NovelToon NovelToon

Takdir Si Gadis Bisu

Episode 1 ~ Aku, Wulan...

...🍁🍁🍁...

"Wulan bisu... Wulan bisu... Wulan bisu!!!"

"Wulan tuli... Wulan tuli... Wulan tuli!!!"

"Wulan cacat... Wulan cacat... Wulan cacat!!!"

Sahutan suara ejekan demi ejekan yang selalu kudapatkan saat berada di sekolah. Semua teman-temanku mengejek, menghina bahkan sering melempariku dengan makanan bekas. Aku hanya berdiam, duduk meringkuk di sudut ruang kelas di mana aku menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan menutupi wajahku di antara kedua lututku.

Suara mereka terus bergema dan menyisir langit-langit ruang kelas. Mereka berdiri mengitariku seperti sedang menertawakan orang gila yang ada di jalanan dan terus bersorak-sorai untuk menghinaku habis-habisan. Sementara aku yang terpojok hanya bisa meringkuk tubuhku sendiri, seakan mencari perlindungan walaupun hanya sedikit.

"Ayo kita lempar gadis tuli dan bisu ini dengan makanan bekas!!!" seru salah satu teman kelasku kepada semua teman-teman lainnya.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Kurasakan bagian punggungku yang terasa basah karena cairan berwarna putih bening. Mereka menyiramku dengan air setelah puas melempariku dengan makanan bekas yang mereka ambil dari tempat sampah. Seburuk dan sehina itu kah aku di mata mereka?

Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku tetap berada di posisiku yang meringkuk, menangis sesegukan di sudut kelas. Baju seragamku yang tadinya masih bersih kini sudah kotor, sama seperti hinanya diriku di mata mereka. Kini tinggal lah aku sendiri di dalam kelas. Tiada siapa pun yang datang menolongku.

"Hiks... hiks... hiks..."

Sunyi dan senyap, semua orang telah pergi, pulang ke rumah masing-masing setelah puas mengejek dan mengotori pakaianku. Tangisku semakin pecah ketika teringat dengan takdir hidupku yang terlahir tidak sempurna hingga semua orang menganggapku hina dan kotor, tidak pantas berada di dunia ini. Tapi apakah salah jika aku harus tetap hidup walaupun kondisiku tidak sesempurna orang lain di luar sana? Apakah aku tidak pantas untuk hidup selayaknya seperti orang normal? Memiliki teman dan bergaul dengan banyak orang? Sepertinya jawaban dari semua pertanyaan itu adalah, mustahil!!!

Aku Wulan, Wulan Prasetya Nandala. Gadis kecil yang berusia 13 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Gadis kecil yang baru menginjak masa remaja namun masa remaja itu seakan pupus, seperti takdir hidupku yang tidak sempurna karena terlahir bisu dan tidak mampu untuk mengatakan satu kata pun dari mulutku.

Biasanya anak yang terlahir bisu juga tidak mampu mendengar dengan baik, ya benar. Selain bisu aku juga tidak bisa mendengar dengan baik sehingga aku harus memakai sesuatu di telingaku sebagai alat bantu.

"Adek... ayo kita pulang dan......"

Suara bariton seorang anak lelaki tiba-tiba terdengar sangat lantang menghampiriku. Kuangkat kepala dan menoleh ke arahnya yang masih berdiri terpaku menatapku di ambang pintu. Bulir kristal bening masih senantiasa jatuh dari pelupuk mataku saat melihatnya. Anak lelaki yang seumuran denganku itu pun melangkah lebar, berlari ke arahku. Matanya pun memerah hingga terlihat tumpukan air di dalam sana seraya menatapku nanar dan iba.

Anak lelaki itu langsung memeluk tubuhku dengan sangat erat. Tangisku kembali pecah saat kudengar sayup-sayup suara isak tangis anak lelaki itu. Dia juga menangis sesegukan melihat kondisiku yang seperti gelandangan. Kusut, kotor, kacau dan berantakan tak terurus.

"Adek tidak apa-apa? Maaf, Dek. Mas datang terlambat menjemput Adek ke kelas. Maaf..."

Anak lelaki itu kembali meraih tubuhku dan memelukku dengan erat. Aku hanya bisa menganggukan kepala karena tak mampu mengatakan satu patah kata pun padanya. Dielusnya pucuk kepalaku dengan lembut berusaha menenangkan dan memberikan kekuatan yang dia miliki untukku. Aku hanya bisa membalas pelukannya tak kalah erat, mencari kenyamanan di dalam pelukan itu.

"Kita pulang sekarang ya, Sayang. Besok akan Mas pastikan, kalau mereka semua mendapat pelajaran yang setimpal atas perbuatan kasar mereka pada Adek. Mas janji!!!" ujarnya yang melepaskan pelukan lalu menangkup wajahku.

Mendengar hal itu sontak membuatku sangat terkejut, aku tidak ingin anak lelaki seumuran denganku ini juga mendapat masalah karena aku. Dengan cepat aku menggelengkan kepala seraya meraih note kecil yang tergantung di leherku dan menulis sesuatu untuknya.

'Tidak perlu, Mas. Mas jangan melaporkan hal ini pada guru ya. Adek tidak ingin Mas terkena masalah karena hal ini'

Note yang berisikan tulisan kalimat singkat itu pun langsung kuberikan pada anak lelaki yang sering kupanggil dengan panggilan sayang dari seorang adik pada kakak laki-lakinya. Ya, dia adalah masku, kakakku satu-satunya, sahabat dan juga pathnerku dalam segala hal. Dengan cepat pula, dia meraih note itu dan membaca apa yang kutuliskan. Wajahnya berubah pias dan bulir kristalnya langsung jatuh seketika.

"Kenapa Dek? Bukan hanya sekali Adek mendapatkan perlakuan seperti ini, tapi berulang kali. Mas tidak bisa membiarkan kejadian seperti ini terulang lagi." ujarnya seraya memegang kedua bahuku.

