NovelToon NovelToon

Fate Or Destiny

Eps 1. Better Late Than Never

Benaya Petra Manoppo, lelaki berdarah Manado-Jawa, tinggal dan besar di Jakarta. Dia telah menyelesaikan strata dua pendidikannya dan selama lima tahun bekerja di sebuah perusahaan. Akhirnya sekarang bisa mencapai posisi yang baik dengan gaji dua digit, lumayan untuk biaya hidup seorang lajang. Setahun terakhir Benaya tinggal sendiri di sebuah unit apartemen dengan 2 kamar dan itu cukup luas untuknya, merupakan hasil keringat dan perjuangannya sendiri. Pria di usia 30 tahun boleh dibilang sudah cukup matang dan mapan.

Sayangnya, Bipi, demikian dia disapa teman-temannya, tak pernah sekali saja terlihat mengandeng cewek. Doktrin sang papa begitu mendarah daging 'sebelum sukses jangan pernah pacaran' dan itu berhasil tertanam di benak Benaya. Entah apa alasan sang papa waktu itu. Giliran sekarang dipaksa-paksa nikah oleh papa mama, cowok bertampang keren itu tak acuh. Hingga sekarang Benaya alias Ben alias Bipi betah aja sendiri, tidak terganggu dan tidak terpengaruh. Alhasil meskipun sekarang sudah terbilang sukses, Benaya terlanjur nyaman berstatus single.

"Bi, mau pulang kan? Aku nebeng ya?"

Sergah Ferna segera saat Benaya keluar dan mengunci pintu ruangannya. Cewek cantik staff divisinya setahun ini belum menyerah untuk meluluhkan hati cowok jangkung dan ganteng atasannya ini.

"Sorry, gw mau ke rumah orang tua, kejauhan kalau antar lu dulu."

Cowok yang jarang senyum padahal punya senyum menawan itu menjawab datar tak ada ekspresi dan segera berlalu dari ruangan staff diikuti wajah kecewa Ferna. Pernah sekali saat ada acara di luar kantor dia diantar pulang sang atasan, tapi hanya sekali itu saja tak pernah terulang lagi, meskipun banyak trik dan cara sudah dia gunakan. Cowok itu tak tersentuh.

"Lu masih usaha aja Fer, padahal dicuekin terus..."

Milka di meja seberang tersenyum mengejek.

"Diam lu!"

"Gw gak salah kali ngingetin lu, nyerah aja. Udah lama gw kenal dia Fer, sejak awal di kantor ini dia tuh gak pernah sekali pun tergoda sama cewek, udah banyak kali' cewek yang gak ditanggepin..."

"Salah satunya lu kan ya, Mil... lu masih ngarep juga kali', makanya lu nyuruh gw buat nyerah, basi tau gak..."

"Ya ampun Fer, gw udah move on kali', udah punya gebetan gw mah..." Milka menjawab ketus.

Sering Benaya mendengar percakapan seperti itu, tapi dia menganggap angin lalu, bukan berarti gendernya menyimpang sehingga tidak pernah tertarik melihat makhluk manis, para dewi yang cantik-cantik baik yang sekedar lewat maupun yang coba menarik perhatiannya.

Ada lah yang pernah singgah di hati, tapi Benaya kemudian punya garis soal cewek, mereka terlalu merepotkan dalam banyak hal, dan dirinya sudah cukup repot dengan masalahnya sendiri. Dia tidak ingin terbebani dengan urusan hidup orang lain, itu saja. Dia tidak tertarik pada sebuah hubungan dekat yang dianggapnya mengikat. Dia juga kurang suka dan malas menghadapi cewek yang bermanja-manja apalagi bergantung padanya. Seorang Bipi suka ilfeel melihat cewek yang tidak mandiri dan suka memerintah atau meminta pertolongan padahal bisa melakukan sendiri.

"Bipi, bro... dipanggil boss..."

Enrico asisten sang boss teriak di belakang Benaya sebelum dia menghilang ke kotak besi naik turun gedung.

"Apa lagi, udah jam pulang kali', gw gak lembur..."

"Bip, penting..."

"Boss suka seenaknya, malas gw..."

"Ada job buat lu. Udah sana masuk, lu juga kali' suka seenaknya sama boss, mentang-mentang anak kesayangan..."

