Samuel Augusto menyesap habis wine di dalam gelasnya. Suasana club malam itu cukup ramai. Ia lebih memilih duduk diujung bar, menyendiri menikmati minumannya.
Hingar bingar suara keras music yang disuguhkan sang DJ cukup membuat kepalanya pusing, tapi pria itu tetap tenang bahkan mengkode sang bartender untuk menambahkan minumannya.
Seorang gadis menabraknya, badannya yang limbung tak mematahkan semangatnya untuk tetap menari di lantai dansa. Tanpa bantuan, gadis itu kembali berdiri dan menatap pria yang ditabraknya.
Samuel tak menggubrisnya. Ia kembali menikmati dan menyesap kembali wine di dalam gelasnya.
"Hei, kamu!" seru gadis itu mengangkat jarinya dan menunjuk ke arah Samuel. "Apa aku mengenalmu?"
Kali ini pria itu menoleh, menatapnya dengan pandangan heran. Di hadapannya berdiri seorang gadis cantik dengan kulitnya yang putih pucat dan rambut ikalnya panjang tergerai.
Gadis itu menatapnya dengan pandangan aneh dan ujung jari-jari tangannya mulai menyentuh kulit Samuel. Jari-jari kecil itu menyentuh hidung, mulut dan turun ke dada Samuel.
"Siapa kamu, apakah aku sedang bertemu seorang malaikat? Kenapa kau terlihat sangat tampan." Gadis itu meraih kedua pipinya lalu mendekatkan bibirnya untuk menciumnya.
"Pergilah, jangan ganggu aku," katanya. Samuel menepis kedua tangan yang memegang pipinya, "Atau kau akan menyesal."
Gadis itu merebut gelas winenya dan meneguk habis semua isinya sekaligus. "Hmm, ini benar-benar enak."
"Ah... kau benar-benar mulai menyebalkan." Samuel terpaksa memesan gelas lain untuk dirinya.
"Kau tahu, malaikatku. Aku sudah menyelesaikan sekolahku. Semua nilaiku bagus. Orangtuaku bangga padaku. Tapi sekarang aku sangat capek. Bisakah kau mengajakku ke surga, sekarang? Aku bahkan sudah tak ingin melihat sebuah buku pelajaran sekalipun." Gadis itu mulai meracau.
"Aku tak akan keberatan jika harus berangkat ke surga bergandengan tangan dengan malaikat tampan sepertimu."
Tiba-tiba gadis itu jatuh tak sadarkan diri. Sepertinya ia telah minum terlalu banyak. Samuel bergerak refleks menahan tubuhnya.
"Daamn!" serunya. "Baiklah. Karena kau yang terus meminta, aku akan menuruti permintaan untuk membawamu."
Cornelia Christa tak pernah menyangka dia akan kehilangan barang paling berharga miliknya malam itu. Bahkan ia memberikannya pada seseorang yang sama sekali tidak ia kenal!
Samuel dengan langkah terhuyung memanggul tubuh gadis itu di pundaknya. Gadis itu masih dalam keadaan tak sadar, rambut panjangnya seperti menari-nari setiap kali langkah sang pria berpindah. Langkahnya terhenti di sebuah pintu kamar dan pia itu segera memutar kenopnya setelah menempelkan kartu dan lampu hijau berkedip seakan mengizinkannya masuk.
Sebuah kamar dengan ranjang berukuran king size berada ditengah ruangan. Sebuah sofa, meja rias dan lemari set berada di sudut-sudut lain dalam ruangan yang terbilang cukup luas itu.
Diletakkannya tubuh sang gadis di atas ranjang. Dia masih dalam keadaan tak sadar. Sesekali bibirnya mencecap, seperti merasakan sesuatu di dalam rongga mulutnya.
Samuel menatap tubuh sang gadis. Kulit putihnya dengan pipi merona kemerahan. Wajahnya yang cantik dengan hidung runcingnya dan bibir yang tipis. Tanpa sadar tangan Samuel mulai menyentuh wajahnya.
