"Kau akan bekerja?"
"Anak manis beli roti untuk sarapan dulu!"
"Belikan anakmu roti!"
Teriakan ramai itu memenuhi pintu-pintu toko.
Langkah kaki wanita dengan sepatu heels hitam arang itu begitu cepat, membuat gadis kecil di sebelahnya kesulitan mengimbangi. Padahal gadis kecil itu sempat tertarik dengan aroma roti panggang yang ditawarkan padanya saat melewati toko roti.
Hal itu membuat wanita berkemeja lilac tersebut beberapa kali harus terhenti karena gadis kecil dalam genggamannya tidak bisa diam. Beruntung, wanita itu tidak lelah dan malah menarik lengan gadis kecil itu agar semakin dekat ke arahnya.
Langit semakin panas, mereka berdua sudah menghabiskan waktu selama 15 menit berjalan di trotoar. Dan, di depan sana, jika berhasil menyeberangi zebra cross itu maka keduanya akan tiba di tempat tujuan.
Gadis kecil yang dipegangi oleh wanita berambut pirang kotor itu, kini malah sibuk menyentuh tas perempuan asing di hadapannya. Perempuan asing itu pun hanya tersenyum saat menoleh ke arah ibu si gadis cilik.
"Dasha! Jangan!" bentak wanita itu sambil melototi putri semata wayang dengan mata hazelnya.
Gadis kecil itu langsung beringsut kesal, membuat perempuan asing di depan mereka hanya tersenyum.
Lampu hijau pejalan kaki menyala, orang-orang di kota menyeberang dengan santainya.
Kedua orang berambut pirang itu , akhirnya tiba juga di depan klinik transplantasi rambut, tempat wanita bernama Anastasha Andromeda bekerja sampingan.
Wanita berpakaian rapi itu masuk ke dalam dan menemui wanita berambut cokelat yang sedang sarapan di meja resepsionis.
"Lagi?" ucapnya seolah sudah tahu apa tujuan Anastasha mengajak putrinya ke klinik.
"Tolong aku, hari ini aku akan ke Cesme. Aku diminta turun lapangan untuk meliput beberapa hal di sana." Anastasha terlihat bersemangat saat membicarakan pekerjaannya.
"Seharusnya kau memberikan ibumu seorang ayah, Dasha. Agar dia tidak berlagak sok kuat," jawabnya keluar dari balik meja resepsionis dan memeluk gadis yang dipanggil Dasha itu.
Ya, Dasha Andromeda adalah putri Anastasha yang sebentar lagi akan genap berusia 6 tahun. Putri yang sering dititipkannya di mana saja, entah itu di sekolah kanak-kanak atau klinik transplantasi rambut tempat dia bekerja, tentu saja selain radio Good Morning yang lokasinya juga tak jauh dari klinik dan rumahnya.
"Aku akan pergi untuk dua hari satu malam, kali ini kau harus menginap di rumah bibi Esmeran." Anastasha mendadak bicara lembut.
"Hmm!" angguk Dasha cepat.
"Dan, kumohon jangan membuat masalah. Aku tidak akan melarang bibi Esmeran untuk memukulmu kalau kau bersikap nakal." Mata Anastasha memicing di sudut.
"Kuberi dia puzzle, dia akan diam seharian," celetuk Esmeran.
"Andai saja begitu!" Anastasha mendengkus. "Kau ingat terakhir kali Dasha merusak rambut Pak Mustafa, rasanya aku ingin segera meninggalkan Izmir." Lanjutnya membuat Esmeran tertawa, teringat Dasha yang tidak sengaja merusak rambut Pak Mustafa yang baru saja ditransplantasi dengan tidak sengaja membakarnya.
"Pergilah, aku akan mengurusnya," tawa Esmeran mengikuti kalimatnya.
"Terima kasih, sahabatku!" ucap Anastasha kemudian menciumi pipi Dasha yang ada dalam pelukan Esmeran.
