**Selamat datang.
Novel ini ikut lomba Anak Genius, mohon dukungannya ya jangan lupa Like dan Komen**.
Happy reading 😘
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Haura, pergilah bersama Pandu untuk mengantarkan bunga-bunga ini ke hotel Raffles,”
“Baik Pak,” jawabku patuh.
Setelah mengatakan itu om Jodi masuk, aku dan pandu saling pandang lalu sama-sama tersenyum dan mulai bergerak.
Seratus buket bunga segar sudah tersusun rapi didalam mobil van milik om Jodi. Aku dan Pandu hanya tinggal mengantarnya, ke sebuah pesta topeng.
Malam tahun baru yang begitu cerah, bahkan bulan dan bintang ikut menyaksikan gemerlapnya kota Jakarta. Jalanan dipenuhi mobil-mobil yang merayap, macet.
Bahkan didepan sana, aku dan pandu sudah melihat beberapa kembang api yang meluncur menghiasi angkasa, padahal kini masih jam 8 malam, belum memasuki waktu pergantian tahun.
Tapi seolah tak sabar, sebagian orang sudah menghidupkan kembang api sejak dini.
Diam-diam, aku menikmatinya.
Seperti pencuri yang menikmati kebahagiaan orang lain.
Cahaya dengan warna-warna yang begitu indah, setelah membuat orang tersenyum bahagia, cahaya itu menghilang.
Aku sedikit berharap hidupku akan seperti kembang api itu. Setelah aku menghilang, orang-orang akan mengingatku sebagai sesuatu yang indah.
"Haura, sebentar lagi kita sampai, siapkan topeng kita. Tanpa itu kita tidak bisa masuk," ucap Pandu dan aku mengganggukinya setuju.
Di laci dashboard sudah ada 2 topeng berwarna hitam dan putih, ku ambil keduanya dan memasukkannya ke dalam tas.
Hanya dengan menunjukkan kartu undangan beserta kartu nama, aku dan Pandu langsung diarahkan ke sebuah ballroom di lantai paling atas.
Bahkan beberapa orang mengunakan seragam pun membantu kami untuk membawa bunga-bunga itu.
Sejenak, aku dan Pandu terpana ketika memasuki ballroom hotel itu, begitu mewah dan megah. Semakin ku lihat jelas, semakin aku merasa kecil.
Nampak jelas perbedaan antara mereka dan kami.
"Nona, susunlah bunga-bunga ini diujung sana, buat agar terlihat cantik,” perintah seorang wanita yang entah siapa, dia begitu cantik dengan gaun yang begitu pas ditubuhnya.
Bahkan kecantikannya tetap terpancar meskipun ia menggunakan topeng.
"Pembayarannya sudah ku selesaikan dengan tuan Jodi, jadi setelah selesai menyusun bunga kalian bisa segera meninggalkan pesta ini,” ucapnya lagi dengan suara yang terdengar lebih tegas.
Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban, lalu melihat wanita itu berjalan menjauh, memasuki kerumunan para tamu undangan.
“Ayo Haura, semangat!” ajak Pandu antusias dan aku pun menganggukinya tak kalah semangat.
Aku menyusun bunga dengan sesekali melirik ke arah lantai dansa. Beberapa pasangan sudah turun kesana, berdansa sambil saling mendekap dan menatap penuh cinta.
Aku tersenyum, indah sekali kehidupan yang mereka jalani. Seolah hidup ini hanya mereka gunakan untuk bersenang-senang, tak perlu pusing memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup.
“Haura, bunga ini hanya ada 99 buket, ku rasa yang 1 masih tertinggal di mobil. Aku akan turun untuk mengambilnya,” ucap Pandu dan langsung menyadarkanku dari lamunan.
“Tidak Pandu, biar aku yang turun,” jawabku dengan cepat, aku merasa tak enak hati jika Pandu yang harus turun. Sedari tadi, Pandu lebih banyak bekerja daripada aku.
“Baiklah," jawab pandu singkat dan aku langsung bergegas pergi.
Lagi, aku melirik ke dalam sebelum benar-benar keluar dari dalam ballroom.
Andaikan, aku menjadi salah satu diantara mereka. Batinku penuh harap.
Dengan tersenyum getir, aku melangkah keluar.
