"SAH!" gemuruh tepuk tangan dari seluruh tamu undangan yang datang seketika terdengar memenuhi ruangan akad nikah.
Anya, sang pengantin, yang tengah gugup di kursinya kini terlihat menjadi semakin gugup. Gadis itu berusaha menenangkan diri dengan mengepalkan tangannya erat-erat seraya mengatur napasnya demi mengurangi debaran jantung yang mulai menggila.
"Sekarang kalian berdua bisa saling menyematkan cincin kawin, lalu setelahnta mbak Anya boleh mencium tangan suami." Kata-kata yang dilontarkan kepala penghulu membuat kegugupan Anya kentara terpatri.
Gadis itu menggigit kecil bibirnya sedikit dengan pipi yang memerah. Dengan takut-takut Anya melirik seseorang yang kini telah menjadi suami sahnya, Axton. Namun, berbanding terbalik dengan sang istri, Axton sama sekali tidak menunjukkan emosi apapun. Tidak ada raut kegugupan, kecemasan bahkan ketidaknyamanan yang terpancar dari dirinya. Raut wajah pria itu terlihat datar-datar saja seperti biasa.
Anya dan Axton kemudian berdiri, dan dengan tenang pria itu memutar tubuhnya kemudian mengambil cincin berlian dari baki yang disodorkan sang adik ipar, Jagat.
Ia mengambil tangan Anya dan menyematkan cincin tersebut tanpa ragu. Anya berdehem kecil, gadis itu berusaha mendiamkan tangannya yang kini tengah gemetaran. Tangannya semakin tidak bisa diam ketika tiba giliran gadis itu untuk menyematkan cincin serupa di tangan sang suami. Tidak lupa, Anya juga mencium tangan Axton penuh kelembutan.
"Cium kening istrinya, Pak!" celetuk sang potographer yang bertugas mengabadikan momen pernikahan mereka, dengan nada menggoda.
Anya membelalakkan matanya. Ia tertawa canggung. "Tidak perl–"
Belum sempat gadis itu menyelesaikan perkataannya, Axton sudah mencium keningnya terlebih dahulu. Saat itu juga sang Potographer dengan sigap mengabadikan gambar mereka.
Meski hanya dihadiri oleh keluarga dan beberapa kerabat dekat, acara tersebut berlangsung cukup mewah dan meriah. Axton memang tidak menginginkan acara pernikahannya dihadiri selain sanak keluarga, apalagi jika sampai tercium oleh beberapa awak media. Ia beralasan bahwa perjanjian kontrak dengan agensi membuatnya harus menyembunyikan pernikahan mereka dari publik untuk sementara waktu.
Setelah sesi foto dan salaman selesai, mereka kembali ke ruang make up terpisah untuk berganti pakaian.
Savanna Danastri Handoko atau kerap dipanggil Anya merupakan anak tunggal dari almarhum Sigit Handoko dan almarhumah Adiratna Banurasmi Handoko.
Saat berusia 15 tahun, Anya harus menjadi yatim piatu akibat insiden kecelakaan pesawat yang menyebabkan kedua orang tuanya meninggal ketika sedang melakukan perjalanan bisnis ke Tokyo.
Anya tidak memiliki sanak keluarga dekat selain kakak tiri dari istri pertama sang ayah (Sigit adalah seorang duda beranak satu saat menikah dengan sang ibu). Namun, hubungan mereka tidak seharmonis keluarga lainnya. Elang, sang kakak tiri, memilih untuk membenci Anya dan ibunya karena pernikahan tersebut. Oleh dari itu, Anya hidup dan tinggal bersama Bu Rastini, asisten rumah tangga keluarga mereka.
Selama sepuluh tahun Anya hidup sederhana di kampung halaman Bu Rastini bersama kedua anak kembar beliau, Kinanti dan Jagat, yang usianya terpaut lima tahun di bawah Anya.
Selama hidup di bawah asuhan Bu Rastini, Anya hidup sederhana dengan bahagia, sebelum akhirnya, Maxim Caldwell, sahabat dekat Sigit datang mengunjunginya ke sana.
Tanpa basa-basi pria berdarah inggris itu mengatakan ingin membawa Anya ke Jakarta untuk tinggal bersama keluarga Caldwell. Bahkan beliau juga berniat menikahkan dirinya dengan anak sulung mereka, Axton.