"Jangan menciumku, Anne! Turunkan aku, Bibi!" seru Dasha menolak ibunya juga menolak Esmeran.
Dengan berat hati, Anastasha pergi meninggalkan putrinya lagi dan berdoa semoga kali ini tidak ada masalah yang akan ditimbulkan oleh putrinya.
***
Dasha duduk terdiam di teras atas rumah Esmeran, dia sudah menatap ponsel pemberian ibunya seharian.
Entah apa yang terjadi? Seharusnya pulang sore ini, tapi, sudah malam dan Anastasha masih belum kembali. Dasha tentu saja sudah merindukan rumah dan kucing liar yang sering datang ke dapur rumahnya. Karena bibi Esmeran alergi kucing, maka dia sering melarang Dasha untuk menyentuh kucing.
Dengan begitu, kebosanan segera menyerbu gadis kecil itu.
"Bibi!" Dasha mendekati Esmeran yang sibuk bicara di telepon dengan sang pacar. Tertawa manja, membuat Dasha bersyukur bahwa Anne-nya tidak punya pacar.
Tanpa izin Esmeran, Dasha berjalan menuruni tangga dan pergi ke pintu depan. Kemudian duduk-duduk di situ sambil menggali tanah di pot bunga milik neneknya Esmeran.
Dua puluh menit berlalu, Esmeran sudah selesai teleponan dan menyadari bahwa Dasha menghilang.
"Oh tidak, ya Tuhan!" Esmeran mencari Dasha di dalam rumah dan kemudian mencari di depan rumah.
Beruntunglah, Esmeran langsung saja menjumpai Dasha yang ternyata sedang bermain dengan beberapa kucing liar.
"Dasha, kau membuatku hampir mati. Aku belum menikah, tolong jangan begini," omelnya mendekati Dasha, tapi agak menjaga jarak karena tepat di hadapan Dasha ada kucing.
"Aku ingin bermain dengan kucing, tapi kau tidak mengizinkan," bantahnya membuat Esmeran menahan geram.
"Masuklah, ibumu akan segera pulang." Esmeran mengayunkan tangan kepada Dasha agar dia segera masuk. Tapi, gadis tengik itu malah berdiri menghadap Esmeran, kemudian melipat tangannya di dada dan menatap Esmeran dalam-dalam. "Kenapa menatapku seperti itu? Ayo masuk!"
"Dasar keriting!" ketus Dasha membuat Esmeran kehabisan kata-kata.
Dari kejauhan, Anastasha yang baru saja turun dari taksi di ujung gang sana, berjalan ke arah Dasha dan Esmeran yang terlihat jelas karena berdiri di bawah lampu.
"Dasha!" seru Anastasha.
"Oh, Tuhan! Kau datang juga." Esmeran langsung membuat keributan begitu melihat Anastasha yang hanya tinggal beberapa meter di belakang Dasha.
"Aku bukan tuhanmu, Esmeran," ucap Anastasha bercanda.
"Ibu dan anak sama saja!" gerutu Esmeran sambil menggeleng.
"Apa kabar, tuan putriku?" ucap Anastasha mengulurkan tangan yang dikepal membentuk tinju ke arah Dasha.
"Aku tidak ingin melakukannya dengan seorang pembohong!" Gadis kecil ini rupanya sedang merajuk karena ibunya terlambat menjemput.
"Maafkan aku, ada sedikit masalah," jawab Anastasha lemas.
"Anne?" panggil Dasha langsung bereaksi ketika mendengar suara ibunya yang tiba-tiba lesu.
"Apa yang terjadi?" Esmeran mendekat.
"Mereka melarangku untuk kembali ke lapangan, katanya aku tidak cocok meliput di lokasi seperti itu," jelas Anastasha menunduk.
