Di salah satu rumah yang tidak terlalu besar.
Lampu-lampu yang sudah dihidupkan masih tidak bisa menerangi seluruh penjuru ruangan rumah dengan sempurna.
"Dasar laki-laki tidak berguna!" Suara seorang perempuan yang sedang memaki begitu jelas terdengar.
"Kapan kamu sembuh? Dasar tua bangka!" Suara memaki masih saja terdengar di barengi dengan suara sesuatu yang pecah.
Prang!!!
Tok... Tok...Tok!
Samar, suara pintu diketuk dari luar oleh seseorang.
"Hah! Siapa juga yang datang malam-malam begini!"
Dengan malas orang yang sedang memaki-maki tadi berjalan ke arah pintu. Sebelum membuka pintu, dia mengintip dari balik tirai. Setelah mengetahui siapa yang datang, segera dengan cepat dia membuka pintu rumah.
Ceklek!
"Heh! Dasar anak tidak tahu diri. Kenapa baru pulang? Lihat, ayahmu yang tidak berguna itu semakin merepotkan saja!"
"Maaf Bu. Aku tadi ada lembur di toko. Jadi agak malam pulangnya." Suara gadis meminta maaf atas keterlambatannya.
"Ya sudah. Buruan urus itu ayahmu. Aku mau pergi sebentar!"
Selang beberapa menit, rumah menjadi sepi tanpa ada suara makian lagi.
"Cilla... Maafkan ayah nak!"
Gadis yang disebut dengan nama Cilla tersenyum kearah suara. Itu suara ayahnya. Wildan Bayu. Seorang mantan kontraktor sukses yang sudah bangkrut karena memiliki istri yang suka berjudi. Dian Anita. Perempuan yang tadi memaki-maki dirinya.
Wildan Bayu yang seorang duda kaya dan memiliki seorang anak gadis tentu menjadi sasaran empuk para perempuan yang bermimpi hidup enak. Dengan segala drama akhirnya Wildan Bayu berhasil menikahi Dian Anita. Seorang penata rambut di sebuah salon kecantikan tempat Bayu biasa memangkas rambutnya.
Dian yang masih muda dan cantik tentu banyak maunya. Apa saja yang dia inginkan harus segera terpenuhi. Lama-lama, Bayu yang seorang kontraktor kaya menjadi miskin dan sakit-sakitan. Hartanya sedikit demi sedikit habis untuk biaya pengobatan dan kemauan istrinya yang masih muda, Dian Anita.
Rumahnya yang besar dan mewah, harus dijual untuk menutupi kebutuhan hidup. Sekarang mereka harus rela menempati rumah kontrakan kecil di pinggir kota yang jauh dari keramaian.
Tentu ini membuat Dian semakin banyak tingkah. Ada saja yang bisa membuatnya marah dan terus memaki-maki. Seperti malam ini, Dian yang sudah ada janji bersama temannya, harus terlambat karena Cilla yang pulang malam.
"Ayah bagaimana keadaannya, sudah agak enakan?" Cilla mengalihkan perhatian ayahnya dengan pertanyaanya.
"Ayah tidak tahu Cilla. Tubuh ayah kenapa semakin hari semakin lemah. Seperti tidak ada tenaga."
Ayah menjawab pertanyaan anaknya, dengan suara yang lemah. Cilla menjadi sedih dan ingin menangis, melihat keadaan ayahnya yang tidak ada perubahan sama sekali.
"Ayah yang sabar ya! Nanti kalau Cilla gajian, kita berobat ke rumah sakit. Biar ayah ditangani dokter spesialis."
Cilla menghibur ayahnya agar tidak merasa bersalah terus menerus, dengan keadaan keluarganya sekarang ini.
"Andai Ayah tidak menikah dengan ibumu, kita masih bisa hidup seperti dulu ya."
Ayah berkata dengan suara bergetar. Matanya juga berkaca-kaca mengingat kembali kehidupan yang dulu sebelum ada Dian Anita. Istrinya yang masih muda dan ternyata seorang penjudi.
