NovelToon NovelToon

Reincarnation : A Quite Revenge

Bab 1 - Berpindah Tubuh

...***...

Hiroshi Yamada adalah salah satu ninja terlatih. Dia sekarang tengah bertugas mematai-matai seorang petinggi negara bernama Takeda. Sebuah alat pemanah dan pedang terpaut di punggungnya.

Selain dikenal sebagai ninja yang hebat bertarung, Hiroshi juga merupakan pembunuh bayaran. Bagi orang-orang yang berniat membayar Hiroshi untuk membunuh, mereka harus memberikan alasan yang tepat. Hiroshi bukan lelaki gila harta. Dia hanya tidak suka dengan ketidakadilan. Makanya klan-klan yang mengenal dirinya pun adalah para pesohor baik.

Hiroshi mempertimbangkan beberapa alasan sebelum membunuh sasarannya. Pertama, kesalahan besar apa yang telah dibuat olehnya. Kedua, seberapa banyak kesalahannya terhadap tanah leluhur. Ketiga, pengkhianatan. Jika semua alasan tersebut memenuhi. Maka dia tidak akan ragu membunuh sasarannya.

Hiroshi berlari dalam kegelapan. Ada dua rekannya yang mengikuti dari belakang. Mereka bergerak seperti kilatan bayangan. Menembus kabut dimalam hari.

Menghindari cahaya, dan bergerak tanpa bersuara adalah hal yang wajib dilakukan oleh seorang ninja. Semuanya demi teknik spionase menjadi lebih sempurna. Dengan mengenakan pakaian serba hitam, Hiroshi dapat menyatu dengan kegelapan. Dia hanya menyisakan bagian matanya untuk tidak ditutupi.

Setelah berhasil mengendap-endap melewati perumahan warga. Hiroshi pun melanjutkan aksinya naik ke salah satu rumah. Dia melakukannya dengan gesit dan hening. Sesekali bola matanya di arahkan ke belakang untuk memastikan keadaan kedua rekannya.

Hiroshi sudah berada di atap. Dia sekarang berjalan ke titik yang lebih gelap. Kemudian mengamati kediaman Takeda yang hanya terhelat beberapa buah rumah. Mata tajamnya mampu menyaksikan betapa sepinya rumah sasarannya. Dahi Hiroshi mengerut, karena dia merasa ada yang aneh.

"Terlihat sepi, ini kesempatan yang sangat bagus!" ucap Akio, salah satu rekan Hiroshi yang berbadan kecil.

"Benar, apa lagi yang kita tunggu." Goku menyetujui pendapat Akio. Namun tidak untuk Hiroshi, matanya masih mengamati dengan seksama keadaan di sekitar rumah Takeda.

"Tidak, kita tunggu dahulu!" ujar Hiroshi tenang.

"Tetapi kesempatan tidak datang dua kali!" Goku bersikeras. Kemudian lebih dahulu bergegas menuju rumah Takeda. Akio sepertinya sepemikiran dengan Goku, langkahnya bergerak mengikuti dari belakang.

Hiroshi menggertakkan gigi dari balik penutup wajahnya. Sebelah tangannya mengepalkan tinju. Alhasil lelaki berusia dua puluh empat tahun tersebut tidak punya pilihan lain selain mengikuti Goku dan Akio.

Hiroshi telah menginjakkan kakinya ke tanah. Dia dan kedua rekannya berhasil melewati pagar tinggi yang mengelilingi kediaman Takeda. Posisi mereka sekarang berada di pinggir rumah. Tepatnya di dekat sebuah sumur berhiaskan dengan kelopak-kelopak bunga sakura yang berguguran.

Syut!

Sebuah panah tiba-tiba mengalihkan atensi Hiroshi dan kedua rekannya. Anak panah itu tertancap tepat ke sebuah pohon yang berada di belakang Akio.

Satu per satu para pengawal muncul, dan mengepung. Mereka mengarahkan masing-masing senjatanya kepada Hiroshi dan kedua rekannya. Sia-sia menggunakan metsubushi, karena pengawal yang sedang mengelilingi lebih dari sepuluh orang.