"Sebagai teman, aku menyarankan kau untuk membuang mimpimu itu. Ini sudah tiga tahun, kau bisa fokus bekerja di klinik saja!" Esmeran memberikan saran yang cukup tidak punya simpati.
"Aku akan kembali ke studio. Tapi, dua hari ke depan aku diberi libur." Anastasha tersenyum.
"Kita akan bermain seharian di rumah? Memasak bersama? Anne, kau akan membantuku membuat lukisan baru kan?" Dasha tiba-tiba menyela dengan cerewetnya.
"Tentu saja!" Anastasha tersenyum.
"Oh yeay! Aku memaafkanmu!" Dasha berlari dan memeluk pinggang Anastasha.
"Kuharap kalian berdua selalu bahagia seperti ini. Indah sekali!" tambah Esmeran.
"Kau juga Esmeran."
"Masuklah, menginap di rumahku dulu. Ini sudah larut malam. Apa kau tidak kedinginan kucing kecil?" lanjutnya mengacak-acak kepala Dasha. Dasha menepis dan menatap Esmeran seolah siap berkelahi dengannya.
***
Anastasha Andromeda, sebuah nama yang tertulis di papan nama depan pintu rumah berwarna cokelat kehitaman.
Pagi ini, saat sedang bersiap-siap di dapur untuk memasak bersama putrinya. Anastasha dikejutkan dengan petugas kurir yang mengantarkan sebuah kotak kecil. Selama tinggal di Izmir, Anastasha memang jarang menerima paket. Sehingga dia agak takut jika ada orang mengirimkan paket untuknya.
Anastasha pindah ke teras samping dan membuka kotak itu di sana. Ternyata, kotak itu berisi beberapa surat dalam amplop biru muda.
Isi salah satu surat mengagetkan pagi Anastasha yang bersahabat.
Rupanya, surat ini datang dari wanita jahat yang mengusirnya enam tahun lalu.
Dalam surat panjang itu, tiba-tiba orang yang hampir jadi keluarganya tersebut membeberkan sebuah fakta yang sulit dicerna otak Anastasha.
Seharusnya surat ini tidak pernah datang!
***
Bersambung
Pertanda apa gerangan, bila mendung di keramaian pagi? Hujan? Oh, tidak. Mendung adalah pertanda bahwa kenangan akan mulai menghujam ke bumi. Maka, siap atau tidak? Kenangan akan memaksa hadir dari masa lalu.
***
Swiss, 2014.
Sebuah malam yang lebih dari kata hangat, pernah menjadi saksi dari kesalahan terindah yang pernah Anastasha lakukan. Bukan hanya sekali, pertemuannya dengan pria berambut abu-abu itu membuat kehidupannya menggila. Benar-benar jadi gila.
Julian Ainsley, adalah pria bertubuh indah yang pernah dikenal Anastasha sepanjang hidupnya. Tanpa hubungan serius, keduanya beberapa kali sengaja bertemu hanya untuk melakukan kesalahan indah tersebut. Berpagut dalam tautan cinta semalam, namun keduanya menjadi terbiasa satu sama lain.
Julian Ainsley kini adalah tentara aktif yang sedang mengikuti wajib militer. Sebelumnya, dari perkenalan mereka di rumah sakit tempat Anastasha berkerja, Anastasha hanya tahu bahwa Julian adalah seorang apoteker yang sedang menjalankan wajib militer.
Dari perkenalan biasa dalam hubungan pekerjaan, Anastasha memendam rasa untuk Julian.
Beberapa bulan lalu, sebelum kesalahan pertama terjadi. Anastasha sempat melihat Julian yang mendapat libur, pergi menemui beberapa gadis di kafe, depan rumah sakit tempat Anastasha bekerja.
Rasa cemburu dan iri memicu kegilaan dalam otak Anastasha, dan pada akhirnya membuat dia bersedia melakukan kesalahan indah bersama Julian.
Hingga pada suatu siang, Anastasha terkejut saat melihat hasil pemeriksaannya.
