulai bercerita. Ia mengukir senyum andalannya, lalu melempar pandangannya ke langit malam dan melanjutkan ceritanya.
"Kamu, kan, tau, setelah selesai studi MBA, Mas ditawari pekerjaan di salah satu perusahaan dunia di sana. Hitung-hitung sebagai tambahan modal sebelum membantu Abi si perusahaan nanti. Bekerja dengan orang-orang hebat yang mengajarkan ilmu-ilmu berharga yang tidak Mas dapatkan di bangku kuliah. London luar biasa! I miss London!" ungkap Khairul.
"Sekali waktu, Mas berkeliling kota inggris itu. Ketika masih ada Fauzi, jalan-jalan sama Fauzi. Setelah dia balik ke indonesia dua tahun lalu, maka Mas pergi dengan Richard, teman kerja Mas, terkadang juga pergi sendiri. Menikmati empat musim berganti setiap tahunnya dan setiap pergantian musim pula, Mas berdoa semoga di musim berikutnya dapat menikmatinya bersama Kamu, Umi, Abi, dan...." Khairul menahan lidahnya untuk tak menyebutkan satu nama yang lama disembunyikan hatinya, lalu berusaha secepatnya menguasai keadaan.
"Oh ya, Kamu suka salju, kan, Ra? Udah pernah ketemu salju asli, belum? Belum pernah, ya?" goda Khairul.
Zahara manyun. Ia tak dapat membantah pernyataan yang begitu menyakiti harga dirinya itu. Khairul menjepit mulut manyun adiknya dengan tangan kanannya, lalu melempar lagi pandangannya ke langit malam yang begitu memanjakan matanya itu.
Zahara kembali memperhatikan saudaranya yang kembali memandang jauh kelangit malam. Ia beranggapan bahwa Khairul sedang menyusun bintang-bintang guna membentuk satu gugus bintang baru membentuk nama orang yang disembunyikannya itu. Seketika mata Zahara perih, begitu pula dengan hatinya.
Mengapa aku terlalu banyak tahu? tanyanya lirih dalam hati.
"Bagaimana denganmu, Ra? Apa tidak ada pria yang berhasil menyita sedikit waktu adikku ini?" Khairul berusaha mengulik perkara hati adiknya yang tak pernah sedikitpun dibuka Zahara padanya.
Zahara diam sesaat, gantian dia yang melayangkan pandangannya ke langit malam, lalu kembali pada Khairul di sampingnya.
"Sejauh ini hanya rasa kagum saja yang Ara punya atas pria yang keliatannya luar biasa itu, Mas. Sejauh ini belum ada pria yang berhasil menyita waktu Ara yang berharga hanya untuk memikirkan seseorang. Apalagi harus mempertimbangkannya atau membayangkan masa depan dengannya," tambah Zahara seadanya, mengeluarkan watak kerasnya yang tersamarkan oleh sikap periang dan manjanya. Khairul memperhatikan air muka adiknya yang santai tak berbebab.
"Sepertinya yang keras pada diri sendiri itu bukannya Annisa, tapi kamu, Dik." Khairul menanggapi.
"Bukannya begitu, Mas. Memang belum ada saja pria yang berhasil menggetarkan hati Ara." Zahara membela diri.
"Hmmm.... Kamu mau tidak, Mas kenalkan dengan seseorang?" tawar Khairul.
"Boleh. Siapa?" jawab Zahara terbuka.
"Bagaimana dengan Fauzi?" lanjut Khairul.
"Kak Oji! Kalo Ka Oji, Ara, kan, sudah tahu." balas Ara seperti tak mengerti maksud Khairul.
"Apa kamu tidak menyadarinya, Ra?" tanya Khairul menyelidik.
"Apa? tanya Zahara datar dengan wajah bodohnya itu.
"Sahabat Mas itu diam-diam menyukaimu. Kamu tidak sadar?" jelas Khairul.
"Hmmm.... Ara tau, Mas. Tapi Ara tidak mau tau. Ara tidak suka pria pengecut. Apa susahnya mengatakannya pada Ara, Mas. Ara bukanlah monster yang akan menelannya. Seandainyapun Ara adalah seorang monster penyuka daging dan darah manusia, setidaknya dia tetap mengatakannya pada Ara. Pengecut! Bodoh! Ara benci pria pengecut yang bodoh." jelasnya dengan wajah mengeras.
Khairul menelan ludah mendengar penuturan Zahara yang jauh dari perkiraannya, hingga Ia tak mampu memberikan tanggapan apapun.
"Haahhh...." Zahara menghela napas keras.
