NovelToon NovelToon

Mawar Psikopat

Episode 1. Aku Dengan Diriku

Aku Mawar Scott. Hari ini adalah pesta ulang tahunku yang ke 17 tahun. Aku mengundang semua teman-temanku. Aku begitu bahagia dengan dress berwarna merah, karena itu sangat cocok denganku. Semua teman-temanku mulai bernyanyi.

“Happy birthday to you, happy birthday to you happy birthday, happy birthday, happy birthday to you.”Aku tersenyum dan ikut bertepuk tangan dengan riuhan nyanyi para teman-temanku. “Bruak!!” Seseorang mengempaskan pintu dengan sangat kencang. Seketika, semua mata tertuju padanya. Dia adalah seorang gadis

gila yang sangat aku benci. Ia memiliki mata besar, hidung mancung, rambut pirang asli dengan kulit bintik-bintik bule.

“Jimmy!” Teriakku dengan sangat emosi. Ya, dia Jimmy. Dia adalah masalah paling besar di dalam hidupku.

“Ha ha ha ha. Lelucon apa ini Mawar?” Jimmy berjalan kearahku.

“Ini adalah pestaku. Kau bisa membuat pestamu sendiri.” Aku menatapnya dengan tatapan mengiba.

“Sling druaaak!!” Jimmy melempar kue ulang tahunku. Jimmy melempar kue itu tepat di depan semua teman-temanku. Secara tidak langsung, Jimmy telah membunuhku tepat di semua teman-temanku.

“Apa kau sudah gila? Kitakan sudah sepakat. Malam ini, aku yang akan mengadakan pesta. Dan kemarin kau juga sudah setuju.” Teriakku dengan sangat emosi. Semua teman-temanku menatap kami berdua.

“Ooops, aku lupa. Haduuuh, Mawar yang malang, apa kau pikir aku benar-benar setuju?”  Jimmy berteriak dengan keras memancing kericuhan. Aku langsung terdiam. Seharusnya, ini adalah saat dimana aku merasa sangat bahagia. Tapi, gadis gila ini malah mengacaukannya.

“Jimmy, apa pestanya sudah dimulai?” Sorak seseorang dari luar.

“Ya, masuklah, dan bawa minumannya!” Sahut Jimmy dengan ramah.

“Apa maksudnya ini? Tidak jimmy, tidak. Apa kau tidak melihat semua teman-temanku ada disini.” Bisikku padanya.

“Oh iya, aku lupa. Hoi kalian semua. Pesta kalian sudah berakhir. Pulanglah! Hush, huuuush!” Teriak Jimmy mengusir semua teman-temanku. Dengan wajah kecewa, semua teman-temanku mulai meninggalkan rumahku. Perlakuannya padaku, membuat air mataku mulai berlinang.

“Jimmy, akan aku pastikan, kau akan mendapatkan hal yang lebih dariku!” Teriakku dengan menangis sedih, lalu

berlari kencang ke kamarku.

“Aiiih, dasar cengeng. Iiish.”

“Apa kita perlu mendekor ulang rumahmu ini?” Tanya Kevin.

“Ya, kita harus membereskan sedikit sampah sampah menjijikkan ini.” Jawab Jimmy dengan mencabut beberapa untaian dekorasi yang tertempel di dinding ruangan.

Sementara aku, aku dan diriku ini kembali berlari ke kamarku, dan mulai menangis dengan sekeras-kerasnya. Hanya ruangan ini yang mampu menampungku. Aku benar-benar membenci Jimmy, walau dia adalah kembaranku. Apa? kalian sepertinya terkejut. Kalian tidak perlu terkejut, karena kami berdua adalah saudara kembar yang berbeda dan sangat amat berbeda dari segi apapun. Itu semua bermula dari sepasang manusia yang saling jatuh

cinta. Namun, mereka berdua memiliki latar belakang yang berbeda. Sang wanita, berasal dari Indonesia. Sementara sang pria, berasal dari Amerika. Mereka berdua menikah, lalu lahirlah aku dan juga Jimmy. Aku mewarisi gen wanita itu, dengan kulit coklat, rambut hitam, hidung mungil dan bibir tipis. Berbanding

terbalik dengan Jimmy yang mewarisi gen pria itu. Dan perbedaan inilah yang membuat semua perlakuan berbeda terjadi padaku. Aku diperlakukan seperti seorang anak tiri. Sementara Jimmy diperlakukan seperti seorang Putri.