Celakanya, Dokter yang duduk di hadapan terus saja memberikan informasi dan edukasi lainnya tentang keadaan Anastasha yang sedang hamil dua bulan. Tanpa tahu bahwa Anastasha, tidak bersuami.
Sementara, sudah tiga minggu ini dia tidak bertemu Julian. Sama sekali tidak bertemu, nomor ponselnya pun tidak aktif lagi. Karena hanya perasaan sekejap Anastasha tidak pernah merasa memerlukan informasi tentang keberadaan Julian. Belakangan ini, dia hanya meyakini bahwa Julian belum mendapatkan jatah libur dari militer angkatan darat, sehingga tidak punya waktu untuk menghabiskan malam candu bersamanya lagi.
Tapi, kali ini berbeda.
Anastasha sedang hamil. Tanpa pacar, tanpa orang tua, dan tanpa rencana hidup untuk masa depan, lantas tidak tahu harus berbuat apa.
Dengan berbekal informasi bahwa Julian adalah seorang apoteker, Anastasha memutuskan untuk mencari lelaki berkulit putih itu. Bukan untuk meminta pertanggungjawaban, melainkan untuk meminta beberapa saran tentang apa yang harus dilakukanya pada anak dalam kandungan tersebut.
***
Alamat demi alamat, mengantarkan Anastasha ke sebuah rumah mewah yang tampak sepi. Rumah ini terkesan dingin, seolah sulit terjangkau. Tampak seperti vila pribadi di tengah kesunyian Swiss. Anastasha mulai merengek kepada penjaga gerbang demi untuk diizinkan masuk ke dalam, akan tetapi dia dicegat oleh pengawal lainnya yang datang dari dalam.
Wanita paruh baya berambut silver berjalan penuh keanggunan ke arah Anastasha.
"Biarkan dia masuk!" serunya diiringi kepatuhan para lelaki bertuxedo navy yang langsung mendorong Anastasha ke dalam halaman rumah. "Siapa kau?" lanjutnya menatap Anastasha dingin.
"Aku?" Anastasha terhentak, aura wanita di hadapannya membuat lidahnya tiba-tiba kelu. Anastasha hanya ingin bertemu Julian, bukan bertemu wanita anggun berdress ungu yang kini menatapnya beku.
"Wanitanya Julian? Kau mencarinya karena dia tidak menghubungimu?" Suaranya lembut. Namun, bertenaga. Ada gurat ketegasan dalam suara itu.
"Bukan begitu, Nyonya!" Anastasha kelimpungan. Dia tidak tahu cara untuk memperkenalkan diri kepada Nyonya besar di hadapannya ini.
"Kau bukan yang pertama, Nona. Pergi dari sini. Putraku sudah tiada," ujarnya, kemudian berbalik membelakangi Anastasha.
"Apa? Apa maksudmu?" Anastasha mendekati nyonya di hadapannya itu. Arti kata tiada tidak bisa begitu saja dia artikan secara harfiah. Itu kata yang berbahaya.
"Putraku mengalami kecelakaan saat latihan militer dua minggu lalu dan sayangnya, nyawa putraku tidak tertolong," ungkapnya berbalik kembali memandangi Anastasha.
"Apa? Kapan kejadiannya? Itu tidak mungkin, kecelakaan apa?" Anastasha tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya.
"Apa aku perlu menjawabmu, Nona?" tanyanya menyindir.
"Aku ... aku!" Anastasha tergagap.
"Pergi dari sini!" Suara wanita elegan itu naik beberapa pitch. Membuat Anastasha sedikit kaget. Tapi, Anastasha merasa ada yang janggal. Mana mungkin Julian sudah tiada?
"Biarkan aku melihat makamnya? Di mana? Julian di mana?" Anastasha memaksa.
