Leo, panggil saja begitu.
Terlahir menjadi seorang anak dari isteri kedua konglomerat bukanlah satu kebanggaan baginya.
Sebaliknya, kadang ia begitu benci dengan garis takdirnya sendiri.
Jika banyak orang merasa bahwa menjadi tampan dan kaya adalah sesuatu yang membahagiakan bagi seorang laki-laki, tapi bagi Leo tidak begitu.
Hmm... Bahagia, apa itu? Bahkan rasanya tersenyum saja ia sulit.
Ayahnya seorang pemilik perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang dari ekspor impor, properti, hingga produk makanan instan itu memiliki dua isteri.
Isteri pertama yang melahirkan empat orang anak perempuan, membuat Ayah Leo menikahi salah satu simpanannya karena berhasil mengandung anak laki-laki.
Yah, dialah Karlita, Ibu dari Leo.
Karlita sebetulnya dulu adalah asisten sekaligus sahabat isteri pertama Ayah Leo, tapi kemudian ia terlibat skandal dengan suami dari sahabat sekaligus majikannya sendiri.
Kisah awal mula hubungan itu membuat isteri pertama Ayah Leo sangat membenci Karlita dan Leo.
Itu sebabnya pula, meski Leo adalah satu-satunya anak laki-laki Ayahnya, namun keberadaannya cenderung disembunyikan.
Leo sejak kecil hanya bisa bertemu sang Ayah satu bulan sekali. Ia tak bisa memanggil Ayahnya dengan sebutan Ayah di depan orang lain.
Sungguh untuk Leo, hal itu sangat menyedihkan. Dan semakin besar, Leo merasa apa yang terjadi pada dirinya sangat memuakkan.
Maka, untuk melampiaskan kemuakkannya pada hidup, Leo hidup cukup semrawut. Di sekolah ia gemar membuat masalah.
Ia juga mendirikan satu kelompok LABA-LABA HITAM yang terdiri dari para badboy yang berasal dari banyak sekolah. Hobi mereka apalagi jika bukan tawuran dan membully.
Leo menumpahkan emosinya akan garis hidupnya di jalanan.
Memukul anak lain hingga sekarat membuat semua kemuakkannya akan hidup bisa sedikit menguap.
Bertahun-tahun sejak SMP hingga menjelang lulus SMA, entah sudah berapa puluh kali ia masuk kantor polisi dan memaksa Ibunya mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk membiayai anak-anak yang dipukuli Leo.
Bahkan polisi saja rasanya sudah mulai enek lihat muka Leo yang lagi-lagi setiap ada keributan selalu ada.
Merasa semakin kewalahan, Ibu Leo akhirnya meminta tolong pada suaminya agar mengirim Leo ke luar negeri agar bisa melepaskan diri dari kelompok para badboy yang ia dirikan dan sudah cukup besar karena jumlah anggotanya yang semakin hari semakin banyak.
Yah, Leo...
Anak berandal itu, nyatanya memang sangat disegani para pengikutnya. Bahkan para pengikut itu, bisa sangat mencintai Leo sebagai pemimpin mereka.
Bagaimana tidak, Leo sangat loyal pada mereka, siapapun yang butuh bantuan di jalanan, Leo tak akan pernah berkata tidak untuk membantu.
Ayah Leo yang mendengar keluhan dari Ibu Leo akhirnya menuruti kemauannya mengirim Leo ke Jerman.
Leo tinggal di sana seorang diri dengan satu orang pengawas bernama Edi, pria campuran Indo-Jerman.
Leo diharuskan belajar banyak hal di sana. Ayahnya berharap suatu hari Leo akan pulang dan dia bisa mengandalkannya di perusahaan, meskipun mungkin akan ada banyak halangan dari kakak-kakak perempuannya.
Leo menjalani masa pembuangannya dengan semakin memendam kebencian pada orangtuanya, hingga kemudian ia bertemu gadis cantik bernama Aleena yang membantu Edi merawat rumah.
Aleena seroang gadis yatim piatu, yang kemudian membuat Leo untuk pertama kalinya merasa jatuh hati.
Bersama Aleena, akhirnya Leo baru bisa mengenal arti bahagia. Ia baru tahu bagaimana cinta itu memang ada di dunia.
Yah, hadirnya Aleena akhirnya mengikis pelahan kebencian Leo akan garis takdir hidupnya dan kedua orangtuanya.
