NovelToon NovelToon

IDOL IN MY HEART

satu

"Kamu tidur?"

Aya tergagap dan seketika membuka sepasang matanya begitu suara yang teramat ia kenali menegur. Gadis berusia 25 tahun itu langsung bangun dari tempat duduknya dan berdiri saking terkejutnya.

"Oh, apa syutingnya sudah selesai?" tanya Aya sembari mengucek kedua matanya sekadar mengenyahkan rasa kantuk yang memberati sepasang indra penglihatannya.

"Ya," sahut Steven kesal. Cowok bertubuh tinggi dan berkulit putih itu melepaskan selembar jaket kulit hitam dari tubuhnya lalu melemparnya ke arah Aya. "Ayo pulang. Aku capek," ucapnya seolah tak peduli dengan Aya yang terlihat kaget mendapat 'serangan' jaket kulit itu. Benda mahal itu seperti tak bernilai apa-apa saat tangan Steven melemparnya tanpa perasaan.

Aya mendengus. Gadis itu mengusap jaket kulit milik Steven seakan sedang mengasihani benda itu. Mungkin Steven menganggap jaket itu tak berharga, padahal jika Aya mau, ia bisa menjual kembali benda itu di pasar loak dengan harga yang lumayan. Jaket itu masih tampak baru dan jarang dipakai oleh pemilknya. Steven membelinya sekitar sebulan lalu dan tidak terhitung berapa banyak koleksi jaket yang menghuni lemari pakaian miliknya. Kalau Aya mau, ia bahkan bisa mencuri salah satu koleksi Steven. Tidak mungkin Steven menghafal semua benda koleksinya, kan?

Aya bergegas menyusul langkah Steven ke area parkir lalu masuk ke dalam mobil seperti yang cowok itu lakukan. Tapi gadis itu memilih untuk duduk di depan bersama Pak Jo ketimbang duduk di jok belakang, di samping Steven. Selain Steven tak suka berbagi tempat duduk, Aya juga tidak akan merasa nyaman berada di samping cowok yang usianya dua tahun lebih muda darinya itu. Lebih baik menjauh dari masalah, pikir Aya.

Di jok belakang, Steven tampak menyandarkan kepala dan memejamkan kedua matanya. Ia terlihat lelah dan sedang mencoba untuk tidur. Syuting ftv hari ini dan hari-hari sebelumnya mengharuskan Steven untuk pulang larut malam. Menjadi seorang aktor sudah dilakoninya sejak setahun belakangan. Ia juga pernah merilis sebuah single di awal karirnya, tapi kurang meledak di pasaran. Entah karena suaranya kurang bagus atau ada yang salah dengan lagu yang ia bawakan, Steven tidak pernah tahu. Dan akhirnya ia memilih untuk bermain peran ketika ada tawaran datang kepadanya.

"Mau minum?" Aya menoleh ke belakang dan mengulurkan sebuah botol air minum ke hadapan Steven meski ia tahu jika cowok itu sedang memejamkan kedua matanya. Sebagai manager Steven, Aya harus selalu memperhatikan kebutuhan dan kesehatan cowok itu. Karena Steven adalah sumber pundi-pundi rupiahnya. Andai saja ayahnya bukan seorang pemabuk dan penjudi yang memiliki banyak utang di mana-mana, mungkin Aya tidak akan menjalani semua ini. Bekerja di bawah tekanan sepatu Steven.

Steven membuka kedua matanya lalu meraih botol minum yang disodorkan Aya. Tanpa secuil kata atau sebaris terima kasih, cowok itu meneguk air minum pemberian Aya.

"Apa dramanya sudah kelar?" Aya melirik ke belakang sekilas. Steven masih menyandarkan kepala ke jok, namun sepasang matanya terbuka dan sedang menatap ke luar jendela. Nyaris tak ada yang bisa dilihat di luar. Hanya pemandangan malam yang berhiaskan lampu-lampu jalanan, warung dan cafe yang masih buka, dan kendaraan yang lalu lalang.