"Kami membawa tubuh Julian ke Texas, karena ayah Julian tinggal di sana. Kau siapa hah! Beraninya membuatku menjawabmu!" jawabnya kemudian membentak Anastasha.
"Nyonya, apa kau yakin dengan ucapanmu?" Anastasha mengatur napasnya kembali. Dia bahkan tidak bisa menangis, karena terlalu terkejut.
"Nyonya Ainsley, panggil aku begitu. Tahan dia. Jangan biarkan dia masuk ke dalam rumahku!" Wanita yang mengaku sebagai ibu Julian mempercepat langkah untuk kembali ke dalam rumah.
"Nyonya Ainsley, aku sedang hamil!" teriak Anastasha, membuat pengawal yang hendak menyeretnya terhenti. Semuanya saling menatap, Nyonya Ainsley pun berhenti dan menoleh ke arah Anastasha.
"Apa?" Dahinya mengkerut. Tidak menyangka dia akan mendengar berita yang mengerikan itu. Selama bermain wanita, Julian adalah lelaki yang tidak pernah menghamili wanitanya. Dia sangat memperhatikan bahwa anak di luar ikatan pernikahan adalah sebuah masalah yang akan muncul di kemudian hari. "Kau p*lacur dari mana? Hah? Bagaimana bisa kau menjebak anakku hingga dia menghamilimu!" Nyonya Ainsley tidak berhasil menahan diri untuk memaki.
"Aku tidak menjebaknya. Kami melakukannya karena suka sama suka. Maafkan aku." Anastasha mencoba menggapai ibu dari lelaki yang pernah menidurinya itu.
Nyonya Ainsley menghela napasnya. "Kau terlambat, Julian sudah tidak ada. Gugurkan kandunganmu itu. Tidak ada gunanya mengandung anak dari lelaki yang sudah tidak ada di dunia ini. Karena aku yakin, suatu saat nanti kau akan menggunakan bayi dalam kandunganmu untuk memeras keluarga Ainsley. Jadi, kuperintahkan kau untuk mengugurkan kandunganmu," ungkapnya tidak berperasaan.
Anastasha terkejut, wanita di hadapannya ini tidak punya simpati ataupun empati. Darah Anastasha mendidih, kepala pun berdenyut, dadanya berdetak acak. Emosi Anastasha hampir meluap.
"Nyonya, ini darah dagingmu!" Anastasha berteriak kesal.
"Apa aku meminta kau untuk dihamili putraku?" tanyanya tertawa kecil, seolah meledek.
Deg.
Jantung Anastasha tersentil. Ya, benar. Anastasha-lah yang memulai untuk merayu Julian karena dia menyukai lelaki itu. Tapi, ucapannya keterlaluan.
"Usir wanita gila ini! Sebelum itu, geledah dia. Hancurkan ponselnya. Aku yakin dia punya foto-foto berbahaya sama seperti yang dilakukan para wanita Julian yang ingin memeras keluarga Ainsley."
"Nyonya!" Suara Anastasha melengking tajam, tawa dan tangisnya keluar bersamaan. Tangan kasar dari para penjaga menyeret tubuh Anastasha ke luar gerbang.
Anastasha terdiam di luar gerbang, para penjaga menggeledah tubuhnya. Pikirannya kalut. Bagaimana bisa hal bodoh seperti ini terjadi padanya?
Anastasha kemudian di dorong menjauh, setelah mereka meraba-raba tubuh moleknya barusan. Anastasha tidak bisa menolak karena pikirannya mendadak beku.
Anastasha bengong di pinggir jalan. Beberapa saat, Gerbang kembali dibuka. Perempuan muda yang mirip Julian mendekatinya.
"Siapa namamu, Nona?" tanyanya mengulurkan ponsel Anastasha yang disita penjaga tadi.
"Andromeda, Anastasha Andromeda." Anastasha beralih pada wanita muda di hadapannya.