Itu semua berlanjut hingga kami masuk dalam sekolah dasar. Jimmy memiliki jadwal les privat yang padat, baik itu dalam mata pelajaran sekolah, ataupun kepribadian. Sementara aku, sama sekali tidak pernah merasakan les. Aku pernah berusaha untuk menyamakan keadaan. Aku ingin duduk di dalam sana bersama Jimmy. Walau kami berbeda, tapi kami berdua tetaplah saudara kembar. Oleh sebab itu, aku akan mencuri perhatian Mama dan Papa. Aku belajar melalui celah jendela, dan harus cermat mendengarkan suara guru les Jimmy. Dan akhirnya, aku mendapatkan rangking satu di kelas. Sementara Jimmy mendapatkan rangking 5. Tapi apa? Papa dan Mama tetap membanggakan Jimmy. Pengakuan untuk diriku, tidak pernah aku dapatkan.

Semua itu kembali berlanjut hingga kami lulus dari sekolah dasar. Karena kami dibesarkan dengan cara yang berbeda, itu membuat Jimmy memperlakukanku layaknya seekor binatang. Di saat waktu senggang, ia selalu menghardikku, bahkan melakukan hal-hal kasar padaku. Pernah sekali, ia ingin membuktikan teori gaya grafitasi. Ia menyuruhku naik ke atas atap, lalu mendorongku. Aku menderita patah kaki. Tapi apa? Papa dan Mama tetap

menyalahkanku. Intinya, aku ini salah, salah dan apapun yang aku lakukan itu salah.

Tapi semua itu tidak membuat diriku kalah. Aku tetap berjuang dan belajar sebaik mungkin. Aku menjadi murid yang sangat teladan, dan amat disegani. Aku selalu berdiri di puncak pertama. Aku mengalahkan Jimmy sejauh-jauhnya. Itu semua aku buktikan dengan menjadi siswa yanglulus secara undangan di sekolah menengah atas intenasional. Sekolah elit, yang selalu meluluskan muridnya untuk kuliah di luar negeri. Tentu saja, itu membuat

Jimmy marah, dia sudah berusaha les mati-matian tapi tetap tidak bisa lulus. Dan pada saat inilah,  siasat licik

Mamaku, yang mengatasnamakan kembaranku, dan mengatasnamakan uang, membuat dia lulus di sekolahku. Sejak kejadian itu, dia membuat hidupku semakin, semakin dan semakin menderita.

Begitu pula, pada hari ini. Hari ulang tahunku. Aku berjalan kearah meja belajarku dan mengambil sebuah pematik, lalu menghidupkannya.

“Mawar, selamat ulang tahun. Huuuft.” Lagi, Aku meniup sebuah pematik di hari ulang tahunku. Apakah di ulang tahunku yang berikutnya aku akan tetap seperti ini? Inilah pertanyaanku pada diriku sendiri. Aku juga ingin bahagia. Bahagia, dengan hidupku. Walau hanya ada aku dengan diriku.

**

Papa dan Mama memiliki bisnis besar di Singapura. Itu membuat mereka berdua selalu bolak-balik Indonesia-Singapura. Pagi ini, aku bangun dengan mata sembab. Aku benar-benar tidak berani untuk menampakkan wajahku di sekolah. Aku harus bagaimana? Aku langsung berdiri dan berjalan turun ke bawah. Aku tercengang ketika melihat sisa pesta Jimmy dengan teman-temannya. Botol minuman keras berserakan di lantai. Remahan ciki dimana-mana. Dekorasi menjijikkan tertempel ramai di dinding. Bekas krim kue bertebaran dimana-mana.

“Selamat pagi. Mama pulang.” Mama yang tiba-tiba pulang, membuat jantungku berdegup kencang.

“Astagaaaa. Apa yang telah terjadi di sini?” Teriak Mama dengan wajah syok.

“Ada apa sayang?  Papa yang muncul belakangan lalu melirik leretan botol minuman keras yang berserakan di lantai.

“Mawar, apa maksudnya ini? Apa semalam kau bersenang-senang? Ya, kau benar-benar terlihat bersenang-senang dengan mata sembabmu itu!” Teriak Papa emosi. Aku sudah biasa mendengar ini. Tuduhan yang  tidak pernah aku lakukan.

“Iya Pa, aku sudah melarangnya. Tapi dia tetap membawa teman-teman anehnya, lalu berpesta semalaman.” Sahut Jimmy dari belakangku. Aku menoleh, dia sudah berpakaian sekolah. Jimmy mengkedipkan mata kirinya padaku.

“Mampus.” Bisiknya padaku.

“Aku berangkat dulu ya Pa, Ma.” Jimmy memberikan kesan lembut sembari memeluk Papa dan Mama.

“Ya, sayang hati-hati.” Papa mencium dahi Jimmy, sementara Mama berjalan dengan sangat emosi ke arahku, lalu menjambak rambutku dengan sangat kasar.

“Sini kau anak nakal. Beraninya kau minum-minum dengan teman-temanmu. Sekarang apa alasanmu haaa?” Mama berteriak dengan emosi lalu menarik jambakan rambutku, yang membuatku benar-benar kesakitan.