Akio memberanikan diri menggerakkan sebelah tangan untuk mengambil senjata shuriken-nya. Namun sebelum sempat melakukan perlawanan, sebuah panah sudah menancap ke bagian kakinya. Hal yang sama juga di alami oleh Hiroshi. Keduanya seketika tumbang dalam keadaan berlutut ke tanah. Goku pun terlihat ikut terjatuh.

Seorang lelaki membelah susunan pengawal yang sedang mengepung. Dialah Takeda, seorang lelaki yang dikenal berkhianat dengan tanah airnya sendiri. Takeda diketahui telah membiarkan bangsa asing untuk masuk dan berkuasa di wilayah Jepang.

Takeda berjalan mendekat. Kedua tangannya seolah saling bertautan dari balik punggungnya. Matanya menatap kesal ketiga ninja yang sudah berani masuk ke kediamannya tanpa ijin.

"Berdirilah Goku!" titah Takeda sembari tersenyum miring.

Goku bangkit dan berdiri. Kemudian berjalan mendekati Takeda. Dia membungkukkan badan sekitar seratus delapan puluh derajat.

"Terimakasih, Senpai!" ujar Goku sambil menyatukan kepalan tangannya. Sekarang jelas sudah alasan Goku menjadi satu-satunya orang yang tidak diserang oleh pengawal Takeda.

Hiroshi dan Akio dibuat begitu kaget. Keduanya langsung saling bertukar pandang. Mereka tidak menyangka Goku akan berkhianat.

"Kau harusnya malu kepada dirimu sendiri, Goku! kau tidak saja berkhianat kepada kami, tetapi juga pada leluhurmu!" Hiroshi bersuara dengan lantang. Matanya menyalang penuh amarah.

Goku tampak membuka penutup wajahnya. Kemudian menunjukkan senyuman puas. Dia sama sekali tidak tertarik dengan segala ungkapan Hiroshi.

Perlahan Takeda mengeluarkan benda yang sedari tadi disembunyikan dari balik badannya. Sebuah katana yang mengkilap digenggam erat oleh kedua tangannya. Dia mengarahkan benda itu tepat ke leher Akio.

Tanpa pikir panjang, Takeda pun mengayunkan katana-nya.

Swing!

Darah Akio langsung merembes dari lehernya. Tubuhnya bergetar hebat dengan keadaan mata yang terbelalak.

"Akio!!!" pekik Hiroshi histeris. Dia mencoba mencabut pedang yang sedari tadi terpaut di balik punggungnya. Namun Takeda melakukan serangan lebih dahulu, dengan cara menendang wajahnya. Kemudian menancapkan katana-nya tepat ke jantung Hiroshi.

Jleb!!

Hiroshi merasakan sakit yang teramat sangat. Tenggorokannya tercekat hebat. Deru nafasnya perlahan melambat. Terakhir kali kalimat yang dia dengar sebelum penglihatannya menggelap adalah, 'Sekarang kau bisa bergabung dengan leluhurmu...'

"Hiro! bangunlah!" suara seorang perempuan terdengar sangat panik. Hiroshi merasa tubuhnya diguncang-guncang hebat oleh sosok perempuan tersebut.

"Uhh..." Hiroshi bergumam seraya membuka matanya dengan pelan. Kepalanya diserang rasa pusing yang menyengat. Perlahan dia mencoba bangkit sambil memegangi bagian jidatnya.

"Hiro! syukurlah, kau sudah sadar. Ibu sangat takut... hiks, hiks!" ujar perempuan yang sedang duduk di samping Hiroshi.

"Apa?" Hiroshi mengerjapkan mata, agar bisa sadar sepenuhnya.

Deg!

Jantungnya langsung berdegub kencang akibat menyaksikan dirinya sedang berada di sebuah mobil. Apalagi sekarang kedua telinganya bisa mendengar suara hiruk pikuk keributan di sekelilingnya.

Mata Hiroshi membulat sempurna. Mulutnya menganga lebar. Kepalanya celingak-celingukan ke berbagai arah. Hiroshi bahkan tidak sadar kalau bagian kepalanya sedang merembeskan darah yang banyak.

Hiroshi sangat kebingungan dengan keadaan yang dilihatnya. Dari mobil yang berlalu lalang, gedung-gedung tinggi, serta beberapa papan reklame neon.

"Hiro? kau kenapa?" tanya perempuan yang sedari tadi duduk di sebelah Hiroshi.

"Apa-apaan ini?! aku dimana?" tanya Hiroshi tak percaya.