Dengan menggerutu Benaya menyeret langkahnya menuju ruangan boss yang ada di lantai yang sama, tapi agak jauh dari ruangannya. Kantor berkonsep modern minimalis ini hanya terdiri dari lima lantai, karyawan di kantor ini tidak sampai tiga ratusan tapi perusahaan ini punya banyak proyek kelas kakap.

Benaya masuk dengan wajah yang ditekuk, tidak menyembunyikan kekesalannya, meski bossnya tersenyum padanya.

"Ben..."

"Ya boss..."

"Kamu ke Manado ya, kita dapat proyek lanjutin sebuah mall yang mangkrak, minggu depan proyek sudah dimulai. Saya mau kamu ke sana ngawasin langsung. Josh dan ada 4 staff lain akan ikut kamu. Fasilitas semua sudah siap, gaji naik tentu saja."

"Aku malas ke mana-mana boss, kasih yang lain aja deh..."

"Ben, kamu yang paling qualified. Lagi pula kamu asli sana kan, lebih kenal daerah sana, lebih ngertilah sikon di sana..."

"Boss, aku gak tahu daerah sana, terakhir berkunjung saat aku SMP, itu kira-kira tujuh belas tahun lalu..."

"Serius? Tapi Ben, sudah saya putuskan kamu yang akan pergi, job desc dan posisi kamu udah diatur. Di sini kamu sudah mentok, di sana kamu bisa lebih berkembang, dan yang paling penting... kamu yang paling saya percaya."

Bos Nicolaas Hong menatap serius dan tak ingin dibantah lagi oleh bawahannya. Benaya menarik napas mendengar kata kunci sang boss, 'kamu yang saya percaya', sudah sering dia kalah dan terintimidasi dengan kalimat itu jika boss menginginkan dia mengatasi sebuah masalah di luar job descnya.

"Maksudnya gajinya naik, berapa banyak boss?"

Benaya masih coba melihat peluang untuk batal pergi.

"Naik 35 persen plus fasilitas dan bonus..."

"Seratus persen, baru aku pergi..."

"Ben! G ila ya...!"

Boss teriak dengan muka tak percaya, karyawan satu ini memang beda, tapi dia memang terlanjur sayang karena prestasi kerja dan dedikasinya pada perusahaan, anak yang smart dan punya banyak andil dalam pengembangan perusahaan. Benaya salah satu anak emas plus aset berharga perusahaannya. Entah bagaimana hubungan itu terjalin, boss Nico selalu melihat dan memperlakukan Benaya lebih dari karyawan yang lain, dia seperti adik bagi boss baik hati ini.

Benaya tak bereaksi, tetap duduk dengan santai dan berharap boss batal menugaskan dirinya ke Manado. Dia merasa tidak ada yang menarik di sana meskipun itu tempat dari mana papanya berasal, dia tidak merasakan sesuatu tentang daerah itu walaupun dia menggunakan marga yang langsung menunjukkan indentitasnya. Dia lahir dan besar di Jakarta dan tidak ada sense of belonging aja, justru merasa asing.

Jika ditanya dia lebih merasa sebagai orang Semarang, tapi aneh kan mengaku orang Jawa tapi bermarga Manado. Mungkin salah sang papa juga Benaya gak dibawa pulkam, dia gak mau dipaksa aja biar kenal tanah asal nenek moyangnya. Papa sudah sejak muda merantau tapi baik dialek mau selera makanan serta lingkungan pergaulan gak jauh-jauh dari Kawanua, asli ya...

Satu hal soal selera makan Benaya mewarisi leher papa Fredrik, dia menyukai makanan berbumbu dan terutama pedas, semua makanan khas daerah Manado pernah dicobanya termasuk beberapa jenis yang ekstrim . Asli sih ini, masih gak ngaku aja orang Manado, ck... ckk.

Lama... boss Nico geleng-geleng kepala, tapi dia tak punya pilihan, sudah final Benaya yang harus ke sana menangani proyek ini.

"Sudah ada aturannya Ben, gak mungkin dirubah hanya karena kamu..."

Suara boss mengendur, sama seperti otot wajahnya, nampaknya boss harus mengiyakan persyaratan anak kesayangannya, terlebih nilai proyek ini tak main-main, tak mungkin sembarangan orang menanganinya.

"Aku gak niat merubah itu boss. Ok, pulang dulu boss..."

Benaya berdiri dan melenggang keluar ruangan boss dengan perasaan lega, siapa yang mau keluar dari rasa nyaman ini. Hidup sudah enak, belum punya target menaikkan income dalam waktu dekat, masih ingin menikmati fase ini. Dan iming-iming boss Nico tak mempan memprovokasi seorang Benaya.