Leo pulih dari luka sejak masa kecilnya. Leo mulai merasakan hidup yang sesungguhnya.
Sayangnya, semua itu tak berangsur lama, Aleena meninggal karena sakit kanker yang dideritanya.
Aleena membuat langit kehidupan Leo kembali tertutup awan mendung yang tebal.
Leo terpuruk lagi, jatuh ke dasar lubang yang sangat dalam dan gelap.
**---------**
Leo meletakkan buket bunga mawar di atas pusara Aleena.
Mata elang Leo tampak basah, sorotnya menyimpan rindu yang seolah tak pernah surut.
Ini adalah musim panas ke tiga setelah Aleena tiada, namun nyatanya cintanya pada gadis itu tak jua berubah.
Leo terpaku menatap rumah baru Aleena di mana gadis itu kini tinggal tanpa pernah ingin kembali ke pelukannya.
"Kau harus meninggalkan Hamburg, pergilah ke Prancis, atau pindah saja ke Rusia."
Seorang kawan di Hamburg mengatakannya beberapa waktu lalu.
Kata yang kemudian mengusik Leo untuk akhirnya mengirimkan surel kepada sang Ayah untuk diijinkan kembali ke Indonesia.
Yah, ini sudah sepuluh tahun sejak ia seperti dibuang begitu saja di tanah asing.
Meski semua fasilitas tetap ia dapatkan dengan baik, tapi nyatanya ia tak bisa menjadi Leo yang sama lagi.
Leo menatap langit kota Hamburg yang cerah.
Ia kemudian melangkahkan kakinya dengan gontai menjauhi pusara sang kekasih yang nyaris membuat gila karena terlalu merindu.
Leo tak tahan lagi, ia sudah tak tahan lagi berada di kota yang pernah mendapat gelar European Green Capital City di tahun 2011 itu.
Kota pelabuhan terbesar nomor dua di Eropa setelah Rotterdam itu nyatanya setiap sudutnya kini telah menyimpan seluruh memori kebersamaan Leo dan Aleena.
Leo menaiki sepedanya, menyusuri jalanan kota Hamburg yang nyaman.
Tujuannya adalah sebuah cafe langganannya, ia ingin minum kopi di sana sekalian memandangi danau Alster.
Leo mengayuh sepedanya hingga depan cafe dan langsung disambut pelayan yang sudah hafal dengannya.
Si tampan itu memesan kopi seperti biasa, lalu duduk di kursi yang menghadap langsung ke danau Alster.
Danau seluas 160 HA yang merupakan terusan sungai Elbe itu juga menyimpan banyak kenangan.
Entah berapa puluh kali ia menjelajahinya bersama Aleena dengan naik perahu. Berpelukan, berciuman atau sekedar membiarkan Aleena menyandarkan kepalanya di lengannya hingga ia bisa dengan jelas menghirup wangi rambutnya yang coklat.
Ah sungguh ini jauh lebih menyiksanya. Kehilangan seseorang yang mengenalkannya satu kebahagiaan ternyata jauh lebih berat dan menyedihkan daripada belum pernah bahagia sama sekali.
Seorang pelayan meletakkan secangkir kopi khas di atas meja.
Leo tersenyum pada si pelayan yang kemudian meninggalkannya dalam kesepiannya lagi.
Musim panas ini mungkin musim panasnya yang terakhir di Hamburg.
Tentu, jika Ayahnya mengijinkan Leo pulang ke Indonesia.
Meskipun kepulangannya pasti akan menjadi berita buruk untuk isteri pertama Ayah dan kakak-kakak perempuan tirinya, tapi siapa yang peduli.
Persetan dengan semua kekayaan Ayah yang mereka takut bagi dengan Leo.
Toh Leo memang tak bernafsu menguasai apapun.
Andai ia bisa memilih sejak lahir, ia lebih rela jadi anak orang miskin tapi dari pasangan yang tak seperti Ayah dan Ibunya.
Leo lahir menjadi laki-laki, tentu saja pantang untuknya hanya menanti kesuksesan dengan menunggu warisan saja.
Ia bisa usaha, ia bisa sukses dengan caranya sendiri.
Jadi, jika alasan Ayah nanti tak mengijinkannya pulang karena isteri pertama Ayah dan anak-anaknya, Leo akan pulang sendiri meski tanpa ijin lagi.