"Tenanglah Hiro, biar Ibu obati dahulu lukamu. Sebentar lagi kita akan sampai ke rumah sakit," ujar perempuan berperawakan kurus, dengan rambut hitam yang di ikat sederhana. Dia bernama Akira Kenichi. Tangannya sekarang berusaha mengelap darah yang bercucuran di kepala anaknya.

"Hei! kau siapa?!" ujar Hiroshi seraya menjauhkan tangan Akira.

"Hiro! kau kenapa memperlakukan Ibu seperti itu?!" Akira menatap nanar Hiroshi. Dia benar-benar bingung dengan perubahan sikap putranya.

"Hiro? Ibu? apa maksudmu?" Hiroshi masih diterpa kebingungan yang begitu dalam.

"Mungkin perubahan putramu karena disebabkan luka dikepalanya. Aku akan segera mengantarkan kalian ke rumah sakit terdekat. Berusahalah untuk menenangkan putramu!" lelaki yang sedang duduk di depan setir menyahut. Dia sedari tadi mendengarkan pembicaraan kedua penumpangnya.

"Arigatou gozaimasu," balas Akira menghargai kepedulian sopir taksi yang sedang membawanya. Dia sedikit membungkukkan kepala untuk menunjukkan pose hormat.

Akira menghela nafas, kemudian kembali mencoba mengelap darah di kepala anaknya. Lagi-lagi Hiroshi menepisnya dengan kasar.

"Hiro, jika kau tidak mau Ibu yang melakukannya, bagaimana kau lakukan sendiri saja?" Akira menyodorkan sapu tangannya.

Hiroshi mengernyitkan kening, lalu menyentuh area kepalanya. Hingga akhirnya dia baru sadar kalau ada banyak darah yang keluar. Hiroshi lantas mengambil sapu tangan yang diberikan Akira. Ia sekarang menekan-nekan bagian kepalanya yang terluka. Ringisan wajahnya membuktikan kalau dirinya tengah menahan rasa sakit.

Catatan kaki :

- Metsubushi : Serbuk bom yang dapat mengeluarkan asap, dan dapat membantu melarikan diri.

- Shuriken : Senjata berbentuk bintang dengan empat bilah pisau.

- Spionase : Adalah suatu praktik pengintaian, atau memata-matai untuk mengumpulkan informasi.

Bab 2 - Hiro Kenichi

Hiroshi terdiam untuk sesaat. Dia menatap ke arah jendela mobil. Sebelah tangannya terus menekan luka di bagian kepala.

'Ugh... aku merasa ada yang berbeda dengan tubuhku,' batin Hiroshi sembari memperhatikan tubuhnya sendiri. Dia merasa tubuhnya lebih ringan dan mengecil. Kepalanya pun sakitnya semakin menyengat, hingga penglihatannya perlahan menjadi kabur.

Mobil taksi yang membawa Hiroshi dan Akira berhenti tepat di depan rumah sakit. Akira bergegas keluar dan membukakan pintu untuk putranya.

Hiroshi merasa kepalanya mulai oleng. Tetapi dia tetap memaksakan diri untuk melangkah. Hingga saat kakinya digerakkan keluar dari mobil, tubuhnya seketika ambruk ke tanah. Pihak medis pun berdatangan. Mereka segera membawa Hiroshi ke unit gawat darurat.

Dua jam berlalu, sekarang Hiroshi telah dibawa ke bangsal khusus rawat inap. Lelaki itu tampak terbaring lemah di atas hospital bed. Kali ini terdapat perban yang menutupi area kepalanya. Kedua matanya masih terpejam rapat. Dengan ditemani oleh Akira yang duduk di samping kanannya.

Akira membelai rambut putranya. Terdapat binar penuh kekhawatiran dari sorot matanya. Perlahan suara helaan nafas yang tercekat mulai terdengar. Sepertinya Akira tidak mampu membendung air matanya lagi. Segala kesulitan yang ada di kepala dan hatinya benar-benar membuat pilu. Sekarang tangannya memegangi jari-jemari sang putra.

Hiroshi sudah membuka mata. Dia langsung mengubah posisi menjadi duduk. Pandangannya segera mengedar ke segala penjuru ruangan. Dia berhasil menangkap beberapa benda asing yang membuat dahinya mengerut heran.

