EPS 01 MEMBUKA TABIR MASA LALU
Siang berganti senja, menggulung hari menjadi malam. Kegelapan yang menyelimuti, memberi sunyi pada hati yang penuh dengan renungan. Tiada arti harapan yang tersembunyi, saat takdir berbicara sebaliknya. Namun yakinlah, semua takdir akan selalu memberikan kebaikan, meski terkadang menyakitkan.
“Aku sekarang lebih memiliki keyakinan kakang, kebahagiaan kita akan datang pada titik waktu yang tidak kita ketahui. Pasrahkan saja semuanya, terima apa adanya karena Tuhan akan selalu mendengarkan doa-doa kita,” ucap Miryam perlahan.
Suaranya begitu lirih, mirip sebuah jeritan yang tertahan. Memberi pilu pada setiap hati yang mendengarkan. Walau bibir Miryam sendiri dihiasi dengan senyuman. Dan air mata yang menetes tidak bermakna kemarahan, karena kepasrahan hatinya yang sudah mulai terbentuk. Dan kesadarannya mengatakan, kebahagiaanya bersama Santika akan tiba, walau dalam bentuk yang tak pernah diangankan.
Sementara tubuh Santika bersemayam dengan tenang di dalam peti kaca. Tubuhnya yang dibekukan dengan kekuatan Tirtanala yang menyejukkan dan menyembuhkan, membuat sel-sel tubuhnya terus berkonsolidasi. Memperbaiki sel-sel yang rusak dalam proses regenerasi yang konstan, walaupun tubuh itu terlihat sudah tidak bernyawa.
“Kakang Santika belum mati, jantungnya masih berdetak, dan bola matanya masih berputar di dalam tubuh Andika,” ujar Miryam.
Begitu alasan Miryam saat dibujuk Kyai Badrussalam agar mengikhlaskan jasad suaminya dikuburkan karena secara medis dinyatakan sudah meninggal. Dan Kyai yang lembut hati itu tidak mau memaksa hati yang tangguh tetapi rapuh itu. Dia yakin seiring meningkatnya kadar pemahaman Mryam akan arti kehidupan yang hakiki, serta kecintaannya pada Sang Maha Pencipta, suatu saat nanti dia pasti akan merelakan kepergian suaminya.
“Kau akan mendapatkan hidayahmu sendiri anakku. Sepertinya aku sudah mulai melihat tanda-tandanya,” batin sang Kyai sambil tersenyum.
Dibiarkannya perempuan jadul tapi mempesona itu larut dalam 'perbincangan' panjang dengan jasad suaminya.
“Lihatlah buah cinta yang sedang tumbuh berkembang di dalam rahimku, kakang. Nampaknya dia sudah tak sabar melihat wajah ayahnya,” ujar Miryam sambil membelai perutnya.
Saat ini kandungannya sudah berusia enam bulan. Berarti sekitar tiga bulan lagi, jabang bayi buah cintanya dengan Santika akan lahir ke dunia. Jabang bayi yang kehadirannya juga dinantikan banyak orang. Kyai Badrussalam, Andika dan santri-santri di pesantren yang cukup besar itu. Kebanyakan mereka penasaran, dengan bayi yang benihnya sudah ada di dalam rahim perempuan bidadari itu lebih dari limaratus tahun.
***
Sementara itu Andika masih disibukkan dengan kitab-kitab dan tulisan-tulisan di atas daun lontar yang berada di dalam peti mati dimana jasad Santika dan Miryam ditemukan. Andika sengaja membawa dokumen-dokumen jadul itu ke pesantren untuk di pelajari. Dia ingin membuka tabir kehidupan siapa Miryam sebenarnya.
“Aku memiliki semacam keyakinan kalau diantara tulisan-tulisan itu mengandung sejarah tentang siapa Miryam, dan apa hubungannya dengan musuh bebuyutannya yang wajahnya sangat mirip itu,” kata Andika di depan Kyai Badrussalam.
“Sejauh ini apa yang kau dapatkan Andika?”