Saat Benaya mencapai pintu...

"Ok, fine, deal!!"

"Serius!? G ilaa...!"

Benaya yang teriak sekarang, gak nyangka boss menyetujui persyaratan gak masuk akal yang dia berikan. Dia tahu-lah regulasi perusahaan dan dia bukan tipe orang yang suka memanfaatkan dan mengambil keuntungan. Si Ben berbalik dan menatap bossnya dengan mata melotot.

"Kamu yang minta, urusan saya bagaimana membayar setengah gajimu. Udah deal gak boleh berubah."

Kali ini boss tegas dan penuh wibawa, dan... Benaya kembali luluh di bawah keputusan boss.

Ahh... Manado, dia terpaksa ke sana deh... tapi papa pasti girang jika tahu, karena papa pernah menyuruhnya pulang ke Manado dan wajib cari istri orang Manado. Itu juga alasan mengapa dia gak pernah serius mencari pasangan, sampai dijuluki mama tersayang cowok kadaluarsa, sudah telat untuk nikah. Tapi gak ada kata terlambat kan sebenarnya...

.

.

🌴🌴🌴

Hi...

Aku menawarkan petualangan baru bersama Benaya... semoga suka....

✴✴✴

Eps. 2. Aku Bisa Sendiri

Keke menarik kursi di depannya, meletakkan di sana kedua kakinya yang pegal karena sejak pagi dia tidak pernah duduk. Keke hendak makan siang yang selalu terlambat karena menuntaskan dulu pekerjaannya.

"Keke, tante Wisye pulang ya..."

"Iya tante, jangan lupa ya besok lebih pagi, Keke mau ke pasar stok bumbu sudah habis..."

"Iya Keke... tante sudah catat sih apa aja yang perlu dibeli, catatannya tante tempel di kulkas..."

"Jangan lupa makanan untuk orang rumah, kemarin tante lupa bawa loh..."

"Iya... iya... tante jadi pelupa sekarang..."

"Titin sama Tole sudah pulang, tan?"

"Sudah... tante pamit ya..."

Renske Eunike Supit, seorang gadis 25 tahun, pernah tinggal di Jakarta dari umur 5 tahun sampai 18 tahun bersama orang tua angkatnya. Saat itu dia hidup nyaman dan sangat berkecukupan bersama mereka. Kedua kakak angkatnya lelaki, tak heran jika dia menerima limpahan kasih sayang dari mami Vosye dan papi Reinhart. Mami Vosye merupakan kakak kandung mamanya, karena hubungan keluarga yang dekat itulah mengapa dia diadopsi, di samping mami papi memang menginginkan anak perempuan.

Keke dipaksa menghadapi kenyataan pahit saat suatu sore dia pulang sekolah, di rumah hanya ada asisten rumah tangga yang tinggal di kamar belakang terpisah di bagian luar rumah, akses hanya dari garasi. Dia hampir dirusak kakak keduanya, Marlon, yang punya temperamen buruk dan suka minum minuman keras.

Di saat paling kritis saat tubuhnya melemah karena tenaganya hampir habis melawan tindakan bejat si kakak angkat yang juga sepupunya, papi pulang rumah dan langsung shock. Papi menarik tubuh Marlon dari Keke dan memberi tamparan keras pada anaknya, setelahnya papi ambruk seketika karena serangan jantung. Papi tidak tertolong.

Mami ikut shock dan tertekan, akhirnya menyusul sang papi tepat di hari ke-empat puluh, di saat yang sama Marlon masuk penjara dengan hukuman maksimal karena tertangkap tangan sebagai pemasok obat haram. Sementara kakak tertua, Dinand ikut hancur, depresi karena sekejab saja semua berubah. Keke tidak mungkin bergantung pada Dinand, mama Virda yang ikut menghadiri pemakaman kakaknya membawa Keke pulang. Dan di sinilah Keke sekarang, di kota asalnya, Manado.

Rommel masuk ruangan membawa beberapa rantang susun kosong.

"Mel... makan dulu..."

"Udah kak... udah makan tadi. Kak, bu Mitha besok gak ada di rumah katanya, jadi rantangnya minta dipindah hari minggu."

"Kamu gak bilang minggu kita libur?"