"Hiro!" Akira memekik senang sambil memberikan pelukan hangat. Hiroshi seketika mematung sembari mengedipkan matanya beberapa kali.

"Tunggulah, Ibu akan memberitahu dokter lebih dahulu." Akira merekahkan senyum tipis, lalu berlari keluar ruangan.

Hiroshi sendirian, matanya beralih menatap benda seperti selang yang menancap di salah satu tangannya. Matanya seketika membola tatkala menyaksikan cairan dari benda itu masuk ke tubuhnya.

"Apa-apaan ini!" ujar Hiroshi seraya mencoba melepas infusnya.

Ceklek!

Pintu mendadak terbuka, muncullah Akira beserta seorang dokter dan perawat. Mereka segera mencegah tindakan Hiroshi yang hampir saja mencabut infusnya.

"Hiro, apa yang kau lakukan? benda itu akan membuatmu semakin membaik," tutur Akira yang tengah memegangi pundak sang putra.

Dokter terlihat mengambil sebuah penlight dari saku bajunya. Kemudian mengarahkan sinarnya ke mata Hiroshi satu per satu. Kening dokter tersebut mengernyit bingung. Dia kemudian menggelengkan kepala sekitar dua kali.

"Ada apa, Dok? apakah ada masalah?" tanya Akira, berharap keadaan putranya baik-baik saja.

"Benturan dikepala putra anda memberikan dampak besar. Putra anda sepertinya mengalami amnesia," ungkap sang dokter pelan.

Akira langsung mengalirkan cairan bening dari matanya. Kedua tangannya menangkup mulutnya sendiri. Akira merasa sedikit terpukul dengan keadaan putranya sekarang. Namun dia tetap mensyukuri apa adanya, yang terpenting anaknya sudah kembali sehat.

"Aku ada dimana?" tanya Hiroshi kepada Akira. Sedangkan Dokter dan perawat telah keluar dari ruangan.

"Kau ada di rumah sakit, Hiro..." jawab Akira sembari menghapus bulir-bulir air mata yang berjatuhan di pipi.

"Kenapa kau terus memanggilku Hiro? dan siapa kau sebenarnya?" Hiroshi kembali bertanya.

Akira menatap nanar. Hatinya terasa sakit ketika mendengar penuturan sang putra yang sama sekali tidak mengingat tentang dirinya. Namun Akira berusaha menanggapi seperti biasa, yaitu dengan cara bersabar dan tenang.

"Namamu Hiro Kenichi, dan aku adalah Akira Kenichi, ibu kandungmu. Kata dokter, kau kehilangan ingatanmu. Tetapi aku akan berusaha membantumu untuk memberitahu tentang segalanya." Akira kembali membelai rambut Hiro dengan lembut.

"Hi-hiro Kenichi?" Hiroshi membulatkan mata. Selanjutnya ia menanyakan keberadaan cermin untuk memastikan sesuatu. Akira pun membawanya ke kamar mandi. Di sana mata Hiroshi kembali terbelalak, karena dia tidak menyaksikan wajah aslinya di depan mata. Melainkan wajah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.

"Apa? si-siapa?" Hiroshi menepuk-nepuk wajahnya sendiri. Namun semuanya terbukti nyata, dan bukanlah mimpi belaka.

Akira yang melihat tingkah putranya dari belakang, hanya bisa menatap heran. 'Apa separah itukah amnesia yang dideritanya? sampai tidak menerima tampilan wajahnya sendiri?' pikirnya sambil memegangi tiang infus milik Hiroshi.

"Bisakah kau meninggalkanku sendiri?" tanya Hiroshi seraya menoleh ke arah Akira.

"Tentu saja, tapi jangan lepaskan infusmu ya!" ujar Akira yang segera melangkah keluar kamar mandi.

Hiroshi sekarang sendirian. Dia masih menatap pantulan dirinya di cermin. Mengamati wajah dan tubuh barunya. Nafasnya dihela cukup panjang. Masih berusaha mencerna apa yang telah terjadi kepadanya.

'Tunggu... bukankah aku sudah mati dibunuh Takeda? sekarang aku hidup lagi?... dengan tubuh baru dan nama lain? apakah ini yang namanya reinkarnasi?' Hiroshi menimpal pertanyaan bertubi-tubi kepada dirinya sendiri.