“Belum banyak Abah. Karena kedua kitab ini menggunakan bahasa-bahasa Jawa Kuno yang sangat di sucikan. Bahasa pengantar pada kitab-kitab yang dikeramatkan, dan hanya dikuasai para pemimpin agama pada saat itu yang disebut Acarya.”
“Dan kau tidak menemukan referensinya pada kosa kata bahasa Jawa sekarang?”
Andika menggelengkan kepalanya.
“Belum Abah, aku sudah membongkar semua buku-buku sastra Jawa tapi belum menemukan padanannya. Itu adalah bahasa yang hanya digunakan dalam kitab suci, bukan bahasa yang biasa digunakan oleh para pujangga dan penulis kitab-kitab sastra.”
Kyai Badrussalam terdiam mendengar jawaban Andika. Sesaat kemudian dia berdiri, melangkah ke depan jendela, pandangannya menerawang jauh. Lalu kepalanya mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggot putihnya yang menjuntai ke bawah. Nampaknya dia tahu seseorang yang bisa membantu Andika.
“Mungkin aku tahu seseorang yang bisa menerjemahkannya,” desisnya.
Andika mengernyitkan dahinya.
“Siapa Abah?”
“Aku juga tidak begitu mengenalnya, karena baru bertemu satu kali, Namanya Panembahan Mbah Iro, dia adalah seorang pemimpin Trah Somawangi dari pedalaman pulau Jawa. Aku rasa tempat tinggalnya tidak jauh dari megaproyek milik ayahmu.”
Kali ini Andika terkesiap.
“Maksud Abah, Megapolitan?”
Kyai Badrussalam menganggukkan kepalanya.
“Iya. Dia mengatakan tempat tinggalnya tidak jauh dari lokasi proyek ayahmu itu.”
Andika diam termangu. Bukan tanpa alasan kalau Abahnya itu menunjuk seseorang berdasar kemampuannya, karena mata batinnya yang tajam bisa menilai kapasitas seseorang dengan baik. Masalahnya adalah dimana seseorang yang dimaksud Abahnya itu berada.
“Punten Abah. Namanya siapa tadi?”
“Panembahan Mbah Iro. Aku juga bertemu dengannya di Megapolitan bersama seorang cucunya yang bernama Pranaja.”
“Bertemu dengannya di Megapolitan? Abah pergi kesana kapan? Itu kan jauh sekali dari sini.”
Kyai Badrussalam tersenyum. Bahkan jarak dari ujung barat pulau Jawa sampai di pedalamannya hanya di tempuhnya dalam waktu tidak sampai lima menit.
“Itu cerita yang lain lagi Andika. Terlalu panjang untuk membahasnya. Fokus kita sekarang adalah mencari tahu dimana tempat tinggal Panembahan Mbah Iro.”
Andika mendongakkan kepalanya sedikit. Sekilas dia menatap wajah Kyai Badrussalam yang sangat di seganinya itu. Dalam hatinya dia heran, kenapa Abahnya menanyakan hal seperti itu? Apakah Panembahan Mbah Iro adalah sosok yang sangat kuat, sehingga seorang Kyai Badrussalam saja kesulitan mencari keberadaannya dengan ketajaman mata batinnya?
“Baik, Abah. Aku akan mencoba mencari lokasi keberadaan Somawangi lewat citra satelit milik ayahku,” ujarnya.
Lalu tangannya bergerak lincah di atas panel screenboardnya melacak keberadaan Trah Somawangi. Perangkat digital milik Andika adalah barang elektronik yang paling canggih di kelasnya dan terhubung langsung dengan satelit milik ayahnya sendiri. Sebagai taipan yang juga menguasai mayoritas saham beberapa media internasional yang terkemuka, Subrata memang berkepentingan meluncurkan satelit pribadinya ke luar angkasa.
Walaupun dia juga memiliki misi rahasia lainnya, karena satelit miliknya memiliki multi fungsi. Bisa digunakan untuk memata-matai negara lain khusunya negara dunia ketiga, yang sedang berkonflik. Karena rupanya dia juga diam-diam bergerak dalam bisnis penjualan senjata ilegal. Disamping itu mampu menampilkan citra satelit kekayaan alam di bawah lapisan kulit bumi yang terluar.