"Udah kak, bu Mitha bilang kalau didobel di hari biasa mubazir gak habis sayang katanya kalau buang makanan..."

"Gimana sih... kita aja minggu gak masak, kita beli makanan..."

"Lebihkan aja lauknya di hari sabtu, kak Keke tinggal masak sayur hari minggunya..."

"Tapi kak Keke malas kerja kalau hari minggu Mel... itu doang hari istirahat kak Keke..."

"Aku yang masak deh... cuma nasi sama sayur aku bisa..."

"Iya... lain kali jangan ditanggepin, udah ada perjanjiannya kan sebelum mulai berlangganan di kita. Kalau pelanggan lain tahu nanti pada ikutan, kita gak punya hari istirahat jadinya. Tegasin ke ibu Mitha ya... hanya sekali ini aja. Gak ada juga porsi dobel di hari lain, perjanjiannya rantangnya setiap hari... jangan dirubah, kalau 60 pelanggan kita begitu semua repot kita..."

"Iya kak, sorry ya gara-gara aku suka gak enak sih. Lain kali gak lagi. Aku turunin rantang dulu dari mobil..."

Selesai makan saatnya untuk membersihkan diri sendiri. Keke melangkah ke pintu belakang yang menjadi penghubung dengan rumah tinggal mereka.

Dengan sertipikat rumah sebagai jaminan, Keke meminjam uang di bank dan dipakai merenovasi rumah mama Virda, harta gono-gini dengan papa kandung Keke. Bagian depan rumah lama yaitu sebuah kamar dan ruang tamu serta teras dibongkar, ditambah halaman depan rumah dibangun semacam ruko dua lantai, walaupun lantai atas belum selesai.

Bangunan ruko dia partisi menjadi dua, sisi belakang dibuatkan dapur yang lumayan representatif untuk kemudahan persiapan dan proses memasak usaha kateringnya. Bagian depan digunakan untuk jualan beberapa makanan dan minuman ringan, juga gerai penjualan pulsa milik Rommel. Counter pulsa, dua lemari display untuk makanan, dan dua lemari pendingin minuman diletakkan di sana.

Sedangkan di belakang ruko masih ada sisa bangunan rumah lama terdiri dari dua kamar dan satu ruangan multi fungsi tempat nonton, tempat makan juga dan kadang-kadang jadi tempat tidur kalau mama Virda bermasalah dengan suaminya dan pulang ke sini.

Dua tahun pertama di sini, Keke hidup penuh kekurangan bersama mama Virda, Rommel, kakaknya Bonita. Tiga kakak-adik masing-masing beda papa. Bonita sudah menikah, punya seorang anak, sementara suaminya tidak bekerja. Hal yang tidak bisa dia banggakan dari sang mama, beberapa kali kawin cerai.

Sekarang mama bersama suami keempatnya yang menolak anak-anak ikut mereka. Setelah punya dua anak Bonita pisah dari suaminya. Saat jadi TKW dua tahun silam, Keke terpaksa menjaga dua keponakannya.

Untuk saat ini hidup sudah membaik bagi dirinya, adik lelakinya serta dua ponakannya. Usaha kerasnya selama lima tahun ini mulai bisa dinikmati, pendapatannya bisa meng-cover gaji 3 orang, membayar cicilan di bank dan cicilan mobil pick up, serta biaya hidup setiap hari. Belum ditambah kiriman kakaknya untuk biaya hidup dua ponakannya. Boleh dikata penghasilan sudah cukup stabil bahkan dia bisa saving juga setiap bulannya.

"Mami Thethe (Keke)... "

Suara serak ponakan terkecilnya yang baru 3 tahun menyapa saat dia masuk kamar.

"Dede udah bangun ya..."

"Yica (Lisya) mau pipic..."

"Ayo... cepat..."

Keke mengangkat tubuh gembul keponakannya dan membawa ke kamar mandi yang ada di luar dekat dapur.

"Dede nonton tv ya... mami Keke mau mandi.."

"Mau Tayo..."

Si gembul Lisya turun dan duduk di lantai depan tv di ruangan multi fungsi berukuran 4 x 3 itu. Keke menghidupkan tv dan mencari channel anak.

"Mel... kalau udah selesai temani Lisya ya... kakak mau mandi..."

Keke teriak ke arah dapur.

"Iya kak... sebentar lagi..."

Keke duduk di sofa sejenak mendampingi Lisya menunggu Rommel selesai. Tak lama Rommel masuk ruangan itu dan duduk di lantai di samping Lisya.