"Keahlian bela-diriku tidak hilang kan?" gumam Hiroshi, lalu melanjutkan dengan gerakan dasar bela diri yang di ingatnya. Dia menggerakkan kedua tangan dan kakinya secara mendadak. Hiroshi mencoba menendangkan sebelah kakinya ke udara.

"Whoaa!" Hiroshi tersenyum girang, karena dia merasa tubuhnya lebih ringan. Namun ketika dirinya melakukan gerakan beberapa kali, bunyi tulang yang meregang terdengar nyaring. Bagian pinggul dan kakinya pun sudah merasa lelah dan pegal.

"Apa-apaan? aku yakin anak ini jarang melakukan olahraga," tebak Hiroshi mengira-ngira. Tangannya memegangi bagian pinggangnya yang terasa pegal. Dia sekarang berjalan dan berhenti di depan cermin.

'Sepertinya aku sudah tidak bisa kembali ke diriku yang sebelumnya. Aku terpaksa harus menjadi anak ini. Tetapi aku akan tetap berusaha mencari informasi mengenai reinkarnasi dari seorang dukun,' ucap Hiroshi dalam hati. 'Baiklah, sekarang aku adalah Hiro Kenichi. Untung saja namaku dan pemilik tubuh ini hampir mirip. Jadi aku tidak begitu merasa asing.' Hiro segera beranjak pergi keluar dari kamar mandi.

Akira terlihat sedang mempersiapkan makanan untuk putranya. Dia menyuruh Hiro untuk segera duduk ke hospital bed. Perempuan itu meletakkan meja kecil di hadapan Hiro, lalu meletakkan semangkuk bubur dan segelas air putih. Sedangkan Akira sendiri mengambil sebuah wadah berjenis karton, yang berisi mie ramen di dalamnya.

Hiro mengerjapkan mata. Dia memperhatikan makanan yang sedang dinikmati Akira. Terlihat nikmat dan memiliki aroma yang menggugah selera. Hingga Hiro perlahan menenggak salivanya sendiri. Apalagi ketika Akira mulai menyedot ramennya dengan mulut. Suara desisannya membuat air liur Hiro kembali terkumpul mengitari indera pengecapnya.

"Makanan apa itu?" tanya Hiro penasaran.

Akira menghentikan santapannya. Bola matanya segera menyorot wajah Hiro. Dia menenggak ramennya terlebih dahulu dan berucap, "Ini ramen, apa kau mau?"

Hiro langsung menganggukkan kepala. Akira pun segera mengaitkan mie ramen ke sumpit yang dipegangnya, lalu menyuapinya kepada sang putra.

"Kau memang tidak berubah, tetap menyukai mie ramen seperti biasa..." Akira tersenyum puas. Meskipun Hiro divonis kehilangan ingatan. Setidaknya selera makanannya masihlah sama.

"Aku menyukainya?" tanya Hiro sembari merebut wadah yang berisi mie ramen dari pegangan Akira.

"Iya, sangat!" Akira kembali merekahkan senyum. Dia merasa senang bisa menyaksikan Hiro makan begitu lahap. Putranya yang berusia enam belas tahun itu bahkan menenggelamkan sebagian wajah pada wadah ramennya.

"Pelan-pelan, Hiro..." ucap Akira lagi, masih dengan senyuman yang belum memudar.

Hiro telah menghabiskan satu wadah ramen. Sekarang matanya menatap semangkuk bubur yang sejak awal tidak menarik perhatiannya. Perutnya yang masih terasa lapar, akhirnya tidak kuasa menolak semangkuk bubur di hadapannya.

Bab 3 - Kedatangan Rentenir

Setelah menghabiskan semua makanan, Hiro langsung mengeluarkan sendawanya. Pertanda keadaan perutnya sudah terasa kenyang. Ia sekarang mengedarkan penglihatannya ke sekeliling.

Hiro menanyakan banyak hal kepada Akira. Pertama dia menanyakan tahun sekarang dirinya berada. Kemudian lanjut bertanya mengenai benda-benda seperti televisi, pemanas ruangan, AC dan barang-barang yang kebetulan ada dalam ruangan.