"Aku banyak berhutang budi pada ayahmu dan juga padamu, Anya. Tanpa Ayahmu, perusahaan kami tidak mungkin bisa berdiri hingga saat ini, dan tanpamu ... kami pasti akan kehilangan sesuatu yang berharga. Maka dari itu, aku harap kau sudi memberi kesempatan pada keluargaku untuk dapat menebus semua itu, dengan menjadikanmu menantu keluarga Caldwell."
Butuh waktu berminggu-minggu bagi Anya untuk memutuskan menerima tawaran Maxim dan ikut ke Jakarta.
Sesampainya di kediaman keluarga Caldwell, Anya sama sekali tidak terkejut ketika Axton menolak mati-matian rencana pernikahan mereka. Pria itu bahkan tidak perlu repot-repot memusuhi Anya secara sembunyi-sembunyi. Ia sangat membenci Anya. Axton juga sempat kabur dari rumah, sebelum akhirnya sang ayah berhasil menyeret pria itu pulang.
Anya yang telah mengenal Axton sejak kecil paham betul bagaimana watak pria itu. Axton tidak akan pernah mau menuruti perintah siapa pun tanpa terkecuali, terlebih jika perintah tersebut merugikan dirinya. Bahkan, Anya juga mengetahui penolakan Axton untuk mengurus perusahaan keluarga, dan memilih melempar tanggung jawab tersebut pada sang adik perempua, Callista. Ia lebih senang mendalami karirnya sebagai aktor ternama.
Akan tetapi, kini semua penolakan itu tidak terlihat sama sekali di wajah Axton. Ia sama sekali tidak memberontak, padahal Anya sudah membayangkan bagaimana ricuhnya pesta pernikahan mereka.
Anya benar-benar tidak mengerti jalan pikiran pria tersebut.
...*****...
Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam saat Anya keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri.
"Akkh!" Pekik Anya ketika sebuah bantal tiba-tiba menghantam wajahnya telak. Anya yang tidak siap dengan serangan tersebut sontak terhuyung ke belakang nyaris terjatuh.
"Jangan pernah berharap bisa tidur seranjang denganku! Kau tidur di sana!" Suara Axton yang dingin terdengar sangat menakutkan di telinga Anya. Pria itu menunjuk kasar sofa kecil yang terletak di sudut kamar hotel mereka.
Mata Anya seketika memanas. Dengan langkah gontai gadis itu menghampiri sofa yang berukuran lebih kecil dari tinggi tubuhnya tersebut dan meringkuk di sana.
Mereka baru saja menikah beberapa jam yang lalu, tapi Axton sudah mulai memperlihatkan sikapnya pada Anya. Perlakuan Axton benar-benar membuat hati Anya tersayat. Anya tidak berani membayangkan bagaimana kehidupan rumah tangganya kelak.
Batin gadis itu merana. Setelah sang kakak, kini suaminya turut memendam kebencian padanya.
Setetes air mata mengalir membasahi pipi Anya.
Akankah keputusannya menerima pernikahan ini merupakan kesalahan fatal? Haruskah gadis itu menyesal telah menikah dengan pria yang diam-diam ia cintai itu?
Anya menarik napasnya perlahan kemudian memejamkan mata untuk tidur. Ia berusaha untuk tidak menangis terisak, kendati lelehan air mata sudah semakin bercucuran.
Sementara Axton dengan tenang dan nyaman tidur di ranjang pengantin mereka, seorang diri.
Suhu kamar yang dingin membuat Anya tidak bisa tidur dengan nyaman. Beberapa kali tubuhnya tampak menggigil kedinginan. Maklum saja, sejak tinggal bersama Bu Rastini, Anya jadi terbiasa tidur dengan kipas angin meja. Gadis itu seakan lupa bagaimana rasanya tidur di ruangan ber-AC.
Anya pun terpaksa bangun dari tidurnya dengan keadaan luar biasa pegal sebab harus tidur meringkuk di sofa. Ia kemudian mandi air hangat untuk menyegarkan diri, sementara Axton masih tertidur pulas.
Setengah jam kemudian Anya keluar dari kamar mandi. Netranya melirik ke arah tempat tidur yang dihuni Axton. Tempat itu rupanya sudah kosong, mungkin Axton sudah turun duluan untuk sarapan.
...*****...
"Mbak Anya, di sini, Mbak!" Callista, adik iparnya, melambaikan tangan pada Anya yang tengah sibuk menoleh ke segala arah. Ketika mengetahui siapa yang tengah memanggil, Anya bergegas menghampiri tempat tersebut.
