NovelToon NovelToon

Pusaka Penebar Petaka

Korban Kutukan Ketujuh

"Gusti Batara,

Ayo kita lari dari sini. Seminingrat dan Mahisa Campaka sudah memasuki istana", teriak seorang pengalasan yang ketakutan melihat pasukan Tumapel menyerbu masuk ke istana Kadiri.

"Dengar Pengalasan,

Aku tidak takut melawan keponakan ku meski pasukan mereka jauh lebih banyak dari pasukan Kadiri. Selama Keris Mpu Gandring ada ditangan ku, jangankan Seminingrat atau Mahisa Campaka, Anusapati pun sudah ku bunuh", ujar Apanji Tohjaya dengan pongahnya.

Malam itu, Pasukan Tumapel menyerbu ke istana Kadiri yang merupakan takhta Apanji Tohjaya usai dia membunuh Agnibhaya yang merupakan adik tirinya.

Memang selama ini, Apanji Tohjaya yang lahir dari seorang selir tidak berhak atas takhta baik di Tumapel maupun di Kadiri meski dia lebih tua dari Mahesa Wong Ateleng ayah Mahesa Campaka.

Dia yang begitu berambisi untuk menjadi raja seperti Batara Sang Amurwabhumi ayah kandungnya, selalu tersisih dari hak takhta kerajaan Tumapel hanya karena dia putra seorang Ken Umang, selir Ken Arok alias Batara Sang Amurwabhumi.

Saat berhasil membunuh Agnibhaya atau Guningbhaya, Apanji Tohjaya kemudian menduduki takhta Kadiri yang menjadi bawahan Tumapel.

Selama satu tahun ini, dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi keponakan nya yang pasti akan menuntut balas atas kematian Anusapati yang tewas dia tikam dengan Keris Mpu Gandring saat menyabung ayam yang menjadi kegemaran Anusapati. Dia menuntut balas kematian Batara Sang Amurwabhumi yang di bunuh seorang Pengalasan dari Batil diatas takhta Tumapel usai mendapat pinjaman Keris Mpu Gandring dari Anusapati.

Peristiwa berdarah di kalangan para penguasa Tumapel itu memang bermula dari kutukan Mpu Gandring, sang pandai besi yang mengutuk Ken Arok dan 7 orang pembesar istana Tumapel tewas lewat keris pusaka yang dibuatnya sesaat sebelum dia tewas di tikam Ken Arok yang marah kepada pandai besi itu.

Setelah Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Arok, Anusapati, Ken Dedes dan Agnibhaya sudah menjadi korban keampuhan pusaka penebar petaka ciptaan Mpu Gandring.

Tinggal korban terakhir yang saat ini akan segera menggenapi tujuh korban kutukan pusaka itu. Maka setelah korban terakhir ini, kedamaian akan tercipta di tanah Jawa.

Tohjaya merasa jumawa karena keris pusaka itu ada di tangan nya, tidak mungkin dia yang akan menjadi korban ke tujuh keris Mpu Gandring.

Seorang Tumenggung muda berlari menuju ke dalam istana pribadi raja. Tumenggung yang bernama Menjangan Puguh itu segera melompat ke tempat Apanji Tohjaya.

"Gusti Batara Sang Apanji Tohjaya,

Kita harus mundur Gusti Batara. Pasukan Tumapel sudah memasuki gerbang istana kita. Mohon segera mundur", ujar sang tumenggung muda yang sudah memiliki beberapa luka sayat pedang di tubuhnya. Nafas sang tumenggung muda terengah-engah karena dikejar puluhan prajurit Tumapel pimpinan Seminingrat dan Mahesa Campaka.

Apanji Tohjaya sontak terdiam sejenak mendengar ucapan sang tumenggung muda.

"Senopati Kebo Abang kemana? Bukankah dia yang harus menjaga istana ini?", tanya Tohjaya yang mulai khawatir.

"Ampun Gusti Batara,

Senopati Kebo Abang sudah tewas di tangan Mahesa Campaka. Pasukan mereka sudah berhasil mengalahkan prajurit kita. Sekarang kita harus mundur dari istana ini Gusti Batara sebelum semuanya terlambat", ujar Tumenggung Menjangan Puguh dengan cepat.

Apanji Tohjaya yang mulai menyadari kekalahannya, segera melangkah mengikuti langkah Pengalasan yang sudah bersiap untuk melarikan diri.

Dengan 200 prajurit setia nya, Apanji Tohjaya di temani seorang pengalasan dan Tumenggung Menjangan Puguh bermaksud untuk melarikan diri lewat gerbang samping istana Kadiri.

"Heiii berhenti!"

Apanji Tohjaya dan para prajurit setia nya segera menoleh ke arah sumber suara.

Maharaja Seminingrat atau Rajasawardhana dan Mahesa Campaka alias Narajaya berlari mengepung mereka.

Suasana menjadi mencekam.

"Menyerahlah Paman Tohjaya,

Sudah tidak ada tempat untuk mu melarikan diri dari kami", ujar Mahesa Campaka sambil menatap tajam ke arah Tohjaya. Di tangan kanannya, sebuah tombak yang bernama Tombak Kyai Klewang nampak tegak berlumuran darah.