Cilla mengeleng lemah. Sesungguhnya, dia juga merasa sedih dan juga bersalah. Ayahnya menikahi Dian, karena permintaan darinya. Dulu, Dian terlihat penyayang dan juga perhatian. Cilla menjadi jatuh hati pada calon ibu tirinya tersebut. Apalagi Dian pandai mengambil hati Cilla, yang memang merindukan sosok seorang ibu. Cilla di tinggal ibunya sedari dia umur tujuh tahun. Sekarang ini, Cilla baru berumur delapan belas tahun.
"Sudah yah... tidak usah menyalahkan diri sendiri. Ini juga salah Cilla yang memaksa ayah dulu."
Cilla memeluk ayahnya, yang semakin terlihat lemah. Ayahnya tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa, sama seperti dulu, sewaktu masih sehat. Itulah sebabnya, ibu tirinya sering marah-marah. Apa lagi sejak tabungan yang ada, habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari dan juga berobat ayahnya. Cilla juga harus putus sekolah demi menghemat pengeluaran dan biaya. Dan kini Cilla harus bekerja di sebuah toko baju, demi bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
"Andai ayah sehat. Kamu tidak perlu bekerja dan bisa melanjutkan sekolah kamu Cilla. Uhuk... uhuk..." Ayah terbatuk-batuk sambil memegang dadanya yang terasa nyeri.
"Sudah yah. Sudah. Jangan menyalahkan diri ayah terus. Semua sudah terjadi. Apapun itu, kita harus kuat untuk melewati semua ini. Semoga ibu juga akan segera sadar."
Cilla memeluk ayahnya dengan air mata yang dia tahan. Dia tidak mau terlihat lemah dan cengeng di depan ayahnya.
*****
Malam yang larut semakin tampak sepi di perkampungan padat penduduk ini. Perkampungan yang ada di daerah pinggiran kota ini memang banyak sekali jenisnya. Ada berbagai macam profesi.
Dor... Dor... Dor!
Dor... Dor... Dor!
Pintu rumah yang sudah tua itu di gedor-gedor dengan keras dari luar. Cilla yang baru saja mau tertidur harus segera bangun dan membuka pintu jika tidak ingin pintunya roboh.
"Iya Bu. Sebentar!" Cilla melangkah dengan cepat agar segera sampai ke pintu.
Dor... Dor... Dor!
"Cepat buka atau pintu akan rusak ini!"
Ibu Cilla berteriak dari luar. Dia tidak mendengar jika Cilla sudah bangun.
"Heh. Budek ya!" Teriak ibu tiri Cilla memaki.
Cilla yang membuka pintu terlihat pucat pasi karena kemarahan ibu tirinya. Cilla segera berlari ke arah dapur untuk mengambil air minum.
"Minum dulu Bu!" Cilla menyodorkan satu gelas air putih untuk ibunya.
Prang... Plak!
Gelas pecah berserakan karena di buang ibunya. Bahkan satu tamparan mendarat sempurna di pipi Cilla sebelah kiri.
"Dasar anak tidak berguna! Sama saja kayak ayahnya yang seperti mayat!"
Dian Anita adalah wanita muda yang terbiasa hidup enak tanpa banyak bekerja. Dulu dia bekerja di salon kecantikan juga banyak yang memberi tips. Tidak lama, dia dilamar oleh Wildan Bayu. Meskipun Wildan Bayu seorang duda beranak satu, tapi dia masih terlihat muda, dan yang terpenting adalah kaya.
Wildan Bayu yang seorang duda, adalah seorang pengusaha kontraktor yang sukses. Istrinya meninggal saat anaknya berumur tujuh tahun, dan tidak mau menikah jika anaknya itu tidak menyukai calon ibunya, alias calon istri Wildan Bayu.
Secara kebetulan, Dian Anita pandai berakting. Dia bisa dengan mudah memikat hati Cilla Andini, anak Wildan Bayu, yang baru berumur kurang dari sepuluh tahun. Dengan segala drama seperti sinetron-sinetron di televisi, akhirnya Dian berhasil juga menikah dengan Wildan Bayu. Mimpinya terwujud, menjadi nyonya muda yang kaya raya tanpa harus pusing bekerja keras.