"Nama yang cantik!" ucapnya tersenyum. "Ambillah!" ucapnya memberikan ponsel Anastasha, disusul melemparkan beberapa lembar cek bermata uang Franc Swiss ke pinggiran aspal. "Gugurkan kandunganmu dan jangan mencari kami lagi." Lanjutnya lembut.
"Kau siapa?" Anastasha kebingungan. Siapa wanita ini, dia bersikap kasar dengan cara yang cantik.
"Aku kakak perempuan Julian. Tidak perlu bersedih, ibu dan adikku memang selalu seperti itu. Saat bekerja sebagai apoteker, dia punya teman tidur. Kau pasti hanya salah satu dari teman tidurnya dan kau tidak seharusnya hamil."
"Apa Julian benar-benar sudah meninggal?"
"Anggap saja begitu. Lebih baik begitu!" jawabnya tersenyum.
"Apa?"
"Jangan mencari kami lagi, Nona Andromeda. Aku tidak suka mengulangi perkataan!" Tiba-tiba wajahnya serius. Kemudian masuk ke dalam dan meninggalkan Anastasha dalam kesadaran yang jatuh entah kemana.
Sejak pertemuan hari itu, Anastasha memendam kebencian pada keluarga Ainsley dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya dan melupakan malam-malam terindahnya bersama Julian.
***
Bersambung
Dasha mendekati Anastasha yang terdiam di teras samping. Dengan lembut memandangi wajah ibunya.
Beberapa kali gadis bergaun motif bunga itu ingin mendekati Anastasha, tapi kaki kecilnya seolah berat. Anne-nya jarang terlihat sedih atau terkejut, membuat Dasha merasa aneh. Perut kecilnya geli, karena tidak tahu cara untuk menghibur Anastasha.
"Anne, kau tidak akan memasak hari ini? Sepertinya kau tidak bisa menemaniku melukis." Ucapan Dasha menyadarkan Anastasha.
"Ya? Tidak, kita akan memasak. Aku akan menemanimu, sayang." Anastasha tersenyum hingga gigi putihnya nampak.
"Itu apa?" Dasha menunjuk surat di tangan Anastasha.
"Bukan apa-apa." Anastasha memasukkan surat yang dibacanya bersama amplop-amplop lain yang belum sempat dibukanya ke dalam kotak paket itu.
"Kau selalu begitu." Dasha menunduk. "Sebagai ibuku, kau selalu bertindak seperti bukan ibuku." Dasha tiba-tiba melakukan protes.
"Bukan begitu, sayang." Anastasha berdiri dan menghampiri putri kecilnya.
Dasha kemudian menatap ibunya, memasang wajah sedih. Minta dikasihani. Anastasha tersenyum dan menarik Dasha ke dalam pelukannya.
"Itu hanya sebuah surat." Anastasha tersenyum.
"Surat, ah yang sering digunakan orang jaman dulu untuk berkomunikasi," sambut Dasha mendadak cerah. Anak ini selalu bersikap memaksa dengan cara yang cantik. Sama seperti seseorang yang pernah Anastasha kenal.
"Benar sekali. Ooh, Dasha semakin pintar!" puji Anastasha mengusap rambut pirang putrinya.
"Wah, kalau begitu aku juga akan memberimu surat ...." Dasha menunjuk Anastasha kemudian berlari ke meja dan menatap kotak.
"Lakukan!" ucap Anastasha mengikuti Dasha ke meja
"Surat dari siapa ini?" Dasha kelihatan sangat-sangat penasaran. Matanya berbinar, rona wajahnya mendadak dipenuhi tanda tanya.
Anastasha menatap Dasha dalam-dalam. Merasa belum waktunya untuk memberitahukan tentang keluarga Ainsley. Tapi, Dasha berbeda. Dia adalah anak yang selalu punya cara untuk memaksa, dan membuat apa yang diinginkannya jadi kenyataan.
