Jika pada umumnya wilayah pertama yang berpenghuni akan dijadikan sebagai pusat kota namun beda halnya dengan desa Sabo.
Desa pertama kali yang ada, tata letak yang strategis dan tanah yang subur bukan menjadi desa Sabo sebagai pusat kecamatan itu.
Berbagai pendapat orang tentang desa Sabo banyaknya hal mistis namun tak satupun yang dapat mengungkapkan kebenaran itu.
Sudah menjadi rahasia umum di sana penduduknya melakukan hal mistis dan berita biasa jika ada pendatang baru ke tempat itu hidupnya akan semakin melarat bahkan meninggal.
Cerita ini hanya fiktif mohon dengan bijak membaca.
Pak Dino ayah dari Tina sudah hampir lima tahun tidak pernah pulang kampung. Ibunya yang sudah tua renta di rawat oleh adik perempuannya di kota dimana dia berkeluarga dengan Sani istrinya.
Dia memutuskan pulang kampung karena banyaknya lahan milik kedua orang tua hilang sedikit demi sedikit dan Tina memilih untuk ikut terlebih dia akan membuka lahan perkebunan di sana.
Tina memiliki seorang adik laki-laki dan akan pindah sekolah dari kotanya ke desa.
"Ayah, apa benar ayah tumbuh di sini?" sahut Tina menjelajahi kebun kecil area rumah neneknya.
"Iya, kamu tidak percaya kalau ayah sampai umur delapan belas tahun tumbuh disini" jawab Dino.
"Ayah beruntung sekali di desa ini. Udaranya segar, sejuk, tidak berisik seperti di kota. Kalau ada kesempatan aku akan hidup di sini" ulasnya menghirup dalam-dalam udara segar pagi itu.
"Kalau mau santai-santai kamu bisa tinggal di sini tetapi kamu bakalan dapat pria pengangguran?" ucapnya bercanda.
Tina pergi meninggalkan ayahnya di kebun itu menemui Ibunya di dapur.
"Bu. Ibu kapan terakhir ke desa ini?" tanya Tina mencicipi masakan Dila Ibunya.
"Ibu cuma sekali ke sini sewaktu nenek kamu meninggal menginap dua hari habis itu langsung pulang. Ayah kamu ngga kasih berlama-lama di sini waktu itu."
"Ini tolong bawa sup ke depan kita sarapan panggil ayah kamu" ucap Dila.
Tina menuruti Ibunya dan melihat ayahnya Dino di kebun mulai mencangkul tanah di tepi perbatasan dengan tetangganya.
"Apa yang ayah lakukan? Kenapa hanya tepinya saja dicangkul dan ini bersih" tanya Tina.
"Ayah hanya ingin berkeringat saja. Ayo ke dalam kita sarapan" ucap Dino meletakkan cangkulnya.
Mereka menyelesaikan sarapan pagi pertama kalinya di desa itu dengan santai.
Tina memainkan ponselnya di kursi goyang yang ada di deras rumah.
Cuaca hangat suara kicauan burung membuat siapapun akan nyaman dengan tempat itu.
Dia berjalan ke halaman dan tak henti-hentinya menikmati udara segar desa itu.
"Anaknya Pak Dino ya" sahut seorang pria yang lewat dari halaman rumah itu.
"Iya benar Pak. Kenal sama ayah saya?" tanya balik Tina.
"Oh iya dong. Saya Ade teman kecil ayah kamu. Kamu udah gede ya sekarang. Dulu ayah kamu hanya menunjukkan foto kamu sewaktu bayi" ucap pria itu.
Ade merupakan teman dekat Dino sejak kecil. Mereka berpisah ketika Dino melanjutkan kuliahnya di luar kota dan Ade tetap di desa itu menjaga Ibunya dan sudah berkeluarga punya anak satu seumuran Tina.
"Kalau begitu masuk aja Pak ke dalam, ada ayah di sana sama Ibu" balas Tina.
Dino tampak tersenyum dari teras menyambut Ade.
"Ade lama tidak bertemu" ucap Dino memeluknya.
Selama satu jam mereka berbincang di dalam dan sesekali terdengar tawa mereka.
Satu hari telah berlalu, malam pertama Tina membuka laptopnya mempelajari kembali rencananya yang sudah dipersiapkan sebelum pindah.
Dia termasuk mahasiswa pintar di kampusnya dan pemberani. Banyak tawaran pekerjaan yang dia terima setelah lulus namun dia berpikir akan lebih baik jika memanfaatkan lahan kosong milik kakeknya terlebih sudah dapat ijin dari pihak keluarga Dino.
"Tolong...!!" suara samar yang didengar Tina dan tiba-tiba terbangun melihat laptopnya masih nyala.
Dia membereskan mejanya dan beranjak ke kasurnya untuk tidur sedangkan ayah ibunya dan adiknya sudah terlelap dari tadi.