Gaunnya yang tersingkap, menyodorkan sepasang paha yang putih menantang. Semuanya membuat Samuel lupa diri apalagi ia sedang dalam pengaruh alkohol. Ah ... menyentuh kulit putih nan halusnya saja dengan segera membangkitkan gairahnya.
Cornelia merasa ada seseorang yang merabanya, ia mulai membuka matanya. "Malaikatku. Kenapa kau begitu tampan. Jangan pernah tinggalkan aku," katanya tanpa sadar. Tangannya meraih leher pria yang berada di hadapannya dan menariknya.
Samuel terkejut dan kehilangan keseimbangan. Tubuhnya jatuh menimpa sang gadis yang kembali menggodanya dengan serangan ciumannya.
"Kau benar-benar gadis nakal dan merepotkan. Baiklah, aku akan memberikan keinginanmu, mengajakmu ke surga," katanya meracau sambil melucuti helai perhelai pakaiannya.
Samuel melihat sebuah tatto lebah di tengkuk gadis itu. "Lebah kecil, kau benar-benar menggangguku," katanya sambil mengecup tatto yang menghiasi tengkuknya.
🌹🌹🌹
Demikian malam berlalu begitu saja. Lia sangat terkejut ketika mendapati dirinya berbaring dengan seorang pria. Dan celakanya, mereka berdua dalam keadaan tak sehelai benang di tubuhnya.
Lia menutup mulutnya. Ia menatap wajah pria yang terbaring di sampingnya. Wajah yang sangat familier. Bahkan Lia melihatnya setiap minggu dalam sebuah acara di televisinya. Samuel Augusto!
Ia mulai menyusun keping-keping puzzle dalam ingatannya. Apa yang dilakukannya dengan pria ini?
Apa yang telah terjadi semalam? Bagaimana bisa dia ada di kamar itu? Kepalanya masih berdenyut. Seperti ada sebuah gendang yang ditabuh dengan kuat di dalamnya.
Dengan perlahan-lahan, Lia turun dari ranjang, mengambil gaunnya dan memakainya sebelum mengendap-endap keluar dari kamar itu.
Pria itu tertidur lelap. Dia hanya berpikir untuk menyelamatkan diri. Dia sendiri tidak mengerti kenapa dia ada di sana. Apakah pria ini menculiknya? Dimana teman-temannya yang lain?
Sebaliknya, saat Lia telah berada jauh. Samuel mulai terbangun. Kepalanya terasa sangat pening. Masih teringat samar-samar di kepalanya yang telah dilakukannya semalam. Gadis itu, siapa dia?
Wajahnya hanya diingatnya samar-samar. Yang masih melekat dalam memorinya hanyalah kehangatan dan wangi tubuhnya dan juga sebuah tatto lebah di tengkuknya.
🌹🌹🌹
Lia membanting tubuhnya ke atas ranjang kamarnya. Dengan pandangan kosong, ia menatap langit-langit kamarnya.
Di telinganya kembali terdengar kata-kata dokter wanita yang baru ditemuinya.
"Sebaiknya kau mulai menjaga kesehatan tubuhmu. Kau tidak boleh egois karena saat ini, kau tak hanya memelihara tubuhmu saja. Kau juga harus menjaga seseorang yang tumbuh dalam rahimmu."
"Walaupun kau tak ingin makan, tapi tubuhmu membutuhkan asupan gizi. Tetaplah berusaha untuk makan," kata dokter cantik itu.
"Tapi dok, bagaimana mungkin ada sesuatu." Mata Lia membulat karena terkejut.
"Kau belum bersuami? Aku harap kau segera menikah. Dan membesarkan bayi itu bersama suamimu."
^^^Menikah? Bagaimana mungkin. Bahkan dia tak mungkin meminta seorang Samuel Augusto untuk menikahinya secara tiba-tiba.^^^
Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari luar kamar, membuyarkan lamunan Lia. Suara pintu kamar yang terbuka dengan keras. Seorang pria setengah baya menghampiri dan menampar wajahnya. Suaranya yang keras, seakan menyatakan kemurkaannya.