Mama menarikku kearah kolam renang, lalu melemparku ke air yang sangat dingin ini.

“Buarrkkkk.” Aku merasakan dingin air kolam renang menusuk pori-pori tubuhku.

“Mati saja, anak tak tau malu! Sudah berulang kali aku bilang, jangan minum-minum. Tetap saja!” Mama kembali berteriak.

“Hrrrr, di-di-dingin.”Aku berusaha naik. Ketika aku naik, Mama kembali mendekat.

 “Apa? mau kemana kau ha?” Mama meraih kerah bajuku.

“Plak!” Mama menampar pipiku dengan sangat keras, membuatku kembali terlempar ke dalam air ini.

“ Hukkkh, aaaakh.” Aku berusaha bernafas, karena, air kolam masuk ke dalam hidungku dan nyaris tertelan. Aku berusaha mengapung.

“Mama! Itu bukan aku! aku tidak minum!” Teriakku sembari menepi. Mama kembali meraih kerah bajuku.

“Plak!” Mama kembali menampar pipiku dengan sangat keras, hingga pipiku seakan-akan menebal seperti mati rasa. “Beraninya kau melawan perkataanku. Diam! Kau itu pantas di hukum!” Mendengar itu, sesuatu hal yang menggelegar di hatiku, membuat tubuhku berenergi. Aku mendorong Mama dan naik dengan cepat.

“Apa aku ini hanya anak angkatmu?” Aku menatapnya dengan tatapan tajam. Mama bangkit dan kembali melayangkan tangannya ke wajahku.

“Plak!”

“Beraninya kau mengatakan hal rendahan seperti itu!” Mama semakin emosi, karena itu terlihat dari ekspresi wajahnya. Aku menantang matanya, dan berjalan pelan kearahnya. Mama mundur pelan, namun aku tetap menatapnya dengan tatapan tajam.

“Apa kau tau? Jika aku mau, aku bisa saja membalas semua perbuatanmu padaku.” Bisikku pada Mama. Mama kembali mengayunkan tangannya. Dan aku langsung menahannya.

“Maka dari itu, berhati-hatilah padaku. Karena mulai detik ini, aku tidak akan tinggal diam.” Aku menghempaskan tangan Mama dengan kasar, membuat Mama terdiam.

“Aku tidak main-main.” Aku berbalik dan melangkah naik ke kamarku.

“Ada apa dengannya? Apa kau sudah menghukumnya?” Aku melirik Papa dengan tatapan mata berkaca-kaca penuh emosi.

“Sudah, dia mengatakan jika dia tidak akan mengulanginya lagi.” Mama meremas tangan kanannya. Aku melihat sorot matanya yang tampak sedikit takut. Aku kembali melangkah ke kamarku. Aku berjalan kearah meja riasku. Aku berdiri dan menatap wajahku yang memar akan bekas tamparan.

“Apa salahku?” Aku menatap wajahku secara penuh. Aku menatap wajah polos yang selalu mengalah.

“Aku, harus berubah. Ya, aku terlalu baik untuk mereka.”Aku menggambil sebuah gunting, dan menggunting pendek rambut panjangku.

“Sreek, sreek, sreek.” Aku membuang helaian rambutku.

“Mulai detik ini, aku dengan diriku ini akan membalas perbuatan mereka semua.” Aku menyeringai lalu terdiam. Aku baru sadar, jika aku menyeringai itu terlihat sangat mengerikan.

Episode 2. Luka Yang Geli

Aku berjalan turun untuk pergi ke sekolah. Tampaknya Papa memperhatikan gayaku yang sudah berubah. Biasanya aku memakai baju sesuai dengan aturannya, dimana rok sekolah yang panjangnya harus selutut.

Tapi kali ini, aku memendekkannya hingga diatas lutut. Dan juga rambut panjangku yang sudah pendek lurus setelinga.

“Mawar, apa yang terjadi dengan rambutmu?” Papa menatapku heran. Aku memperlihatkan pipi bekas tamparan Mama tadi.

“Aku ingin hidup dengan lebih baik. Papa, Mama, maafkan aku. Aku menyesal, dan aku tidak akan mengulanginya lagi.” Aku menunduk sedih. Seketika, Papa lulu dan berjalan kearahku.

“Iya, Papa memaafkanmu. Jangan ulangi lagi ya, mengerti.” Papa tersenyum padaku lalu memelukku.

“Papa, aku harus ke sekolah. Aku berangkat dulu.” Aku melepas pelukan Papa, lalu berjalan santai.

“Ya, hati-hati ya sayang.” Aku hanya tersenyum kecut. Kejadian ini sudah biasa untukku. Aku pasti akan meminta maaf atas kesalahan Jimmy, dan akan mendapat pelukan Papa.