Tahun-tahun awal pernikahan, semua baik-baik saja. Kasih sayang yang Dian berikan masih begitu tampak dengan jelas. Wildan dan Cilla tentu sangat senang dan bersyukur mendapatkan ibu pengganti yang baik dan tidak seperti kebanyakan cerita-cerita yang biasanya ada di novel ataupun layar kaca televisi.
Tapi, satu yang tidak mereka berdua sadari secara langsung adalah, kebiasaan Dian yang seorang penjudi dan tentunya kebiasaan judi dibarengi dengan minum-minuman keras yang beralkohol.
Dian juga menolak saat di minta hamil oleh suaminya, Wildan. Dia beralasan jika mempunyai anak nantinya akan membuat Cilla cemburu karena kasih sayangnya yang terbagi dengan adiknya.
Wildan hanya bisa mengiyakan saja alasan istrinya itu tanpa mencari kebenarannya terlebih dahulu. Dia memang tidak mau jika Cilla terabaikan padahal bukan itu yang sebenarnya menjadi alasan Dian Anita, istrinya.
"Cilla... Cilla..."
Suara pelan itu kembali terdengar. Cilla dengan segera datang ke kamar ayahnya.
"Iya yah. Ayah perlu apa?" tanya Cilla pelan. Dia tidak mau jika suaranya mengganggu ibu tirinya yang baru saja datang dan mabuk. Mungkin sekarang baru saja tertidur.
"Ibumu baru pulang? Mabuk lagi?" tanya ayah Cilla.
Cilla mengangguk pelan. Dia tidak mau bersuara agar ayahnya juga mengerti maksud diamnya.
"Kenapa kita jadi seperti ini Cilla. Ayah tidak tahu apa salah ayah dahulu, sehingga kita ada dalam garis takdir yang sekarang ini."
Wildan Bayu seakan protes pada jalan takdir yang dia lalui saat ini. Air matanya jatuh menetes seperti biasanya jika dia dalam keadaan seperti sekarang ini. Merasa tidak berguna dan tidak berdaya.
Cilla memeluk ayahnya dengan berlinang air mata juga. Dia bukan menangis karena kata-kata ayahnya, tapi dia menangisi kelemahan dan juga ketidakberdayaannya dirinya menjaga serta mengurus ayahnya, karena terpaksa harus bekerja jika masih ingin bisa bertahan hidup..
Suatu malam saat Cilla baru saja pulang dari bekerja.
"Tolong...! Ibu... Ibu... !"
Cilla terus berteriak dan memanggil ibunya, tapi sepertinya ibunya sedang tidak ada di rumah. Entah kemana dia, padahal biasanya pergi keluar jika Cilla sudah sampai di rumah.
"Heh! Kenapa Ayahmu?"
Tiba-tiba ibunya datang sambil menyipitkan matanya. Dia melihat suaminya yang sudah tidak berdaya tergelatak di lantai, sedangkan Cilla memeluk ayahnya yang tidak bergerak sama sekali.
"Bu. Tolong ayah. Bawa ke rumah sakit Bu!"
Cilla memohon pada ibunya dengan berderai air mata. Dia tidak tega melihat keadaan ayahnya sekarang ini.
"Halah... Biarkan saja mampus sekalian. Ibu tidak peduli. Lagipula tidak ada uang buat biayanya. Memang kamu punya?"
Dian Anita berkata tanpa berpikir bagaimana perasaan Cilla. Dia juga tidak merasa kasihan sama sekali dengan suaminya.
"Ayolah Bu...! Nanti Cilla coba nyari uangnya Bu. Cilla bisa balik ke toko dan meminjamnya dari bos Cilla."
Cilla terus memohon pada ibunya. Tapi ibunya tidak bergeming sama sekali.
"Ibu ada jalan pintas untuk bisa mendapatkan uang yang banyak. Apa kamu mau?"