"Uhm." Steven hanya berdeham. Tanpa menoleh ke arah Aya yang sudah menunggu jawabannya. Tapi dehaman itu berarti 'iya'. Aya sudah hafal dengan sifat Steven. Gadis itu nyaris bersorak dalam hati karena senang, namun Steven kembali bersuara untuk menghancurkan kegembiraan yang bahkan belum terwujud di dada Aya. "Besok lanjut syuting drama baru," lanjut Steven kemudian. Ia mengalihkan pandangan ke depan.

"Apa?" Aya mengerjapkan kedua matanya, mencoba bersikap normal. Padahal ia baru saja senang karena Steven selesai syuting. Bukankah jika syutingnya selesai, Steven bisa libur dan artinya Aya juga libur? Tapi harapan Aya sudah terbang ke langit malam yang pekat.

"Bangunkan aku kalau kita sudah sampai," suruh Steven seolah tak peduli dengan raut Aya yang ditekuk. Ia tak sadar telah mematahkan harapan Aya untuk bisa libur. Cowok itu kembali memejamkan kedua matanya.

Aya tak menyahut. Ia pasti akan membangunkan Steven meskipun cowok itu tak menyuruhnya. Kalaupun Aya ikut tertidur, Pak Jo juga pasti akan membangunkan mereka berdua.

***

dua

"Bagaimana kabar Naura, Pak? Sehat?" Di sela-sela perjalanan menuju apartemen Steven, Aya membuka perbincangan dengan sang sopir yang sejak tadi membungkam mulut. Sudah menjadi kebiasaan Pak Jo untuk diam selama Steven dan Aya sibuk ngobrol. Naura adalah putri tunggal Pak Jo yang masih berusia dua tahun.

"Naura sehat, Mbak Aya," jawab Pak Jo tanpa menoleh ke arah Aya karena harus mencurahkan segenap konsentrasinya ke arah jalan. Malam-malam seperti ini, meskipun suasana jalan cukup lengang, namun ia tidak boleh lengah apalagi mengantuk. Terkadang bahaya bisa datang dengan tak terduga dan kapan saja.

"Dia sudah bisa apa aja, Pak?" lanjut Aya mencari tahu.

"Naura suka nonton video-video di hape, Mbak Aya. Dia juga suka ikut joget dan nyanyi-nyanyi gitu. Saya suka tertawa sendiri melihatnya," papar Pak Jo seraya tersenyum kecil. Bayangan tingkah polah Naura yang lucu segera memenuhi kepalanya. Lelaki berusia 40 tahun itu tiba-tiba sangat merindukan putri kecilnya. Karena Aya terus membicarakannya sejak tadi. Tapi, ia harus bersabar selama beberapa menit ke depan sebelum pulang ke rumah.

"Oh ya?" Aya tampak antusias mendengar penuturan Pak Jo tentang putrinya. Ia bisa membayangkan betapa manisnya Naura saat bernyanyi atau berjoget seperti yang Pak Jo ceritakan. "Kapan Naura ulang tahun, Pak?"

"Dua bulan lagi. Kenapa, Mbak?" Kali ini Pak Jo mengalihkan pandangannya ke arah samping meski hanya sebentar.

"Aku mau memberikan Naura hadiah, Pak. Boleh, kan?"

"Iya, boleh. Tapi jangan yang mahal-mahal, Mbak Aya."

"Kenapa nggak boleh yang mahal?"

"Nanti uang Mbak Aya habis, bagaimana?"

"Tenang, Pak. Kan ada dia," balas Aya dengan mengarahkan telunjuk kanannya ke jok belakang.

Pak Jo mengurai senyum samar mendengar bisikan halus Aya.

"Hei, aku bisa mendengar suaramu."

Aya tercekat dan kepalanya otomatis berputar ke belakang saat suara Steven menyahut tiba-tiba. Bukannya dia sedang tidur? batin gadis itu heran. Karena itu Aya berusaha membunuh waktu dengan mengajak Pak Jo berbincang tentang putrinya.