"Kalau paman menyerah, aku tidak akan menjatuhkan hukuman mati untuk keluarga mu paman. Aku ingin mengakhiri pertumpahan darah diantara keluarga Sang Amurwabhumi", teriak Seminingrat yang memegang sebuah pedang.

Phuihhhh

"Bocah kemarin sore sok menceramahi ku. Kalau bukan ayahmu yang memulai permasalahan ini, aku juga tidak mau bertarung melawan keluarga sendiri, Seminingrat.

Kalau kau ingin tidak terjadi pertumpahan darah, serahkan takhta kerajaan Tumapel kepada ku karena aku adalah putra Sang Amurwabhumi", Apanji Tohjaya menatap ke arah Seminingrat dengan mendelik.

"Rupanya kau tidak mau berhenti melakukan angkara paman Tohjaya.

Baik kalau itu mau mu. Jangan salahkan aku jika aku bertindak tegas kepada mu", ujar Seminingrat sambil memberi isyarat kepada para prajurit Tumapel untuk maju.

Pertempuran sengit kembali terjadi di dalam istana Kadiri.

Seminingrat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Wisnuwardhana segera melompat maju menyerang Apanji Tohjaya di bantu oleh Narajaya alias Mahesa Campaka.

Pertarungan hidup mati antara paman dan keponakan itu berlangsung sengit.

Mahesa Campaka terus menghalangi sabetan Keris Mpu Gandring yang ada ditangan Apanji Tohjaya. Aura kemerahan keris pusaka itu nyaris menggores luka di tubuh Rajasawardhana yang menggunakan pedang sebagai senjata jika tidak ada Tombak Kyai Klewang yang membuat perhatian Apanji Tohjaya terpecah.

Setelah merapal ajian pamungkas nya, Apanji Tohjaya dengan perantara Keris Mpu Gandring mengincar nyawa Wisnuwardhana.

Sinar merah kekuningan terlontar dari ujung keris pusaka itu.

Whuuuuttt

Blammmmm!!

Rajasawardhana terus berjumpalitan kesana kemari menghindari sinar mematikan dari keris Mpu Gandring.

Melihat itu, Mahesa Campaka tidak tinggal diam. Dengan memutar Tombak Kyai Klewang, dengan cepat Mahesa Campaka menusukkan tombaknya kearah dada Apanji Tohjaya.

Tohjaya yang kaget, berusaha menghindari tusukan tombak sebisa mungkin tapi bilah tajam mata tombak melukai tangan kanannya yang memegang keris Mpu Gandring.

Crasshhh

Arrgghhhh!

Keris Mpu Gandring terlepas dari tangan Tohjaya. Melihat itu, Seminingrat segera melesat cepat menyambar keris pusaka yang menancap di tanah. Kemudian dengan cepat, dia menusukkan keris Mpu Gandring ke perut Apanji Tohjaya.

Crreepppp!

Ougghhh!!

Tohjaya terhuyung mundur ke belakang dengan keris Mpu Gandring tertancap di perut nya.

Sebuah bayangan hitam berkelebat cepat kearah Tohjaya dan mencabut keris Mpu Gandring dari perut putra Ken Umang itu.

"Hei siapa kau? Cepat serahkan keris pusaka itu padaku", teriak Seminingrat dengan lantang.

"Keris ini sudah waktunya disucikan dari semua darah yang membasahi nya", ujar si bayangan hitam yang melesat cepat dan menghilang setelah melompati tembok istana Kadiri.

Seminingrat dan Mahesa Campaka yang kaget berusaha untuk mengejar bayangan hitam itu karena membawa lari lambang pemegang takhta kerajaan Tumapel.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Pengalasan dari Mula dan Tumenggung Menjangan Puguh untuk menyelamatkan nyawa Apanji Tohjaya yang tengah terluka parah.

Mereka berhasil kabur dari istana Kadiri melewati pintu gerbang samping istana dan mengunci pintu gerbang dari luar.

50 prajurit setia Tohjaya yang dipimpin oleh Tumenggung Menjangan Puguh dan Pengalasan dari Mula terus berlari menembus malam meninggalkan Kadiri.

"Kangmas Seminingrat,

Bagaimana ini? Keris Mpu Gandring dibawa kabur sedang Paman Tohjaya juga berhasil melarikan diri", sesal Mahesa Campaka dengan tatapan penuh kekecewaan.

"Tidak usah berkecil hati Dhimas.

Besok kita kejar Paman Tohjaya, dia terluka parah pasti tidak akan bisa pergi jauh", ujar Seminingrat sambil tersenyum simpul. Bagi Seminingrat, kaburnya Tohjaya ini merupakan awal ketentraman di kerajaan Tumapel.

Mahesa Campaka mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan oleh kakak sepupu nya itu.

Malam itu mereka membersihkan istana Kadiri dari mayat mayat prajurit Tumapel maupun prajurit Kadiri yang tewas.

Sementara itu, si bayangan hitam terus melesat cepat kearah timur menuju lereng Gunung Kelud.

Dengan gerakan lincah dan gesit, bayangan hitam itu terus melompat dari satu pohon ke pohon lainnya seolah terbang diatas pepohonan.