Ibu Dian Anita sepertinya ada rencana terselubung dengan tawarannya itu. Tapi Cilla tidak bisa berpikir jernih. Dia hanya mau mendapatkan uang dengan cara cepat demi nyawa ayahnya.
"Apa Bu. Cilla mau Bu!"
Dian Anita tersenyum penuh arti mendengar jawaban anak tirinya itu. Dian Anita sedang menyusun rencana untuk bisa mendapatkan uang yang banyak, dengan cara yang cepat dan mudah.
"Kamu harus ikut ibu malam ini!" Ibu menjawab pertanyaan Cilla yang ingin tahu bagaimana caranya bisa dapat uang banyak dan cepat.
"Ikut ibu? Kemana?" Cilla bertanya karena dia tidak tahu apa yang dia maksudkan oleh ibunya.
"Tidak usah banyak tanya. Buruan mandi sana. Ayahmu ini biar ibu yang urus."
Cilla hanya menurut saja. Tanpa tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh ibu tirinya yang berwajah malaikat.
*****
Hingar-bingar musik dengan suara yang keras menyakiti telinga Cilla. Dia menutup telinganya sedari mulai pintu masuk. Apalagi sekarang dia ada di tengah-tengah ruangan dengan berbagai macam model orang yang berpakaian serba minim dan dandanan yang tebal.
Dian Anita terus menarik tangan Cilla agar tetap berada di dekatnya. Entah mau di bawa ke mana sebenarnya Cilla ini. Sebab sedari masih ada di rumah dia tidak menjawab pertanyaan Cilla, dan hanya menyuruh ikut dengannya saja.
"Bu. Kita kemana sih..." Cilla mengeluh karena sepatu hak tinggi yang dia pakai. Pasti dia tidak nyaman karena tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi seperti yang diberikan oleh ibunya tadi.
"Diam. Ikut saja dengan ibu!" Ibunya menjawab pertanyaan Cilla dengan bentakannya yang kasar.
Cilla terdiam. Dia tidak ingin bertambah malu karena di perhatikan oleh orang-orang yang melihatnya sedari tadi. Cilla sadar jika dia tidak bisa menyalahkan orang-orang yang memandangnya dengan tatapan mata lapar, seperti kucing yang melihat ikan asin. Semua karena pakaian yang dikenakan minim serta transparan untuk dirinya. Cilla menutupi bagian tubuh yang vital dengan telapak tangannya sendiri.
Tadi saat di rumah, Cilla di paksa ibu tirinya untuk mengenakan pakaian yang sudah dipersiapkan olehnya. Baju merah ketat dengan tali kecil di di bagian bahu. Leher lebar dengan memperlihatkan area lereng kedua bukit kembarnya. Punggung setengah terbuka dan panjang baju yang cuma beberapa senti di bawah pantat.
Oh... menyiksa sekali di tubuh Cilla yang tidak terbiasa memakai pakaian seperti itu. Apalagi dengan ditambah memakai sepatu hak tinggi yang seperti di pakai oleh model-model papan atas. Cilla tentu kesulitan berjalan sehingga harus berpegang pada tangan ibunya sedari tadi.
"Ayok masuk!"
Ibunya memerintah Cilla agar masuk ke dalam kamar Club yang ada di lantai tiga. Letak kamar yang ada di atas dan dilengkapi dengan lapisan kedap suara pastinya tidak akan terganggu oleh suara musik yang keras dari bawah. Cilla sedikit bernafas lega karena telinganya tidak terasa sakit lagi.
"Duduklah! Tunggu disini. Ibu ada perlu sebentar. Jangan kemana-mana sebelum ibu kembali!"
Setelah menyuruh Cilla duduk, ibu Dian Anita langsung keluar dari kamar dan membawa kunci pintu yang berbentuk kartu, seperti kartu ATM. Katanya dia ada urusan sebentar dan kunci dia bawa biar tidak menyusahkan Cilla yang kesulitan berjalan itu.