Aku melangkah pelan menuju halte bus yang berada di ujung jalan.

“Breeem breeedem.” Aku mendengar suara motor yang sepertinya menggodaku. Aku menoleh dengan gaya seksi.

“Kevin?” Aku menatapnya heran. Ia tampak terpukau dengan penampilanku.

“Wooaah. Kau benar-benar luar biasa. Kenapa tidak sejak dulu saja kau berpenampilan seperti ini? Aaah, ayo naik, aku akan mengantarmu.” Kevin adalah pacar Jimmy. Kevin sekolah di sekolah anak yang luar biasa nakalnya. Dari rumah ia berpakaian sekolah, tapi tidak sampai ke sekolah. Namun anehnya, absennya selalu penuh, nilai tinggi, dan itu semua entah datang dari mana. Satu hal yang membuatku begitu ingat pada Kevin. Dia selalu datang

ke rumahku dan bermain di kamar Jimmy. Tapi dia, tidak pernah sama sekali merendahkanku. Aku tidak ingat kapan pertama kali aku bertemu dengannya. Yang aku ingat, ketika Jimmy mendorongku dengan sangat emosi karena Papa membelikanku hanphone baru. Ketika aku hendak bangun, Kevin menjulurkan tangannya. Ia membantuku, dan tersenyum padaku.

Aku sampai di sekolahku.

“Terima kasih.” Aku turun dari motornya, lalu melangkah.

“Eits tunggu. Ini.” Kevin mengehentikan langkahku, lalu memberikanku sebuah masker baru.

“Ini, untuk apa?” Aku mengkerutkan keningku, seraya berpikir.

“Jangan memperlihatkan kesedihanmu pada orang lain. Semangat!” Kevin tersenyum dengan imut, membuat jantungku berdebar. Tidak, dia milik Jimmy. Aku tidak ingin menjadi rendahan hanya karena dia mengantarku ke sekolah. Aku langsung berbalik badan, dan masuk ke dalam gerbang sekolah. Aku kembali berjalan santai, dan masuk ke dalam kelasku. Semua siswa heboh dengan penampilan baruku. Semua mata tertuju padaku. Tak hanya itu, hampir semua orang memuji penampilan baruku. Dan ada yang mengatakan jika aku jauh lebih cantik dari pada Jimmy. Ketika aku hendak duduk, Jimmy datang ke hadapanku.

“Mawar!” Jimmy kembali berterika padaku dengan wajah emosi. Aku tidak mengacuhkannya dan langsung duduk dengan manis. Melihat perubahanku, Jimmy langsung memainkan kata-katanya. Ia memangku kedua tangannya, dan melirik jijik padaku.

“Woaaah. Aku melihat ada perubahan di sini. Apa kau ingin menadi populer sepertiku? Aku tau itu, kau sangat iri

denganku.”Jimmy  mengangkat dagunya dengan gaya yang sangat sok. Aku tetap tidak mengacuhkannya, dengan membersihkan sisa cat kuku di jadi telunjukku. Jimmy mendekatkan wajahnya pada wajahku.

“Dengan gaya rambut seperti ini, itu semua tetap membuatmu rendah. Dan akan tetap tampak sangat rendahan!” Bisiknya membuatku langsung berdiri.

“Kau, apa kau tidak sadar dengan wajahmu yang bintik-bintik itu? Ooooh, mungkin kau benar-benar tidak sadar. Baiklah, aku akan menyadarkanmu. Kau lihat seisi kelas ini, apa ada yang memiliki wajah berbintik sepertimu?” Jimmy memperhatikan wajah semua siswa yang ada di kelas.

“Tidak ada kan, hanya kau yang memiliki wajah berbintik di sini. Dan kau harus sadar, jika kau itu, hanya kaum minoritas.” Bisikku balik membuatnya langsung emosi dan menjambak rambutku.

“Akhhhh.” Aku menahan jambakannya.

“Aku ini masih kakakmu! Kau, tidak berhak menjawab ucapanku!” Jimmy menghempaskanku keatas meja. Ia tampak sangat terkejut dengan bisikanku. Dia juga tampak sedikit ketakutan, dan kembali ke kelasnya.

**

Jam pelajaran berakhir, hari ini adalah hari terakhir sekolah, mengingat minggu depan sudah ujian akhir sekolah. Seorang guru masuk ke kelasku dan memberikan arahan ujian masuk universitas luar negeri sebelum ujian akhir sekolah. Karena sekolahku ini adalah sekolah internasional, jadi hasil ujian masuk universitas akan diumumkan setelah ujian nasional selesai. Karenanya, jika lulus, kalian bisa langsung mengikuti ospek di universitas tersebut. Ujian tersebut diadakan hari ini juga. Aku berhasil menggerjakan semua soal dengan baik. Ketika pulang sekolah, aku melirik Jimmy dan Kevin yang tampak tertawa lepas. Aku berjalan menepi untuk menghindari mereka berdua. Luci datang, dan mengentikanku.