Melihat kasih sayang dan kepedulian dari matanya, membuatku merasakan ketenangan yang abadi. Aku berusaha mengulas senyum andalanku untuk meluluhkan hatinya agar dia tidak melakukan hal yang tidak penting untuk diriku yang selalu saja menjadi bahan bullying. Kuelus tangannya yang masih berpegangan di bahuku yang tak sekuat baja, berusaha untuk menenangkannya. Anak lelaki seumuran dan sangat mirip denganku itu akhirnya menghela nafas panjang, menandakan bahwa emosinya perlahan menguap saat melihat netraku.

"Baiklah kalau itu yang Adek inginkan. Tapi kalau kejadian seperti ini terulang lagi, Mas tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja!" ujarnya yang penuh penekanan seraya menatapku, seakan memberitahuku bahwa keputusannya sudah final.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum seraya menyeka air mataku yang membasahi wajahku. Sebelum beranjak, dengan telaten anak lelaki itu berusaha membersihkan bajuku yang kotor, basah dan sudah tidak bisa dikatakan rapih lagi. Setelah itu, anak lelaki yang tak lain adalah kakakku beranjak dan membantuku untuk berdiri. Tidak hanya itu, dia juga membawakan tasku dan mengalungkan tanganku ke tangan kekarnya. Walaupun dia masih siswa SMP, tapi menurutku postur tubuhnya sangatlah bagus. Dia tinggi, tampan dan putih. Tidak sepertiku yang pendek, tapi tetap cantik kalau kata Oma.

Kami berjalan menyusuri lapangan basket yang terbentang luas di dalam pekarangan sekolah. Sesekali anak lelaki yang masih menggandeng tanganku itu tampak melirik ke arahku. Namun sesekali pula lirikan itu bersiborok dengan lirikan mataku.

"Damar..."

Sahutan suara lembut yang tidak asing itu seakan membuyarkan lamunan anak lelaki yang masih setia menggandeng tanganku.

Damar, Damar Prasetya Nandala. Kakakku satu-satunya yang sangat menyayangi aku. Kakakku yang selalu melindungiku. Kakak kesayanganku yang selalu berdiri di depan untukku. Dia adalah masku, Mas Damar.

Sang pemilik suara lembut itu tampak melangkah lebar seraya membuka kaca mata hitam andalannya, mendekati Mas Damar yang masih menggandeng tanganku berjalan. Mas Damar pun terlihat gelisah saat melihat sosok itu seraya menoleh ke arahku. Namun dengan senyum manis andalanku pun aku mampu menenangkan Mas Damar.

"Mami... kenapa Mami datang ke sini? Damar 'kan sudah bilang, Mami tidak perlu datang ke sini untuk menjemput Damar. Damar bisa kok pulang sendiri bersama Adek." ujar Mas Damar yang semakin kuat menggandeng tanganku.

"Mami khawatir sama kamu, Sayang. Ayo, kita pulang. Mami sudah memasak makan siang kesukaan kamu." jawab wanita cantik itu seraya mengelus kepala bagian belakang Mas Damar.

Wanita cantik yang berdiri di depanku itu adalah mami Mas Damar dan itu artinya dia juga mamiku. Dia sangat cantik dan selalu berpenampilan fashionable karena menjadi seorang istri dari pemilik Cafe terbesar di ibu kota menuntut Mami untuk tampil seperti itu.

"Ayo, Sayang. Kamu harus ikut dengan Mami." ujar Mami seraya bergelayut manja di lengan Mas Damar di sisi lainnya.

Mas Damar tidak bisa menolak permintaan Mami yang sudah bergelayut manja di sana. Kami pun berjalan mendekati mobil Mami yang berdiri di depan gerbang sekolah. Mas Damar masih setia menggandeng tanganku menuju mobil Mami dan membukakan pintu mobil itu untukku.

"Stop!!! Kamu mau apa Sayang?" serkas Mami yang memergoki gerak-gerik Mas Damar.

"Mami ingin mengajak kami pulang, bukan? Jadi sebagai kakak, Damar mempersilakan adik Damar masuk ke dalam mobil terlebih dahulu." jawab Mas Damar seraya memegangi pintu.

Raut wajah wanita cantik yang sering Mas Damar panggil mami itu pun memerah. Matanya yang tertutup kaca mata hitam kini terbuka lebar, menatap tajam ke arahku.

"No!!! Mami hanya mengajak kamu, bukan si gadis bisu itu!!! Jadi jangan pernah berharap kalau Mami akan satu mobil dengan anak itu. Tidak akan pernah!!!" tandas Mami menunjuk wajahku yang terlanjur ketakutan dan hanya bisa terdiam.

Di dunia ini, selain teman-temanku, Mami adalah salah satu orang terdekatku yang sangat membenci kehadiranku. Mami yang selalu kudambakan kasih dan sayangnya, Mami yang selalu kubanggakan kehadirannya di dalam hidupku, Mami yang selalu kudo'akan di sepanjang salatku. Namun Mami tidak pernah mencium bahkan memelukku sekalipun. Dia membenci kondisiku yang terlahir tidak sempurna dan kedua telingaku sudah terlalu tebal untuk menerima semua hinaan orang, termasuk hinaan mamiku sendiri.

"Kalau begitu Damar tidak mau ikut dengan Mami. Lebih baik Mami pulang saja tanpa Damar. Damar tidak bisa meninggalkan Adek sendirian di sini." serkas Mas Damar seraya merangkul bahuku, seakan tanda kalau dia memang tidak ingin meninggalkan aku.

"Kalau Mami bilang masuk, masuk Damar!!! Mami hitung sampai tiga kalau kamu tidak masuk juga, maka jangan harap kamu akan bertemu dengan Mami lagi!!!" serkas Mami yang semakin keras dan menekan Mas Damar.

Tanpa sadar, mataku mulai memanas ketika melihat pertengkaran di antara Mas Damar dan Mami seperti ini hanya karena aku. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Lalu dengan cepat aku meraih note kecil milikku yang tergantung dan menulis sesuatu.