Cilla di suruh duduk di kursi sofa yang ada di kamar tersebut. Kamar ini tidak jauh berbeda dengan kamar-kamar hotel Bintang Lima. Luas dan nyaman. Ada kulkas di sudut kamar dekat pintu kamar mandi. Ada lemari pakaian kecil yang ada di belakang tempat duduknya Cilla sekarang ini. Tempat tidur yang besar dengan ukuran king size. Semuanya tampak mewah. Cilla jadi bertanya-tanya, apa yang mau ibunya lakukan di tempat seperti ini? Inikan pasti mahal?
Belum selesai dengan lamunannya, pintu terbuka. Cilla yang belum beranjak dari tempat duduknya segera berdiri menyambut ibunya yang datang.
"Bu..."
Cilla tidak meneruskan kata-katanya, sebab yang masuk ke dalam kamar bukanlah ibunya, melainkan orang lain yang tidak dikenal Cilla sama sekali.
Dia seorang laki-laki yang berumur sekitar dua puluh delapan tahunan atau bisa jadi lebih. Badannya kekar dan proporsional. Kulitnya terlihat bersih meskipun tidak putih. Wajahnya juga tampan, meskipun terlihat menakutkan di mata Cilla sekarang ini.
"Si...Siapa anda?" Cilla bertanya dengan tergagap. Dia ketakutan! Sadar jika sesuatu sedang mengancam keselamatan dirinya.
"Hah! Siapa aku tidak penting nona. Yang pasti aku adalah orang yang akan memberimu kenikmatan yang belum pernah kamu rasakan!"
Suara orang itu terdengar berat dan parau. Tatapan matanya yang tajam bagai elang yang siap menerkam mangsanya. Cilla gemetaran dan ketakutan. Siapa laki-laki ini?
"Tapi Saya... Saya.. tid.. tidak kenal dengan anda tuan." Cilla berkata sepotong-sepotong. Cilla menutupi bagian tubuhnya, yang terlihat dari tatapan lapar mata laki-laki yang ada di depannya saat ini.
"Hahaha... Itu tidak penting. Yang pasti aku sudah membelimu pada Dian Anita. Hahaha...!"
*****
Gilang Aji. Pengusaha jasa pembinaan dan konsultan keuangan yang sukses dan tidak tersentuh. Banyak sekali wanita-wanita yang takluk begitu saja di bawahnya, menjadi pemuas ***** Gilang yang tidak pernah ada puasnya. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang bisa menyentuh hati Gilang.
Gilang Aji. Seorang pemuda yang patah hati di usia muda, karena kekasihnya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Bahkan dia melihat dengan jelas, melihat dengan matanya sendiri kelakuan kekasihnya dan sahabatnya itu. Karena itu semua, Gilang Aji tidak lagi percaya dengan semua wanita. Baginya, wanita hanya sampah belaka. Sejak saat itulah, Gilang Aji bermain-main dengan wanita yang berbeda-beda setiap harinya. Dia juga suka memesan wanita yang masih virgin hanya untuk melampiaskan dendam masa lalunya itu. Tapi ada juga wanita-wanita yang dengan sukarela meminta Gilang Aji untuk bisa tidur dengannya, meskipun hanya semalam saja.
Tadi siang, Gilang Aji di telpon seseorang, yang bertanggung jawab atas Club malam ini. Dia ditawari untuk membeli keperawanan seorang gadis yang masih belum berpengalaman. Katanya gadis itu butuh uang untuk biaya pengobatan ayahnya.
Gilang Aji hanya tertawa mendengar tawaran tersebut. Dia sudah terbiasa dengan situasi drama gadis-gadis miskin, yang ingin mendapatkan uang banyak tanpa harus bekerja keras terlebih dahulu. Mungkin gadis di depannya saat ini juga sama saja. Butuh uang untuk membeli handphone keluaran terbaru, atau hanya ingin jalan-jalan seperti artis-artis yang suka keluar negeri. Bukankah hal semacam itu biasa ada, diberitakan di surat kabar atau berita online?
*****
"Jangan tuan... Saya bukan gadis yang di maksud. Saya... Saya anaknya ibu Dian Anita tuan."
Cilla berusaha membuat Gilang Aji sadar dan pergi dari kamar tersebut. Cilla sudah tidak bisa lagi berpikir selain mengatakan apa yang sebenarnya.