**-------**
Setelah menghabiskan secangkir kopi dan menikmati angin musim panas di dekat danau Alster sambil mengenang kebersamaannya dengan Aleena, Leo akhirnya pulang ke rumahnya.
Edi, Paman tua yang selalu setia menemaninya dan merawatnya seperti orangtuanya sendiri menyambut kedatangan Leo.
Laki-laki itu tampak baru selesai merawat kebun Berry yang ada di rumah Leo.
"Anda butuh makan siang sekarang Tuan?"
Tanya Edi.
Leo menggeleng.
"Aku ingin berendam sebentar lalu tidur."
Kata Leo malas.
Edi mengangguk mengerti.
Leo meletakkan sepedanya di depan tangga depan rumahnya, ia lalu masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya.
Ia membuka bajunya, membiarkan tubuhnya yang atletis terpantul di cermin yang terpajang di sepanjang pintu lemari yang ada di kamar.
Leo masuk ke dalam kamar mandi di kamarnya, memenuhi bathub dengan air hangat, setelah itu ia masuk ke dalam.
Hidup yang membosankan ini, entah kapan akan berlalu. Batin Leo.
Dibenamkannya seluruh bagian tubuhnya ke dalam air, bayangan Aleena muncul lagi dalam ingatan.
Aleena yang biasanya akan menemaninya berendam, yang akan menggosok tubuh Leo dengan kelembutan tangannya.
Aleena yang akan terus tersenyum saat Leo menatap wajahnya yang memerah.
Leo memejamkan matanya.
Hingga kemudian, ia mendengar dering telfon di kamarnya.
Leo muncul dari air.
Dering telfon itu terus memanggil meminta diangkat.
Leo akhirnya keluar dari bathub. Dengan handuk yang dibalut di pinggang, ia berjalan menuju ruang kamar dan mengangkat telfon.
"Ini Ayah Leo."
Leo tercekat.
Tak biasanya Ayah menelfonnya, bukan membalas surel yang ia kirimkan.
"Ayah ada di Belanda, kau bisa datang sekarang jika mau."
Kata Ayah di seberang sana.
Leo mengerutkan kening.
Hal yang tak biasa ke dua yang dilakukan Ayahnya.
"Ayah sendirian?"
Tanya Leo akhirnya.
Terdengar sang Ayah terkekeh.
"Yah."
Jawabnya singkat.
"Aku bukan ingin ke Belanda, aku ingin pulang ke Indonesia."
Kata Leo akhirnya.
Ayah menghela nafas.
"Kau sudah diskusikan dengan Ibu mu?"
Tanya Ayah.
"Dia tak akan mengijinkan, dia membuangku."
Kesal Leo.
Ia tahu Ibunya yang memiliki ide untuk Ayah mengirimnya ke tanah asing ini.
Ayah terkekeh.
"Itu karena kau berulah terus, ia takut kau bisa membunuh seseorang nantinya."
Kata Ayah.
Ah yang benar saja, andai aku ingin membunuh, yang paling ingin kubunuh adalah diriku sendiri. Batin Leo.
"Apapun yang terjadi aku akan pulang ke Indonesia secepatnya."
Ujar Leo.
"Apa yang akan kau lakukan di Indonesia."
"Aku bisa melakukan apapun."
"Bisnis."
Kata Ayah.
"Laki-laki harus bisa menghasilkan uang yang banyak jika ingin dikatakan seorang laki-laki."
"Tentu saja, aku bukan anak manja yang hanya tau menghabiskan uang dan menunggu warisan."
Ujar Leo sinis.
Ayah terkekeh.
Tampaknya ia malah senang mendengar Leo seperti itu.
"Baiklah, pulanglah jika kau mau."
Putus Ayahnya.
Leo terdiam sejenak.
Cukup terkejut karena akhirnya setelah sepuluh tahun Ayahnya mengijinkan Leo kembali ke tanah Merah Putih.
"Tapi."
Ayahnya seperti biasa memberikan syarat.
Leo menunggu kelanjutan kalimat orangtua itu.
"Tapi jangan ke rumah Ibumu."
Kata Ayah.
Leo mengerutkan kening lagi.
"Pulanglah dan pura-pura saja masih di Hamburg, hingga saatnya tiba Ayah akan panggil kau ke sisi Ayah."
Kata Ayah.
"Ada apa?"
Tanya Leo.