'Mas pulang saja ya. Jangan bertengkar dengan Mami seperti ini. Adek tidak bisa melihat kalian bertengkar hanya karena Adek. Pulang ya, Mas. Biar Adek pulang naik taksi atau angkutan umum saja nanti'

Note kecil itu langsung kusodorkan pada Mas Damar yang masih kekeuh dengan pendiriannya, menolak ajakan Mami dan tetap bersamaku. Tapi aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Melihat note kecilku, Mas Damar langsung meraihnya.

Matanya membulat sempurna ketika membaca kalimat singkat yang kukatakan. Mas Damar tampak menggeleng, namun dengan cepat aku menganggukan kepala berusaha meyakinkan Mas Damar kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Satu... dua... tiga!!! Ayo cepat masuk ke dalam mobil Damar!!!" serkas Mami yang berdiri di depan sana, menatapku dengan tajamnya.

Mas Damar terlihat sangat marah melihat ke arah Mami yang memilih masuk ke dalam mobil. Melihat itu, aku pun berusaha untuk menenangkan Mas Damar dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil dengan gerakan isyarat yang biasa digunakan oleh anak penyandang disabilitas tuna rungu seperti diriku.

"Tapi Adek bagaimana? Mas tidak bisa membiarkan Adek pulang sendirian. Nanti Papi bisa memarahi Mas karena membiarkan Adek pulang sendiri." ujar Mas Damar yang meraih kedua bahuku.

Aku hanya menggelengkan kepala, memberi pengertian sebisa dan semampuku padanya. Untung saja Mas Damar sangat mengerti dengan semua bahasa isyarat yang ingin kukatakan padanya sehingga tidak terlalu sulit untukku berkomunikasi dengannya. Dan akhirnya Mas Damar luluh dan mengikuti permintaanku untuk tetap ikut dengan Mami.

"Adek hati-hati ya, Sayang. Kalau ada apa-apa cepat hubungi Mas. Ponselnya jangan mati ya. Biar Mas bisa melacak keberadaan Adek." ujarnya yang berbisik seraya menangkup wajahku.

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum untuk menuruti perkataan masku itu.

"Damar!!! Ayo cepat naik!!!" sahut Mami.

Dengan cepat aku mendorong tubuh Mas Damar untuk masuk ke dalam mobil Mami. Mas Damar terlihat pasrah, wajahnya sendu menatapku yang berdiri di sisi mobil sambil tersenyum dan melambaikan tanganku.

Mobil Mami pun akhirnya melaju cepat, membawa Mas Damar dan meninggalkan aku di keheningan siang yang sangat terik. Sinar matahari yang berada tepat di atas kepala, sangat menyengat bagi siapa saja yang berada di luar rumah. Aku pun mulai menyusuri trotoar, melihat sekitar jalan yang terlihat lengang. Tidak ada satu pun mobil, taksi, angkutan umum atau ojek yang lewat. Menuntutku untuk tetap berjalan hingga ke jalan besar karena posisi sekolahku yang berada di dalam jalan kecil satu arah.

Kakiku terus melangkah, menyusuri trotoar jalan yang sepi. Suasana hening menyelimuti hatiku yang tiba-tiba teringat dengan semua perkataan Mami tadi. Tanpa kusadari, bulir kristal dari mataku lolos begitu saja. Nasib hidupku sangat malang, bahkan lebih malang dari pada nasib hidup putri omaku yang sudah meninggal 20 tahun yang lalu.

Kenapa takdir hidupku harus seperti ini? Kenapa aku terlahir cacat dan berbeda dari anak-anak yang lain pada umumnya? Gumamku dalam hati yang teramat perih.

Hatiku sedih, menangis pilu dalam diam di sepanjang langkah kaki yang kuayunkan menyusuri trotoar jalan sejak tadi. Tiada satu pun orang yang dapat kutemui saat ini. Sunyi, sepi dan hening, bahkan tangisku yang jatuh ke dalam pun dapat terdengar oleh langit terik.

"Wulan..."

.

.

.

.

.

Happy Reading All 😇😇😇

Gimana? Udah tau 'kan siapa gadis bisu itu? Dia lah Wulan, lalu siapa Wulan sebenarnya? Dan siapa wanita cantik yang dipanggil mami oleh Damar? Hmmmm, ada yang penasaran?

Ikutin terus kisah Wulan yang InsyaAllah akan menyentuh hati kalian semuanya 😘😘😘😘

Episode 2 ~ Bukan Salah Papi

...☘️☘️☘️...

"Wulan..."

Saat kaki Wulan masih melangkah menyusuri trotoar jalan yang ditemani dengan deras air matanya, tiba-tiba dari jarak yang tidak terlalu jauh terdengar suara seseorang yang sepertinya memanggil dirinya. Karena penasaran, Wulan pun menggiring matanya ke sumber suara yang ternyata ada seseorang yang sedang berlari menuju ke arahnya. Sosok pria yang tidak kalah tinggi dengan Damar. Pria itu terus berlari mendekati Wulan seraya membuka helm yang masih bertengger di atas kepalanya.

"Wulan... kamu Wulan 'kan? Adik kembarnya Damar?" tanya pria itu yang berhenti tepat di hadapan Wulan.

Satu hal yang belum kalian ketahui, bahwa Wulan bukan hanya sekedar adik biasa bagi Damar, tapi juga adik kembar. Adik kembar Damar yang terlahir satu jam setelah Damar lahir ke dunia, melalui persalinan secara cesar. Karena perkembangan Wulan yang tidak sebaik perkembangan Damar saat berada di dalam rahim sang mami, membuat takdir Wulan yang harus terlahir seperti anak yang lahir prematur dan tidak sempurna. Kenapa dikatakan seperti anak prematur sementara usia kandungan sang mami saat itu sudah masuk usia normal untuk segera melahirkan?

Kasus sang mami saat itu sangat langka, di mana salah satu janin kembar yang ada di dalam rahimnya mengalami penghambatan untuk berkembang dengan baik. Sedangkan janin yang satunya lagi, berkembang sangat baik.