Selama tiga hari Tina menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang sama mempelajari kembali rencananya dan membantu ayahnya menata kebun di samping rumah.
"Ayah. Besok aku mau lihat lahannya. Anggarannya sudah siap tinggal melihat kondisi tanah dan pekerja" ucap Tina.
"Boleh. Tapi jangan sendiri ya. Kamu pergi sama anak Pak Ade namanya Dedi, ayah udah ngobrol sama Pak Ade" ucap Dino mengambil ponselnya dan mengirimkan nomor ponsel Dedi.
Malam itu Tina membahas kembali rencananya bersama ayahnya dan Dino memberikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan di desa itu.
Pagi itu...
"Dedi ya. Perkenalkan saya Tina anak Pak Dino" ucap Tina mendatangi rumahnya.
"Saya Dedi. Kita langsung jalan ya" sahut Dedi.
Dedi menyalakan sepeda motornya dan membonceng Tina sekitar empat kilometer dari rumah mereka.
Lahan milik kakeknya begitu luas dan tertutupi ilalang dan beberapa pohon tinggi.
Dengan sepatu bot dan topi hitam Tina menjajaki jalan setapak diantar lahan itu dan membawa beberapa perlengkapan untuk mengukur kelembapan tanah.
Dia menggali di beberapa tempat membuat beberapa percobaan dan hasilnya dituliskan dalam buku kecilnya.
Tina berjalan menuju batu yang dipojok sana dan tumpukan jerami kering.
Dia menggali tanah disitu dengan cangkul kecilnya. Muncul potongan kain hitam, dia menarik dan semakin panjang. Semakin cepat ditariknya dan diujung kain itu ada bungkusan dalam kain merah.
Dia mengambil pisau kecilnya dan merobeknya namun hanya ada seperti buah yang sudah membusuk. Tina mengabaikannya dan kembali menemui Dedi yang duduk di bawah pohon.
"Dedi. Apa disini masuk ke lahan orang lain itu hal biasa" tanyanya.
"Biasa saja sih kecuali kamu ketahuan mencuri kamu akan dikenakan sanksi" jawab Dedi.
Tina kembali memasukkan hasil observasinya ke dalam rencananya setelah selesai makan malam.
Sudah pukul satu malam dia masih membahas ulang karena ini adalah pekerjaan pertama Tina membuatnya selalu serius jika sudah menyalakan laptopnya.
"Dor...!!" terdengar jelas sesuatu menabrak pintu masuk.
Tina bergegas keluar dari kamarnya dan menyalakan lampu di ruang tamu. Perlahan dia mendekati pintu dan mengintip dari gorden kaca.
Tidak ada siapa-siapa. Dia perlahan membuka pintu dan seekor burung camar yang terletak pas didepan dan tidak bisa bergerak.
"Seharusnya kamu lebih hati-hati kalau terbang di malam hari" ucapnya.
Dia memandangi burung itu dan melihat sekitar halaman rumah. Tak ada orang ataupun burung lainnya.
Dia meletakkan burung itu ke dalam tumpukan kain di teras dan bergegas masuk ke dalam.
"Tolong...!!!" terdengar suara dari luar setelah Tina menutup pintu. Dia mengintip kembali dari kaca namun tak ada siapa-siapa.
Tina masuk ke kamarnya segera menutup matanya dan laptopnya dibiarkan saja menyala.
"Nak, bangun sudah jam delapan" sahut Ibunya dari pintu kamar Tina.
Tina mengangkat tubuhnya duduk sekuat tenaga karena hari ini dia akan menemui seorang dari desa sebelah untuk mencari pekerja.
"Bu. Ada liat burung disini. Tadi malam aku meletakkannya di dalam kardus ini" tanya Tina ke Ibunya.
"Ngga ada nak. Ibu aja belum bersihin teras" jawabnya.
"Ngga mungkin bisa terbang. Kakinya saja sudah luka" ucap Tina dalam hatinya.
"Mungkin diambil sama kucing atau tikus" sahut Ibunya.
Dedi sudah menunggu Tina didepan untuk mengantarnya.
Beberapa kali Tina memikirkan suara yang dia dengar tadi malam sambil melihat kiri kanannya untuk mengenal tempat di desa itu.
Mereka melewati seorang kakek tua memikul setumpuk jerami dan tatapannya begitu dalam.
Tina hanya tersenyum menyapanya.
"Itu tadi siapa" tanya Tina ke Dedi.
"Dia kakek tua yang hidup sendiri tanpa keluarga. Pekerjaannya mengantar jerami milik Pak Jaya ketua adat disini" jawab Dedi.
Kepala Desa tempat itu tidak tinggal disitu karena satu kepala desa terdiri dari empat desa dan yang lainnya wilayahnya sangat kecil dan penduduknya juga sangat sedikit.