“Bagaimana Andika? Sudah kau temukan dimana lokasi Trah Somawangi?” Tanya Kyai Badrussalam.
Andika tidak langsung menjawab pertanyaan Abahnya. Terlihat wajahnya masih bingung menatap layar monitor di depannya. Terdapat keterangan keberadaan padukuhan Somawangi, namun satelitnya tak mampu menemukan dimana lokasi padukuhan itu. Dalam gambar nampak jelas ada satu titik dalam peta yang terselubung warna putih tipis seperti awan.
‘Apakah Padukuhan Somawangi terletak di balik gumpalan putih ini? Lalu apa yang menutupi keberadaannya? Mungkinkah selalu ada mendung di atas tempat itu?’ batinnya.
“Kenapa kau terdiam dan tidak menjawab pertanyaanku Andika? Apa kau menemukan sesuatu yang aneh?” tanya kyai Badrussalam lagi.
Andika seperti tergagap mendengar ‘teguran’ dari Abahnya. Kali ini dia menatap wajah Kyai Badrussalam dalam-dalam. Rasanya ingin mengungkapkan apa yang dia lihat, tapi lehernya seperti tercekat
EPS 02 TIKUS GOT
AKP Dandung bergegas masuk ke dalam ruangannya. Kapten muda parlente itu mengganti pakaian dinasnya. Dipandanginya pin penghargaan yang baru saja disematkan bapak Kapolda di seragam kebesarannya. Setelah berhasil membongkar jaringan kartel narkoba Club Dark-O pimpinan Ivan Draco, dia dan tim khusus lainnya mendapatkan penghargaan. Ivan Draco tewas sedangkan pentolan lainnya Blade Muller berhasil ditangkap.
Dia memakai pakaian santainya kembali. Kemeja polos lengan panjang dengan model slim fit bermerek eksklusif berwarna hitam dipadukan dengan celana panjang Levis biru tua. Sebuah revolver berwarna silver di diselipkan di belakang bajunya, kemudian ditutupi dengan jaket kulit warna hitam. Tidak lupa kacamata hitam menghiasi wajahnya yang tampan.
Hm, jam delapan malam. Setengah berlari dia menuruni tangga. Tubuhnya yang tinggi kekar nampak ringan menyusuri tangga kantornya yang berada di lantai dua. Sampai di tempat parkir, dia memilih mobil Ferrari F430 berwarna merah menyala. Mobil mewah keluaran pabrikan dari Italia itu, langsung melaju kencang begitu keluar dari halaman Polda.
Namun, baru saja dia membelokkan mobilnya memasuki jalan tol kota, instingnya berkata lain. Ujung matanya segera melirik kaca spion di atas kepalanya. Sebuah Aston Martin DBS V12 seri terbaru berwarna merah hati terlihat ikut berbelok, mengikutinya. Dandung tersenyum tipis. Rupanya dia tahu siapa pemilik mobil Limited Edition itu. Dan dia segera memacu kendaraannya.
“Ruuungngng!....Wush!”
Dengan kecepatan tinggi, mobilnya berkelok-kelok menembus kerapatan jalan tol kota di jam sibuk itu. Penguntitnya tidak mau kalah, mobilnya juga dipacu dengan kecepatan tinggi. Tangan dan kakinya begitu lincah mengendalikan kendaraannya mengejar Ferrari-nya Dandung yang terus melesat dengan kecepatan tinggi. Ulah mereka tak urung menciptakan kegaduhan dan sumpah serapah, walau tak sempat terjadi insiden apapun.
“Cuiiiiitt!”
“Woi! Guoblok! Lo punya nyawa dobel?” teriak supir Bus Antar Kota, saat mobil Dandung memotong kendaraannya.
“Hati-hati bedebah! Kamu kira ini jalan milik nenekmu!” teriak pengendara lainnya.
Dandung memutar kemudinya menuju arah keluar jalan tol. Lalu di sebuah jalan tak beraspal mobilnya berbelok lagi dan ke sebuah tanah kosong yang sepi. Puluhan hektar tanah terbengkalai dari proyek pemerintah yang mangkrak itu dibiarkan tak terawat. Tanaman perdu dan semak belukar tumbuh dengan suburnya diantara reruntuhan gedung yang tak selesai pembangunannya. Debu dan asap mengepul tinggi, menghalangi pandangan.