Kembali lagi pada pria yang berada di depan mata Wulan saat ini.

Wulan hanya bisa mengangguk seperti biasa karena ia tidak bisa bicara. Jangankan untuk mengatakan satu kalimat, untuk mengucap satu buah huruf saja Wulan sudah kesulitan dibuatnya. Pria itu pun tersenyum manis seraya mengulurkan tangannya.

"Hai Wulan, apakah kamu tidak mengenali siapa aku?" ujar pria itu yang masih tersenyum.

Heran, sangat membuat Wulan heran. Siapa pria yang ada di depannya saat ini? Apakah dia mengenal Wulan? Kalau dia mengenal Wulan, dia pasti mengetahui semuanya tentang dirinya yang tidak sempurna itu.

Dengan cepat Wulan menggelengkan kepala, memberikan jawaban kalau ia tidak pernah bertemu dengan pria itu atau mengenalnya. Pria itu terkekeh geli melihat raut wajah Wulan yang keheranan yang bercampur dengan rasa takut. Takut kalau pria ini ingin melakukan hal yang tidak baik terhadapnya. Apalagi di tempat sepi dan sunyi seperti ini.

"Aku Rainar, Lan. Rainar sahabat kecilmu. Anaknya Dokter Ronald. Sahabat sekaligus kakak angkat Pakde Ammar, Paklik Sadha dan Uncle Dhana. Kamu lupa sama aku?"

Seketika mata Wulan yang tadinya basah, kini langsung mengering saat mendengar itu. Dialah Rainar, sahabat kecil Wulan yang sangat dekat dengan keluarga besarnya. Dia adalah putra bungsu Dokter Ronald. Sahabat, rekan kerja sekaligus kakak angkat Ammar, Sadha dan Dhana. Siapa sih yang tidak mengenal keempat pria tampan itu?

"Kamu apa kabar Lan? Kenapa kamu jalan sendirian seperti ini? Damar ke mana? Biasanya dia selalu bersama kamu? Kalian 'kan saudara kembar yang tidak bisa terpisahkan." seloroh Rainar yang terlihat sedang menggoda Wulan.

Melihat kejahilan Rainar yang masih sama seperti dulu, membuat Wulan mendengus geli seraya meraih note kecil yang tergantung di lehernya. Gelak tawa Rainar masih terdengar geli di telinga Wulan saat sesekali gadis bisu itu melihat ke arah Rainar. Setelah menulis di note, Wulan pun memberikan note itu pada Rainar.

"Oh jadi karena tugas kelompok Damar meninggalkan kamu sendirian seperti ini? Dasar!!! Kakak macam apa dia itu! Kalau begitu, ikut denganku saja. Aku akan mengantarmu pulang dengan selamat." ujar Rainar yang malah meracau memaki Damar.

Wulan terpaksa harus berbohong pada Rainar tentang masalah ini karena Wulan tidak ingin membiarkan nama sang mami rusak hanya karena dirinya yang tidak sempurna ini. Wulan pun mengangguk dan mengikuti tawaran Rainar karena ia juga tidak punya pilihan lain selain ikut dengan pria itu. Rainar dan Wulan pun berjalan menuju motor Rainar yang masih berdiri kokoh di depan sana.

"Ternyata kita satu sekolah ya, Lan. Aku baru saja pindah dari Surabaya ke Jakarta karena tugas dinas papaku yang sudah selesai di sana dan kami harus pindah lagi ke sini. Jadi sekarang aku bisa menemuimu terus, karena selama di Surabaya aku tidak mempunyai sahabat yang baik dan tulus seperti kamu." tutur Rainar yang berjalan di samping Wulan dan sesekali melirik ke arahnya.

Wulan hanya tersenyum simpul seraya menganggukan kepala mendengar perkataan sahabatnya itu. Wulan tidak pernah menyangka kalau ia akan bertemu lagi dengan Rainar setelah sekian tahun mereka tidak pernah bertemu karena Rainar harus ikut dengan Dokter Ronald ke Surabaya untuk dinas di rumah sakit yang ada di kota itu. Kini Rainar telah kembali bahkan satu sekolah dengan Wulan dan Damar. Rasanya kesedihan Wulan hari ini menguap begitu saja karena terhibur dengan kehadiran Rainar.

Tanpa sadar, akhirnya mereka sampai di dekat motor Rainar yang sudah kepanasan sejak tadi. Rainar pun mengambil helm yang ada di jok bagian belakang dan memberikannya pada Wulan. Setelah itu, Wulan pun ikut naik ke atas motor besar Rainar.

"Kamu siap Lan?" tanya Rainar yang sedikit berteriak karena takut Wulan tidak mampu untuk mendengar sahutannya.

Yang bisa Wulan lakukan hanya lah mengacungkan jempol, memberikan isyarat pada Rainar kalau dirinya sudah siap untuk menyusuri perjalanan yang terik ini bersama dengan pria itu. Rainar pun meraih kedua tangan Wulan dan melingkarkan tangan mungil itu ke pinggangnya. Setelah merasa aman, Rainar pun melajukan motornya.

***

"Ayo kita turun, Sayang."

Damar yang sejak tadi hanya diam pun menghela nafas kasar seraya membuang muka karena jengah melihat sang mami. Damar masih tidak habis pikir dengan sikap sang mami yang begitu kasar pada Wulan, bahkan sanggup meninggalkan putrinya sendiri di sekolah hanya karena Wulan tidak sempurna. Damar pun turun dari mobil lalu menutup pintu mobil dengan kasarnya.

Melihat itu sang mami hanya menggeleng kepala seraya berjalan mengikuti putranya. Ibu dan anak itu pun masuk ke dalam dan berpapasan langsung dengan sosok pria tampan, salah satu penghuni rumah itu.

"Mas... kamu sudah pulang?" ujar wanita berstatus sebagai mami Damar dan Wulan.

"Aku sudah pulang sejak tadi. Dari mana kalian? Lalu di mana putriku? Kenapa kalian hanya berdua saja?" jawab pria tampan itu yang beranjak dan berjalan mendekati sang istri.