"Anak tak tahu diuntung! Berani-beraninya kau mencemarkan nama keluarga!" bentak ayahnya, "Kemas barang-barangmu, ayah tidak mau semua kerabat dan relasi papa membicarakan keluarga kita gara-gara kelakuanmu."
"Tapi, Ayah, " kata Lia sambil terisak dengan tangan yang masih memegang pipinya. Bekas tamparan ayahnya terasa sangat panas di pipinya.
"Lia harus kemana jika harus keluar dari rumah ini?" Gadis itu menangis, ia semakin kebingungan. Kepalanya ditundukkan, tak mampu menatap wajah ayahnya yang telah dibuatnya kecewa.
"Keluar dari negara ini. Ayah tak ingin usaha yang dengan susah payah ayah bangun menjadi hancur karena ulahmu."
"Ayah, maafin Lia."
🌹🌹🌹🌹🌹
Hai semuanya--
Kali ini Chocoberry bikin karya baru dan karya ini aku ikutkan pada lomba anak geniusnya Noveltoon.
Khas tulisan Choco ya... uwu dan bikin baper, tapi ringan ga bikin masalah hidup yang udah berat semakin berat. Ehem...
Ikutin terus dan jangan lupa tap ❤ - klik 👍 and vote. Eh dan jangan lupa tinggalkan jejak komen kalian ya... Komentar kalian adalah motivasi untukku.
사랑 해요
salang haeyo 😘
Lia menyeret kopernya masuk ke dalam bandara keberangkatan internasional. Sesekali ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya dari orang-orang yang berlalu lalang.
Beberapa orang melihatnya dengan pandangan prihatin. Tentu saja mereka akan merasa kasihan melihat mata sembab Lia yang terkesan bengkak. Ia telah menangis semalaman.
Kesedihannya, di saat ia sedang terpuruk karena suatu masalah tapi ayahnya menolaknya dan menyingkirkannya hanya karena sebuah nama baik.
Ia sudah terbiasa hidup serba kecukupan, sebentar lagi dia harus berjuang sendiri di perantauan. Ditambah lagi dengan masa depannya. Bagaimana dia akan bisa mengurus kehamilan dan anaknya kelak.
Suara dari pengeras suara bandara menyadarkannya dari lamunannya. Ia bergegas berjalan menuju pramugari yang berdiri di depan pintu masuk pesawat. Pramugari itu memeriksa pasport dan ticketnya sebelum masuk ke dalam kabin pesawat.
Lia duduk di kursinya, tepat di sebelah jendela. Seorang wanita berusia setengah baya duduk di sebelahnya, menyapanya dengan ramah.
"Hai,"
Lia membalas senyumannya. "Hai mam."
"Apa kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja," jawabnya dengan nada getir.
"Sayang, setiap manusia mempunyai masalah. Semua tergantung pada cara menghadapinya," kata wanita itu, "busungkan dadamu, hadapi masalahmu. Dan kau akan menang."
Cairan bening kembali keluar dari matanya. Wanita setengah baya itu dengan sabar mengeringkannya dengan selembar tissu di tangannya.
"Tidak ada salahnya untuk menangis. Air mata dapat membasuh semua luka di hatimu," katanya, "asal kau tak terlalu lama menangis. Jika kau terus menangis, kau akan semakin terpuruk dan susah untuk bangkit."
Perjalanan udara itu terasa sangat cepat saat kedua wanita itu saling berbincang dan menceritakan kisahnya.
"Putriku yang malang, dia harus berjuang melalui beberapa kali kemoterapi. Namun tak ada yang dapat aku lakukan. Dia tetap harus pergi," katanya mengakhiri kisahnya.
"Aku turut berduka, mam."
"Aku baik-baik saja. Semua sudah aku lalui," kata wanita itu. Sebuah senyuman terukir di wajahnya.
"Lia, kau boleh tinggal bersamaku jika kau mau. Aku akan sangat senang sekali mendapatkan seorang putri sepertimu," kata wanita itu. "Kau bisa menempati kamar almarhum putriku."