"Ini demi melindungi Ibu mu, lakukan saja sesuai perintahku."
Kata Ayah lagi.
Leo sedikit gusar.
Tapi mendengar Ayah yang sepertinya ada sesuatu yang mengganggunya membuat Leo semakin ingin pulang.
"Baiklah."
Kata Leo.
"Nanti akan Ayah siapkan semuanya lewat Kevin, tempat tinggal dan semuanya, Ayah akan menyuruhnya melayanimu sebagaimana Edi di Hamburg."
"Ya."
Sahut Leo singkat, sebelum kemudian sambungan telfon mereka berakhir.
**--------**
Hari kepulangan Leo akhirnya tiba, Edi mengantar Leo hingga Bandara.
Penerbangan yang akan memakan waktu lebih dari delapan belas jam itu akan sangat melelahkan, tapi untuk Leo, jelas tak ada yang lebih melelahkan dari menjalani hidup sebagai dirinya.
Leo memeluk Edi dengan segenap perasaan. Bagaimanapun ia sangat berhutang banyak pada Edi selama ini.
"Pastikan anda selalu sehat Tuan."
Pesan Edi dengan mata berkaca-kaca.
Leo mengangguk.
"Jangan khawatir Paman, suatu hari pasti aku akan berkunjung lagi."
Kata Leo.
Edi tersenyum sambil menepuk lengan Leo.
Leo memeluk Edi lagi, sebelum akhirnya menghilang dari hadapan Edi.
Pesawat berangkat sekitar pukul empat sore waktu setempat, Leo menatap langit Hamburg sekali lagi, langit yang sekian tahun berada di atas kepalanya saat menyusuri jalanan kota Hamburg yang nyaman.
Yah nyaman, kota itu seharusnya memang salah satu kota paling nyaman di dunia. Andai Leo bisa tinggal lebih lama bersama Aleena, tentu kota itu bukan hanya nyaman, namun juga akan menjadi satu-satunya tempat yang terasa syurga di atas bumi untuknya.
Leo menyandarkan tubuhnya di kursi pesawat yang kapan saja bisa menjadi kasur untuknya tidur.
Para staf mondar mandir menanyakan apakah ada yang diperlukan atau Leo menginginkan makanan dan minuman tertentu.
"Terimakasih, aku hanya ingin melihat langit."
Kata Leo malas.
Membuat gadis cantik berseragam itu tersenyum keki.
Berbeda dengan Leo yang tak terlalu peduli dengan pelayanan para staf yang sangat memanjakan, penumpang satunya justeru bolak balik meminta ini dan itu pada para staf.
Hari itu memang hanya ada dua penumpang di dalam first class pesawat yang Leo tumpangi, yang satu Leo dan yang satunya lagi adalah seorang gadis cantik yang cukup seksi namun manja luar biasa.
Hampir sejak keberangkatan, gadis itu terus saja mengerjai para staf untuk melayaninya. Sudah macam puteri Cinderella saja.
Leo melirik sebal gadis yang satu kelas dengannya itu, yang kebetulan ia juga melihat ke arah Leo lalu tersenyum cantik.
Leo tak membalas.
Ia membuang pandangannya ke luar jendela, melihat awan saja, rasanya jauh lebih menyenangkan.
Ish... Gadis cantik itu mendesis.
Tampan tapi sombong. Batinnya kesal.
Leo memasang earphone lalu tak mau tahu lagi dengan apa yang terjadi dengan sekitarnya.
Malas.
Ia terlalu malas dengan semua orang yang terlalu banyak drama dalam hidupnya.
Hampir satu hari perjalanan itupun dilewati dengan bosan.
Leo turun dari pesawat tanpa menyapa gadis yang bersamanya dalam pesawat itu.
Gadis itu bahkan sampai mengomel di belakang Leo dan membuat semua staf yang melayani mereka kasak kusuk sambil tertawa cekikikan.
"Bayangkan, gadis secantik dan sekaya itupun sama sekali tak dilirik, luar biasa mister super dingin itu."
Celetuk salah satu pramugari, membuat yang lain mengangguk setuju.
Leo di Bandara dijemput oleh Kevin orang kepercayaan Ayahnya yang akan bertugas sebagaimana Edi di sisi Leo.
"Kita akan langsung ke kediaman Tuan, semua sudah disiapkan."
Kata Kevin menyambut Leo.