Raut wajah Damar menjadi tegang seketika saat sang papi menanyakan keberadaan sang adik yang ditinggalkan oleh sang mami.

"Adek... Adek..." ucap Damar yang gugup.

"Di mana adik kamu, Damar? Kenapa kamu tidak bersamanya? Ke mana putri Papi?" tandas sang papi yang menoleh tajam ke arah Damar.

Damar tetap bergeming, tidak tau harus mengatakan apa pada sang papi kalau Wulan ditinggalkan oleh sang mami di sekolah. Damar pun panik dan ketakutan. Takut kalau sang papi akan marah dan takut telah terjadi sesuatu pada sang adik di luar sana. Sementara sang mami yang berdiri di sisinya hanya menghela nafas santai, seperti tidak ada beban hidup setelah meninggalkan putrinya di sekolah sendirian.

"Sebentar lagi anak itu pasti akan sampai di rumah ini, Mas. Kamu tenang saja. Bukan kah kamu bilang kalau putrimu itu anak yang kuat dan mandiri? Jadi kenapa kamu harus pusing memikirkan anak cacat itu." timpal wanita itu dengan santainya.

Darah siapa pun yang menyayangi Wulan pastinya akan mendidih saat mendengar perkataan buruk seperti itu. Apalagi yang mengatakan hal itu adalah ibu kandungnya sendiri. Pria itu pun berjalan menghampiri istrinya.

"Mala... apakah kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan itu? Wulan itu anak kamu, darah daging kamu. Dia anak kita. Tapi kenapa kamu bisa seringan ini mengatakan hal buruk tentang putrimu sendiri?" ujar sang suami yang meraih kedua bahu Mala.

Mala atau dikenal sebagai Alma Larashatika, istri seorang pemilik Cafe yang sukses. Jika Mala adalah ibu kandung Damar dan Wulan, maka ayah kandung mereka tak lain dan tak bukan adalah Dhana Trinandaidi.

Dhana terlihat sangat murka saat melihat tampang wajah Mala yang bersikap santai tak berdosa seperti biasa. Dengan santai, Mala pun menepis kasar tangan suaminya.

"Kamu selalu saja membela anak sialan itu, Mas. Kamu mana pernah membelaku setelah anak itu lahir ke dunia ini. Nyawaku hampir melayang karena mempertahankan anak sialan itu dan kamu masih membelanya lalu memarahi aku?" tandas Mala yang tersenyum miring menatap sang suami.

"Kamu benar-benar sudah berubah, Mala. Aku tidak mengenal istriku yang sekarang. Kamu tega meninggalkan Wulan sendirian lagi di sekolah? Dan hanya pulang bersama Damar? Ke mana hati nurani kamu, Mala?!" ujar Dhana yang mengepal kuat tangannya.

"Iya, Mas. Aku memang sudah berubah. Aku berubah karena anak sialan yang cacat itu!!! Hidupku hancur!!! Sekalipun aku tidak pernah bermimpi akan mempunyai anak cacat seperti dia. Bahkan aku hampir mati karena bertaruh nyawa hanya untuk menyelamatkan anak cacat itu. Aku sampai koma bertahun lamanya karena anak itu. Tapi setelah dia lahir, apa? Dia tidak bisa bicara dan tuli!!! Aku malu, Mas. Aku malu!!!" tandas Mala seraya menunjuk ke arah Dhana.

Mala yang terbawa emosi setiap bertengkar dengan Dhana pun berlari ke lantai atas. Ia langsung masuk ke dalam kamarnya seraya membanting keras pintu. Mendengar suara keras dari lantai atas, membuat Dhana dan Damar terkejut. Dhana pun menghela nafas panjang seraya mengusap kasar wajahnya.

"Damar minta maaf, Pi. Damar tidak bisa menjaga Adek dengan baik. Damar bukan kakak kembar yang baik untuk Wulan, Pi. Maafkan Damar, Pi. Maafkan Damar." ujar Damar seraya meraih tangan sang papi.

"Kamu tidak salah, Nak. Mami kamu yang keterlaluan. Dia tega meninggalkan Wulan sendirian dan hal ini sudah terjadi belasan tahun lamanya. Mau sampai kapan hati mamimu itu akan tertutup? Mau sampai kapan adikmu harus menderita karena ini? Wulan sudah cukup menderita, Damar. Papi benar-benar tidak sanggup melihat putri Papi menderita seperti itu." jawab Dhana seraya mengelus punggung sang putra.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang tengah memperhatikan di ambang pintu. Mata itu terlihat basah dan sembap karena menangis setelah mendengar apa yang dikatakan oleh sang mami. Tangis pemilik mata itu pecah lagi di dekat pintu.

Dhana dan Damar terkesiap saat mendengar suara isak tangis itu. Keduanya pun saling pandang terkejut lalu menoleh ke arah pintu.

"Wulan..."

"Adek..."

Ternyata pemilik mata yang berdiri di dekat pintu itu adalah Wulan. Sejak tadi gadis itu sudah sampai di rumah karena Rainar yang mengantarnya pulang dengan selamat. Tapi di saat Wulan hendak masuk, langkahnya terhenti seketika saat mendengar keributan yang berasal dari dalam rumah. Wulan yang melihat keributan itu hanya bisa terdiam. Ia tidak hanya melihat, tapi juga mendengar semua perkataan buruk sang mami tentang dirinya.

Dhana dan Damar pun berlari menghampiri Wulan yang menangis di dekat pintu. Tanpa berpikir panjang lagi, Dhana langsung meraih tubuh sang putri dan memeluknya erat. Tangis Wulan semakin pecah, beriringan dengan air mata Dhana dan Damar yang ikut mengalir tanpa izin.

"Papi minta maaf, Sayang. Papi belum bisa menyadarkan mami kamu. Papi belum bisa membuka mata hati mami kamu yang sudah tertutup belasan tahun lamanya. Papi minta maaf, Sayang. Semua ini salah Papi, karena Papi kamu jadi menderita seperti ini." tutur Dhana seraya memeluk putri cacatnya itu.