Sambil menenteng Keris Mpu Gandring, si bayangan hitam yang merupakan seorang lelaki dengan memakai topeng dari kulit kayu terus melesat ke arah timur.

Langkah bayangan hitam itu terhenti di sebuah pohon dekat sebuah desa yang baru saja musnah oleh api. Seperti nya desa ini baru saja sengaja di bakar oleh kelompok perampok.

Si bayangan hitam melesat turun dari pohon tempat dia menghentikan langkahnya. Matanya nanar melihat banyaknya mayat warga desa yang tak bersalah.

Pandangan si bayangan hitam tertuju pada sesosok mayat lelaki berbaju hitam yang tewas terbacok senjata tajam.

Di lehernya ada sebuah kalung dengan bandul berukir kelabang.

"Hemmmm..

Lagi lagi ini perbuatan mereka. Benar benar keparat mereka", gumam si bayangan hitam sambil menarik bandul kalung itu dari leher mayat pria berbaju hitam.

Oeeekkkk

Oeeekkkk!!

Terdengar tangis bayi diantara kepulan asap yang membakar sebuah rumah. Si bayangan hitam segera melesat cepat kearah suara itu. Setelah mencari beberapa saat, suara bayi berasal dari bawah mayat seorang wanita muda yang menggunakan tubuh nya untuk melindungi bayi berusia 8 purnama ini. Kain sutra putih yang membelit tubuh bayi itu serta sebuah bandul kalung berukir kepala naga menjadi satu-satunya benda yang melekat pada tubuh bayi.

Dengan penuh kasih sayang, si bayangan hitam itu segera menggendong bayi laki-laki itu.

"Cup cup cupp..

Jangan nangis lagi yo Le..

Kita akan segera pergi dari tempat ini. Jangan takut lagi yo", ujar si bayangan hitam itu dengan lembut. Anehnya, bayi kecil itu seperti mengerti dengan ucapan si bayangan hitam yang merupakan seorang lelaki bertubuh tegap dengan jenggot lebat menyembul dari balik topeng kayu nya.

Usai menenangkan si bayi, si bayangan hitam itu segera melesat cepat kearah tujuan nya meninggalkan tempat itu dengan menggendong bayi laki-laki itu juga menenteng keris Mpu Gandring di tangan kanannya.

Di lereng sebuah bukit, bayangan hitam itu menghentikan langkahnya. Dengan langkah kaki ringan, dia melompat turun dari pohon waru besar tempat nya berhenti.

Setelah menjejak tanah, si bayangan hitam itu terus melangkah ke balik semak belukar yang cukup lebat. Ternyata di belakang semak belukar itu ada sebuah mulut goa yang cukup lebar.

Si bayangan hitam terus masuk ke dalam goa kemudian berhenti di salah satu sudut goa yang ada batu pipih besar nya. Dia meletakkan bayi laki-laki itu di sampingnya.

Mulut si bayangan hitam itu komat kamit membaca sebuah mantra. Dua jari telunjuk dan tengah tangan kiri nya mengusap Keris Mpu Gandring yang ada di tangan kanannya.

Tiba-tiba pamor keris pusaka itu keluar dengan warna merah kekuningan.

"Keris yang ampuh. Tak heran kau menjadi haus darah. Akan ku sucikan yoni mu sehingga kau menjadi pusaka yang bertuah, bukan sebagai pusaka penebar petaka", ujar si bayangan hitam itu yang segera merapal mantra penyucian.

Dengan segenap kemampuan nya, si bayangan hitam itu menusukkan keris Mpu Gandring pada batu pipih yang ada di depannya.

Jrrrreeeehh!

Separuh lebih badan keris Mpu Gandring tertancap di batu pipih besar.

"Jika sudah sampai pada waktunya, akan ada seorang pendekar yang mampu mencabut mu, maka saat itulah kau akan menggemparkan dunia persilatan kembali", ujar si bayangan hitam yang segera menggendong bayi laki-laki itu keluar dari dalam goa.

Sesampainya di luar goa, dengan bantuan tenaga dalam nya, si bayangan hitam itu segera menutup pintu goa dengan batu besar yang ada didekatnya.

Si bayangan hitam kemudian melepaskan topeng kayu nya dan melemparkannya ke arah samping goa.

Langit yang mulai cerah memperlihatkan wajah si bayangan hitam.

Dia adalah seorang lelaki paruh baya yang berbadan tegap dengan otot otot yang menghiasi tubuhnya. Namanya adalah Mpu Prawira, seorang resi yang tinggal di lereng Bukit Kahayunan di lereng barat Gunung Kelud.

Dengan langkah kaki cepat, Mpu Prawira menuruni lereng Bukit Kahayunan menuju rumah nya. Begitu sampai di rumah nya, seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik menyambut kedatangan nya.

Melihat suaminya membawa bayi, mata perempuan paruh baya itu melotot.

"Anak siapa ini Kakang? Apa kau menculik nya?", tanya Nyi Ratih dengan cepat.