Akira sebenarnya sangat bingung dengan amnesia yang diderita Hiro. Apakah memang seharusnya sampai begitu? bagaimana bisa dia tidak mengetahui kegunaan benda-benda yang ada di sekelilingnya. Akira merasa amnesia yang di alami putranya sangatlah parah. Bahkan Hiro terlihat seolah-olah baru pertama kali menyaksikan gedung-gedung tinggi yang nampak di jendela.

"Hiro, kau benar-benar melupakan semuanya? tetapi apakah kau ingat dengan kegunaan benda ini?" Akira mengeluarkan sebuah ponsel dari saku bajunya. Ponsel itu sendiri memang adalah milik Hiro, tepatnya sebelum lelaki tersebut mengalami luka di area kepala.

Dahi Hiro berkerut, dia langsung menggelengkan kepala. Jelas ia tidak mengetahui fungsi ponsel yang sedang dipegang oleh Akira.

"Padahal ini adalah benda favoritmu," ujar Akira mengangkat kedua keningnya bersemangat. Sebagai ibu, perempuan berusia empat puluh delapan tahun tersebut tentu sangat tahu mengenai kebiasaan Hiro. Yaitu bermain ponsel hingga lupa waktu. Bahkan tidak jarang Akira meledakkan amarahnya, karena Hiro terlalu berlebihan memakai ponselnya.

"Benda apa itu? apakah sama seperti benda yang dapat mengatur suhu ruangan?" Hiro menyamakan kegunaan ponsel dengan remot AC. Raut wajahnya nampak polos. Membuktikan bahwa dirinya benar-benar tidak tahu.

Akira sontak terkekeh. Sebelah tangan reflek memegangi mulutnya sendiri. Dia merasa menghadapi anak balita yang baru saja tumbuh. Selanjutnya Akira menyalakan ponselnya dan memperlihatkan sebuah video kepada Hiro.

"Apa ini televisi versi kecil?" tanya Hiro tertarik. Pupil matanya seketika membesar.

"Anggap saja begitu, dan kegunaannya lebih mudah dibanding televisi. Namanya ponsel, orang-orang sekarang kebanyakan menyebutnya smarthpohe. Artinya ponsel pintar," jelas Akira pelan sambil memberikan ponsel kepada Hiro.

"Benda ini memang terlihat pintar!" ucap Hiro yang terkagum dengan ponsel dalam genggaman tangannya.

"Itu milikmu!" kata Akira, hingga membuat mata Hiro kembali membola.

"Benarkah? kau memberikannya kepadaku?" tanya Hiro memastikan. Akira langsung menjawab dengan anggukan kepala. Seketika patrian senyum terukir diwajah Hiro.

"Terima kasih!" balas Hiro yang sedikit membungkukkan badannya.

"Itu memang ponsel milikmu dari awal," ungkap Akira seraya menepuk pundak Hiro dengan pelan. Setelahnya keduanya segera beristirahat.

Di kala larut malam. Hiro kebetulan terbangun dari tidurnya. Perlahan kepalanya di arahkan ke samping, tepat dimana posisi Akira berada. Perempuan berhati tulus itu tengah tertidur pulas di dekat tangan Hiro.

'Andai dia tahu kalau aku bukan Hiro yang sebenarnya, pasti dia akan sangat sedih, apakah Hiro yang asli telah mati?' gumam Hiro dalam hati, sambil menatap nanar ke wajah Akira yang tampak sedikit keriput. 'Ternyata begini rasanya memiliki seorang Ibu.' Hiro kembali membatin.

Hiroshi memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Dikarenakan sejak kecil dirinya sudah berada di akademi ninja. Sekarang setelah menjadi Hiro Kenichi, dia merasakan sesuatu yang tak pernah diduga. Yaitu kasih sayang seorang ibu.

Hiro berpikir kehidupan di abad 21 terasa mudah dan praktis. Dia menyimpulkannya karena melihat benda-benda canggih yang membuat kehidupannya terasa nyaman. Hiro merasa benar-benar dimanjakan dengan barang-barang asing tersebut. Dia penasaran dan juga kadang merasa gugup. Takut kalau-kalau salah satu benda canggih itu menimbulkan bahaya. Sebab Hiro tahu sepenuhnya bahwa sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.

...***...

Tiga hari berlalu, Hiro sudah di ijinkan pulang ke rumah oleh dokter. Mentari pagi menyapa dari balik jendela. Pendar cahayanya mulai mengalahkan lampu yang sedang menyala. Akira tampak sudah bangun dalam keadaan pakaian yang rapi.