"Selamat pagi," sapa Anya pada seluruh keluarga sang suami. Namun, hanya papa mertua dan adik iparnya saja yang menjawab sapaan Anya dengan ramah.
"Jadi bagaimana X? Untuk sementara saja." Maxim kembali bersuara. Tampaknya beliau sedang membicarakan sesuatu dengan Axton.
"Istrimu pasti setuju. Iya 'kan, Anya?"
Mendengar pertanyaan yang datang tiba-tiba dari sang mertua, membuat Anya hanya bisa memasang wajah kebingungan.
"Kalau mereka tidak mau tinggal dengan kita tidak usah dipaksa, Pa." Theresa, istri Maxim, menanggapi dengan raut wajah ketus. Beliau adalah satu-satunya orang di keluarga inti yang tidak setuju dengan pernikahan Axton dan Anya. Sejak awal mereka bertemu, wanita itu sudah menunjukkan gelagat tidak sukanya pada Anya. Sikap Theresa benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan yang dulu, saat keluarga mereka masih dekat.
Anya akhirnya menangkap maksud dari perkataan Maxim tadi.
"Aku bagaimana Kakak saja, Pa," jawab Anya berhati-hati, sembari melirik Axton yang tampak asyik menyesap kopinya.
"Kami akan langsung pulang ke rumah." Kata pria itu sejurus kemudian.
Raut kekecewaan sontak terpatri di wajah Maxim. Anya yang melihat itupun aegera menimpali, bahwa mereka akan sering-sering mampir ke rumah utama.
"Oke, baiklah." Jawab Maxim dengan senyum senang.
"Kalau kau tidak sering-sering datang ke rumah juga tidak apa-apa, yang terpenting X! Ya, sayang?" Theresa menepuk lembut telapak tangan Axton.
Meski hati Anya terasa linu mendengar perkataan Theresa, tetapi ia tetap tersenyum lembut. Sepertinya gadis itu harus mulai terbiasa dengan sikap ibu u mertuanya tersebut.
Beberapa saat kemudian Bu Rastini, Kinanti dan Jagat bergabung bersama mereka, dan disaat itu juga, sikap Theresa berubah menjadi lebih ramah pada Anya.
...*****...
"Berbakti dan layani suamimu dengan baik ya, Nduk? Jangan lupa untuk sering-sering memberi kabar." Bu Rastini memeluk Anya erat sembari meneteskan air mata. Wanita itu merasa sangat berat harus berpisah dengan Anya yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri.
Anya membalas pelukan Bu Rastini. Gadis itu menangis, mengucapkan puluhan kali kata terima kasih karena telah sudi merawatnya selama ini. Ia juga bergantian memeluk Kinanti dan Jagat yang tampak tidak rela melepas kepergian kakak tertua mereka. Kakak yang selalu menjaga dan menyayangi mereka.
"Mbak, kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang ke aku, ya?" ujar jagat. Anya tersenyum seraya mengelus kepala sang adik yang sudah jauh lebih tinggi darinya itu.
"Sejak kapan kau jadi setinggi ini?" tanya Anya takjub. Bukannya menjawab, Jagat malah kembali memeluk Anya seerat mungkin.
Setelah puas berpamitan pada kedua keluarga, Anya dan Axton pergi dari Hotel menuju apartemen pria itu. Semula Anya sempat ingin ikut mengantar ibu dan adik-adiknya ke bandara, tetapi Bu Rastini melarang keras.
Hanya ada kesunyian yang menemani keduanya di sepanjang perjalanan. Anya tidak berani memulai pembicaraan dan membiarkan Axton fokus menyetir. Lagi pula dari raut wajahnya, sangat terlihat bahwa Axton tidak ingin diganggu.
Satu jam kemudian mereka telah sampai di Alapartemen Axton. Pria itu memindai sidik jarinya untuk membuka pintu apartemen kemudian masuk begitu saja ke dalamnya. Anya langsung mengikuti Axton dari belakang dengan susah payah, sebab sambil menyeret dua buah koper besar dan sebuah tas tangan kecil.
Apartemen yang Axton tinggali berbentuk persegi panjang. Begitu masuk dia langsung disuguhi dapur yang sangat mewah di sebelah kanan dan ruang makan modern di sebelah kiri. Ada juga ruangan bertuliskan 'laundry room' di dekat pintu masuk.