Kedua adat bertanggung jawab untuk segala yang berhubungan dengan budaya dan kebiasaan di situ namun keputusan tertinggi ada di kepala desa.
Tina tidak bertanya lagi dan kembali melihat-lihat sekelilingnya. Pohon besar didepan sana tampak seorang kakek tua dan semakin dekat wajahnya persis sama dengan yang tadi mereka lihat.
"Dedi, itu bukannya kakek tua tadi kok bisa cepat sampai di sini" sahut Tina.
"Dimana? Aku tidak lihat" jawab Dedi.
Bersambung....
Tina menyesaikan pekerjaannya dengan surat kesepakatan kerja dengan beberapa orang dari desa itu.
Di Desa Sabo orang sangat susah untuk digaji sebagai pekerja di ladang mereka lebih memilih proyek sementara yang dari pemerintah karena mendapat upah harian setelahnya pergi nongkrong menghabiskan uang itu.
"Kamu benar tadi tidak melihat kakek tua itu ada di bawah pohon itu?" tanya Tina ke Dedi sambil merapikan surat-surat kesepakatannya.
"Tidak. Kamu mungkin salah lihat. Disana tadi tidak ada siapa-siapa" jawab Dedi.
Tina penasaran dengan desa yang didatanginnya. Dia mengajak Dedi berkeliling dan membeli beberapa buah.
"Disini masyarakatnya lebih ramah dan kelihatan sibuk. Lihat saja sawah disana sangat banyak petani dan pemilik warung tadi kelihatan sangat lelah" ucap Tina.
"Iya benar. Tidak hanya di sini di desa lain juga masyarakatnya sangat sibuk bahkan beberapa usaha baru seperti di kota sudah ada" balas Dedi.
"Tapi kenapa di desa kita beda? Aku lihat mereka banyak menghabiskan waktu di rumah?" tanya Tina kembali.
"Entahlah" ucap Dedi menyicipi cemilannya di kursi taman itu.
Sudah pukul lima sore mereka bergegas pulang sebelum malam tiba.
Seperti biasa Tina selalu memindahkan hasil pekerjaannya kedalam laptop.
"Aku akan mempekerjakan sepuluh orang pertama dua hari lagi untuk memotong dan membajak lahan dalam waktu satu minggu" tegas Tina ke ayahnya.
"Hitung dengan tepat dan pastikan mereka mendapat upahnya tepat waktu" ucap Dino ayahnya.
Tina hanya mengangguk dan tersenyum bahagia.
"Ibu. Sekarang hari Minggu tolong jangan bangunin aku sampai pukul sepuluh" sahut Tina dari dalam kamarnya.
"Kamu harus ibadah Nak pukul sembilan. Katanya mau cepat tahu desa ini. Ayo buruan bangun" ucap Sani ibunya yang dari mengetuk pintu kamar Tina.
Perlahan Tina beranjak dari kasurnya dan langsung mandi.
Dengan sepatu flat dan gaun biru selutut Tina berjalan kaki ke rumah ibadah itu yang tidak jauh dari rumahnya.
Tempat ibadah itu lumayan besar dan hampir bisa terisi dua ratus orang. Namun tidak lebih dari seperempatnya orang berada di sana.
Sebagai pendatang baru Tina melihat berulang kali wajah yang hadir disitu dan sesekali dia tersenyum.
Baju yang mereka kenakan sangat cantik-cantik. Ibu-ibu dengan balutan kebaya dan perhiasan emas membuat lebih mewah.
Bapak-bapak dengan jas hitam dan kemeja putih tampak bersih dan rapi, sedangkan para wanita lajang mengenakan gaun dan make up yang sangat berbeda dengan Tina.
"Wah. Ini seperti acara pesta. Bagaimana mungkin saya bisa kalah mode yang sudah tinggal lama di kota" ucapnya dalam hatinya sambil tersenyum walau sebenarnya menurutnya itu sangat norak.
Dia kembali fokus pada pemimpin ibadah itu dan Tina sangat tersentuh dengan tema ibadah kali ini.
"Di sini benar-benar anak Tuhan semua. Mereka sangat mendalami ibadah hari ini" ucap dalam hatinya berjalan menuju pulang ke rumah.
Karena cuaca panas dia melewati jalur cepat ke rumahnya dimana jalan itu perbatasan rumah- rumah perkampungan dengan sawah. Dan hanya beberapa orang yang memilih jalan itu.
Tina berjalan dengan terburu-buru karena terik matahari.
"Ini bau apaan? Seperti kemenyaan" ucapnya yang dari tadi bau itu tidak hilang-hilang.
Dari arah jauh dia melihat pria tua yang bungkuk membawa jerami.
Tina tersenyum namun tak ada balasan dari pria tua itu.