Hiro yang baru bangun dari tidurnya langsung bertanya, "Mau kemana?"

Akira tersenyum. "Kata dokter kau sudah bisa pulang hari ini," sahutnya sembari memasukkan beberapa barang ke dalam tas.

Setelah berganti pakaian, Hiro sepenuhnya siap untuk pulang. Dia dan Akira kali ini menaiki bus, yang jelas-jelas tidak akan menghabiskan biaya terlalu banyak.

Hiro tentu saja dibuat semakin bingung. Terutama saat dirinya dan Akira sedang berjalan beriringan di terminal. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, karena heran dengan banyaknya orang-orang yang berlalu lalang. Ia bahkan sesekali tidak sengaja tertabrak beberapa orang yang mendadak muncul di hadapannya.

"Hiro, pegang tangan Ibu!" ujar Akira seraya memegang erat lengan putranya. Hiro pun otomatis mengikuti langkah Akira. Sekarang keduanya tengah berada di dalam bus. Duduk saling berdampingan bersama.

"Apa benda ini berbahaya?" bisik Hiro pelan ke telinga Akira.

"Tidak, jika kau tidak nekat keluar saat bus-nya berjalan," balas Akira pelan. Hiro lantas menganggukkan kepala pertanda mengerti.

Hiro dan Akira akan kembali pulang ke Kyoto. Keduanya sekarang berada di Tokyo karena hendak mengurus sesuatu hal penting. Namun kecelakaan yang mengakibatkan Hiro terluka, membuat Akira memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.

Hiro menghela nafasnya saat merasakan bus mulai berjalan. Baginya rasanya sama saja dengan menaiki mobil, namun hanya dalam ukuran yang lebih besar.

Setelah memakan waktu beberapa jam, Hiro dan Akira akhirnya tiba di rumah. Akira berjalan memimpin lebih dahulu, memasuki area bangunan yang disebut rumah susun. Nomor rumah Akira sendiri adalah 207, tepat berada di lantai tujuh.

Hiro melangkahkan kaki untuk pertama kalinya ke rumah. Dia menyaksikan keadaan tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya itu sangat memprihatinkan. Dari mulai kaca yang pecah, piring-piring dan pakaian kotor yang menumpuk, serta bau tidak sedap.

"Aku belum sempat membersihkan pakaian pelanggan-pelanggan kita. Padahal besok sudah harus dikembalikan!" ujar Akira yang mendadak menyibukkan diri mengambil tumpukan pakaian di atas sofa.

"Pelanggan?" tanya Hiro tak mengerti.

"Aku mencucikan pakaian untuk orang Hiro, dari sanalah aku bisa mendapatkan uang," terang Akira seraya mendengus kasar. "Kau lebih baik beristirahat saja di kamar." Akira membukakan pintu kamar Hiro.

Dug! Dug! Dug!

Terdengar suara gedoran di pintu depan. Dapat diketahui dari nada ketukannya, kalau orang yang bertamu tengah marah.

"Aku akan membukakan--"

"Tidak Hiro!" Akira lekas-lekas mencegah putranya. Dia segera meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, agar Hiro dapat menutup mulutnya rapat-rapat.

"BUKA PINTUNYA! jika tidak, kami tidak segan-segan mendobraknya!" ucap lelaki yang sedari tadi menggedor pintu.

"Siapa dia?!" tanya Hiro dengan keadaan mata yang membola.

"Dia sepertinya bawahan rentenir!" jawab Akira seraya menunjukkan mimik wajah paniknya. Karena merasa terdesak, dia akhirnya berderap menuju pintu dan membukanya. Akira langsung diperlakukan dengan kasar oleh dua tamu lelaki berbadan kekar itu. Mereka mendorong Akira hingga terjatuh ke lantai.

"Mau sampai kapan kau mau menunda pembayaran hah?!" timpal salah satu lelaki dengan tato naga di lehernya. Dia menjongkokkan badan sambil melayangkan tatapan mengancam kepada Akira.

"Dasar sialan!" pekik Hiro yang tidak terima sang ibu disakiti. Dia melayangkan satu tendangan tepat ke wajah lelaki yang telah mendorong Akira hingga terjatuh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!