“Happy Birthday!” Teriaknya dengan memberikanku sebuah kado. Gadis pendek dengan rambut sebahu yang imut. Dia, adalah satu-satunya temanku, dan amat aku sayangi.

“Luci, terima kasih.” Aku menunduk sedih dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa? Hei, jangan menangis. Oh kejadian semalam, semuanya memaklumi kok. Kalian memang kembar, tapi sangat berbeda. Itu semua ibarat, kau adalah seorang malaikat, dan dia adalah seorang iblis. Maka dari itu, malaikat harus membunuh iblis. Kau, tidak boleh kalah dan mengalah. Kau, mengerti.” Luci menyeka air mataku.

“Mmmm. Aku mengerti.” Angguku. Luci memelukku, pelukan hangatnya membuatku merasa lebih baik. Aku melirik Jimmy dan Kevin. Kevin tampak tersenyum, sementara Jimmy menatapku dengan tatapan tidak suka. Aku membalas tatapan Jimmy dengan tatapan lebih tidak suka. Itu membuatnya sedikit terhenyak, dan bertanya pada Kevin. Kevin tampak menggeleng dan tersenyum manis.

**

Aku  sampai di rumah. Rumah kembali rapi seperti sedia kala. Tidak ada jejak  bencana pesat miras semalam.

“Woaah.” Aku duduk di ruang tamu, dan langsung membuka kadoku. Tiba-tiba, Jimmy datang dan langsung menyerangku.

“Mawar, apa maksud dari tatapanmu tadi haaa? Apa kau ingin mati haaa?” Jimmy langsung mendorongku. Seketika, kado Luci yang berisi sebuah pernak-pernik lampu kaca pecah berderai.

“Apa salah jika aku menggunakan mataku sendiri?” Aku meliriknya dengan tatapan dingin.

“Apa? apa kau bilang? Sudah berani ya menjawab ucapanku. Bukannya minta maaf!” Teriaknya dengan keras lalu berusaha menghantamku. Tanpa sengaja kakinya terkena belingan kaca.

“Haaaaa, haaaa haaaaaaaa!!!” Teriaknya kesakitan. Tiba-tiba Mama dan Papa keluar dari lemari. Sepertinya Mama dan Papa sedang merencanakan kejutan pesta ulang tahun untuk kami berdua.

“Mamaaaaa!” Rengeknya dengan kakinya yang robek akan beling kaca. Mama langsung mencabut beling kaca.

“Papa, Mama, kenapa kalian berdua bisa ada di sana?” Mereka berdua tidak mengacuhkanku. Bahkan Papa malah tampak sibuk mencari ponselnya untuk menelpon ambulan. Jimmy dilarikan ke rumah sakit. Sementara aku, tetap duduk dengan posisi awal tadi.

“Apa yang sebenarnya benar? Dan apa yang sebenarnya salah? Aku benar-benar tidak bisa membedakannya.” Gumamku dengan berjalan melintasi beling kaca lalu melangkah pelan ke kamarku. Rasa sakitnya tidak terasa di kaki ini. Darahku mulai berceceran di lantai. Aku merasa sangat lelah dan tertidur pulas di kamarku.

Malamnya, Kevin datang menjenguk Jimmy. Aku menengar depakan kakinya melangkah cepat di tangga. Aku bergegas bangun hanya untuk melihatnya. Tapi kali ini, tidak ada senyuman manis di bibirnya. Hanya ada, sorot mata kesalnya untukku. Aku menekan keras potongan beling kaca itu ke dalam kakiku. Darah segar, kembali mengalir di lantai. Ketika Mama lewat dan hendak ke kamar Jimmy, Mama melirik kakiku.

“Mawar, ada apa dengan kakimu? Hentikan darahnya, dan bersihkan dengan air mengalir. Cepat!” Teriak Mama. Aku masuk kembali masuk ke dalam kamar, dan mencabut beling kaca yang bersembunyi di kakiku. Tak ada rasa sakit, semua hanya terasa geli. Ternyata, inilah rasa dari sebuah luka. Rasa geli menggelitik, membuatku ingin tertawa geli. Apakah rasa lukaku ini, sama dengan rasa luka orang lain? Woaah, aku penasaran untuk bertanya. Bertanya pada orang yang memiliki luka. Atau mungkin, apa aku harus membuat mereka terluka dan baru menanyakannya?