Wulan pun melerai pelukannya dari sang papi saat mendengar perkataannya itu. Walaupun air matanya masih mengalir, tapi gadis itu masih terlihat sigap meraih note kesayangannya yang tergantung indah di lehernya.

'Papi jangan merasa bersalah seperti ini. Ini bukan salah Papi atau pun Mami. Semua ini sudah menjadi takdir hidup Adek dan Adek harus menerimanya dengan lapang dada. Papi jangan sedih lagi ya. Adek sayang Papi'

Lolos lagi bulir kristal bening dari pelupuk mata Dhana saat membaca note yang terdapat tinta hitam karya sang putri. Hati Dhana terenyuh dan seketika ia teringat seseorang yang sangat mirip dengan putrinya itu.

"Kamu mirip sekali dengan onty-mu, Sayang."

.

.

.

.

.

Happy Reading All 😇😇😇

Nah, gimana? Udah tau 'kan siapa Wulan dan Damar itu sebenarnya? Dia anak kembar dari pasangan Dhana dan Mala yang menikah 13 tahun lalu. Tapi sayang, Mala tidak menerima putrinya sendiri dan berubah menjadi wanita yang egois 😪

Semoga kalian semua suka dengan kisah sekuel ini ya 🥰 Sukses dan semangat terus semuanya ❤️

Episode 3 ~ Flashback

...🍁🍁🍁...

POV Dhana : 13 tahun yang lalu

Bruk!

"Ahhhhhh... Mas.... Mas tolong!!!"

Suara benda jatuh itu sukses membuyarkan lamunanku saat aku sedang berada di dalam kamar. Ditambah lagi dengan suara teriakan yang tak asing bagiku, membuat langkahku langsung menghambur keluar dari kamar. Pandangan mataku mengedar, mencari asal suara teriakan itu.

Betapa terkejutnya aku saat melihat istriku, Mala yang tergeletak di dekat tangga dengan bersimbah darah di bagian kakinya. Bergegas, aku langsung berlari mendekati istriku yang terlihat sangat kesakitan.

"Sayang... kamu kenapa? Kamu berdarah, kamu pendarahan, Sayang." ujarku panik.

"Tolong, Mas. Sakit..." pekik Mala yang menjerit kesakitan seraya memegangi perutnya.

Panik, takut dan tubuhku gemetar hebat saat melihat darah yang mengalir deras di balik piyama tidur istriku. Mataku nanar menatap lekat wajahnya yang meringis kesakitan dan terus memegangi perutnya.

"Dhana... Mala kenapa Nak?"

Kepanikan diriku yang terlalu hebat membuatku terdiam dan menerawang, tanpa sadar Ibu datang menghampiriku bersama Ayah, Kak Ibel dan Kak Vanny.

"Ya ampun Mala pendarahan, Dhana. Kita harus membawanya ke rumah sakit!!!" seru Kak Ibel yang lebih banyak tau tentang hal ini karena profesinya sebagai dokter kandungan.

"Ayo, Dhana!!! Cepat kamu gendong Mala." timpal Kak Vanny yang tak kalah panik.

Aku pun langsung mengangkat tubuh istriku yang dibantu oleh Ayah. Kami semua berlari ke arah depan hingga masuk ke dalam mobil dan Ayah membawa kami semua ke rumah sakit.

Kulihat wajah istriku yang semakin pucat, darahnya semakin banyak di bawah sana, dan itu membuatku semakin gelisah. Aku takut terjadi sesuatu pada istriku dan kedua anakku yang berada di dalam kandungannya.

"Kamu yang tenang ya, Mala. Jangan panik, tarik nafas yang dalam lalu hembuskan secara perlahan. Lakukan itu berulang kali agar kamu bisa tenang. Ingat! Jangan panik. Kalau kamu panik, darahmu akan semakin deras keluarnya dan itu akan berbahaya."

Kulihat Kak Ibel yang duduk di samping Mala, berusaha menenangkan istriku dengan berbagai macam teori yang Kak Ibel miliki. Sementara Kak Vanny juga ikut berusaha menenangkan Mala seraya mengelus kepalanya dengan lembut. Aku yang panik hanya bisa menggenggam erat tangan istriku, berusaha memberikan kekuatan yang aku miliki saat ini, walaupun kekuatanku sepenuhnya tidak lah kuat sejak melihatnya tergeletak di dekat tangga.

Perjalanan panjang namun singkat karena Ayah melaju dengan kecepatan angin pun berakhir. Kami sampai di rumah sakit dan aku langsung membawa Mala.

"Kamu tunggu di sini ya. Biar Kakak yang masuk untuk menangani istri kamu." ujar kakak ipar sulungku itu dan menenangkan aku yang gelisah.

"Dhana mohon, Kak. Selamatkan Mala dan anak-anak Dhana. Dhana mohon." ucapku seraya memohon pada Kak Ibel.

"Kakak akan berusaha sekuat tenaga untuk kamu, Mala dan keponakan kembar Kakak. Kamu berdo'a ya." ujar Kak Ibel yang penuh kelembutan dan membuatku sedikit tenang.

Aku hanya bisa mengangguk dan berusaha untuk mengulas senyum. Setelah itu Kak Ibel masuk ke dalam UGD dan Kak Vanny masih setia berdiri di sisiku, seraya memegangiku.

"Kita berdo'a untuk Mala ya, Nak. Semoga Mala dan kedua cucu Ayah tidak apa-apa." ujar Ayah yang merangkul bahuku seraya mengusapnya dengan lembut.

"Kak Ibel pasti bisa menyelamatkan Mala, Dhana. Kamu harus percaya sama Kak Ibel." timpal Kak Vanny yang masih memegangi tanganku seraya mengusapnya lembut.

"Istrimu pasti kuat, Sayang. Ibu yakin itu." timpal Ibu yang kata-katanya selalu menjadi pengobat ampuh kegelisahan hatiku.