"Kamu nggak tidur?" tanya Aya ketika tersadar melihat kenyataan bahwa Steven sedang menatapnya dengan tatapan horor. Gadis itu kembali duduk di joknya dengan kepala mengarah ke depan.

"Bagaimana aku bisa tidur kalau kamu dari tadi berisik, hah?" Steven melenguh cukup keras. Syuting seharian ini cukup menguras energi karena ia harus mengulang beberapa kali adegan jatuh dari sepeda motor. Andai saja ada stuntman yang bisa menggantikan perannya, Steven tidak akan merasa selelah ini.

"Sorry." Aya mengucap maaf dengan suara rendah. Perasaan bersalah kentara jelas di wajahnya. Membuat suasana hati artisnya buruk adalah sebuah kesalahan terbesar seorang manager artis.

"It's ok. Gajimu akan kupotong bulan ini," sahut Steven enteng.

"Apa?!" Aya memutar kepalanya ke belakang. Sepasang matanya membola. "Gajiku dipotong?" tanya gadis itu tak percaya. Benarkah Steven akan melakukan ini padanya?

"Yup. Kenapa? Nggak terima?" tanya Steven dengan sikap pongahnya. Ia jelas tidak sedang berakting sekarang, gaya bicara dan gesturnya sangat alami.

"Ini nggak adil, Bos," keluh Aya memelas. Berharap pengampunan dari Steven memang seperti menanti hujan di tengah-tengah musim kemarau yang benar-benar kering, namun bukan tidak mungkin bagi cowok itu untuk merubah keputusannya jika ia ingin melakukannya.

"Apa kamu mau mengambil sisa gaji terakhirmu sekarang?" tanya Steven sambil mengambil ponselnya dari dalam saku celana. "Aku akan mentransfer gajimu sekarang," ucapnya dengan maksud mengancam.

"Jangan!" teriak Aya panik. Suaranya memenuhi kabin mobil yang mereka bertiga kendarai. Tangan gadis itu terangkat ke atas seolah ingin menghentikan waktu. "Jangan lakukan itu."

"Jadi, kamu setuju untuk potong gaji?" Steven tersenyum kecut dengan sorak sorai penuh kemenangan di dalam dadanya.

Aya mengambil napas panjang lalu menurunkan tangannya sebelum mengangguk penuh kekalahan. Apa boleh buat, pikirnya pasrah.

"Oke. Kamu boleh potong gajiku, berapa saja yang kamu inginkan. Terserah. Tapi jangan memecatku," ucap Aya kemudian. Meski benaknya dipenuhi dengan kemarahan dan makian untuk Steven.

"Oke. Kita deal," sahut Steven senang. Cowok itu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana lalu menarik napas lega diam-diam.

Apartemen Steven sudah tampak dari kejauhan dan hanya butuh waktu beberapa menit untuk tiba di sana. Tak ada perbincangan lagi di dalam mobil itu.

***

tiga

Aya tidak bisa serta merta menyalahkan takdir jika kehidupan yang dijalaninya sekarang jauh dari ekspektasinya sewaktu kecil. Ia juga ingin memiliki kehidupan yang normal seperti orang pada umumnya. Namun, kenyataan mengharuskan Aya kehilangan ibunya karena penyakit kanker. Itu terjadi sekitar lima tahun lalu. Aya terpaksa melepaskan cita-citanya untuk bisa mengecap bangku kuliah karena biaya pengobatan ibunya yang tinggi. Rumah yang mereka tempati bahkan harus dijual untuk menutupi biaya rumah sakit. Namun, kesembuhan tak selamanya bisa dibeli dengan uang. Penyakit kanker payudara yang diidap ibunya sudah menjalar ke paru-paru dan jantung dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Pengobatan medis tak ada gunanya lagi.

Meski tidak mudah dan butuh waktu beberapa lama, perlahan Aya bisa menerima kenyataan. Ia mulai bangkit dari kesedihan dan melanjutkan hidup. Aya berusaha ke sana kemari demi mencari sebuah pekerjaan. Mulai dari pelayan toko, restoran, sampai baby sitter, pernah Aya jalani. Hingga suatu hari ia bertemu dengan Steven di restoran tempat Aya bekerja.