"Udah kak... "

"Oke..."

Keke masuk ke kamar mengambil baju kemudian menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuh

"Momemel (om Rommel), Yica mau Tayo..."

Lisya merengek dengan suara cadelnya ke Rommel saat melihat channel yang dipilihkan Keke bukan film kartun kesukaannya.

"Belum ada Yica... nanti sore itu, masih lama... yang itu aja ya... itu juga mobil kok kayak Tayo..."

"Butan (bukan) Tayo, Yica mau Tayo..."

"Ini... nonton di hp aja kalau gitu..."

Rommel merogoh kantong celananya mengambil ponselnya dan mencari apa yang diinginkan ponakannya.

"Yec yec (yes yes)... Yica ton ton Tayo..."

Teringat sesuatu Rommel teriak...

"Kak... jangan lama-lama, bentar lagi mau jemput Livia pulang sekolah..."

"Iya... iya..."

Keke menyahut dari kamar mandi.

Selesai mandi...

"Udah bisa jemput Livia sekarang, Mel. Sekalian mampir beli beras ya di toko Harapan. Satu karung aja... nanti minggu depan kita sudah mulai langganan lagi dengan ko Berty."

"Beras dianterin kan sama ko Berty?"

"Iya... Udah cepetan sana, uangnya di lemari... jangan lupa notanya..."

"Ok kak..."

"Dede... minum susu sekarang ya, sambil nonton, tadi Dede gak minum susu udah keburu bobo..."

"Iya. Yica mau matan (makan) tati boyeh?"

"Iya nanti malam mami Keke masak ayam goreng kentucky..."

"Butan... mau tati mol (mall)..."

"Mel... kapan terakhir Dede makan KF C ya?"

"Udah lama kak... sebulan lalu kayaknya..."

"Oh berarti boleh makan sekarang, sekalian beliin KF C deh buat Dede sama Livia..."

"Iya, kak... pergi dulu ya... pintu ruko udah aku buka kak, tolong dijagain dulu counternya..."

"Iya...

.

Seperti itulah rutinitas harian gadis dengan bentuk wajah asli Manado itu: mata agak sipit, pipi yang chubby, hidung standar tidak mancung tidak pesek, bibir sedikit bervolume dan alis yang tipis tapi bergaris sempurna. Jika diperhatikan parasnya cukup manis sebenarnya apalagi jika tersenyum, ada lesung pipit yang akan terbentuk.

Apa sudah punya pacar? Belum... masih sendiri bahkan belum pernah pacaran dan juga tidak tertarik justru takut menjalin hubungan khusus dengan pria. Luka masa lalu belum sepenuhnya menghilang, ditambah mama yang selalu membawa cerita pahit tentang suami dan mantan suaminya, bahkan sosok papa yang tidak peduli padanya, membuat Keke tak percaya adanya cinta lelaki yang tulus.

Keke membiarkan rumors tentang dirinya yang sudah janda beranak dua diceraikan suaminya. Itu menolong dirinya untuk menutup diri. Ada beberapa yang mendekati, saat tahu dia punya dua anak langsung mundur teratur, terlebih karena Keke bersikap dingin dan tak ingin disentuh. Dia juga enggan berdandan menghindari perhatian pria padanya.

Keke merasa puas dengan dirinya sekarang, tidak ingin seperti mama Virda yang begitu tergantung pada pria, dia ingin menjadi perempuan mandiri yang bisa hidup tanpa pria.

.

.

Hi... salam kenal dari Keke, semoga bisa menikmati kisahnya...

.

Eps. 3. Ben yang Asli

Di meja makan rumah orang tua Benaya...

"Serius kakak tugas ke Manado?"

Rebbeca, adik perempuan Benaya bertanya.

"Iya... minggu depan proyek udah jalan..."

"Hahaha... akhirnya kakak pulang kampung deh..."

Ekspresi muka Benaya entah seperti apa diledekin Beca. Semua keluarga tahu-lah Ben gak pernah antuasias diajak ke Manado. Dalam banyak kesempatan pulang Ben gak pernah ikut, alasan klasiknya dia yang jagain rumah.

"Eh kak... apartemen kakak aku pake ya... kan sayang gak ditinggali setahun dua tahun."

"Gak... nanti apartemen aku hancur, dua anakmu gak tahu aturan."

"Ihh kakak... belum punya anak makanya gak ngerti jiwa anak."