POV AUTHOR
“Hmpt!” dengan cepat Haura mencoba meloloskan diri, seorang pria berbadan besar sudah membekap mulutnya dari arah belakang. Menarik Haura agar mengikuti langkahnya.
"Lepas!" teriak Haura, memberontak namun tak menghasilkan apa-apa, ia kalah tenaga.
Di luar ballroom suasana begitu sepi, bahkan sepanjang lorong hotel ini hanya diisi oleh mereka berdua. Dengan kasar, pria itu membawa masuk Haura ke dalam sebuah kamar.
“Bantu aku,” desis pria itu dengan suara berat.
Haura menggeleng, mulut dan kedua tangannya masih dibekap dengan begitu kuat. Hanya air matanya yang keluar sebagai jawaban.
Hingga sampailah keduanya dalam sebuah kamar. Adam, melempar tubuh Haura ke atas ranjang king size itu.
“Apa yang anda lakukan? Tolong, tolong jangan sakiti aku," lirih Haura, ia bahkan mengatupkan kedua tangannya didepan dada dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
Ia menatap nanar pada pria dihadapannya, pria yang sudah menanggalkan bajunya satu per satu.
“Percayalah, aku akan bertanggung jawab padamu," jawab Adam dengan kedua mata yang sudah berkabut, tubuhnya begitu panas, ia butuh pelampiasan.
Tanpa menunda, Adam langsung mengikis jarak, menindih wanita yang entah siapa. Namun dari hijab yang dikenakannya, Adam yakin jika wanita ini adalah wanita baik-baik. Karena itulah ia menarik Haura.
Tangis Haura makin pecah, ketika satu per satu tubuhnya lepas dari penutup. Ia menangis merasakan tiap inci tubuhnya dinikmati oleh pria asing.
“Jangan, aku mohon lepaskan aku," mohon Haura tanpa henti, tapi bukannya berhenti, Adam malah menyatukan diri.
Haura menutup matanya, merutuki nasib yang ia alami.
Kenapa ya Allah? Kenapa? Batinnya penuh tanya.
Kedua kakinya terikat, dan kedua tangganya digenggam erat hanya dengan satu tangan. Semua tenaga sudah ia kerahkan untuk melawan, namun penyatuan itu tetap tak bisa ia lepas.
Seolah tak memiliki hati nurani, Adam terus menyentak Haura dengan kasar. Meskipun tak ada sedikitpun ******* yang Haura keluarkan. Di ruangan temaram itu hanya terdengar isak tangis Haura dan erangan Adam.
“Maaf,” desis Adam dengan napas terengah. Setelah puas menikmati manisnya tubuh Haura, ia ambruk.
Sementara Haura, ia hanya terdiam. Tangisnya memang sudah mereda, namun kini kesedihan makin kental terasa. Tubuhnya remuk redam, intinya begitu sakit dan perih, begitu juga dengan hatinya yang hancur lebur, ia sudah tak berdaya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi.
Perlahan, Haura membuka matanya. Ruangan yang semalam nampak gelap kini sudah lebih terang. Cahaya matahari masuk menerobos dinding kaca di arah timur.
Sepi, tak ada suara apapun, bahkan ia menyadari jika hanya tinggal ia seorang diri di dalam ruangan ini.
Lagi, air mata itu jatuh. Tak hanya sekilas, tapi semua yang terjadi semalam begitu jelas diingatannya. Sesaat, Haura berharap ini semua hanya mimpi buruk. Tapi melihat keadaannya yang seperti ini, Haura tak bisa mengubahnya lagi.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Haura mencoba bangun. Menurunkan kakinya yang sudah terlepas dari ikatan.
“Iblis,” desisnya pelan dan hanya ditangkap oleh telinganya sendiri.
Dengan susah payah, ia memunguti semua bajunya yang berserak di lantai. Hingga kedua matanya menangkap sebuah benda kecil yang berkilauan.
Kancing baju?
Kancing baju milik iblis itu. Yakin Haura di dalam hati.
Dengan hati yang membenci, Haura keluar dai dalam kamar terkutuk itu. Tangannya mengepal kuat, meremat kancing yang ia temukan.
Aku bersumpah, sampai matipun kamu tidak akan pernah menemukan kebahagiaan.
Tertatih, Haura terus melangkah dengan hati yang terus mengutuk.
Like & Komen jangan lupa 😁
Happy reading 😘
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dengan langkah ragu, Haura memasuki kamar mandi.