Aku hanya bisa mengangguk walaupun rasanya sangat berat, tapi aku harus kuat demi Mala dan anak-anakku. Akhirnya kami semua duduk dan menunggu kabar dari Kak Ibel yang masih berada di dalam UGD. Seketika pandangan mataku menerawang, teringat kenangan yang sama saat duduk di depan ruang UGD seperti ini. Namun dengan situasi yang tentunya sangat berbeda. Tiba-tiba aku teringat adikku yang sudah meninggal, tanpa sadar air mataku mengalir begitu saja. Aku takut Mala akan pergi, seperti Dhina yang pergi meninggalkan aku untuk selamanya.

"Dhana, Ayah, Ibu, Vanny... Mala bagaimana? Dia baik-baik saja 'kan?"

Suara bariton itu berhasil menyadarkan aku dari lamunan panjang. Mendengar suara itu, aku langsung menoleh dan melihat Mas Ammar dan Mas Sadha datang menghampiri kami. Sepertinya Kak Vanny yang memberitahu mereka kalau Mala jatuh dan masuk rumah sakit. Padahal aku tau sekali kalau hari ini Mas Sadha maupun Mas Ammar sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, tapi mereka tetap datang untuk menguatkan aku.

"Mala masih di dalam UGD, Kak. Kak Ibel sedang berusaha menangani Mala." jawab Kak Vanny yang beranjak dan mendekati Mas Sadha.

"Lalu anak-anak bagaimana Sayang?" tanya Mas Sadha yang sepertinya teringat dengan anak-anak.

"Anak-anak masih di rumah Ibu, Mas. Bi Iyah yang menjaga mereka. Kamu tenang saja ya, karena yang paling penting saat ini adalah kondisi Mala." jawab Kak Vanny yang berusaha menenangkan Mas Sadha.

"Baiklah kalau begitu, semoga Mala tidak apa-apa ya. Kamu harus kuat, Dhana." ujar Mas Sadha seraya mengusap punggungku.

Hanya anggukan yang bisa kuberikan sebagai tanda mengiyakan perkataan Mas Sadha. Hatiku benar-benar tidak tenang karena Kak Ibel yang tak kunjung keluar dari ruang UGD.

Ceklek!

Baru saja aku membicarakan kakak iparku itu di dalam hati, tiba-tiba saja dia keluar dengan tampang panik dan gusar seraya berlari kecil menghampiriku dan keluarga.

"Ada apa Kak? Bagaimana dengan kondisi Mala? Lalu anak-anak Dhana bagaimana?" tanyaku yang bertubi-tubi pada Kak Ibel seakan menuntut jawaban dan enggan memberikan Kak Ibel peluang untuk mengambil nafas terlebih dahulu.

"Bagaimana Sayang? Kondisi Mala dan kedua bayinya baik-baik saja, bukan?" timpal Mas Ammar yang terdengar panik dan tidak sabar mendengar jawaban istrinya.

Kulihat guratan kecemasan di wajah Kak Ibel yang menandakan bahwa ada sesuatu yang tidak baik terjadi pada istri dan anak-anakku di dalam sana. Kak Ibel pun menghela nafas berat seraya meraih bahuku.

"Mala harus segera dioperasi, Dhana. Karena pendarahan hebat yang Mala alami sehingga kami sebagai dokter harus mengambil tindakan operasi secepatnya. Kalau tidak..."

Suara Kak Ibel seperti tertahan, raut wajahnya semakin menyatakan kalau kondisi Mala dan anak-anakku di dalam sana tidak baik.

"Kalau tidak apa Nak? Ayo cepat katakan pada kami semua?" timpal Ibu yang tidak sabar dan semakin khawatir.

"Kalau tidak Mala atau pun anak-anak Dhana tidak bisa selamat, Bu." jawab Kak Ibel yang sukses menambah kegelisahan hatiku.

Jatuh sudah bulir bening dari sudut mataku, kata-kata yang sangat menakutkan itu seakan menghantuiku setelah lama tidak terdengar. Tubuhku mematung, lidahku terasa kelu dan tidak tau harus mengatakan apa lagi. Namun kurasakan tangan lembut Kak Ibel meraih dan menggenggam erat tanganku, berusaha untuk membuatku kuat agar aku bisa mengambil keputusan secepatnya.

"Lakukan saja yang terbaik menurut Kakak. Dhana hanya bisa mengikuti dan berdo'a agar mereka selamat. Tolong, Kak. Tolong selamatkan istri Dhana. Dhana mohon Kak." ujarku yang menggenggam tangan Kak Ibel.

"Baiklah, Kakak akan berusaha untuk kalian. Tolong bantu Kakak dengan do'a ya, Dhana." jawab Kak Ibel seraya mengusap kepalaku.

Aku hanya mengangguk dan Mas Ammar yang berdiri di sampingku berusaha untuk menenangkanku. Kak Ibel pun kembali masuk ke ruang UGD dan tidak berselang lama, kakak iparku itu keluar lagi seraya mendorong hospital bed yang istriku pakai.

Air mataku lolos lagi saat melihat kondisinya yang sangat lemah tak sadarkan diri di atas bed. Kami semua mengantar istriku sampai ke ruang operasi dan kami semua hanya bisa menunggu di luar.

***

Dua jam berlalu, tapi Kak Ibel tak kunjung keluar dari ruang operasi dan membuatku semakin gelisah. Tapi aku sangat bersyukur karena aku mempunyai keluarga yang selalu mendukungku, apa pun yang terjadi. Setelah Dhina pergi, keluarga kami seperti dihujani berbagai macam kebahagiaan. Bukan tidak bersyukur, tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku kalau aku sangat merindukan dirinya. Kebahagiaan yang berlimpah seakan menjadi pengganti dan pengobat luka hati kami semua karena kehilangan Dhina.