Axton berjalan melewati dapur, sementara Anya membuntutinya dari belakang. Di sebelah dapur, Anya melihat toilet dan juga sebuah ruangan dengan pintu geser. Sedangkan di sebelah kiri terdapat tangga menuju lantai dua.
Matanya kemudian menatap takjub pada ujung ruangan yang ternyata adalah sebuah ruang televisi besar nan mewah. Terdapat beberapa alat olahraga juga di sana.
"Kau tidur di sana!" Axton menunjuk sebuah ruangan dengan pintu geser yang berada di dekat toilet. "Lantai dua adalah kamarku. Kau hanya boleh ke atas untuk membersihkannya."
Anya mengangguk patuh tanpa berkata-kata.
"Asisten rumah tangga hanya akan datang seminggu sekali, selebihnya kau kerjakan semua sendiri! Mengerti?" jelas Axton dengan nada dingin.
Anya menggigit kecil bibirnya seraya mengangguk kembali.
Axton kemudian menyuruh Anya untuk membereskan barang-barangnya di ruangan yang ia tunjuk, sebelum melangkahkan kaki ke lantai atas. Namun, sebelum itu ia juga menyuruh Anya untuk menemuinya di ruang televisi setengah jam kemudian.
Selepas kepergian Axton, Anya melangkah masuk ke dalam ruangan. Betapa kagetnya gadis itu ketika mengetahui bahwa ruangan tersebut bukanlah kamar, melainkan fitting room. Sepanjang matanya menjelajah, hanya ada pakaian-pakaian, sepatu-sepatu, serta segala aksesoris milik pria tersebut. Matanya kemudian menemukan sebuah futon tipis yang tergulung rapi di pojok ruangan.
Mata Anya seketika panas. Sejak awal Axton memang menyiapkan ruangan ini untuk menjadi kamar tidurnya.
'Segitu tak sudikah ia tidur denganku?' batinnya pilu.
Air mata seketika lolos membasahi pipi Anya.
...***...
Belum lepas dari keterkejutannya soal kamar, Anya kembali dibuat sakit hati dengan surat perjanjian yang Axton sampaikan.
Gadis itu menatap surat tersebut selama beberapa saat. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang ada di benak Axton. Buat apa dilakukan pernikahan jika mereka hanya akan menjalaninya selama satu tahun? Dia juga tidak diperkenankan mencampuri urusan Axton.
Terlebih yang paling menyesakan hati Anya adalah, Axton yang akan tetap menjalin hubungannya dengan Kim Hana, seorang model majalah dewasa, wanita yang telah menjadi kekasih Axton selama tiga tahun ini.
Anya pun dilarang keras memberitahukan status mereka pada siapa pun. Hanya para tamu undangan yang kemarin datang menghadiri acara pernikahan mereka lah, yang tahu jika mereka telah menikah.
Anya menahan sudut bibirnya agar tetap tersenyum. Gadis itu tanpa ragu menandatangani surat tersebut dengan tangan gemetar. Meski menyakitkan, ia tidak memiliki pilihan untuk menolak. Mereka sudah terlanjur menikah dan Anya tak bisa mundur begitu saja.
Semua demi keinginan Maxim.
Setelah menandatangani surat tersebut Anya kembali ke fitting room yang menjadi kamarnya saat ini, guna menumpahkan segala emosi yang membelenggu dadanya. Anya menangis tersedu-sedu, meratapi nasib yang entah seperti apa kedepannya.
Anya mencintai Axton. Pertemuan yang sering dilakukan oleh kedua orang tua mereka dahulu membuat gadis itu acapkali bertemu Axton, dan dari sanalah perlahan-lahan tumbuh rasa suka di hatinya.
Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Anya bergegas menghapus jejak-jejak air matanya dan membuka pintu ruangan.
Begitu Anya muncul di ambang pintu, Axton segera melempar beberapa lembar pakaian kotor miliknya ke wajah gadis itu sembari menatap sinis. "Bawa ke laundry room dan cuci, lalu siapkan minum untuk Hana! Dia akan datang kemari!" Tanpa menunggu jawaban dari Anya, Axton segera meninggalkan tempat menuju ruang televisi. Terlihat ada beberapa buku dan lembaran-lembaran tebal tersusun rapi di atas meja sana.
Anya memunguti satu persatu pakaian kotor yang tercecer di lantai itu. Matanya menatap Axton sejenak dengan raut nanar, sebelum kemudian berjalan menjalankan perintah pria tersebut.