"Baiklah mam. Pasti akan menyenangkan. Lagi pula aku belum memikirkan apa yang akan kulakukan nanti."
"Lia, jangan khawatir. Aku akan mendukungmu. Kau adalah putriku kini," sahutnya. "Putri keluarga Savero."
Tak terasa waktu cepat berlalu. Setelah kejadian yang membuatnya sangat terpuruk dalam lubang kegelapan, perlahan ia mulai merangkak bangkit.
Kini cahaya telah muncul dalam kehidupannya. Benih yang tertanam dalam rahimnya telah menjelma menjadi seorang anak yang sangat tampan lagi pintar.
"Mami, mami," bocah kecil itu melompat kegirangan saat aku menjemputnya di sekolah. Di lehernya tergantung sebuah medali. Entah kompetisi apa lagi yang diikutinya.
Lia menggiringnya masuk ke dalam mobil. "Leon, kali ini kompetisi apa lagi yang kau menangkan, sayang?"
"Mathematic, mami!" jawabnya. "Mami, ada surat untukmu dari ibu guru."
"Surat untuk mami? Apa kau melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, sayang?" Lia tertawa terkekeh sementara sang bocah cemberut mendengar canda ibunya.
Lia membuka lembaran surat itu. Sebuah surat tentang keinginan sekolah melakukan pertukaran pelajar. Dan sekolah menunjuk Leon sebagai salah satu pesertanya.
"Baiklah. Kita tidak akan berangkat," kata Lia sambil melipat kembali kertas itu.
"Tapi, mami. Leon ingin berangkat. Leon ingin tahu negara tempat mami lahir dan besar," kata Leon merengek.
"Mami said, no!"
Leon memasang muka cemberutnya. Demikian seharian ia hanya memasang muka masam hingga Grany Diane pun menegurnya.
"Leon, kemarilah," panggil Diane. "Kau cemberut seharian. Ada apa sebenarnya."
"Grany, Leon mendapat kesempatan mengikuti pertukaran pelajar, tapi mami tak mau Leon berangkat."
"Apa masalahnya, Lia. Berangkatlah. Temani anakmu mengikuti pertukaran pelajar."
"Mam, aku akan antar. Tapi tidak jika itu adalah Indonesia!"
"Apa kau lupa, Lia. Kau belum menang. Angkat kepalamu, busungkan dadamu dan takhlukkan masalahmu," kata Diane. "Aku yakin kau akan menang. Setelah semua kesedihan kau lalui, pasti kebahagiaan akan datang. Berangkatlah sayang."
🌹🌹🌹
Demikianlah, Lia kembali menyeret kopernya keluar dari bandara kedatangan internasional. Kali ini dia tidak sendiri. Seorang bocah kecil tampan mengiringi langkah kakinya. Tangan kanannya menarik sebuah tas koper dan di tangan kirinya sebuah hardcase.
Seorang pria muda menunggu di pintu keluar, dia membawa sebuah papan bertuliskan sebuah nama dengan huruf besar seluruhnya. LEONARD.
"Pak Toni?" tanyaku.
"Oh, hai Nona Cornelia," katanya dengan ramah. "Dan kau pasti Leonard."
"Senang bertemu dengan kalian. Nyonya Diane menyuruhku menjemput anda dan mengantar kalian ke rumah tinggalnya," katanya, sementara tangannya dengan cekatan mengambil alih koper kami.
Seorang pegawai yang cekatan. Dengan segera ia mengatur semua tas ke dalam mobilnya.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di kediaman Savero. Sebuah vila kecil di tengah kota.
"Mami, nanti sore bisa antar Leon?" Bocah kecil itu menganggetkan ibunya yang sedang asik menata pakaiannya ke dalam lemari.
"Kau mau kemana Leon?" tanya Lia kembali dengan kesibukannya setelah melirik sejenak kesibukan puteranya.