"Eh enak saja kalau ngomong. Ini anak aku temukan di desa Padas Lintang yang baru di serang perampok Nyi. Seluruh orang di desanya terbunuh. Kita kan tidak punya anak Nyi, bagaimana kalau kita merawat dia seperti anak sendiri?", Mpu Prawira menatap wajah istrinya itu.

Nyi Ratih kemudian menatap bocah laki-laki yang tampan itu. Menjelang usianya yang sudah tidak muda lagi, mustahil bagi nya memiliki keturunan. Perasaan keibuannya muncul melihat bayi di gendongan suaminya itu.

Dengan segera, dia menggendong bayi laki-laki itu kemudian mengelus kepala bayi tampan di gendongan nya.

"Duh ganteng nya anak ini. Aku terima usul mu Kakang. Akan ku rawat anak ini sebagai putra kita", ujar Nyi Ratih sambil tersenyum bahagia.

Mpu Prawira tersenyum mendengar ucapan istrinya itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Bersambung kak 😁

Yang suka silahkan tinggalkan jejak ya dengan like 👍, vote ☝️, favorit 💙 dan komentar 🗣️ nya yah agar author terus semangat menulis kelanjutan cerita ini 😁

Selamat membaca 🙏🙏🙏

Wafatnya Apanji Tohjaya

Para pengawal setia Apanji Tohjaya terus berlari menuju kearah timur. Luka Apanji Tohjaya terus mengeluarkan darah. Di desa Katang Lumbang, para pengawal setia Apanji Tohjaya yang dipimpin oleh Tumenggung Menjangan Puguh menghentikan pelarian mereka di rumah Lurah Katang Lumbang yang bernama Ki Ranapati.

"Ki Lurah,

Cepat cari seorang tabib untuk mengobati luka Gusti Apanji Tohjaya", ujar Pengalasan dari Mula yang terus menemani Apanji Tohjaya. Dia sudah menjadi abdi dalem Tohjaya sejak masih di Tumapel.

"Baik Ki,

Akan ku usahakan secepatnya", ujar Ki Lurah Ranapati sambil mundur dari serambi kediaman nya.

Pria paruh baya itu setengah berlari menuju ke rumah seorang tabib yang bernama Banyak Kapuk dengan di temani seorang pelayan.

Di depan rumah Banyak Kapuk, Ki Ranapati segera menggedor pintu rumah tabib desa itu.

Dok dokk dokkk!

Terdengar suara langkah kaki menuju pintu, dan saat pintu terbuka seorang lelaki paruh baya dengan kumis yang memutih menyambut kedatangan Ki Ranapati.

"Ada apa Ki Lurah? Kog tumben pagi buta kemari?", ujar Banyak Kapuk sambil menatap heran ke Lurah Katang Lumbang itu.

"Jangan banyak tanya. Cepat kau bawa peralatan pengobatan mu dan ikut ke rumah ku sekarang", perintah Lurah Katang Lumbang itu dengan cepat.

Mendengar jawaban itu, Banyak Kapuk segera berlari menuju ke dalam rumah. Tak berapa lama lagi dia sudah kembali dengan membawa kotak obat yang terbuat dari kayu jati berukir.

Mereka bertiga pun segera bergegas menuju ke rumah kediaman Lurah Katang Lumbang.

Melihat kedatangan mereka, Pengalasan dari Mula tersenyum lega. Harapan untuk menyelamatkan nyawa Apanji Tohjaya semakin besar.

Banyak Kapuk segera menjalankan tugas nya sesuai arahan dari Lurah Katang Lumbang. Melihat luka di tangan kanan dan di perut Apanji Tohjaya, Banyak Kapuk dengan hati hati membersihkan sekitar luka.

Dengan perlahan Banyak Kapuk menabur obat ke luka Apanji Tohjaya. Kemudian dia membungkus luka dengan kain putih dengan di bantu oleh Pengalasan dari Mula, abdi setia Apanji Tohjaya.

Menjangan Puguh menarik nafas lega. Meskipun luka Apanji Tohjaya terus mengeluarkan darah, tapi dengan perawatan ini memberi harapan kesembuhan untuk junjungan nya.

Sementara itu, Pasukan Tumapel terus mengendus keberadaan Apanji Tohjaya yang menghilang seperti ditelan bumi.

Setelah hampir dua pekan mencari, akhirnya sebuah titik terang mereka temukan dari seorang pedagang yang melihat puluhan prajurit Kediri berada di Katang Lumbang.

Dengan dipimpin oleh Narajaya alias Mahesa Campaka, pasukan Tumapel bergerak menuju ke Katang Lumbang.

Selama sepuluh hari ini, keadaan Apanji Tohjaya terus memburuk. Luka tusukan Keris Mpu Gandring terus mengeluarkan darah. Dari pagi Apanji Tohjaya sudah tidak sadarkan diri dua kali.

Ketiga kalinya, Apanji Tohjaya tak sadarkan diri. Putra Ken Arok itu akhirnya meninggal dunia di Katang Lumbang.

Saat yang bersamaan, Mahesa Campaka datang ke Katang Lumbang dengan membawa pasukan Tumapel.

Melihat Pengalasan dari Mula tertunduk diam juga raut wajah kusut dari Menjangan Puguh, Mahesa Campaka yang cerdas langsung menyadari bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada Apanji Tohjaya.