Tangannya meremat sebuah benda yang akan memastikan semuanya, testpack.
Dua bulan berlalu setelah malam tahun baru, akhir-akir ini, Haura merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Saat pagi, Haura merasa begitu mual, mulutnya terasa pahit dan selalu menginginkan makanan yang manis-manis.
Haura tidak bodoh, banyak pula ia tahu tentang tanda-tanda kehamilan. Terlebih, ia pernah melewati satu malam terlarang.
“Jangan ya Allah, hamba mohon jangan," pinta Haura dengan penuh harap.
Dua menit kemudian, hasil itu sudah ada berada digenggaman. Dalam hatinya, Haura selalu memohon agar ketakutannya tidak menjadi kenyataan. Sumpah demi apapun, ia tak menginginkan ada benih di dalam rahimnya. Sumpah demi apapun, ia tak ingin pria iblis itu meninggalkan bekas di hidupnya.
"Hamba mohon ya Allah, hamba mohon," desisnya sekali lagi.
Dengan perlahan, Haura membuka genggamannya sendiri, memperhatikan ada berapa garis merah yang tergambar dalam testpack itu.
Dua garis merah, dua garis merah, dua garis merah.
Haura menutup matanya dan seketika itu juga jatuh setetes air mata. Hatinya pilu, betapa tuhan begitu membenci dirinya. Hingga cobaan datang silih berganti tanpa henti.
"Kenapa?" desis Haura diantara isak tangis.
Kamar mandi berukuran kecil itu penuh dengan suara tangisnya, bahkan tangis itu terdengar sampai keluar. Tapi tetap tak ada orang yang peduli.
25 menit, waktu yang Haura butuhkan untuk bisa kembali tenang. Dengan tertatih, ia keluar dari dalam kamar mandi itu, duduk disisi ranjang.
Tatapannya kosong, hatinya begitu hampa.
Hingga tak berselang lama, pendengarannya menangkap suara ponselnya yang berdering memenuhi seisi ruangan itu.
Sejenak, Haura tak memperdulikannya. Namun suara itu terus berdering tanpa henti. Seolah mengisyaratkan jika panggilan itu begitu penting.
Menghela napas, akhirnya Haura mengambil ponselnya. Nama Om Jodi tertera jelas di layar ponsel itu.
"Assalamualaikum Om," jawab Haura lirih.
Diujung sana, Jodi mengeryit bingung. Apa yang sebenarnya terjadi pada sang keponakan.
"Haura, kamu baik-baik saja kan? apa kamu sakit? sudah siang begini kenapa belum sampai di toko?" tanya Jodi bertubi, jujur saja ia begitu mencemaskan Haura. Gadis malang yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
Haura tak menjawab, mendengar suara perhatian sang paman membuatnya begitu pilu. Air matanya jatuh menahan sedih. Lidahnya kelu untuk meluapkan semua sakit yang ada di dalam hatinya.
"Ti-tidak Om, Haura baik-baik saja," jawab Haura bohong, namun Jodi mendengar isak tangisnya.
"Tante Salma akan menemuimu, tunggulah di sana," ucap Jodi lalu memutuskan panggilan itu.
"Tidak Om! jangan," cegah Haura namun sia-sia, panggilan itu lebih dulu terputus. Salma adalah istri sang paman.
Haura menutup matanya sejenak, lalu memandangi ponselnya dengan tatapan nanar.
Dengan tubuh yang lemah, Haura mulai bangkit. Membereskan kamarnya sebelum sang tante datang. Mempersiapkan agar rumah kecilnya ini terlihat layak dan bersih dimata Salma.
Haura bahkan membuang tespack itu ke dalam kotak sampah, lalu menumpuknya dengan sampah-sampah yang lain.
15 menit kemudian, Pintu rumah Haura diketuk. Haura tahu, itu adalah sang tante, mengetuk dengan tidak sabaran. Maka buru-buru ia membukanya.
"Kamu kenapa? sakit?" tanya Salma langsung saat pintu itu sudah terbuka, ia berdiri didepan pintu itu dengan angkuhnya.
Tak langsung menjawab, Haura hanya bisa menunduk menghindari tatapan tajam Salma. Tatapan yang mengisyaratkan ketidaksukaan.
"Kamu itu ya, selalu merepotkan tante dan om," keluh Salma, ia melipat kedua tangannya didepan dada.