"Besok Ara wisuda, Mas. Apa Mas seperti ini juga sebelum wisuda?" ucap Zahara tiba-tiba, melupakan pertanyaan Khairul yang sedikitpun tak ingin dipikirkannya, apalagi sampai menganggunya.
"Zahara deg-degan, Mas. Ara saja deg-degan begini, lantas bagaimana dengan Annisa yang akan memberi sambutan besok? Ahh.... Ara tak mampu membayangkannya." Zahara geleng-geleng kepala.
Khairul tersenyum indah, mengenggam tangan adiknya, menyemangatinya, pun melupakan pembicaraan mereka barusan.
"Tidak apa-apa. Nikmati saja! perasaan seperti ini mungkin akan kamu harapkan untuk terulang kembali dikemudian hari. Jadi, dinikmati saja." saran Khairul yang sudah berpengalaman dengan perasaan itu. Khairul mengelus-ngelus lagi kepala Zahara.
"Mas!" Zahara berang.
"Mas rindu padamu, Kecil ( panggilan sayang Khairul untuk Zahara sebab tubuhnya yang kecil)." papar Khairul.
"Ara tau, Mas! Ara ini ngangenin," jawab Zahara begitu percaya diri. Khairu mengelus-elus kepala Zahara mengulang hal yang tak disukai adiknya itu.
"Hentikan, Mas! Jilbab Ara berantakan!" cerocor kesal, mengerut wajah si Kecil dibuatnya.
"Oh ya, Mas. Zahara masih ada waktu empat minggu lagi sebelum internship ke Riau. Ayo kita ke inggris, Mas!" ajak Zahara tak terduga.
"Ahh.... malas! Mas juga baru balik dari sana!" jawab Khairul tak menyenangkan hati lawan bicaranya.
"Ayolah, Mas! Mas belum memberi Ara hadiah kelulusan, kan? Ara minta hadiah Ara. Mas harus jadi tour guide Ara. Kita keliling inggris. Kalau Mas bosen dengan inggris, kita ke negara Eropa lain saja. Terserah Mas saja mau ke mana, yang penting ada saljunya, Mas. Yah?" bujuk Zahara lagi.
"Selama Mas di London, tak pernah sekalipun Ara ke sana, apalagi ke negara Eropa lain. Paling jauh Arab Saudi waktu umroh bareng Umi, Abi, sama Annisa. Di sana cuma ada gurun pasir, Mas. Ngga ada salju, Mas...." Zahara merengek.
"Zahara pengen liat dan pengen tahu gimana rasanya salju turun, Mas. Ya?" Zahara memohon.
"Hmmm...." Khairul menundukkan kepalanya, seperti sadang memecahkan teka-teki tingkat dewa, kemudian mengangkat kepalanya.
"Baiklah! Coba tanya Abi dan Umi dulu. Kalau boleh, kita pergi!" sebut Khairul membesarkan hati Zahara.
Zahara sumringah. "Oke! Nanti Ara bujuk abi! Kalau Abi sudah setuju, Umi nanti ikut setuju. Semangat!" cetus Zahara menyemangati dirinya. Zahara memikirkan cara terbaik untuk membujuk Abinya agar mendapat izin guna melegalkan keinginannya.
"Hmmm.... Ra, meskipun nanti kita jadi pergi, sepertinya kita juga tidak akan berjumpa salju. Sekarang, kan, bukan musim dingin, Ra. Di sana sedang musim semi, Ra. Gimana dong?" ucap Khairul menyirnakan rasa bahagia Zahara.
Zahara menggigit bibirnya menahan kesal. Tangan kanannya segera di arahkannya ke pangkal lengan Khairul, sekuat tenaga melancarkan cubitannya.
"Aauuu.....!" erang Khairul.
"Maaf! Maafkan mas, Ra?" sebut Khairul merasa bersalah, pun berharap jari-jari kecil Zahara segera berhenti mencubit pangkal lengannya.
"Kalau memang mau pergi, Mas akan jadi tour guide Kamu yang setia. Oke?" imbuh Khairul berusaha mengembalikan mood baik adiknya.
"Batal! Tujuan utama Ara ingin ke sana itu karena melihat salju. Kalau tidak ada salju, maka jadi tidak menarik lagi." ungkap sahara kesal. Khairul mengelus-elus pangkal tangannya yang pedih.
"Eropa juga indah meskipun sedang tidak turun salju. Ayolah! Jangan cemberu!" bujuk Khairul.
"Ara mau ke sana jika sedang turun salju saja. Jika tidak ada salju, maka tidak jadi, Mas. Batal!" ucap Zahara bersikeras. Khairul terdiam, tak berani mengusik dr.Zahara Dwi Septiana lagi.
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!