Gadis cantik yang tadi satu kelas dengannya di pesawat tampak melewati Leo dan mendengus ke arahnya sambil mengikuti langkah orang yang menjemputnya juga.
Gadis manja. Batin Leo kesal.
Leo bersama Kevin keluar dari bandara dan langsung menuju mobil mewah warna hitam yang sudah menunggu mereka.
Leo masuk ke dalam mobil, sementara Kevin mengawasi orang yang bertugas membawakan barang-barang Leo hingga semua selesai dimasukkan ke dalam bagasi.
**-------**
Mobil melaju membelah jalanan Jakarta.
Jakarta, lama sekali Leo tak melihatnya, dan kini ia kembali.
Serasa mimpi.
Meski sebetulnya langit yang ada di atas sana sama saja dengan langit di atas kota Hamburg, namun rasanya tetap saja berbeda.
Leo duduk di kursi belakang driver sambil memandangi setiap jengkal tanah Jakarta yang mereka lalui.
Kevin duduk di sebelah driver sambil sibuk dengan ponselnya.
Hingga tiba-tiba, saat mobil akan memasuki kawasan Senen, mobil yang Leo tumpangi berhenti mendadak.
Leo yang tak siap, kepalanya terbentur ke kursi di depannya.
"Ada apa?"
Tanya Leo sambil melihat ke depan mobil di mana di sana tampak seorang gadis yang baru turun dari sepeda motor menghajar seorang pemuda yang lari membawa tas perempuan.
Gadis itu melompat dengan gesit, gerakannya jelas seorang yang terlatih dan sangat menguasai bela diri.
Ia bahkan mampu membuat gerakan oi zuki chudan dengan sangat apik, hingga lawan terkapar tak berkutik.
Semua orang terkagum melihatnya, termasuk Leo, Kevin dan driver yang seolah mendapat tontonan gratis di sore yang cukup padat.
Gadis itu mengambil tas perempuan dari tangan pemuda yang kini di gotong beberapa orang untuk diserahkan ke kantor polisi.
Gadis berambut sebahu dengan topi hitam yang hampir menutupi separuh wajahnya itu kemudian menyerahkan tas yang ia ambil pada seorang wanita hamil yang baru saja datang dan menangis sambil mengucap terimakasih.
Lalu lintas yang sempat macet karena aksi heroik gadis itu pelahan mulai kembali berjalan setelah beberapa petugas membubarkan kerumunan.
Mobil Leo melaju, sementara Leo masih sempat melihat gadis yang berdiri menghadap trotoar dan membelakangi jalan raya karena sibuk bicara dengan wanita hamil yang ditolongnya.
"Luar biasa, aku baru melihat seorang gadis berkelahi dengan gerakan secepat itu."
Kata Kevin.
"Aku pikir itu hanya ada di film action saja."
Tambah Kevin lagi yang disambut gelak tawa driver.
Leo di tempatnya tersenyum.
Ia membenarkan pernyataan Kevin dalam hati.
Yah, gerakan gadis itu jelas bukan gerakan orang yang tak menguasai ilmu bela diri.
Setahu Leo, jurus itu ia kuasai dulu saat masih SMA, saat ia meraih ban hitam di kelas karate yang ia ikuti.
Sudah cukup lama ia tak menggunakannya, ia juga sudah lama sekali tidak melihat orang berkelahi dalam dunia nyata, apalagi dirinya yang memang sudah lama sekali vakum dan memutuskan berhenti sejak di buang di Hamburg lalu mengenal Aleena yang lembut.
Leo menghela nafas.
Tampaknya kehidupan di Indonesia masih belum berubah banyak.
Meskipun kotanya sudah maju pesat dibandingkan sepuluh tahun lalu saat ia meninggalkan semuanya.
Leo menatap jalanan lagi, di mana kini mulai tampak semburat senja terlukis di garis langit Jakarta.
Leo diberikan tempat tinggal di area puncak oleh sang Ayah.
Kediaman yang jauh dari hingar bingar, dan sedikit tersembunyi dari orang yang bisa saja akan mengenali Leo dengan mudah.
Maghrib telah turun, ketika akhirnya mobil yang ditumbangi Leo masuk ke halaman rumah super besar.
Leo turun dengan tubuh yang sudah begitu lelah, diikuti Kevin yang siap memberikan pelayanan sejak hari ini pada sang Tuan Muda.
**--------**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!