"Uangmu masih ada tidak? kalau sakit ya berobat, jangan mengurung diri ditempat kumuh seperti ini," marah Salma.
"Bukannya sembuh, sakitmu malah tambah parah. Om kan sudah memberimu uang tambahan, harusnya gunakan untuk mencari kontrakan yang lebih layak, bukannya penampungan seperti ini,"
Terus, Salma memaki tanpa henti. Haura yang mendengarkan itu seketika jadi merasa pusing, seolah dunia ini menjadi gelap dan berputar-putar.
Bahkan tak hanya kepalanya saja yang pusing, perutnya pun serasa diaduk-aduk hingga terasa mual.
Tak sanggup lagi, dengan langkah sempoyongan Haura berlari masuk ke dalam kamar mandi. Memuntahkan semua isi perutnya di dalam sana.
Melihat itu, Salma mengeryit bingung.
Dengan ragu ia mulai masuk ke dalam rumah yang baginya begitu kumuh. Diperhatikannya ruangan berukuran 4 x 4 itu, satu yang mencuri perhatiannya. Kenapa banyak sekali mangga muda.
Pikirannya langsung kearah sana, Haura hamil.
Tanpa memperdulikan Haura yang sedang kesakitan di dalam kamar mandi sana, Salma membongkar semua seisi kamar ini. Mencari bukti yang lebih nyata dari dugaannya.
Membabi buta, ia menyerahkan semua barang. Bahkan kotak sampah di sudut ruangan itupun tak lepas dari perhatiannya.
Dengan asal, ia menumpah seisi sampah itu dilantai lalu menyeraknya dengan kaki.
Dan benar seperti dugaannya, 1 testpack ia temukan di dalam sana, lengkap dengan tanda 2 garis merah.
"Gadis laknat," gerutu Salma dengan begitu kesal. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun.
"HAURA!" pekik Salma dengan rahang yang sudah mengeras.
Di dalam sana, Haura sampai terkejut mendengar panggilan sang tante. Ia lebih terkejut lagi saat melihat seisi kamarnya yang sudah berantakan.
Kakinya gemetar, saat ia melihat Salma menggenggam sebuah testpack.
"Apa ini? kamu hamil?" Bentak Salma, menuntut jawaban. Tapi bukanya menjawab, Haura malah menangis.
Plak!
Satu tamparan keras Salma layangkan dipipi Haura.
"Kurang baik apa kami padamu hah? bahkan suamiku sering sekali memberikanmu uang lebih, tapi bukannya berterima masih, kamu melemparkan kotoran ke wajah kami!" Sentak Salma, rasanya ia ingin sekali mencabik-cabik wajah gadis ini.
Sumpah demi apapun ia begitu marah dan kesal.
"Anak siapa ini hah? anak siapa? siapa pria yang kamu goda itu, Pandu?" desak Salma tanpa memperdulikan isak tangis Haura.
"Apa kamu menggoda om mu sendiri hah? jawaab!" pekik Salma dan Haura menggeleng dengan keras.
"Maafkan aku Tante, aku bisa menjelaskan se_"
"Cukup! aku sudah muak melihat wajah dan air mata buayamu itu." sanggah Salma.
"Pergi, pergi yang jauh dari keluargaku. Jangan pernah tunjukkan wajah menjijikkanmu itu lagi!" ancam Salma, setelah mengatakan itu ia pergi, dengan langkah besar dan penuh kemarahan Salma meninggalkan Haura seorang diri.
Ambruk, Haura terduduk di atas lantai.
Ia menangis tersedu hingga berjam jam.
"Tidak, aku tidak boleh menangis lagi. Menangispun aku tidak bisa mengubah semua yang terjadi," gumam Haura, ia lalu menghapus air matanya sendiri dengan kasar.
"Aku tidak sudi menghancurkan hidupku sendiri hanya karena pria iblis itu,"
"Ini anakku, ini hanya anakku," desisnya lagi dengan yakin.
Pagi menjelang siang kala itu, Haura memantapkan hatinya untuk meninggalkan kota Jakarta. Ia ingin pergi jauh meninggalkan semua kenangan buruk. Biarlah ia hidup hanya seorang diri dan nanti bersama anaknya.
Di pedalaman pulau Kalimantan, desa Parupay tujuan Haura.