"Dari keluarga ayahmu." Anastasha mengembuskan napas berat.
"Kau bilang aku tidak punya ayah. Kau bilang dia sudah meninggal. Keluarga ayah? Apa itu seperti nenek dan kakeknya Zahar?" Dasha memiringkan kepalanya. Membuatnya kelihatan imut berkali-kali lipat di mata Anastasha.
"Hmm, yang mengirim surat adalah keluarga ayahmu." Anastasha merangkul Dasha yang duduk di kursi sambil menyentuh kotak pelan-pelan.
"Apa kata mereka? Apa mereka akan membawaku? Aku tidak mau!" Dasha mendongak menatap wajah Anastasha.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi." Anastasha meyakinkan Dasha.
"Anne, aku tidak butuh ayah. Aku hanya membutuhkanmu!" Dasha tiba-tiba memeluk Anastasha.
"Aku juga hanya membutuhkanmu! Aku tidak akan pernah membiarkan kau pergi." Anastasha mempererat dekapannya.
"Aku tidak akan banyak makan Sarma, aku berjanji!" Ucapan polos Dasha membuat Anastasha tertawa dan melupakan sejenak isi surat yang datang dari Swiss itu.
***
Swiss, akhir Juni 2014.
Meja operasi menjadi saksi tekad Anastasha hari itu. Usai berbaring di meja untuk melakukan tindakan Kuretase, dalam benaknya justru terbayang wajah Julian.
"Aku harus menggugurkanmu! Kau tidak diinginkan oleh semua orang!" gumamnya meyakinkan diri sendiri.
Temannya yang menjadi asisten dokter di ruangan itu berbisik. "Kau tidak perlu melakukannya bila tidak ingin."
Anastasha menatap temannya itu, keduanya seolah meyakinkan melalui mata satu sama lain. Anastasha menggeleng ragu.
"Kau akan dibius, Nyonya Andromeda," ucap perawat lainnya yang kini berdiri di sebelah Anastasha.
"Tunggu sebentar!" Anastasha semakin meragu. Apa dia benar-benar harus menyingkirkan anak ini?
"Kenapa? Dokternya sudah datang." Perawat tersebut bertanya karena tidak tahu konflik batin Anastasha.
"Olivia!" Anastasha memanggil teman sekaligus rekan kerjanya sesama perawat. Olivia mendekatinya. "Aku tidak bisa melakukannya, anak ini satu-satunya bukti bahwa Julian pernah hidup dan mengisi hatiku," lanjutnya mulai menangis di sela-sela keringat yang mengucur di kening, leher, dan ketiaknya menjadi basah.
"Buatlah keputusan yang tepat, aku mendukungmu." Olivia menggenggam tangan Anastasha. Sebagai teman, dia hanya bisa mendukung apapun keputusan Anastasha. Olivia tahu betul, kehidupan Anastasha sudah berat walau tanpa anak sekalipun. Gaji perawat di rumah sakit ini tidak terlalu besar untuk mengasuh anak tanpa suami. Tapi, Olivia juga paham akan konflik batin Anastasha.
"Aku tidak bisa melakukannya!" Anastasha bangun dan langsung berdiri.
Anastasha pun tidak jadi menggugurkan bayi dalam kandungannya. Sebuah kesalahan seharusnya bukan dihilangkan, akan tetapi dihadapi.
***
Tujuh bulan kemudian, tepat pada malam Natal, lahirlah bayi cantik berambut pirang cerah. Dengan mata Hazel cenderung pucat, bibir tebal seperti milik ayahnya. Dasha Andromeda, menjadi hadiah terindah dari kesalahan terindah yang pernah Anastasha lakukan.
Mengetahui bahwa Anastasha memilih melahirkan bayi dalam kandungannya, keluarga Ainsley mendadak mendatangi Anastasha. Mereka memaksa Anastasha untuk segera meninggalkan Swiss, jika tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada bayinya.