"Leon baru saja apply form kompetisi pencarian bakat, mam," kata bocah itu masih tetap asik dengan artikel di dalam laptopnya.
"Baiklah. Kau mandi dan bersiaplah dulu. Lalu ceritakan pada mami, jam dan tempat kompetisinya."
Dengan patuh, Leon segera mematikan laptopnya dan bergegas ke kamar mandi. Lia tersenyum, entah apa lagi yang akan membuatnya takjub.
Bocah tampannya selalu berhasil membuatnya terkagum-kagum. Entah apa yang tak bisa dilakukan oleh anak ajaibnya. Ia adalah anugerah terindah untuknya.
"Mami, Leon sudah mandi. Sudah siap. Ayo, jam 5 sore nih, mam."
"Iya. Mami antar. Ayo, mami udah siap kok. Sini alamatnya," kata Lia mencangklong tasnya dan menyambar kunci kontak yang tergantung di dinding.
"Memangnya mami tahu tempatnya?" tanya Leon.
"Mami kan dulu juga tinggal di sini. Mami rasa tak akan banyak perubahan berarti," kata Lia sambil mengendarai mobil city car-nya.
"Leon, sepertinya kita tersesat."
Bocah itu tertawa. "Mami, belok di bundaran depan dan kita ambil arah ke kiri."
"Kau yakin, Leon? Apa kau perlu GPS?" tanya Lia.
"Yakin mam. Leon sudah hafalkan peta kota ini. Kita tidak mungkin tersesat," jawabnya meyakinkan ibunya.
Tak lama kemudian, Lia sudah memarkirkan mobilnya di sebuah halaman sebuah gedung yang cukup besar. Tempat audisi kompetisi pencarian bakat.
Leon menjinjing hardcase di tangan kirinya, sementara tangan kanannya menggandeng tanganku.
Seorang pria menghampiri kami.
"Dimana tempat audisi pencarian bakat?" tanyaku.
"Apa kau sudah mengisi formulir?"
"Sudah secara online, sudah. Dan seharusnya sebentar lagi adalah giliranku."
"Online? Kami tidak membuka jalur online," kata pria itu. "bagaimana mungkin--"
"Kau boleh mengeceknya."
Sementara dari pengeras suara terdengar suara panggilan. "Leonard Savero, peserta dengan nomer 2035. Silahkan tampil."
"Maaf, itu nama saya," katanya sambil melewati petugas yang masih tercengang.
🌹🌹🌹🌹🌹
Hai semuanya--
Kali ini Chocoberry bikin karya baru dan karya ini aku ikutkan pada lomba anak geniusnya Noveltoon.
Khas tulisan Choco ya... uwu dan bikin baper, tapi ringan ga bikin masalah hidup yang udah berat semakin berat. Ehem...
Ikutin terus dan jangan lupa tap ❤ - klik 👍 and vote. Eh dan jangan lupa tinggalkan jejak komen kalian ya... Komentar kalian adalah motivasi untukku.
사랑 해요
salang haeyo 😘
Leonard membuka pintu ruang audisi. Sebuah ruangan yang cukup lebar dengan sebuah meja panjang dan 3 orang juri berada di baliknya.
Bocah itu menghela napas. Memang bukan sekali ini dia mengikuti sebuah kompetisi. Namun kompetisi yang diikutinya saat ini sangat berbeda dengan yang pernah diikutinya.
Leon melangkah menuju tengah pentas dengan penuh percaya diri. Dia melangkah sambil menggenggam hardcase di tangan kanannya.
"Selamat sore saya ucapkan pada semua juri," salamnya.
"Hai Leon. Leonard Savero, bukan? Usia 7 tahun," kata seorang juri wanita. "Ok, Leonard. Kau boleh menunjukkan bakatmu sekarang."
Leonard berjalan menuju pojok ruangan. Ia meletakkan hardcase-nya di lantai lalu membukanya dan mengeluarkan sebuah biola dan alat penggesek biola (bow).