Para pengawal setia Apanji Tohjaya yang melihat kedatangan Mahesa Campaka dan pasukan Tumapel sama sekali tidak bernafsu untuk menghadapi mereka. Mereka malah membuang senjata mereka ke tanah.

"Katakan apa yang sedang terjadi, Menjangan Puguh?", tanya Mahesa Campaka pada Menjangan Puguh yang duduk di bawah pohon sawo pada halaman rumah Lurah Katang Lumbang.

"Gusti Apanji Tohjaya sudah meninggal dunia Narajaya, dia sudah meninggal", jawab bekas tumenggung Kadiri itu dengan lesu.

"Kalau begitu, adakan upacara penyucian jiwa untuk nya. Bagaimanapun, dia adalah kerabat dekat istana Tumapel.

Sudah selayaknya dia mendapatkan penghormatan untuk terakhir kalinya", ujar Mahesa Campaka sambil tersenyum tipis.

"Terima kasih Narajaya, terima kasih.

Sekalipun aku harus mati, aku rela asal Gusti Apanji Tohjaya mendapatkan tempat yang layak sebagaimana mestinya", mata Menjangan Puguh berkaca-kaca mendengar ucapan Mahesa Campaka.

Hari itu, upacara penyucian jiwa Apanji Tohjaya dilaksanakan di Katang Lumbang. Mahesa Campaka yang menyaksikan perabuan itu, menghela nafas lega.

'Dengan ini, Bumi Tumapel akan lebih tentram dan damai ke depannya. Selamat jalan Paman Tohjaya', batin Mahesa Campaka sambil terus menatap api yang membakar jasad Apanji Tohjaya.

Setelah perabuan, 50 prajurit setia Tohjaya juga Pengalasan dari Mula dan Tumenggung Menjangan Puguh di bawa ke Kadiri untuk adili. Sedangkan Lurah Katang Lumbang yang membantu mereka, di bebaskan karena dia sama sekali tidak tahu menahu tentang pergantian pucuk pimpinan di istana Kadiri.

Tahun 1250 M, kerajaan Kadiri yang sempat memisahkan diri dari Tumapel saat Anusapati naik takhta Kerajaan Tumapel, di satukan kembali ke Tumapel setelah Seminingrat yang sebelumnya telah menikahi putri sulung Mahesa Wong Ateleng atau Batara Parameswara yang bernama Dewi Waning Hyun.

Dengan penyatuan ini, wilayah Tanah Jawa kembali menjadi tenang. Pun dunia persilatan menjadi kacau karena hilangnya Keris Mpu Gandring sudah menjadi rahasia umum. Mereka terus mencoba melacak keberadaan keris pusaka itu, tapi keris pusaka itu bagai hilang di telan bumi.

Sementara itu di lereng Bukit Kahayunan, Nyi Ratih terlihat begitu senang dengan kehadiran bayi laki-laki tampan yang dibawa oleh Mpu Prawira tempo hari. Dia merasakan kenikmatan menjadi seorang ibu yang selama ini sangat ingin dia rasakan.

Nyi Ratih memberi nama bocah itu Arya Pethak karena kulitnya yang putih dan wajah nya yang tampan.

Mpu Prawira terus menatap ke arah istri nya yang nampak bahagia itu dengan senyum tipis. Dia tak menduga bahwa tugas yang di bebankan kepada nya, menjadi awal kebahagiaan untuk istrinya.

17 tahun kemudian.

Seorang pemuda tampan sedang memanggul dua jun dari bambu betung berjalan melewati tangga di jalan menuju ke sebuah rumah yang ada di lereng Bukit Kahayunan.

Tubuh berotot dan kekarnya menjadi pertanda bahwa dia melatih tubuhnya selama bertahun-tahun lamanya.

Pemuda itu adalah Arya Pethak, putra angkat Mpu Prawira dan Nyi Ratih.

Jalan setapak itu begitu sepi, karena hanya ada satu rumah yang ada disana. Mpu Prawira dan Nyi Ratih memang sengaja menyepi dari ramainya dunia.

Sepasang kupu-kupu terbang menemani langkah Arya Pethak yang terus melangkah ke menuju ke rumah yang ada di lereng Bukit Kahayunan itu.

Tiba-tiba..

Sringg!!

Sebuah anak panah melesat cepat kearah Arya Pethak. Pemuda itu yang sadar bahaya mengancam nyawa segera menjejak tanah, lalu melenting tinggi ke udara menghindari anak panah. Panah melesat cepat dan menancap pada sebatang pohon randu yang ada di samping jalan setapak.

Creeppp!!

Arya Pethak mendarat turun dengan cepat, dari rimbun pohon seorang bayangan hitam berkelebat cepat dengan mengayunkan tongkatnya ke arah leher Arya Pethak.

Whuuussshh

Seketika Arya Pethak berguling ke tanah menghindari gebukan tongkat, tapi dengan cepat si penyerang memburunya dengan serangan yang berbahaya.