Tempat yang tidak akan dijangkau oleh siapapun, hutan masih menjadi dinding pembatas di sana.
Tujuh bulan kemudian.
Kini, kehamilan Haura sudah memasuki usia 9 bulan. Bulan dimana ia akan segera melahirkan.
Dulu, pertama kalinya Haura menginjakkan kaki di desa ini ia bertemu dengan nenek Aminah. Aminah yang tinggal sebatang kara meminta Haura untuk tinggal bersamanya saja, dibandingkan harus mengontrak rumah milik kepala Desa.
Dengan senang hati Haura menerima tawaran Aminah. Bahkan, Haura menceritakan semua kisah hidupnya hingga akhirnya ia sampai disini.
Tempat yang baginya adalah sebuah pengasingan.
Aminah makin merasa iba, sejak saat itu keduanya hidup rukun layaknya seorang nenek dan cucu kandung. Haura bahkan membantu Aminah yang bekerja sebagai buruh tani. Susah senang mereka jalani berdua.
Di desa terpencil ini, Haura merasakan kedamaian yang tak pernah ia dapatkan selama tinggal di kota Jakarta. Disini, Haura merasa diterima dengan tulus, tanpa memandang apa yang ia punya dan tanpa menilai apa kekurangannya.
"Haura, nenek pulang dulu ya, nenek capek sekali," ucap Aminah, kini ia dan Haura sedang bekerja memanen cabe di kebun milik pak Hante, kepala Desa disini.
"Iya Nek," jawab Haura seraya mengangguk kecil. Kebun ini terbilang luas, hingga yang bekerja bukan hanya Haura dan Aminah. Masih ada 8 orang lain selain mereka.
Mendekati waktu sore, mungkin sekitar jam 3 sore Haura merasa begitu lapar, sementara bekalnya sudah habis saat makan siang tadi.
"Sepertinya kita harus ke hutan lagi sayang," gumam Haura sambil mengelus perutnya dengan sayang.
Saat memeriksakan kandungan, Haura dibuat terkejut ketika dokter mengatakan bahwa ia hamil anak kembar. Air mata Haura luruh saat itu juga. Dulu, ia pernah berpikir untuk menggugurkan kandungannya, mengingat hal itu Haura benar-benar merasa bersalah. Nyaris saja ia membunuh 2 nyawa.
Semenjak saat itu juga, Haura benar-benar menerima kehamilannya dengan sepenuh hati. Ia bahkan mengupayakan segala cara agar anaknya tetap sehat di dalam sana.
Selesai memanen cabe, Haura memutuskan untuk kembali masuk ke dalam hutan. Kebiasaan yang sudah sering ia lakukan. Di dalam hutan ini begitu banyak menyimpan makanan, buah-buahan selalu ia temukan di setiap penjuru.
Haura, tak punya cukup uang untuk membeli makanan lebih, sementara ia selalu saja merasa lapar. Akhirnya, hutanlah tujuan Haura untuk membuat anaknya merasa kenyang.
"Alhamdulilah, di sana ada buah sayang," gumam Haura saat ia baru saja memasuki hutan.
Buah kecil-kecil berwarna merah terang, pohonnya merambat mengelilingi pohon besar. Haura menarik buah itu dan banyak pula semut-semut yang memakannya. Jika hewan-hewan ikut memakan buah yang ia incar, Haura yakin buah itu tidak beracun.
"Hem, agak kecut ya sayang, tapi lumayan manis," kata Haura lagi, ia memang selalu berbicara dengan kedua anaknya.
Haura tak menghabiskan buah itu, sengaja ia sisa untuk para semut-semut.
Lagi, Haura berjalan lebih masuk ke dalam. Tak lama kemudian iapun menemukan beberapa buah. Saat langit mulai menggelap, Haura memutuskan untuk pulang.
Disepanjang jalannya itu sudah banyak kunang-kunang yang bertebangan. Haura, pulang membawa jamur hutan yang ia bungkus dengan daun besar.
Hampir magrib, Haura baru sampai di rumah. Aminah menyambutnya dengan penuh amarah.
"Kamu ke hutan lagi?" tanya Aminah tepat di depan pintu. Matanya menyalang menatap tajam.
Haura, ia malah tersenyum lebar menampakkan gigi-giginya.
"Maaf Nek, ini aku dapat jamur," jawab Haura lalu mengangkat tangan kanannya yang membawa sebungkus jamur.