**

Pagi yang cerah, ini adalah hari pertama ujian akhir sekolah. Aku keluar dari rumah dengan raut wajah ceria. Sesampai diluar rumah. Aku melihat Kevin yang tampak sedang menunggu Jimmy. Jimmy keluar dengan

menggunakan sebuah tongkat dan di bantu oleh Papa.

“Pa, ada Kevin. Kevin!” Teriak Jimmy. Kevin berlari kearah kami.

“Pagi Om, Jimmy, mau bareng.” Ajaknya.

“Mmmm, diantar Papa.” Rengeknya.

“Ya udah, hati-hati yaa. Nanti pulang sekolah aku jemput.”

“Okeee.” Jimmy  memberikan jempolnya dengan sok imut. Papa membantu Jimmy naik ke atas mobilnya.

“Kau sedang apa?” Tanya Papa dengan judes padaku. Aku hanya menatap Papa lalu melangkah pergi. Papa mengantar Jimmy dengan mobilnya. Sementara aku, bejalan kaki ke halte mobil. Bukankah itu aneh? Apakah salah jika dia menawarakanku juga. Lagi pula, kakiku juga sakit. Eeh, sakit, ahahahaha. Ini hanya rasa geli. Seseorang mendorongku dengan sangat keras, hingga membuatku jatuh ke aspal. Aku menoleh.

“Kevin!” Teriakku.

“Ya, ini aku. Sekarang aku memperingatkanmu. Jangan pernah lagi kau melukai Jimmy. Kau tau, aku tersenyum dan membantumu hanya karena aku ingin tau seberapa lemahnya dirimu. Jimmy selalu menindasmu, itu membuatku amat senang. Penampilanmu memang berubah, tapi kebusukanmu tidak akan pernah berubah.” Bisiknya dengan kejam padaku.

“Kebusukkanku, apa maksudnya itu? Jadi ini arti dari senyuman yang sebenarnya. Baiklah, aku akan memberikan kalian semua senyuman.” Aku tersenyum dengan manis. Melihatku yang tersenyum sendiri, itu membuatnya

bergegas pergi meninggalkanku.

Episode 3. Gadis Jahanam

Aku berjalan santai ke ruang ujian. Di tengah perjalanan, Luci menghentikan langkahku.

“Mawar, apa yang terjadi dengan kakimu?” Luci menatapku dengan wajah prihatin. Aku langsung menunduk dan melihat kakiku. Ternyata, lututku terluka karena Kevin mendorongku terlalu keras.

“Ah ini, tadi aku terjatuh.” Aku tersenyum lalu  mengusap darah yang bercucuran di lutut kiriku.

“Bukankah itu sangat sakit? Ayo kita ke uks dulu.” Luci menarik tanganku. Kami sampai di Uks dan Luci langsung menyuruh Dokter Vena untuk segera mengobati lukaku.

“Astaga Mawar.”Dokter Vena yang langsung membersihkan lukaku.

“Aku rasa darah yang keluar cukup banyak, dari luka ini. Ini bukan luka lecet, malahan lukanya udah sobek. Sepertinya, kau terjatuh di aspal yang memiliki kerikil tajam. Iyakan Dok.” Luci menatap perih pada lukaku. Sementara aku hanya tersenyum.

“Kau tersenyum, apa ini tidak sakit?” Dokter ini menatapku dengan tajam. Aku menggeleng dengan manis.

“Dibanding manusia lainnya, kau mungkin cukup kuat. Aku akan sedikit menjahitnya, mungkin kau akan merasakan sedikit rasa ngilu.” Dokter Vena mengambil sebuah jarum.

“Tidak akan, dari tadi aku hanya merasakan rasa geli di lukaku. Tidak masalah. Ahahahaha.” Tawaku membuat mereka berdua terdiam.

“Mawar, apa kau baik-baik saja? Apa sewaktu jatuh tadi, kepalamu juga terbentur?” Luci memeriksa kepalaku dengan wajah yang sangat cemas.

“Aku baik-baik saja.” Aku menepis tangan Luci dengan tersenyum imut.

“Luci, bisa ambilkan kasa steril di lantai atas.”Dokter Vena tetap membersihkan lukaku.

“Oke, akan aku ambilkan.” Luci berlari ke lantai atas.

“Apa kau memiliki masalah di rumahmu?” Tanya Dokter Vena padaku.

“Huuummhaaaah.” Aku menghela nafasku dalam-dalam, dan menghembuskannya secara pelan. Menurutku, semua yang terjadi padaku adalah hal pribadi yang harus aku telan sendiri. Aku langsung menjawabnya dengan sangat mantap.

“Tidak.”

“Aku memiliki firasat, jika kau akan menjadi orang yang sangat berbahaya nantinya.”

“Deg.” Ucapan Dokter Vena membuat jantungku berdegup kencang, dan itu membuatku menatapnya dengan tatapan tajam.