Dengan berat hati, berbekalkan uang pesangon dan uang pemberian kakaknya Julian. Anastasha pun pergi meninggalkan segala kenangannya tentang keluarga Ainsley dan memilih merajut kehidupan baru di Izmir.
***
Dua hari setelah kedatangan surat misterius, Anastasha tidak fokus bekerja. Di klinik dia beberapa kali membuat kesalahan, sampai dimarahi oleh dokter Park Mi Rae. Seorang dokter asal Korea Selatan, yang bersekolah, hidup dan bekerja di Turki selama 15 tahun.
Anastasha pun memutuskan untuk pergi meninggalkan pekerjaannya dan menyusul Dasha di taman kanak-kanak.
Dari luar sekolah, Anastasha mondar-mandir tidak jelas. Sampai seorang guru menyapa dan mengajaknya masuk.
Karena sudah telanjur datang ke tempat ini, Anastasha mencoba berbasa-basi bahwa dia datang karena ingin tahu perkembangan putrinya selama beberapa kali datang ke sekolah ini.
"Kau seharusnya mendaftarkan Dasha ke sekolah kami. Daripada hanya menitipkannya karena kau sibuk bekerja. Dia adalah murid berpotensi," ucap guru wanita berkemeja kuning cerah seperti jeruk yang baru dibelikan Anastasha untuk Dasha kemarin.
"Aku tidak ingin mengikatnya dengan sekolah. Saat sudah waktunya masuk sekolah dasar, aku akan menyekolahkannya tepat waktu." Anastasha tersenyum menanggapi permintaan gurunya Dasha.
"Dasha anak yang cerdas, dia mampu menyelesaikan puzzle lebih cepat dibandingkan anak lainnya. Lukisannya juga semakin kulihat semakin indah. Dia benar-benar berbakat, terakhir kali dia memenangkan piagam perak karena lukisannya tentangmu. Sebagai guru yang menanganinya, aku sangat bangga," ungkap guru panjang lebar.
"Aku rasa dia mewarisi semua itu dari Ayahnya, karena aku sama sekali tidak berbakat dalam seni. Aku hanya penyiar radio yang bekerja sambilan di klinik transplantasi rambut." Anastasha tertawa.
"Kau terlalu merendah. Oh ya, sebentar lagi kelas akan usai, kau mau melihat Dasha di kelasnya. Hari ini mereka ada pelajaran bahasa Inggris dan seperti biasa Dasha melakukannya dengan baik, karena ibunya," tawarnya sambil memuji.
"Tentu saja, aku datang untuk melihatnya." Anastasha berdiri mengikuti guru dan berjalan menuju kelas.
Setelah memperhatikan Dasha, Anastasha menyadari bahwa anaknya mungkin jauh lebih cerdas dari apa yang dibayangkan orang-orang. Sifat lembut Dasha yang mudah berempati membuatnya bahagia, karena merasa telah berhasil membesarkan anak dengan baik. Walau tanpa sosok ayah dan suami.
***
Anastasha dan Dasha pulang dengan berjalan kaki ke rumah mereka.
Begitu sampai di depan pagar rumah. Kaki Anastasha terhenti, mendadak matanya membulat. Napasnya tersengal, Anastasha tidak bisa menyembunyikan kaget yang tertulis di dahinya.
Sebuah pemandangan aneh, sedang terpampang nyata. Sosok berambut hitam dengan mata keabu-abuan menatap keduanya penuh rasa penasaran.
Wajah yang tidak asing, wajah yang pernah dirindukannya. Wajah dari lelaki yang memberikan Dasha, hadiah terindah dalam hidup Anastasha.
"Julian?" Mulut Anastasha bergerak, tubuhnya merinding karena melihat hantu di siang hari. Hantu berwajah tampan yang sedang tersenyum ke arahnya, membuat Anastasha sejenak kehilangan pikiran jernih.
***
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!