Bocah kecil itu menarik napas panjang, meletakkan tangannya pada neck biola dan menyandarkan dagunya di bagian chinrest biola. Kemudian menggesekkan bow dengan lembut dan penuh perasaan.
Seorang juri menghentikan penampilannya. "Wow wow, tunggu. Apa judul lagu ini, Leon?"
"Bach Partita D Minor," jawabnya dengan lancar.
"Sebuah music classic. Baiklah. Apa kau punya sesuatu yang lebih menghibur secara umum?" kata juri itu tanpa basa basi
Leon tertawa. "Apakah maksud anda yang easy listening? Seperti lagu-lagu trend saat ini?"
"Ya, seperti itu maksudku. Tak semua orang mengerti alunan music classic," jawabnya.
"Baiklah. Lagu ini kupersembahkan untuk kalian para juri yang aku hormati," kata bocah itu sambil tersenyum. Ini bahkan akan lebih mudah baginya. Lagu-lagu biasa sangat mudah bagi bocah penggemar music classic itu.
Leon kembali memposisikan dagu dan tangannya seperti semula. Setelah memejamkan matanya sejenak, ia menarik napas dan mulai menggesekkan kembali bow-nya. Sebuah irama cepat yang benar-benar memukau. Bahkan Miss Erry ikut menggoyangkan badannya.
Leon dengan gerakan ekspresif menguasai panggung itu. Bergerak ke kiri dan ke kanan, mundur dan maju bahkan menghentakkan kakinya hingga lagu yang dibawakannya selesai.
Ketiga orang juri berdiri dan bertepuk tangan dengan keras.
"Wow. That's amazing, boy. Despasito by Leonard violin," Samuel berdiri sambil bertepuk tangan.
"Kau bisa mengulang lagu itu kembali? Aku masih ingin bergoyang," kata Miss Erry. "verry attractive. I really enjoy it."
"Thank you," kata Leonard. "aku bisa membawakan lagu apapun, Miss. With my pleassure."
"Anak baik dan sopan," kata Miss Erry. "Leonard, 7 tahun. Orang tuamu pasti sangat bangga padamu."
"Hmm... apa hanya aku yang merasakan ini," kata Joe. "Leonard, apakah kau mempunyai hubungan kerabat dengan Samuel?"
Leonard menatap wajah pria bernama Samuel secara bergantian dengan Joe sebelum menjawab.
"Saya baru kali ini bertemu dengan Mr. Samuel. Apakah saya ada hubungan kerabat dengannya, saya juga tidak tahu," jawabnya dengan jujur.
"Ya, aku merasa mereka cukup mirip. Joe, kau benar. Siapa nama orang tuamu, nak?" tanya Miss Erry.
"Lia, Cornelia Savero," jawab Leon. "itu nama ibuku."
"Lalu siapa ayahmu?" Joe menautkan jari jemari tangannya menjadi satu.
"Aku tidak tahu siapa ayahku. Ibuku tak pernah menceritakannya. Dan aku tidak mau menyakiti hatinya dengan sebuah pertanyaan seperti itu. Aku akan menemukan ayahku dengan caraku sendiri."
"Baiklah. Aku rasa kau harus memulainya dengan menyelidiki Samuel," kata Joe sambil tertawa menggoda rekan jurinya. Samuel menunjuk dirinya sendiri.
Leon tersenyum, "Aku akan senang sekali jika beliau ternyata adalah ayahku."
Samuel tertawa. "Baiklah. Ini tiketku untukmu, nak. Maju ke babak selanjutnya. Dan buatlah ayahmu ini bangga."
"Miss Erry juga akan menunggu penampilanmu berikutnya, Leon. Sudah pasti harus lebih attractive, ok."
Leon tertawa sambil melakukan hi five dengan juri wanita itu. Wanita yang sangat ramah.
"Ya, tentu saja aku ok, dengan peserta berbakat sepertimu. Tak mungkin aku say no," kata Joe.
"Terima kasih semua juri yang baik hati," kata Leon sambil membungkuk hormat.
"Jangan lupa kau harus menjalani karantina selama masa kompetisi. Tempat dimana kau akan terus digembleng dengan berbagai latihan," kata Joe.