“Ruungg! Ruuungng!”
Di sebuah jalan berputar. Aston Martin itu berhasil mengejar Ferrari milik Dandung. Kedua mobil mewah itu berjalan berhimpitan dengan kecepatan yang tinggi. Pengemudi Aston Martin terlihat begitu tenang. Dia menggoyangkan mobilnya ke kanan lalu membantingnya lagi ke kiri dengan cepat, membentur mobil Dandung dengan keras.
“Brakk!”
“Rung!..Rung!”
Sesaat mobil Dandung berputa-putar seperti kehilangan kendali. Sementara si Aston Martin langsung gas pol meninggalkannya. Dengan sigap Dandung mengendalikan kendaraannya. Saat mobilnya masih berputar dia segera menginjak rem dan memindahkan giginya. Setelah itu polisi tampan itu menginjak pedal gas sekuatnya mengejar penguntitnya, Uniknya, mobil Dandung melaju cepat dengan posisi mundur.
“Ruuung! Ruung!”
Akhirnya mobil Dandung bias mengejar balik penguntitnya. Lalu dengan ketrampilan tinggi mobilnya berbalik lagi ke arah depan Sekarang kedua mobil itu berjalan sejajar lagi. Dandung terus memepet mobil itu hingga mereka berhenti di depan sebuah tembok gedung yang baru separuh jadi. Terlambat sedikit saja pasti mereka menabrak dinding tebal gedung mangkrak itu dan mobil mereka akan hancur berantakan.
Dandung segera meloncat keluar dan berdiri tegak di atas mobilnya. Hal yang sama juga dlakukan pengemudi Aston Martin itu. Tubuhnya yang ramping melayang ringan dan mendarat dengan mulus diatas kap mobilnya. Mata Dandung langsung menatap liar tubuh penguntitnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hm, nampaknya lajang berpengalaman ini mengenal siapa ‘musuh. Di depannya sosok yang sama yang menyerangya di pantai dulu.
“Hm, rupanya ada yang ingin di hajar untuk kedua kalinya,” gumamnya sinis.
Anehnya, tidak ada kemarahan yang tersirat di wajah tampannya. Bahkan sesekali buah jakunnya turun naik sambil meneguk air liurnya sendiri. Sementara tatap matanya begitu tajam seolah seekor harimau yang ingin segera menelan mangsanya bulat-bulat. Tergambar jelas di manik matanya ‘musuh’ yang paling diinginkannya itu.
Berambut blonde, wajahnya tertutup topeng, Bajunya yang terbuat dari kulit sintetis berwarna hitam. membungkus tubuh sintalnya dengan ketat. Dua buah papaya gantung yang begitu keras menonjol seperti mau dimuntahkan dari balik belahan dadanya yang setengah terbuka. Dengan cemeti di tangannya, nampaknya perempuan ala Cat Woman itu siap bertempur dengan Dandung dalam sebuah pertarungan yang bisa bikin sesak nafas.
“Dasar pecundang, selalu saja mencari keuntungan dari keberhasilan orang lain,” ujarnya tak kalah sinis.
“Hm, apa maksudmu?”
Gadis Cat Woman tertawa.
“Pura-pura bego. Yang membongkar Club Dark-O timku, yang menangkap Blade Muller, anak buahku. Eh, malah ada yang klaim dan dapat penghargaan. Gak malu?”
Dandung gantian tertawa.
“Ow, ada yang gak terima, aku dapat penghargaan dari negaraku sendiri? Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Heran aja ada pecundang tapi nasibnya selalu beruntung sepertimu.”
Dandung tersenyum tipis.
“Oke. Kalau begitu apa kau akan memberi selamat kepadaku? Atau kita mulai saja pestanya. Apa kau setuju, Lucra Venzi?”