Melihat itu, Aminah hanya menghembuskan napasnya kasar. Bukan apa-apa, ia begitu khawatir dengan kondisi Haura. Apalagi kini kehamilannya sudah memasuki usia sembilan bulan dan hanya tinggal menunggu hari.
Tapi seolah memiliki tenaga ekstra, Haura tetap saja tidak bisa diam. 2 janin didalam perutnya sama sekali tak membuatnya terbebani.
"Ibu yang ceroboh dan anak-anak yang pintar, ayo masuk," ajak Aminah dengan menggandeng Haura untuk masuk ke dalam rumah.
Pintu itu ditutup dan seketika itu juga adzan magrib berkumandang.
Aminah, langsung saja mengolah jamur yang Haura bawa saat Haura sedang mandi. Malam ini, mereka makan menggunakan jamur itu.
"Aduh Nek, kok perutku sakit ya?" tanya Haura dengan merintih, baru saja keduanya selesai makan malam, dan kini Haura merasakan kesakitan.
"Ya Allah Haura, jangan-jangan sekarang saatnya, kata bidan Sanja kan bisa saja lahirnya maju," jawab Aminah dengan raut wajah cemas.
Haura tak menjawab, perutnya makin terasa sakit.
"Ayo Nak, kita ke rumah bidan Sanja sekarang," ajak Aminah, ia mencoba tenang dan mulai membantu Haura berdiri.
Tak ada kendaraan yang bisa mereka gunakan, malam itu Haura dan Aminah berjalan menuju rumah Sanja, bidan satu-satunya di desa.
Rumah Sanja cukup jauh, butuh waktu 20 menit untuk mereka sampai di sana.
"Nek, sakitnya makin terasa," lirih Haura saat perjalanan mereka baru sampai ditengahnya.
"Sabar Nak, sebentar lagi kita sampai," Aminah terus menyemangati Haura, meminta untuk tenang dan sabar.
Jangan mengeluh, karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan kedua anaknya.
Haura mengangguk, keluhannya ia ubah menjadi zikir yang selalu ia ucapkan. Kakinya begitu lemas seolah tak mampu lagi berjalan, namun Haura tetap melangkah sekuat tenaga.
Tubuhnya basah dengan keringat dingin, namun ia mencoba tak merasakannya.
"Assalamualaikum, Bidan Sanjaa!" teriak Aminah saat mereka sudah sampai di rumah Sanja.
Berulang kali Aminah memanggil hingga akhirnya pintu itu terbuka.
"Nek Inah, Haura, masya Allah kamu sudah mau lahiran Ra?" tanya Sanja dengan cemas.
Tanpa babibu lagi, Sanja membawa Haura masuk ke ruang persalinan. Aminah dengan setia menemani Haura di dalam sana.
Satu jam, waktu yang Haura butuhkan untuk berhasil mengeluarkan kedua anaknya. Bayi laki-laki dan perempuan yang begitu menawan.
Rumah sepi Sanja berubah jadi riuh dengan tangisan kedua anak itu.
Haura, Aminah dan Sanja tersenyum penuh syukur.
"Selamat Haura, kamu wanita yang hebat, anak-anakmu lahir dengan begitu sehat, tanpa kekurangan sesuatu apapun," jelas Sanja saat semuanya sudah beres, ia menggendong kedua bayi itu dan memberikannya pada Haura.
Melihat sang anak, air mata Haura pun akhirnya jatuh juga, padahal sedari tadi saat kontraksi hingga melahirkan ia tidak meneteskan sedikitpun air mata.
"Anakku," guman Haura penuh syukur.
Haura lalu melihat ke arah Aminah yang masih menangis haru.
"Nek," panggil Haura lirih dan Aminah mendekat.
"Mereka adalah cicit-cicit Nenek Inah, jadi Haura mohon, Nenek yang memberi nama untuk mereka berdua," pinta Haura, mendengar itu Aminah langsung memeluk Haura dengan sayang.
Betapa ia merasa sangat dihargai oleh Haura.
Sanja yang melihat itupun tersenyum, seraya menghapus air bening yang mengalir di sudut matanya.
"Bayi laki-laki ini akan nenek beri nama Azzam, sedangkan yang perempuan bernama Azzura."
AZZAM DAN AZZURA.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!