Si bayangan hitam kembali mengincar dada Arya Pethak tapi pemuda itu terus bergerak gesit dengan melenting tinggi ke udara. Melihat lawan bisa menghindar dari serangan nya, si bayangan hitam dengan cepat hantamkan tangan ke arah Arya Pethak.

Whuuuuttt

Angin kencang berhawa panas menerabas cepat kearah Arya Pethak. Dengan gesit pemuda tampan itu melompat tinggi ke udara dan balas menghantamkan tangan kanannya yang di lapisi tenaga dalam kearah si bayangan hitam.

Dengan cepat si bayangan hitam menyongsong hantaman tangan Arya Pethak dengan tapak nya.

Blarrrr!!!

Si bayangan hitam terdorong mundur selangkah sedangkan Arya Pethak terlempar jauh ke belakang.

Si bayangan hitam segera membuka topeng kayu nya, dan wajah Mpu Prawira yang muncul dari balik topeng kayu itu tersenyum simpul.

"Bagus Pethak..

Tak sia-sia aku mendidik mu untuk menjadi pendekar tangguh. Gerakan mu sudah cepat, hanya kurang tenaga dalam.

Mulai besok, kau harus bertapa selama 40 hari untuk meningkatkan tenaga dalam mu. Jika setelah bertapa, tenaga dalam mu meningkat, maka kau akan ku ajari ajian andalan ku", ujar Mpu Prawira dengan penuh kasih sayang. Jenggot putih nya yang lebat tampak berkibar di tiup angin.

"Terimakasih Romo..

Aku akan patuh dengan semua K

ajaran dari Kanjeng Romo", jawab Arya Pethak yang baru berdiri dari tempat jatuhnya.

"Sekarang ambil air lagi untuk biyung mu, Pethak. Dia pasti sudah menunggu kedatangan mu", Mpu Prawira segera melesat cepat kearah rumahnya.

'Dasar Romo,

Dia yang menyebabkan masalah, eh malah aku yang dapat getahnya', gumam Arya Pethak sambil melompat turun ke belik kecil yang ada di kaki Bukit Kahayunan.

Nyi Ratih berkacak pinggang di depan rumah saat Arya Pethak datang dengan membawa 2 jun dari bambu betung di punggungnya.

"Kenapa lama sekali, Pethak?

Bukankah sudah ku suruh cepat ambil air nya?", tanya Nyi Ratih dengan sedikit kesal.

"Maaf biyung,

Tadi waktu jalan pulang, Pethak tersandung akar pohon jadi air yang Pethak bawa tumpah. Jadi terpaksa ambil lagi", jawab Arya Pethak sambil menunduk.

Hemmmm

"Dasar bocah ceroboh,

Lain kali hati-hati to Ngger. Ya sudah mana airnya? Biyung mu mau masak untuk makan kita nanti malam", ucap Nyi Ratih dengan nada yang lembut pada Arya Pethak yang sudah dianggap sebagai anak sendiri.

Arya Pethak segera membawa jun dari bambu betung itu ke dapur dan menuangkan air ke dalam gentong dari tanah liat.

Malam itu, usai makan bersama dengan menu sederhana, mereka bercakap-cakap dengan hangat di serambi depan rumah mereka.

"Nyi, besok aku akan membawa Pethak bertapa di puncak Bukit Kahayunan ini selama 40 hari.

Untuk membentuk dan menata tenaga dalam nya sebagai pendekar di masa depan", kata Mpu Prawira pada istri nya itu.

"Itu terserah Kakang, yang penting Pethak menjadi orang yang berguna untuk negeri ini. Aku sebagai istri hanya bisa taat pada apa yang menjadi kemauan kakang sebagai suami ku", Nyi Ratih menatap wajah tampan Arya Pethak yang terlihat bersemangat untuk segera mengikuti perintah Mpu Prawira.

Keesokan paginya, saat mentari sepenggal naik di ufuk timur, Mpu Prawira dan Arya Pethak melangkah menuju ke puncak Bukit Kahayunan untuk mulai melakukan pertapaan selama 40 hari.

Di sebuah ceruk batu yang cukup dalam dan lebar, Mpu Prawira menyuruh Arya Pethak untuk masuk dan bertapa di sana. Dengan patuh, Arya Pethak mengikuti semua perintah Mpu Prawira.

"Apapun yang terjadi, jangan pernah keluar dari tempat itu Pethak. Sekalipun ada suara aneh ataupun makhluk apapun yang terlihat, jangan pernah melangkah dari ceruk batu ini", ujar Mpu Prawira pada Arya Pethak yang mulai duduk bersila di dalam ceruk batu.

"Aku mengerti Kanjeng Romo", jawab Arya Pethak sambil memejamkan mata, menata hati dan pikirannya.

Selama 40 hari lamanya, Arya Pethak harus menahan lapar, haus dan perubahan cuaca yang terjadi di ceruk batu itu.

Pada hari ke 41, Mpu Prawira datang ke ceruk batu itu untuk membangunkan Arya Pethak dari pertapaan nya.

"Putra ku Arya Pethak, bangunlah..

Masa pertapaan mu sudah usai. Waktunya kau menerima ilmu ku", perintah Mpu Prawira pada Arya Pethak yang dengan perlahan membuka mata nya.