Tanpa basa-basi Lucra langsung mengayunkan cemetinya ke arah Dandung. Ujungnya yang lancip seperti ujung sebuah tombak, melesat cepat mengarah tepat ke ulu hati pemuda tampan itu. Untunglah Dandung sudah waspada. Dia langsung melompat tinggi ke depan. Tubuhnya berputar di udara sebelum mendarat di belakang tubuh Lucra.
Tar! Tar! Tar!
Ujung cemeti itu terus bergerak liar mencari mangsanya. Berputar melingkari tubuh Lucra, lalu menyerang musuh di belakangnya. Reflek Dandung menghindar ke belakang. Ujung cemeti itu hanya beberapa senti lewat didepan matanya. Huft! Hampir saja. Serangan itu disusul serangan-serangan berikutnya. Dandung terus bergerak menghindar. Tubuhnya meloncat dan berlari cepat ke masuk ke dalam gedung yang gelap.
“Jangan lari pecundang!”
Tar! Tar! Tar!
Lucra meloncat dengan sigap ke dalam gedung. Begitu mendarat matanya langsung menatap tajam ke setiap sudut. Tapi dia tidak menemukan siapapun. Hm, kemana pecundang itu menghilang? Batinnya. Suasana begitu gelap, hanya diterangi lampu sorot dari kedua mobil mereka. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di belakangnya.
Krosak! Cit! Cit! Cit!
Seekor tikus jatuh dari atap lalu berlari cepat. Sesaat gadis itu kehilangan fokusnya. Namun waktu yang sesaat itu berakibat fatal. Tiba-tiba sebuah lengan yang kuat menelikungnya dari belakang. Bahkan cemetinya berhasil di rebut dan dibuang jauh-jauh. Lucra tidak kehilangan akal. Kedua kakinya menjejak dengan kuat ke dinding di depannya. Tubuhnya terdorong ke belakang bersama tubuh musuhnya.
“Heyaa!!”
Sikunya bergerak cepat menyerang tubuh musuhnya. Tapi Dandung langsung melompat ke belakang satu langkah. Lucra langsung berbalik. Dan bola matanya langsung melotot seperti mau keluar. Pandangan matanya fokus pada satu titik di tubuh Dandung. Terlihat pemuda itu berdiri tegak tanpa sehelai benangpun, tepat di lingkaran sinar lampu mobilnya. Tikus gotnya begitu seksi menggantung manja di tempatnya. Dan Lucra langsung larut dalam pesonanya.
“WHAT!"
EPS 03 HATI YANG TERSESAT
Mendadak lampu padam. Lucra Venzi, Agen 004 Dinas Rahasia Inggris, yang masih belum sadar sepenuhnya harus menerima serangan yang tak di perhitungkan. Dandung menangkap dan menghempaskan tubuh indahnya ke dinding dengan keras. Lalu kedua tangan pemuda tampan dan kekar itu mengunci leher dan kepalanya hingga tidak bisa bergerak. Dan Akhirnya mulut Dandung mengunci ranum merah itu dalam penguasaannya.
“Ugh! Mmmpfft!” Lucra merasakan nafasnya begitu sesak dan panas.
Damn!
Lucra hanya bisa mengumpat dalam hati saat lidah pemuda itu begitu liat menggelitik setiap sudut di dalam mulutnya. Mau tak mau, Lucra pun memberikan perlawanan. Kedua lidah itu berperang bagai dua mata pedang yang saling beradu dalam pertempuran sengit. Terlihat Dandung sudah berada di atas angin. Lucra semakin larut dan semakin kehilangan kesadarannya. Gairah dan emosinya langsung membumbung menguasai setiap pembuluh kapiler dan urat-urat di sekujur tubuhnya.
“Ah!” Lucra menjerit kecil ketika merasa ada yang tergigit.
“Kenapa? Inilah hukuman bagi siapapun yang berani menguntitku,” sahut Dandung.
Tubuhnya dibalik dan dihempaskan kembali ke dinding. Lalu ditusuk dari belakang.
“Auh!” lagi Lucra menjerit sambil menutup mulutnya.