Anya dengan hati-hati membawa nampan yang berisi dua gelas minuman dingin dan sepiring cookies. Gadis itu dengan canggung menghampiri Axton yang sedang sibuk membaca.
"Ka, ini minumannya," ucap Anya dengan suara bertegar.
Axton bergeming. Anya mengatupkan bibirnya sebelum kembali bersuara, "Aku taruh di meja, ya?" katanya.
Tak ada jawaban dari Axton. Pria itu masih terus saja membaca sembari sesekali membenarkan kacamata baca miliknya.
Anya jadi salah tingkah sendiri, pasalnya meja yang ada di sana sudah penuh dengan kertas-kertas milik Axton. Haruskah ia berdiri sambil terus memegangi nampan tersebut?
Anya akhirnya berinisiatif menggeser lembaran-lembaran milik Axton dan meletakkan nampan minuman di atas meja.
"A–aku permisi," pamit Anya sembari melangkah meninggalkan Axton. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh disertai teriakan Axton.
"SHIIIIT!"
Rupanya minuman yang diletakkan Anya di atas meja tersebut jatuh membasahi kertas-kertas naskah dan beberapa surat kontrak milik Axton. Karpet di bawah meja bahkan tak luput darinya.
Mata Anya sontak terbelalak, dengan sigap ia menghampiri meja untuk membersihkan tumpahan-tumpahan tersebut menggunakan ujung dress-nya
"Wanita sialan!" hardik Axton. Pria itu sontak beranjak dari sofa kemudian mencengkeram lengan Anya, guna memaksanya berdiri.
Anya merintih kecil, tubuhnya gemetar ketakutan.
"Kau tahu seberapa penting kertas-kertas itu untukku, hah!" Suara Axton menggelegar memenuhi seisi ruangan.
"Ma ... maaf, Kak, aku ... aku tadi ...." Air mata Anya mengalir deras. Rasa takut membuat gadis itu tak sanggup meneruskan kalimatnya.
Axton yang marah dengan kasar mengambil kertas-kertas yang telah basah itu, lalu melemparnya keras ke wajah Anya. Pria itu bahkan tidak ragu melempar salah satu buku tebal yang ada di sana.
Anya terhuyung ke belakang. Ujung buku itu mengenai sudut bibirnya hingga terluka.
"Harga dirimu bahkan tidak sebanding dengan kertas-kertas itu!" teriak Axton tanpa memerdulikan darah yang muncul di sudut bibir Anya.
Saat situasi sedang memanas, pintu depan apartemen mereka tiba-tiba terbuka.
"Ya Tuhan, ada apa ini?" Hana yang melihat sedikit kegaduhan di ruang televisi bergegas menghampiri. Wajahnya terkejut bukan main tatkala mendapati kertas-kertas kontrak kerja milik Axton tercecer di lantai dalam kondisi basah.
"Jangan!" Axton merendahkan nada suaranya, saat melarang Hana memunguti kertas-kertas tersebut. "Biar dia saja yang membersihkan semua kekacauan ini!" Pria itu kemudian menatap Anya bengis.
"Bersihkan ini semua dan keringkan kertas-kertas yang basah itu! Jika sampai besok kertas tersebut tidak kembali seperti semula, kau akan terima akibatnya!" ancam Axton seraya meninggalkan Hana dan Anya menuju lantai dua.
Sepeninggal Axton, Hana menatap Anya khawatir.
"Maafkan Ka X ya, Mbak? Dia hanya tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik, dan maklum saja ya, surat-surat itu memang sangat berarti bagi karirnya."
Anya tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun selain anggukan pelan.
Gadis yang Anya kenal sebagai kekasih Axton itu kemudian berniat membantunya membersihkan meja, tetapi Axton segera memanggilnya.
"Maaf Mbak, aku ingin membantu tapi ...."
"Tidak apa-apa, biar aku saja." Anya memotong perkataan Hana seraya tersenyum kecil.
Tanpa menunggu lama, Hana segera berlari meninggalkan Anya seorang diri yang kini sedang menangis sesenggukan.
"Kak, jangan keterlaluan begitu! Biar bagaimana pun Mbak Anya adalah istrimu. Lagi pula kita masih bisa meminta kopian naskah dan kertas kontrak baru, kan?" kata Hana seraya duduk di samping Axton yang masih tampak marah.