“Apa maksud Dokter?”

“Hanya firasat, aku harap mereka semua, hanya orang-orang yang bersalah. Kau pasti akan mengerti ucapanku ini nanti, pada waktunya.” Jawabnya dengan tersenyum membuat tanda tanya di kepalaku. Dia hanya seorang Dokter. Tapi tampaknya, dia sedang meramal masa depanku.

“Waktunya?” Tanyaku lagi. Luci datang dengan membawa kasa steril.

“Ini Dok.” Luci meletakkannya di sampingku. Mataku masih tertuju pada Dokter Vena.

“Sudah selesai. Sesampai di rumah kau harus mengganti kasanya. Ini, bawa saja.” Dokter Vena memberikan lebih kasa steril padaku.

“Tiiing, ttttooooooong.” Bel ujian pertama di mulai.

“Mawar, ayo. Terima kasih Dok.”Luci mengajakku menuju ruang ujian. Aku menoleh ke belakang, Dokter Vena masih menatapku. Apa maksud ucapannya tadi? Aku jadi penasaran.

**

Ujian pertama selesai. Aku berhasil menyelesaikan ujian dengan sangat amat baik. Semua soal terasa begitu sangat mudah. Aku mulai berkemas untuk pulang. Ketika aku berjalan keluar ruang ujian, aku melihat Jimmy sedang berlari-lari kecil di lorong kelas.

“Apa ini? Bukankah kakinya terluka parah?” Tanyaku dengan sangat kesal.

“Hmmhaaa.”Aku menghela nafas, lalu berbalik badan dan berupaya untuk tidak memperdulikannya. Tapi, hatiku berkata lain. Dia tampak sangat cemas akan sesuatu. Aku mulai berjalan pelan dan mengikutinya dari belakang. Ia berbelok kearah kiri lorong. Itu adalah lorong bagian dekan. Jimmy berhenti lama di depan kantor si dekan muda. Dekan sekolah yang masih berusia 28 tahun. lajang, dan sangat tampan. Aku melirik tanda informasi yang

tergantung di atas jendela.

“Joni Mahendra.” Aku langsung menginting di sela pintu.

“Astaga, sepertinya aku salah lihat.” Aku kembali menangkaskan penglihatanku. Jimmy, sedang bercumbu mesra dengan Pak Joni. Aku begitu terkejut, dan langsung menutup rapat mulutku dengan kedua tanganku. Mereka begitu panas, hingga tak peduli dengan siapapun. Hubungan macam apa ini? guru dan murid yang masih berusia belasan tahun. Aku menikmati desahan demi desahan Jimmy dari balik tiang yang berada di depan ruangan Pak Joni. Setelah hampir 2 jam, Jimmy keluar dengan tersenyum licik dan melangkah pergi. Sementara Pak Joni tampak terkulai lemas di ruangannya.

“Gadis jahanam.” Aku menatapnya dengan tatapan jijik, lalu kembali berjalan dibelakangnya. Ia tampak berbelok ke arah kelasnya dan mengambil tas, lalu meraih ponselnya.

“Ya, Papa. Aku sudah pulang. Bisa jemput aku Pa.”

“Okee, aku tunggu di depan gerbang ya Pa.” Jimmy  berjalan menuju gerbang. Aku masih mengikutinya dengan langkah sangat pelan dan santai. Aku melihat Papa datang dan langsung memeluk Jimmy. Itu adalah hal yang paling aku inginkan selama hidupku. Sepulang sekolah, di jemput Papa dan sebuah pelukan hangat penyemangat

hidup. Papa tampak heran pada Jimmy.

“Jimmy, apa kau menunggu lama nak?” Tanya Papa. Jimmy menggeleng.

“Kau tampak pulang telat. Ada apa?” Tanya Papa.

“Tadi, aku belajar dulu Pa. soalnya, kalau dirumah kurang konsen.” Jawabnya dengan tersenyum imut.

“Cih.” Aku berdecih di balik tiang gerbang. Belajar, apa yang sedang dia pelajari. Pelajaran biologi mungkin. Jimmy naik ke atas mobil dan pulang bersama Papa. Aku memperhatikannya dengan pasti, hingga mobil itu berbelok menghilang di penghujung jalan.

“Jimmy, kau akan hancur.” Aku berjalan menuju halte bus.

**

Aku sampai di rumah. Hujan yang amat deras membuatku basah kuyup. Ketika aku masuk ke dalam rumah, aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Jimmy tampak bersimpuh di lantai dengan secarik kertas di tangannya.

Sementara Papa dan Mama tampak diambang keraguan yang mendalam. Aku melirik isi kertas tersebut, dan melihat beberapa matrai tertempel disana. Sementara Jimmy, langsung membalik kertas tersebut dan berdiri.