Rasanya begitu ngilu dan membakar. Apalagi kemudian Dandung terus meningkatkan intensitas serangannya. Berkali-kali tubuh indah itu dihempas, dihimpit dan ditusuk-tusuk dari depan dan belakang. Auh, rasanya jiwanya sudah melayang terlalu tinggi di angkasa. Bagimana ini kalau samai terjatuh. Pasti rasanya sakit sekali. Sakitnya minta ampun!"
“Kenapa kau gunakan lenganmu Dandung, augh! Huft!” teriaknya diantara desah nafasnya yang memburu. “Rasanya kegedean, argh!”
“Itu bukan lengan sayang. Tapi knalpot motorku, huh!” sahut Dandung asal bicara.
Puncak pertempuran yang kasar, brutal tanpa aturan pun terjadi. Di dahului dengan tusukan tongkat mustika Dandung yang dahsyat dengan kecepatan super, serta perlawanan Lucra yang menghimpit tongkat itu dengan perisai super, menghancurkan tongkat itu hingga gepeng tak bersisa. Dan mulut mereka mengeluarkan jeritan omong kosong, kata-kata yang tak bermakna. Kebimbangan rasa antara ya dan tidak.
“Oh, yes!”
“Oh, no!”
Dan pertarungan sengit antara perwira muda dan agen tangguh itu akhirnya berakhir juga. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua tubuh itu menggelosoh lemas, bagaikan boneka balon yang sudah tidak ada anginnya. Keringat membanjiri tubuh mereka. Dan bau anyir yang mereka tinggalkan di gedung mangkrak itu hanyalah sebagai penanda kenikmatan jiwa dan raga yang tak pernah terpuaskan hanya dalam satu kali pertempuran.
Lalu mata mereka saling menatap ganas lagi. Bibir mereka tersenyum sinis kembali. Dan mereka siap untuk melakukan pertempuran yang kedua kalinya.
***
Di saat yang sama, tiba-tiba permukaan Sendang Kumitir di puncak bukit Kethileng bergejolak. Getarannya yang ritmik membangunkan Ken Darsih dari pertapaannya yang baru berjalan separuh waktu. Awalnya dia terkesiap dan terlihat kesal. Namun kemudian wajahnya berubah saat melihat sebuah kereta kencana yang di tarik enam belas kuda putih, tiba-tiba muncul di dasar sendang dan berhenti tepat di depannya.
Ken Darsih langsung mengetahui kalau kereta itu berasal dari alam kegelapan, bukan dari alam nyata. Artinya kereta, kuda-kuda dan penumpangnya adalah siluman. Kalaupun kereta itu datang dari sebuah kerajaan dapat dipastikan kerajaannya juga kerajaan siluman. Ken Darsih memejamkan matanya kembali namun tetap waspada.
Kriyet!
Pintu kereta terbuka. Seorang perempuan cantik berpakaian seperti puteri keratin turun dari kereta. Memakai kebaya merah bersulam mutiara dan batu-batu mulia yang di jahit dengan benang emas pilihan, dipadu dengan kain jarit berwarna kuning gading berukiran emas, perempuan itu terlihat begitu cantik dan anggun. Tubuhnya melayang pelan mendekati Ken Darsih yang seperti tidak mempedulikan kehadirannya.
“Bangunlah. Kau tidak perlu pura-pura tidak perduli dengan kehadiranku,” ujarnya.
Ken Darsih bangun dari pertapaannya. Matanya yang semerah darah terlihat begitu tajam menatap tamu yang tak pernah ada dalam pikirannya.
“Memangnya aku harus perduli denganmu?”
Perempuan berpakaian puteri raja itu tersenyum.
“Kau akan segera mengetahui jawabannya.”
Ken Darsih mendengus kesal.
“Mengapa kau suka berbelit-belit? Katakan saja apa maumu?”
“Hm, kau cukup pemarah rupanya. Apa kau tidak ingin mengenalku?”
Ken Darsih menganggukkan kepalanya.
“Tentu saja aku ingin mengenalmu perempuan berpakaian aneh.”
“Namaku Dewi Suryakanti. Aku pemilik istana Karang Bolong di Pantai Laut Selatan. Aku salah satu panglima perang Ratu Pantai Selatan. Tapi sekarang aku mengabdi kepada puterinya, Nyai Blorong. Apa kau mengenalnya?”