"Hahaha... mana ada ibu yang menjual anaknya sendiri? Apa aku terlihat bodoh!"
Gilang tertawa lepas dan berkata dengan tersenyum miring. Dia terlalu percaya diri dengan semua yang dia miliki.
Tidak lama Gilang Aji bisa menguasai Cilla, yang tidak bisa memberontak dengan tenaganya yang lemah dibanding dengan tenaga Gilang Aji. Mengambil sesuatu yang sangat berharga untuk Cilla. Semuanya terjadi dan Cilla tidak bisa berbuat apa-apa, karena melawan pun dia tidak mampu.
Malam itu di Club malam, di lantai satu Dian Anita bersenang-senang karena bisa bermain judi sepuasnya. Dia memiliki uang banyak, hasil dari menjual keperawanan Cilla. Anak tiri Dian Anita.
Lima tahun kemudian.
Disebuah rumah kontrakan petak di daerah pinggiran kota Jakarta.
"Sayang. Mama mau berangkat kerja dulu ya sayang! Kamu baik-baik di rumah ya. Jangan main-main ke luar. Handphone sama laptop sedang di cas, jangan di pakai dulu. Nanti kalau sudah penuh baru boleh dipakai lagi."
Cilla sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Dia memberi pesan pada anaknya yang masih berumur kurang dari lima tahun. Anaknya itu terbiasa di rumah sendiri dan bermain laptop serta handphone lama milik Cilla.
Dulu sewaktu masih bayi dan belum bisa berjalan, anaknya itu dititipkan dan di asuh oleh tetangganya. Tapi sejak satu tahun terakhir, tetangganya itu pindah. Mereka, suami istri pulang kampung. Otomatis Aji tidak ada yang mengasuh. kebetulan Aji juga tidak mau diasuh orang lain. Itulah sebabnya, anaknya yang tidak mau diasuh orang lain memilih untuk bermain sendiri di rumah. Bermain handphone dan juga laptop milik mamanya, yang selalu di tinggalkan di rumah.
"Ya Ma. Aji ingat kok!" Aji menjawab datar dan masih berada di atas tempat tidur.
Begitulah Aji Putra. Anak Cilla Andini yang terbiasa diam dan menyendiri. Tidak banyak yang tahu bagaimana Cilla bisa menghidupi anaknya seorang diri. Dengan segala cara dan perjuangan untuk bisa bertahan hidup tanpa papa sang anak, yang tidak diketahui keberadaannya hingga saat ini. Apalagi Cilla memang tidak ingin jika ayah biologis Aji juga tahu kalau Aji adalah anaknya.
Setelah mamanya berangkat kerja, Aji segera pergi mandi. Setelah itu, Aji sarapan. Susu dan biskuit yang sudah tersedia di meja adalah sarapan pagi Aji. Dia tidak terbiasa sarapan nasi jika pagi hari. Setelah selesai sarapan, Aji melihat keberadaan handphone mamanya yang tadi dipesankan. Belum penuh full jadi masih ada waktu untuk melakukan hal yang lain.
Aji mencoba membuka laptop. Ternyata sudah penuh full baterainya. Setelah mencabut penghubung kabel charger, Aji membawa laptop tersebut ke dalam kamar. Dia sedang membuka-buka halaman berita dunia!
Aji Putra, anak Cilla Andini. Lahir di perkampungan kumuh pinggir kota Jakarta. Tidak banyak yang tahu siapa dia. Sejak ketahuan hamil, ayah Cilla, Wildan Bayu shock dan meninggal dunia. Cilla di usir ibu tirinya sendiri dan warga. Dia mengontrak sebuah kamar kecil hingga anaknya lahir.
Sekarang Cilla mampu mengontrak rumah yang lebih baik meskipun tidak terlalu besar. Dia juga mampu membeli laptop dan handphone untuk anaknya yang masih kecil. Semua itu untuk kegiatan Aji yang membantunya untuk melakukan pekerjaan onlinenya, menambah penghasilan untuk kehidupan mereka berdua.