"Jadi di antara kami bertiga, siapa yang akan kau pilih untuk menjadi pembimbingmu?" tanya Joe.
Miss Erry tersenyum dan menunjuk dirinya. Membujuk agar bocah itu memilih dirinya sebagai pembimbingnya.
Leon tersenyum, jari tangannya menunjuk pada pria di ujung meja. "Aku ingin pembimbingku, Mr. Samuel."
Miss Erry menjatuhkan dirinya di atas kursi. Ia memperlihatkan wajah kecewanya.
"Erry, biarlah ayah dan anak bersatu." Joe tertawa terkekeh melihat ekspresi rekan-rekannya. "jangan pisahkan mereka."
Ia tahu, Erry sangat menyukai Leon sejak awal pertunjukan, dia sangat menikmati penampilannya. Anak genius yang berbakat. Tak ada anak seumuran dia yang dengan lancar memainkan music classic dengan sebuah biola. Apalagi itu adalah music dari Bach Partita D Minor, yang bahkan orang dewasa pun masih susah untuk memainkannya.
Samuel segera memeluk Leon. Ia menepuk-nepuk punggung bocah kecil itu seakan bangga telah dipilih sebagai pembimbing bocah berbakat itu.
"Tentu saja, aku akan membimbingmu. Kau berhak memilih siapapun," katanya.
Joe tertawa melihat reaksi Samuel.
"Apa kau sudah puas, Joe." kata Samuel yang kembali duduk di kursinya. Ia menarik simpul dasinya sambil menghela napas.
"Ya... baiklah. Tunggu panggilan dari kami untuk awal masa karantinamu."
Leonard segera merapikan kembali biola beserta bow nya ke dalam hardcase yang disimpannya disudut ruangan.
Leonard keluar dari ruang audisi dengan senyum tipisnya. Ia mendatangi Lia yang dengan gelisah menunggunya di luar.
Tanpa sepatah kata, Lia hanya menatap wajah bocah kecil kesayangannya itu. Wajah yang selalu terlihat tersenyum bahagia. Wajah yang selalu membuat hari-harinya bahagia.
Bocah itu mendekat dan memeluk pinggang sang ibu dengan begitu emosional.
"Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Lia.
"Aku sangat baik-baik saja, mami. Bahkan aku di sambut baik untuk ke babak berikutnya," kata bocah kecil itu.
"Tentu saja, sayang. Mereka tak mungkin bisa menolakmu," kata Lia sambil membelai kepala putranya. "kau anak yang cerdas dan berbakat. Mami sangat bangga padamu, nak."
Samuel melintas di depannya. Sejenak sepasang mata mereka saling bertatapan. Ada getar halus di hati Lia melihat sosok pria yang pernah mengisi harinya, walau hanya semalam saja.
Ingatannya kembali pada malam itu. Malam pesta kelulusannya. Betapa kebodohan dia, telah membuatnya menyesal.
^^^Ah-- tidak. Leonard bukan hal untuk disesalkan. Putraku adalah hal yang sangat aku syukuri. Dia adalah anugerah untukku. Dia adalah keajaiban yang aku miliki. Aku sangat mencintai putraku lebih daripada diriku sendiri.^^^
Lia melangkahkan kakinya dengan riang, seriang wajah putranya yang selalu memberikan kejutan-kejutan manis baginya di sepanjang kehadirannya di dunia.
🌹🌹🌹🌹🌹
Hai semuanya--
Kali ini Chocoberry bikin karya baru dan karya ini aku ikutkan pada lomba anak geniusnya Noveltoon.
Khas tulisan Choco ya... uwu dan bikin baper, tapi ringan ga bikin masalah hidup yang udah berat semakin berat. Ehem...
Ikutin terus dan jangan lupa tap ❤ - klik 👍 and vote. Eh dan jangan lupa tinggalkan jejak komen kalian ya... Komentar kalian adalah motivasi untukku.
사랑 해요
salang haeyo 😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!