Axton terdiam. Ia sama sekali tidak menampik pernyataan Hana soal kertas-kertas tersebut. Namun, entah mengapa kebenciannya pada sang istri membuat emosi pria itu tidak terbendung. Ia ingin menghukum Anya, melihat sang istri menderita setelah pernikahan mereka karena sudah menghancurkan hubungannya dengan Hana.
Pria itu lalu menatap Hana dengan tetapan penuh cinta. Sambil menggenggam tangan sang kekasih, Axton bertanya, "kamu tidak cemburu pada gadis itu?"
Hana tersenyum dan membelai pipi pria tercintanya. "Tidak, karena aku tahu perasaanmu hanya untukku." Jawab Hana merdu.
"Bertahanlah, ini tidak akan berlangsung lama." Setelah berkata demikian, Axton mencium lembut bibir Hana kemudian membawa gadis itu ke dalam pelukannya.
"Ya, aku akan menunggu." Hana mengembangkan senyumnya sesaat, sebelum kemudian raut wajahnya berubah datar tanpa sepengetahuan Axton.
Sementara itu Anya kembali ke kamarnya guna mengeringkan kertas-kertas penting tersebut menggunakan hair dryer yang dia temukan di dalam sana. Anya sama sekali tidak memerdulikan luka di sudut bibirnya yang masih terasa nyeri.
Anya benar-benar ketakutan melihat kemarahan Axton. Ia tahu meski perangai Axton keras dan dingin, tetapi sang suami tidak pernah menggunakan kekerasan pada siapa pun.
Axton telah berubah ... Atau dia memang benar-benar tidak mengenali tabiat pria itu sebenarnya.
...***...
Pagi hari pun tiba. Anya sudah berdiri di depan kamar Axton sembari memegang kertas-kertas kontrak dan naskah miliknya.
Sesaat kemudian Axton dan Hana keluar dari kamar. Anya bisa melihat dengan jelas bagaimana pria itu menggandeng tangan Hana mesra, seolah mereka lah pengantin barunya.
Anya mencoba tidak memerhatikan.
"Kak, ini kertasnya." Anya bergegas menyerahkan tumpukan kertas tersebut pada Axton.
Axton menatap Anya dingin. Matanya sekilas tampak terpaku ketika mendapati sudut bibir Anya yang kini membiru.
Baru beberapa detik memeriksa kertas-kertas tersebut, Axton kembali memaki Anya. "Dasar tolol, sudah kubilang untuk mengembalikannya seperti semula!"
Sedetik kemudian Axton menggulung tumpukan kertas tersebut dan memadatkannya, sebelum akhirnya memukul kepala Anya dengan sangat keras beberapa kali.
Anya reflek berusaha menutupi kepalanya dari pukulan Axton.
"Jangan kau tutupi, gadis tolol!" hardik Axton. "Baru sehari aku bersamamu, hidupku sudah sial. Dasar wanita pembawa sial!"
Mendengar hal tersebut Anya pasrah. Ia membiarkan Axton memukulinya sekuat tenaga hingga beberapa bagian dari kertas-kertas itu sobek. Axton lalu melepas genggaman tangannya pada Hana guna menarik kerah kaos Anya, agar gadis itu menatap wajahnya.
"Kak, sudah kak!" Hana mencoba menghentikan Axton. "Cukup, kasihan Mbak Anya!" sambung Hana.
Axton sama sekali tak mengindahkan perkataan sang kekasih. Baru saja ia hendak menampar wajah Anya, Hana sudah kembali berteriak.
"Kak, hentikan atau aku akan marah dan tidak akan pernah datang ke sini lagi!"
Ancaman yang Hana lontarkan sontak sukses menghentikan perbuatan Axton. Masih dengan raut emosi pria itu menatap Anya bengis. Napasnya terdengar memburu. "Jika bukan karena Hana, kau sudah mati di tanganku!"
Pria itu membuang tumpukan kertas tersebut hingga berhamburan di lantai, sebelum kemudian pergi dari sana sembari mendorong Anya keras-keras.
Mata Anya berkunang-kunang. Kepalanya terasa sangat sakit akibat pukulan Axton, terlebih sejak semalaman ia sama sekali tidak tidur demi mengeringkan tumpukan kertas-kertas tersebut.
Anya menyenderkan tubuhnya di pintu kamar Axton.
Suara tangisan keluar dari mulut Anya, sementara tangan kanannya meremas kaos dengan sekuat tenaga.
'Yah, Bu, Anya mau ikut saja!' batinnya meraung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!