Selama ini Aji membantu Cilla dalam mencari uang dalam bentuk jualan online. Tapi dia tidak membeli barang-barang tersebut untuk dijual. Aji lebih memilih untuk menjual barang sebagai pihak penyalur saja. Apalagi barang-barang yang dijual biasanya bukan barang di pasaran. Tapi berupa produk lokal, seperti kerajinan tangan dari masyarakat Indonesia yang mempunyai ciri khas tersendiri, seperti kain tenun atau batik. Kerajinan tangan dari kayu berupa ukir-ukiran sebagai perabot rumah tangga dan hiasan dinding. Dia juga menawarkan kerajinan tangan dari tanah liat berupa gerabah antik seperti kendi dan cawan.
Aji juga menawarkan produk barangnya ke luar negeri. Jadi Aji hanya melakukan penawaran dan transaksi, kemudian pihak produsen barang yang mengirim pesanan. Dengan demikian dia dan mamanya tidak perlu repot membeli barang-barang jualan tersebut terlebih dahulu.
*****
Hari menjelang sore. Aji masih tertidur pulas dengan handphone yang masih menyala di dekat tempat tidurnya. Dari arah luar rumah, terdengar suara seseorang yang sedang panik.
"Aduh... Gimana ini kok bisa lupa password sendiri!" Suara orang yang sedang dalam keadaan jengkel terdengar jelas di telinga Aji.
"Hem... Padahal banyak catatan yang ada di handphone ini. Apalagi untuk tagihan kontrakan rumah yang belum pada bayar." Suara itu terdengar lagi dengan jelasnya.
"Siapa itu?" Aji bergumam, kemudian berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya.
Aji membuka tirai jendela, mengintip keluar untuk mengetahui keadaan di luar rumah. Dia penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana.
"Eh, itu kan paman yang punya kontrakan rumah. Apa dia datang untuk menagih uang kontrakan? Tapi mama belum pulang dari tempat kerja."
Aji menduga-duga apa yang sedang dilakukan oleh seseorang di luar rumahnya. Dia mengenal orang tersebut sebagai pemilik kontrakan rumah yang ditempati bersama mamanya ini.
Tok... Tok... Tok...
Pintu rumah diketuk dari luar. Aji tidak mau membuka pintu rumah karena mamanya sedang tidak ada.
"Cilla...! Kamu ada di rumah kan? Ayo buka pintunya dan bayar kontrakan. Ini sudah waktunya!"
Pemilik kontrakan berteriak memanggil nama Cilla, mamanya Aji. Tapi Aji tidak juga mau membuka pintu rumahnya.
Tok
Tok
Tok
Terdengar suara ketukan pintu lagi. Tapi tidak terdengar lagi suara orang yang memanggil-manggil nama ibunya.
"Eh Tuan Adi. Maaf saya baru saja pulang!" Aji mendengar suara mamanya yang baru saja datang.
"Ada apa ya Tuan?" terdengar suara mamanya sedang bertanya.
"Ada apa? Ini tanggal berapa Cilla? Sudah waktunya kamu untuk bayar uang kontrakan! Tadi aku sudah berkirim pesan ke no kamu. Tapi kamu tidak menjawabnya."
"Oh maaf Tuan. Saya lupa. Tadi handphone saya tinggal di rumah seperti biasanya. Mari masuk dulu tuan!" Cilla membuka pintu dengan kunci yang dia bawa.
Clek!
Pintu terbuka, kemudian Cilla masuk terlebih dahulu. "Mari tuan. Silahkan duduk dulu!" Cilla mempersilahkan tuan Adi untuk duduk terlebih dahulu.
Aji keluar dari kamar. "Mama!" Panggil Aji pada mamanya.
"Eh, mama pikir kamu tidur. Kenapa tidak membuka pintu untuk tuan Adi tadi?" tanya Cilla pada Aji. Tapi Aji tidak menjawab dan hanya diam saja.
"Anak kamu di rumah sendirian? Kamu tinggal kerja dan Kamu kunci begitu saja?"