Dengan tubuh yang masih lemah karena tidak makan berhari-hari, Arya Pethak dengan lemah keluar dari ceruk batu tempat pertapaan nya. Dengan langkah gontai, pemuda tampan itu mendekati Mpu Prawira.

Kakek tua berjenggot lebat itu tersenyum dan segera memapah tubuh Arya Pethak. Dengan cepat Mpu Prawira mendudukkan tubuh Arya Pethak kemudian memberikan sejumlah makanan pada putra nya itu.

Arya Pethak segera memakan makanan itu dengan lahap.

Setelah usai makan, perlahan tenaga Arya Pethak pulih kembali.

Mpu Prawira segera memeriksa nadi dan tenaga dalam Arya Pethak. Wajah sepuh pria berjenggot lebat itu langsung cerah setelah mengetahui bahwa tenaga dalam Arya Pethak mulai tertata lewat pertapaan kemarin.

"Tak salah perkiraan ku. Kau memang calon pendekar pilih tanding, putraku", ujar Mpu Prawira sambil tersenyum penuh arti.

"Mulai hari ini akan ku turunkan ajian ajian andalan ku. Yang pertama Ajian Langkah Dewa Angin yang akan membuat mu mampu bergerak cepat bagai kilat dan seringan bulu burung merpati.

Mulai malam ini kau harus ngalong (bergantung seperti kelelawar) sebagai langkah awal kau menata nafas dan denyut nadi mu, Pethak", imbuh Mpu Prawira kemudian.

"Pethak akan siap Kanjeng Romo, tapi sebelum kita mulai, aku ingin bertemu biyung lebih dulu Romo. Aku kangen sekali padanya", ujar Arya Pethak sambil tersenyum tipis.

Hehehe

"Dasar anak biyung. Ayo kita temui biyung mu Ngger", Mpu Prawira tertawa kecil kemudian segera melompat turun menuju rumah mereka yang ada di lereng bawah Bukit Kahayunan.

Arya Pethak segera menyusul kemudian.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Bersambung kak 😁

Yang suka silahkan tinggalkan jejak kalian dengan like 👍, vote ☝️, favorit 💙 dan komentar 🗣️ nya yah agar author terus semangat menulis 😁

Selamat membaca kak 🙏🙏🙏

Tapa Ngalong

Nyi Ratih begitu gembira melihat kedatangan Arya Pethak dan Mpu Prawira. Satu purnama lebih tidak melihat anak angkatnya itu membuat perempuan berambut putih itu begitu kesepian dan merindukan sosok Arya Pethak yang patuh dan tidak banyak bicara. Nyi Ratih terus memperhatikan keadaan Arya Pethak yang terlihat kurus tapi masih terlihat tampan seperti biasanya.

"Nyi,

Mulai besok malam putra kita akan tapa ngalong selama 7 hari. Tidak akan jauh dari rumah, cukup di hutan bambu di belakang itu.

Jadi kau bisa mengunjungi setiap hari. Setiap pagi dan sore kau bisa mengantar makanan untuk nya tapi hanya buah-buahan saja", ujar Mpu Prawira pada Nyi Ratih.

"Kenapa kau keras sekali pada putra ku Kakang?

Berilah dia jeda waktu untuk memulihkan tubuhnya yang kurus itu", Nyi Ratih mencoba untuk menunda tapa ngalong Arya Pethak.

"Tapi Nyi, kita harus menyiapkan Arya Pethak sebagai pendekar untuk membela yang lemah.

Jangan anggap enteng masalah ini", sergah Mpu Prawira sambil mengelus jenggotnya yang banyak ditumbuhi uban berwarna putih.

"Aku tahu kakang, tapi keadaan Kerajaan Tumapel yang sekarang bukankah sudah tentram.

Kakang Pranaraja juga sudah menjadi Patih di Kadiri. Negara juga dalam keadaan makmur.

Apa yang kita takutkan?", timpal Nyi Ratih dengan sedikit menyanggah.

Memang, selama masa pemerintahan raja Wisnuwardhana yang adil dan bijaksana keadaan Kerajaan Tumapel yang telah berpindah ibukota ke Singhasari begitu makmur.

Perdagangan dengan wilayah manca negara seperti Pakuan Pajajaran, Buleleng, Sriwijaya, Tanjungpura bahkan Kerajaan Champa dan dinasti Song di Tiongkok berlangsung lancar.

Semua bersahabat baik dengan Kerajaan Tumapel yang akhirnya lebih dikenal sebagai kerajaan Singhasari.

Masa pemerintahan nya, banyak mendirikan bangunan suci untuk para raja yang telah mangkat. Pertanian maju secara besar-besaran di beberapa wilayah.

Kertanegara yang menjadi Yuwaraja di Kadiri memerintah dengan baik. Tidak ada pajak yang memberatkan masyarakat, juga keamanan yang terjaga dengan baik. Pranaraja yang menjadi Patih juga mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik, meski masih ada gangguan kecil keamanan tapi secara keseluruhan masih terjaga.

"Iya aku mengerti Nyi, keamanan di wilayah Negeri Kadiri sudah membaik. Tapi apakah kamu pernah mendengar kalau Maharaja Seminingrat mulai memburuk keadaan nya?", tanya Mpu Prawira sambil menatap wajah sepuh istri nya itu.