“Kenapa? kau sudah basah kuyup, pergilah ke kamarmu!” Jimmy, menyembunyikan kertas itu dibalik tubuhnya.

“Mawar, kenapa kau pulang terlambat?” Mama menatap sendu padaku.

“Busnya lama Ma.” Aku melangkah naik ke kamarku.

“Scott, apa tadi kau meninggalkan Mawar?” Mama berteriak dengan nada emosi pada Papa.

“Aku tidak tau jika dia juga belum pulang. Tadi aku sudah memperhatikan halte bus, dia tidak ada di sana.” Papa terdengar mengiba.

“Bagaimanapun juga dia adalah anak kita.” Ucapan Mama, membuat air mataku jatuh. Aku mempercepat langkahku dan mulai menutup pintu kamar.

“Papa, Mama, aku mohon. Jika aku tetap disini, aku pasti bisa gila. Aku mohon Pa, Ma.” Permohonan Jimmy sayup-sayup dari kamarku. Entah apa yang sedang mereka bertiga rundingkan. Sepertinya, Jimmy ingin pergi jauh sepertiku. Tapi itu, tidak mungkin untuknya, menyedihkan.

**

Pagi yang cerah, setelah semalaman belajar dengan mati-matian, aku bangun dengan penuh gairah untuk mengisi lembar jawabanku nantinya. Aku mandi, dan mulai bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aku turun denagn santai dan berjalan menuju pintu keluar.

“Mawar, apa kau tidak sarapan?” Tanya seseroang membuatku berbalik. Jimmy? ada apa dengannya? Kenapa dia bertanya seperti itu padaku?

“Kemarilah sayang, sarapan dulu.” Papa tersenyum manis padaku. Papa? Ini tidak mungkin. Sejak kapan Papa memaniskan mulutnya dengan menyuruhku sarapan pagi.

“Kenapa kau berdiri di sana? kemarilah!” Teriak Mama dengan tegas. Biasanya, aku akan sarapan di halte bus, dengan sekotak kue yang di bungkuskan oleh Mama, atau pelayan dirumah. Tapi entah kenapa, bulan ini Mama memecat pelayan tersebut dengan alasan pemborosan biaya.

“Tidak usah, aku berangkat.” Melihat keanehan ini, aku berjalan cepat menuju pintu.

“Mama, Papa, aku juga berangkat dulu.” Akumendengar Jimmy berpamitan. Aku melangkah pelan menuju halte, dan melirik dedauan yang berguguran di tepi trotoar.

“Benar, kalian pernah muda, tua, hingga jatuh mengering seperti ini. Jika kalian lapuk, kalian juga masih berguna untuk pupuk. Aiish, aku iri dengan kalian.” Aku menendang beberapa dedauan kering diatas trotoar.

“Mawar!” Sapa seseorang membuatku menoleh.

“Jimmy, apa lagi?” Tanyaku dengan nada kesal.

“Apa lagi? Aku ini, adalah kembaranmu.” Jawabnya dengan tersenyum manis. Aku tau ada sesuatu di balik senyumannya.

“Ada apa? apa kau menginginkan sesuatu dariku?” Aku menatapnya dengan tatapan curiga.

“Iya, aku ingin meminta maaf padamu, atas perilakuku selama ini. Aku benar-benar minta maaf. Mungkin, itu semua kekanak-kanakan. Aku mohon, maafkan aku.” Jimmy bersimpuh duduk diatas trotoar.

“Apa? Apa lagi ini? Ini bukan sinetron.” Aku menaikkan sudut bibirku, lalu berjalan dan tidak mengacuhkannya. Jimmy bangun

dan mengejarku.

“Mulai sekarang, mari berteman.” Jimmy merangkul tanganku. Aku melihat rangkulannya, dan melirik wajahnya.

“Tidak mau.” Aku melepas rangkulannya.

“Kenapa? bukankah aku sudah meminta maaf. Sedalam itukah rasa bencimu padaku.” Jimmy melemparku dengan raut wajah sedih, itu membuatku semakin kesal. Aku melangkah kehadapannya.

“Sangat dalam! Bahkan nyawamu sendiri tidak sanggup untuk membayarnya.” Bisikku membuatnya terkejut. Tampak rasa takut yang amat jelas di wajahnya. Aku kembali berbalik dan berjalan dengan santai.

“Kenapa? Apa kau takut?” Tanyaku dengan menoleh licik padanya. Senyuman manisku membuatnya langsung berbalik badan.

“Ke-ke-kenapa de-de-dengannya?” Aku melihat Jimmy yang tampak ketakutan dengan Kaki yang gemetar. Melihat itu, aku kembali berjalan menuju halte bus.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!