Sejak menikah dengan Mala, hidupku terasa sangat lengkap dan sempurna. Ditambah lagi dengan kehamilan Mala yang pertama, dan yang menjadi bonusnya adalah, aku dan Mala mendapatkan sepasang anak kembar. Sepertinya kedua anakku kelak akan menjadi titisanku dan juga Dhina.

Ceklek!

Lamunanku buyar lagi saat terdengar suara pegangan pintu yang berbunyi. Mataku langsung menoleh ke arah pintu dan tampak Kak Ibel keluar dengan raut wajah yang pias. Aku tidak mengerti dengan maksud raut wajah Kak Ibel, tapi hatiku berkata kalau sesuatu yang kutakutkan sejak tadi akan terjadi.

"Kak... bagaimana keadaan Mala? Dia baik-baik saja, bukan? Anak-anak Dhana selamat 'kan Kak?" tanyaku yang berusaha menepis rasa takut di hatiku.

Kak Ibel tampak menghela nafas panjang seraya membuka masker yang ia gunakan ketika melangsungkan operasi di dalam sana. Raut wajahnya terlihat berbeda dari yang tadi.

"Sebelumnya Kakak ingin bertanya satu hal sama kamu, Dhana. Apakah kamu dan Mala selalu check up rutin ke rumah sakit untuk melihat perkembangan kedua anak kalian?"

Pertanyaan Kak Ibel membuat hatiku semakin gelisah dan kacau. Kenapa Kak Ibel menanyakan hal yang selama ini memang aku lakukan bersama Mala setiap bulan.

"Tentu saja, Kak. Kenapa Kakak bertanya seperti itu? Anak-anak Dhana tidak apa-apa 'kan Kak?" jawabku yang memberikan pertanyaan balik pada kakak iparku itu.

"Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu ketahui tentang kondisi anak-anak kamu, Dhana. Perkembangan mereka tidak stabil dan hal itu menyebabkan salah satu di antara mereka mempunyai berat badan yang kurang dari berat badan bayi normal. Selama dua jam di dalam ruang operasi, Kakak sudah berusaha untuk mengeluarkan kedua anak kamu. Alhamdulillah, mereka selamat walaupun..."

"Walaupun apa Kak?" tanyaku yang semakin gusar dan kacau.

"Karena perkembangan keduanya yang tidak stabil, salah satu anak kamu saat ini harus dimasukkan ke dalam incubator karena berat badannya yang jauh di bawah normal. Sedangkan anak kamu yang satunya lagi, dia sangat sehat dan berat badannya normal." tutur Kak Ibel yang mengulas senyum lega.

Rasa takut dan gelisah yang menghantuiku sejak tadi menguap begitu saja. Anak kembarku telah lahir ke dunia dengan selamat, walaupun ada sedikit masalah dengan kondisi salah satu dari anakku. Namun hal itu tidak terlalu mengganggu pikiranku karena yang terpenting mereka sudah lahir dengan selamat.

"Lalu bagaimana dengan Mala, Sayang?" timpal Mas Ammar yang menanyakan kondisi istriku.

Seharusnya aku yang menanyakan hal itu pada Kak Ibel, tapi karena terlalu lega dan bahagia dengan kehadiran anak-anakku, aku malah melupakan istriku. Lalu kulihat Kak Ibel yang sepertinya berat untuk mengatakan sesuatu seraya menatap Mas Ammar.

Perasaan gelisah kembali datang dan sukses mengusik ketenangan hatiku yang baru saja merasa lega setelah anak-anakku lahir.

"Mala... Mala koma, Mas!!!"

Kak Ibel hanya menatap lekat wajah Mas Ammar dan enggan untuk menoleh ke arahku. Jawaban Kak Ibel sukses menghujam hatiku dengan pisau yang tak kasat mata. Sakit tapi tidak berdarah.

"Tidak, Kak. Kakak pasti bohong 'kan? Mala tidak mungkin koma, Kak." jawabku seraya berjalan menghampirinya.

"Kakak minta maaf, Dhana. Kakak sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan istri kamu. Awalnya, operasi berjalan dengan sangat lancar dan sesuai dengan ekspektasi, tapi setelah Kakak berhasil mengeluarkan anak kembar kamu yang laki-laki, tiba-tiba saja kondisi Mala drop. Dan akhirnya Mala koma setelah Kakak mengeluarkan anak kamu yang perempuan. Pendarahan yang Mala alami, ditambah lagi dengan perkembangan bayi yang tidak stabil membuat mental Mala drop. Kakak minta maaf, Dhana. Semua ini berada di luar dugaan Kakak. Kakak benar-benar minta maaf."

Runtuh sudah pertahanan air mata dan sisa kekuatan yang aku miliki. Tubuhku terhuyung ke belakang, lemah tak berdaya dan terduduk di kursi tunggu. Ibu memeluk tubuhku dari samping, berusaha menenangkanku.

"Apakah Mala akan sadar Sayang? Maksudku, apakah Mala bisa selamat?" tanya Mas Ammar yang sayup-sayup terdengar di telingaku.

"Aku hanya dokter dan manusia biasa, Mas. Mala bisa selamat atau tidak, aku tidak bisa menjamin itu. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu pada Dhana. Kondisi Mala sangat lemah saat dioperasi karena pendarahan hebat. Tapi kalau kita tidak mengambil keputusan untuk mengoperasi Mala, maka nyawa kedua anak Dhana yang akan menjadi taruhannya." tutur Kak Ibel.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain berdo'a untuk saat ini. Aku benar-benar takut, bahkan sangat takut untuk kehilangan orang teramat aku cintai untuk yang kedua kalinya. Air mata pun tak bisa kuajak berkompromi, bulir demi bulir terus berjatuhan, membasahi wajahku.

"Jangan ambil istriku, Ya Allah. Jangan Kau ambil istriku seperti Kau mengambil adikku."

.

.

.

.

.

Happy Reading All 😇😇😇

Mari kita flashback sebentar ya, untuk melihat kenapa Mala membenci Wulan padahal Wulan adalah anak kandungnya sendiri.

Ikutin terus ya kisah Wulan 😘 semangat dan salam sayang dari author

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!