Ken Darsih menggelengkan kepalanya. Dewi Suryakanti menatap heran.
“Bagaimana mungkin manusia setengah siluman ular sepertimu tidak mengenal Nyai Blorong. Bahkan Rajanaga saja memujanya?”
“Kenapa aku harus mengenal mereka. Mereka bukan orang-orang yang penting dalam hidupku.”
“Lalu siapa yang penting dalam hidupmu?”
Ken Darsih terdiam sejenak. Menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Ingatannya kembali ke masa lalu, masa kecilnya bersama ibu dan kakeknya.
“Hanya ada dua orang yang penting dalam hidupku, ibu dan kakekku,” ucapnya.
Dewi Suryakanti tersenyum. Seperti bisa membaca kegalauan dalam hati gadis siluman naga itu. Lalu dia memukulkan tongkat yang ada di tangannya ke arah batu lempeng yang tadi di duduki Ken Darsih. Tiba-tiba permukaan batu itu seperti menjadi cair dan berputar cepat. Saat putaran berhenti, di atas batu itu terlihat seperti sebuah layar televisi yang menggambarkan seorang perempuan di dalam sebuah istana.
“Apa kau mengenal perempuan ini?” tanya Dewi Suryakanti.
Ken Darsih terkesiap kaget melihat perempuan yang tergambar di batu. Walau samar tapi dia jelas mengenal wajahnya. Karena perempuan itu adalah Daningrum, perempuan yang telah melahirkannya
“Ibu!” teriaknya tanpa sadar.
Wajahnya langsung menegang. Dia sama sekali tidak mengira akan melihat kembali wajah ibunya setelah ratusan tahun terpisah. Beberapa saat dia diam terpaku, terus mengamati gambar bergerak di depannya. Lalu pandangannya beralih ke Dewi Suryakanti. Tatapan matanya tajam seakan hendak menelan tubuh sang Dewi.
***
FLASHBACK ON…
Limaratus Tahun Yang Lalu…
Tepat empat puluh hari Tusin dan istrinya, Daningrum, melakukan pertapaan. Memusatkan pikirannya pada tingkatan paling tinggi, agar jeritan hati mereka di dengar oleh sang pemilik gua Karang Bolong, Dewi Suryakanti.
“Bangunlah Tusin dan Daningrum. Hentikan pertapaan kalian,” ujar seseorang, suaranya menggema di gua yang licin dan gelap.
Pasangan suami isteri itu membuka kedua matanya. Mereka melihat seorang perempuan secantik bidadari memakai pakaian seperti bangsawan istana. Dari ujung kepala sampai ujung kaki dipenuhi berbagai macam perhiasan dari mutiara dan berlian yang dibungkus emas murni.
“Aku Dewi Suryakanthi, pemilik gua ini. Sekarang sampaikanlah maksud kedatangan kalian kepadaku,” katanya.
“Daulat paduka, hamba mendapatkan petunjuk dari eyang guru Sapujagad untuk bertapa disini agar mendapatkan Bunga Karang milik paduka Dewi,” ujar Tusin.
Dewi Suryakanthi tertawa. Suaranya membuat telinga Tusin dan Daningrum merasa bergidik.
“Ya, aku bisa membaca pikiran kalian, bahkan sejak kalian baru datang kemari.”
Tusin dan Daningrum saling berpandangan.
“Kalau begitu, pakah paduka Dewi akan mengabulkan permintaan kami?”
Dewi Suryakanti tersenyum, menatap dua wajah manusia yang juga sedang menatapnya penuh harap. Ah, entah yang ke berapa kalinya dia harus berhadapan dengan manusia-manusia yang kehilangan akal pikirannya. Terbawa dendam yang tak berkesudahan, terjebak kemarahan karena hati yang terluka, akhirnya mereka meminta bantuannya. Karena merasa tak sabar bersimpuh di jalan cahaya, mereka nekad menggadaikan hidupnya di jalan kegelapan, asalkan dendam dan kemarahan mereka tertuntaskan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!