"Aku tuh kalau punya anak akan aku ajarin gimana menghargai barang, ngerusak kok dibilang kreatif. Mereka yang terlalu pintar atau kamu yang bodoh sih... didik anak yang bener bukan dimanjain..."

"Ben!"

Mama menengahi, jika dibiarkan pasti kalau bukan Benaya yang keluar rumah pasti Rebbeca yang menangis.

"Ma... jangan terlalu lembek sama cucu, aku masih ingat gimana didikan mama sama papa, beda banget ma, jangan terlalu banyak toleransinya, anak harus tahu apa yang tidak boleh... Sekarang mereka masih bisa diajar, diarahkan, kalau udah gede kamu nangis darah Beca... mereka gak akan denger kamu..."

"Emang kakak udah punya pengalaman ngedidik anak, punya anak aja belum..."

"Gak harus punya anak dulu untuk tahu gimana mendidik yang bener... Kenapa kalau kamu kewalahan sama mereka kamu bawa-bawa nama aku nakutin mereka, biar apa coba? Artinya apa coba? Artinya kamu mengakui kalau aku turun tangan mereka pasti mau denger... Sekarang belajar gimana supaya mereka mau denger kamu..."

"Aku kasihan kak... mereka udah gak punya daddy..."

"Aku juga kasihan Beca, aku juga sedih buat mereka masih kecil-kecil daddynya udah diambil Tuhan, tapi aku akan lebih sedih lagi kalau mereka gak dididik dengan benar, suka seenaknya bahkan kadang bersikap kurang ajar sama mama, sama kamu..."

"Aku harus gimana kak..."

Rebbeca mulai menangis, kesedihan terasa lagi setelah enam bulan suaminya pergi. Sejak kejadian itu dia pindah tinggal bersama orang tua lagi, kepedihan dan kesedihan membuat dia hampir kehilangan arah.

"Beca, masa berkabung udah lewat, sekarang saatnya kamu kerja lagi, kamu punya banyak keahlian yang bisa menghasilkan. Aku gak bisa terus-terusan bantu kamu, bukannya gak mau tapi nanti kamu akan semakin lumpuh dan semakin bergantung pada mama, pada orang lain. Sementara anak-anakmu semakin lama semakin banyak kebutuhannya. Dan terakhir... didik anak-anak dengan benar, kamu masih ingat gimana kita berdua dididik kan... praktek itu."

"Iya kak..."

"Kita berdua dulu dididik papa mama malahan pakai sapu ingat kan ****** kamu pernah rasain itu... sekarang sih nggak bisa kayak gitu, masuk kekerasan terhadap anak, tapi ada-lah cara membuat mereka mengerti salah mereka apa..."

"Mama ingat opa selalu bilang ke mama, siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya... makanya mama nggak segan mukul kalian saat kalian salah, itu pun menurut mama masuk kategori pelanggaran berat untuk mama, kayak waktu Ben masih SMP coba-coba merokok mama pukul pakai sapu, kayaknya itu terakhir ya..." mama Litha menimpali.

"Iya ma... aku tahu kok, mama nggak sembarangan mukul, pasti ada alasannya... ya itu... sekarang anak-anak dilindungi undang-undang, nggak bisa sembarangan, kita yang harus bijak-bijak... denger kamu bebek, udah punya dua anak masih aja nggak dewasa..."

"Ihh kakak, kok manggil aku bebek lagi sih..."

"Sini..."

Benaya menarik lengan adiknya masuk ke pelukannya, membiarkan adiknya menangis di dadanya. Mama juga menangis tanpa suara. Benaya bisa bersikap tak acuh pada banyak wanita di luar sana, tapi untuk dua wanita di rumah ini dia akan selalu melimpahkan perhatian dan kasih sayang. Aslinya Benaya berhati hangat dan lembut, tapi tidak pernah dia tunjukkan untuk orang lain, untuk orang yang dianggap tidak penting.

"Kakak ihh, mau pergi malah bikin aku nangis..."

"Aku ke sini memang mau ngomong itu ke kamu, udah lama mau ngomong sebenernya, baru sekarang bisa, eh pas aku harus pergi, ya... sekalian pamit..."

"Aku sama anak-anak boleh gak main ke tempat kakak nanti? Matthew belum pernah ke Manado..."

"Iya lihat sikon ya... Eh mana si Matius, aku bawa Lego yang dia minta kemaren..."