Tina mengabaikannya dan tiba-tiba matanya tertuju ke tanah setetes seperti darah. Dia mengikuti tetes darah itu perlahan dan berhenti di halaman rumah. Dia tak tahu itu itu milik siapa. Rumah itu besar, halamannya luas dan dikelilingi bunga mawar dan seekor kucing hitam duduk di kursi teras.
Dia menoleh ke belakang pria tua tadi masih memperhatikannya dari ujung mereka berpapasan.
Tina bebergegas mempercepat langkahnya hingga sampai di rumah.
"Ibu! Kenapa di sini orang-orang sangat aneh?" sahutnya dengan napas terengah-engah.
"Aneh kenapa? Itu hanya perasaan kamu saja. Ayo makan siang dari tadi nungguin kamu?"
Dia masih belum percaya dengan tatapan pria tua itu dan belum yakin apakah tadi benar darah manusia atau bukan.
"Bagaimana dia tahu kalau mengikuti jejek darah itu" ucapnya dengan bingung di meja makan itu.
Keesokan harinya....
"Tolong kerja samanya bapak-bapak jika ada kendala bisa langsung diberitahu ke saya" sahut Tina memberitahukan kepada sepuluh pekerja itu dan satu wanita membantu untuk memasak.
Para pekerja itu mulai bekerja sedangkan Tina membuat pembatas-pembatan dengan tali.
Dalam beberapa jam terik matahari semakin panas namun itu tidak menurunkan semangat para pkerja.
"Bu Tina! Ini ada apa ya? Dari tadi saya sudah temukan empat kain seperti ini" sahut seorang pekerja.
Tina mendatangi mereka berapa terkejutnya dia sudah ada beberapa kain yang sama yang dia temukan sebelumnya di situ.
"Ini mungkin ulah anak-anak pengembara sapi disini. Abaikan saja lagian juga itu sudah kelihatan lama" ucap Tina.
Mereka berteduh dan makan siang dibawah tenda dekat pohon.
"Apa Mba Tina tidak merasa aneh di desa ini? tanya pekerja itu.
"Aneh maksudnya?" balas Tina.
"Desa ini banyak dicurigai penduduknya melakukan hal mistis namun tak satu pun yang dapat membuktikannya."
"Apa Mba Tina tidak merasa aneh dengan orang-orang disini. Seperti kelihatan tidak ramah walau kita sudah menyapanya" sambung pekerja lainnya.
"Saya masih baru di sini jadi belum tahu orang disini seperti apa. Tapi desa indah dan sejuk sangat disayangkan jika hal itu terjadi" ucap Tina.
Mereka melanjutkan pekerjaanya dan Tina kembali pulang lebih duluan.
"Ayah. Apa Ayah merasa orang-orang di sini ada yang aneh?" tanya Tina.
"Tidak. Lagi pula ayah jarang berinteraksi dengan penduduk disini karena Ayah akan mengajar di desa seberang setelah mengurus surat -surat tanah kakek kamu" ucapnya.
Dino sebelumnya seorang dosen namun memilih mengundurkan diri. Tak banyak yang dapat dilakukan Dino jika berkaitan dengan hal pertanian sehingga dia harus mencari kesibukan.
"Kenapa Ayah tidak mengajar di desa inj?" tanya Tina kembali.
"Ayah takut akan menjadi beban bagi orang-orang disini karena disini pada umumnya menginginkan pekerjaan itu atau sebagai PNS" jawabnya.
Tina hanya terdiam dan berusaha mencerna jawaban ayahnya.
Sudah enam hari lahan itu hampir selesai dibersihkan. Tampak luas dan tidak tertata rapi karena sudah sangat lama sekali tidak digunakan.
"Besok hari terakhir bekerja, Ibu saya menyiapkan makan malam mohon untuk datang ke rumah kami" sahut Tina.
"Siap Mba" ucap serentak para pekerja itu.
Pukul enam sore Tina masih mengukur kembali setiap area yang sudah selesai dibersihkan sementara yang lainnya sudah pulang.
"Sebaiknya ini aku simpan saja. Sebenarnya aku juga penasaran tentang kain ini" ucap Tina sambil mengumpulkan kain merah yang ditemukan dan dimasukkan ke dalam tumpukan batu.
Hari semakin gelap dia dan dia kembali pulang. Sepanjang perjalanan dia merasa ada yang mengikuti dari belakang, namun setiap dia menoleh tak ada siapa-siapa.
Dia mempercepat langkahnya dan tiba-tiba sesuatu menabrak kepalanya.
"Aduh.. sakit!!" ucapnya menyentuh kepalanya.
Dia melihat ke bawah seekor burung warna hitam persis dengan yang ditemukannya di rumahnya.
Disekelilingnya tidak ada orang hanya ada lampu jalan. Dia bergegas hingga berlari kencang menurut rumahnya.
bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!