Bukanlah sebuah kebetulan jika seseorang bertemu dengan orang lain di sebuah kesempatan yang langka. Tuhan yang mengatur segalanya. Dan pertemuan antara Steven dan Aya setahun yang lalu juga bukanlah kebetulan semata. Tuhan yang sudah menggariskannya.

"Apa kamu mau bekerja untukku?" tawar Steven kala itu.

Aya yang baru saja meletakkan pesanan Steven di atas meja, seketika mengerutkan kening. Biasanya orang asing yang menawarkan sebuah pekerjaan, harus dicurigai karena kemungkinan besar mereka adalah seorang penipu, benar kan? Aya juga berpikiran sama. Makanya ia tak langsung menerima tawaran Steven begitu saja saat itu.

"Maaf, Mas. Aku sudah punya pekerjaan," tolak Aya mentah-mentah disertai seulas senyum di bibirnya.

"Memangnya kamu nggak punya televisi di rumah?" tanya Steven dengan tampang tak percaya. Ia yakin pernah muncul beberapa kali di layar kaca, mustahil jika gadis pelayan restoran itu tidak mengenali wajahnya.

Aya menggeleng. Rumah beserta barang-barang berharga lain, termasuk televisi sudah dijual untuk biaya pengobatan ibunya. Nyaris tak ada yang tersisa ketika ia dan ayahnya pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil yang terletak di sebuah gang sempit padat penduduk.

"Apa kamu jadi managerku?" tawar Steven kemudian. Tampang gadis itu terlihat polos dan agak bodoh, namun seseorang seperti itu biasanya tidak akan banyak protes, tidak akan rewel, dan tidak akan menuntut gaji tinggi. "Berapa gajimu di sini? Aku akan membayarmu dua kali lipat, bagaimana?" Steven mencoba membujuk.

Pikiran Aya mulai goyah ketika mendengar tawaran Steven di ujung kalimatnya. Gadis itu membutuhkan banyak uang demi membayar sisa biaya pengobatan ibunya yang ditanggung oleh salah satu kerabat Aya. Meski kerabatnya tidak menganggap itu sebagai utang, tetap saja Aya merasa memiliki kewajiban untuk membayarnya. Selain itu ia harus membayar sewa rumah dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Hubungi aku kalau kamu berubah pikiran." Steven memberi gadis itu sebuah kartu nama sebelum beranjak meninggalkan restoran.

Aya mengalami perdebatan hebat di dalam benaknya sebelum akhirnya menerima tawaran Steven. Jika bukan Aya yang berjuang, siapa lagi? Ayah Aya sama sekali tidak bisa diharapkan. Pasca kepergian istrinya, Ayah Aya berubah jadi pemurung. Ia diberhentikan dari pekerjaannya karena sering absen dan laki-laki itu mulai berubah menjadi pemabuk. Dan karena pergaulan yang salah, ia terjerumus ke dalam jerat perjudian. Buruk memang, bahkan Aya sudah tak tahu lagi bagaimana cara untuk mengingatkan ayahnya untuk berhenti dari kebiasaan jeleknya dan memulai hidup yang lebih baik.

Malam ini juga sama seperti malam-malam sebelumnya. Rumah terkunci rapat dan kosong, bahkan tak ada satupun lampu yang sempat dinyalakan sebelum ayahnya pergi. Tapi Aya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia juga tak kebingungan lagi mencari keberadaan ayahnya. Aya hanya ingin istirahat demi melepaskan segenap kepenatan dari tubuh dan pikirannya. Hari-hari yang ia lalui tak ada yang mudah. Begitu juga dengan esok hari. Masih banyak hari yang penuh tantangan, kerja keras, mungkin juga menguras emosi dan pikiran. Aya akan menghadapi itu semua dengan siap mental. Bukankah selalu ada harapan yang menunggu di depan sana? Aya juga ingin menjemput harapan itu suatu hari nanti.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!