"Matthew kak... Matthew..."

Rebecca protes ke kakaknya yang selalu memanggil Matthew dengan Matius.

"Lebih simple Matius, lebih enak nyebutnya, gak usah sok keren. Nama kamu juga Ribkah pake diganti Rebbeca..."

"Ihh kakak gitu amat..."

"Matius... Mat... Tius..."

Benaya tak menghiraukan protes sang adik, ponakan bungsunya yang berusia 6 tahun datang mendekat dengan ekspresi agak takut.

"Ayo sini..."

Ben mengulurkan tangannya menggapai tangan kecil Matthew dan membantu tubuh kurus itu duduk di kursi di sebelahnya.

"Tadi oma bilang kaca di jendela dapur pecah... siapa yang mecahin?"

Benaya bertanya dengan nada tegas tapi tidak kasar, dia menatap lurus ke wajah ponakannya.

"Mat... Lihat papi Bipi..."

Anak kecil itu mengangkat wajahnya masih takut.

"Siapa yang menimpuk kaca jendela dapur dengan batu?"

"Matthew... papi Bipi..."

"Jendelanya rusak gak?"

"Rusak..."

"Jadi, Mat udah rusakin jendela oma, apa itu bagus?"

"Gak... papi Bipi... itu nakal..."

"Mau buat seperti itu lagi?"

"Gak... papi Bipi..."

"Bagus..."

"Mat salah?"

"Iya... papi Bipi..."

"Jadi, kalau salah harus apa?"

"Minta maaf... papi Bipi..."

"Sana minta maaf sama oma..."

Matthew turun dari kursi dan mendekati oma Talitha yang menatapnya haru...

"Oma... Matthew minta maaf..."

Anak kecil itu menangis, oma Litha juga menangis kemudian menyambut cucunya dengan pelukan.

"Oma maafin sayang... jangan lagi ya nak..."

"Iya oma..."

"Sini... papi Bipi punya sesuatu buat Mat, Lego yang Mat minta kemaren..."

Benaya mengusap kepala ponakannya sebelum menyodorkan sebuah kantong plastik.

"Makasih papi Bipi..."

Wajah Matthew segera berganti warna, dia tersenyum menerima mainan yang dibawakan omnya. Sementara Beca yang memperhatikan interaksi kakaknya dengan anaknya hanya bisa mengusap airmatanya. Dia bertekad untuk bangkit sekarang demi dua jagoannya. Jika dia terus menerus terpuruk dalam dukacita tak berujung, benar kata kakaknya tadi, entah apa jadinya anak-anaknya di kemudian hari.

"Makasih kak..."

Beca berujar lirih disambut anggukan sang kakak.

"De... mau dibantuin gak susun Legonya?"

"Gak ma... Matthew bisa sendiri kok..."

Anaknya berlalu dari ruang makan dengan wajah berseri-seri.

"Ben... kamu udah siap-siap untuk pindah?"

"Belum ma... baru tadi kok dikasih tau sama boss..."

"Perlu bantuan kak?"

"Gak usah, paling bawa baju sama beberapa buku doang... nanti aku pulang juga sekali-sekali jika ada waktu..."

"Dikasih rumah atau apartemen?"

"Belum tahu ma... tapi katanya sudah disiapin kantor sih... Papa biasanya udah nyampe rumah, apa ada tugas luar lagi?"

"Gak... tadi bilangnya mau langsung ke kegiatan kawanua... Ben, papa pasti senang itu kamu ke Manado..."

"Biar aja papa senang, memangnya kenapa kalau aku ke Manado?"

"Mama gak tahu... mungkin obsesi papa kamu punya istri orang Manado, dan dia pikir lebih mudah mendapatkan itu saat kamu ada di sana, bekerja di sana dan bergaul dengan orang sana."

"Absurd banget..."

"Buat kamu seperti itu, tapi buat papa logis aja..."

Benaya hanya senyum kecil, iya dia ke Manado tetapi bukan buat cari istri kan... buat kerja, kerja dan kerja. Memang apa yang akan terjadi di sana, di sini dan di sana sama aja kan... Benaya tidak akan mampu digoyahkan dalam prinsipnya. Dia tahu bagaimana menyikapi urusan yang tidak penting di antaranya urusan wanita.

.

.

Yang menyukai ini... silahkan Like dan comment dan jadikan favorit, juga boleh kasih hadiah...😚😇

.

✴✴✴

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!