Tuan Adi, pemilik kontrakan rumah bertanya dengan heran. Cilla hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan tuan Adi.
"Apa kamu tidak takut akan terjadi sesuatu pada anakmu yang sendirian di rumah?" Tuan Adi kembali bertanya.
"Dia tidak mau diasuh orang lain Tuan," jawab Cilla menjelaskan.
"Oh begitu ya," sahut tuan Adi mengerti.
"Ini urusan bayar kontrakan sekarang saja. Saya mau ke konter handphone. Saya lupa password sendiri dan tidak bisa membukanya. Padahal ini penting!"
Tuan Adi kembali teringat tujuannya datang ke rumah Cilla. Tapi sepertinya Cilla belum siap dengan uang kontrakan rumah yang harus dia bayar sekarang ini.
"Maaf Tuan. Tapi saya belum ada uangnya. Bagaimana kalau dua atau tiga hari lagi. Pasti akan saya bayar!"
"Eh, bagaimana bisa begitu?" Tuan Adi tampak kesal.
"Tapi..."
"Ma. Aji bisa buka password tuan Adi, jika dia mau membebaskan uang kontrakan rumah untuk beberapa bulan ke depan." Aji memotong perkataan mamanya yang ingin meminta waktu kelonggaran untuk membayar uang kontrakan rumah.
"Memangnya kamu bisa? Kamu kan masih kecil!" Kata tuan Adi meremehkan.
Aji mengangguk pasti. Dia ingin membantu mamanya agar terbebas dari uang kontrakan rumah untuk beberapa bulan ke depan, dengan cara membantu tuan Adi membuka handphone miliknya yang terkunci.
"Boleh! Saya akan bebaskan mamamu untuk uang kontrakan selama enam bulan ke depan, jika Kamu bisa membuka password handphoneku ini!" Tuan Adi sangat yakin jika anak kecil didepannya ini, tidak tahu apa-apa.
Aji menerima handphone milik tuan Adi. Memeriksanya dan tersenyum senang. 'Ini pekerjaan mudah,' kata Aji dalam hati.
"Ma, Aji masuk kamar dulu. Tuan Adi, tunggu sebentar ya!"
Aji meminta izin mamanya dan menyuruh tuan Adi untuk menunggunya sebentar, kemudian Aji masuk ke dalam kamarnya.
Setelah meneliti tentang merek dan barcode handphone milik tuan Adi, Aji segera melakukan semua yang diperlukan untuk membuka kembali password milik tuan Adi.
Aji menghubungkan handphone tersebut dengan laptop miliknya. Aji masuk layanan Find My Device dengan menggunakan akun Google, yang terhubung pada perangkat, kemudian memilih perangkat pengguna, dari daftar perangkat yang terkait dengan akun pengguna. Tak lama kemudian, Aji segera mengganti password milik tuan Adi yang lama dengan yang baru, agar bisa di buka lagi sebelum di tutup kembali oleh sistem secara otomatis.
Aji keluar kamar dengan tersenyum senang. Dia menyerahkan handphone milik tuan Adi. "Ini tuan. Password yang baru adalah angka umum satu hingga enam. Segara ganti seperti yang tuan inginkan, dan jangan sampai lupa lagi!"
Tuan Adi tercengang dengan apa yang dia lihat. Dia tidak habis pikir dengan kecerdasan anak sekecil Aji.
Setelah melakukan apa yang dikatakan oleh Aji, tuan Adi tersenyum dan mengangguk-angguk sambil tersenyum senang.
"Hebat! Anak kamu hebat Cilla. Sekarang kamu tidak perlu membayar uang kontrakan rumah ini selama enam bulan ke depan!"
Sesuai dengan kesepakatan yang tuan Adi katakan sebelumnya, kini Cilla dan Aji terbebas dari uang kontrakan rumah. Cilla memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih sayang. Kamu membantu Mama lagi."
Setelah berbasa-basi sebentar, tuan Adi pamit untuk pulang dan berjanji jika besok-besok akan datang lagi untuk menemui Aji. Dia juga berjanji untuk memberi hadiah atas kecerdasan Aji.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!