"Aku tidak pernah keluar jauh dari tempat ini Kakang, jadi mana aku tahu ada desas-desus seperti itu?

Memangnya kenapa Kakang?", Nyi Ratih balik bertanya kepada Mpu Prawira.

Hemmmm

"Kertanegara adalah pengawas utama di wilayah yang terdekat dengan Kadiri Nyi..

Semua orang takut melawan dia.

Tapi kalau sampai Maharaja Seminingrat mangkat dan Kertanegara menjadi Maharaja Singhasari tentu pengawasan terhadap daerah bawahan Kadiri akan melonggar dan itu sangat berbahaya.

Aku dengar, Jayakatwang yang di angkat Maharaja Seminingrat sebagai Bupati Gelang-gelang sudah lama tidak suka dengan Kertanegara.

Bibit permasalahan ini suatu saat akan meletus. Maka dari itu, kita harus cepat menyiapkan Arya Pethak sebagai penolong masyarakat saat pemerintahan menjadi kacau", jawab Mpu Prawira sambil menatap langit biru di barat Bukit Kahayunan.

"Aku mengerti kekhawatiran mu Kakang, tapi kita juga tidak bisa memaksa Arya Pethak memikul beban itu sendirian.

Bagaimanapun dia juga harus menemukan jalan hidupnya sendiri.

Jadi sekarang aku minta berikan waktu untuk ku bersama putra ku untuk bersama. Dan kali ini Kakang tidak boleh menolak", ujar Nyi Ratih dengan sedikit memaksa.

Hari itu Nyi Ratih memasak enak untuk menyambut kedatangan putra nya itu. Dia bahkan menyembelih ayam untuk menu makan siang mereka.

Selama seharian itu, Nyi Ratih tidak membiarkan Arya Pethak jauh dari nya. Kemanapun dia pergi, Arya Pethak harus ikut bersamanya. Mpu Prawira hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah istri nya itu.

Keesokan harinya, dimulailah tapa ngalong Arya Pethak.

Sebatang bambu diikat dengan tali pada kedua ujungnya kemudian kedua tali diikat pada dua pohon bambu betung setinggi 4 tombak di atas tanah.

Arya Pethak harus berada diatas bambu betung itu selama tujuh hari tanpa boleh turun menyentuh tanah. Selain itu, dia juga hanya boleh makan buah-buahan seperti kalong atau kelelawar yang hanya memakan buah.

Setelah semua siap, Mpu Prawira menyuruh Arya Pethak melompat ke atas bambu yang menjadi tempat nya bertapa.

"Sekarang naiklah kesana, jangan sampai jatuh atau turun sebelum 7 hari", perintah Mpu Prawira sambil tersenyum tipis.

"Baik Kanjeng Romo", Arya Pethak mengangguk mengerti dengan apa yang di perintahkan oleh Mpu Prawira. Pemuda tampan itu segera melompat tinggi ke udara dan mendarat di atas bambu yang terikat tali.

Arya Pethak nyaris jatuh, tapi dengan cepat dia menyeimbangkan nya. Selanjutnya dia dengan cepat menata nafas dan pikirannya.

Selanjutnya dia harus menahan diri dari dingin dan panas cuaca yang menghantam tubuhnya. Berada di udara terbuka, di tempat tinggal benar benar menyiksa tubuh nya untuk mampu beradaptasi dalam segala situasi.

Nyi Ratih secara teratur memberikan makanan berupa buah-buahan yang tumbuh di sekitar bukit tempat tinggal mereka.

Dengan menata nafas dan tenaga dalam nya, Arya Pethak merasa tubuhnya semakin ringan hingga tidak merasa tersiksa menghadapi kerasnya cuaca dingin di Bukit Kahayunan.

Tak terasa sudah 7 hari Arya Pethak menjalani tapa ngalong nya.

Malam itu, tiba-tiba saja hujan deras mengguyur wilayah Bukit Kahayunan. Di tengah hujan yang deras, Nyi Ratih menatap keluar jendela rumah nya dengan penuh perasaan khawatir. Naluri keibuannya memikirkan keadaan Arya Pethak yang masih menjalani tapa ngalong nya.

"Kakang Prawira,

Apa putra ku akan baik-baik saja? Hujan deras begini, dan dia harus berbasah-basah tapa ngalong", suara Nyi Ratih dengan nada cemas.

"Doakan saja semoga putra mu baik baik saja Nyi.

Percayalah bahwa Arya Pethak mampu menghadapi ini semua", Mpu Prawira tersenyum simpul pada istrinya itu. Laki laki sepuh itu tau bagaimana perasaan Nyi Ratih saat ini.

Hujan deras terus mengguyur Bukit Kahayunan. Sesekali petir menyambar langit malam yang gelap.

Jlegeeerrrr!!!

Nyi Ratih berkomat kamit membaca doa, berharap agar putranya baik-baik saja.

Arya Pethak tetap tak bergeming dari tempatnya duduk. Meski hujan deras terus mengguyur, namun tidak menggoyahkan tapa ngalong nya.

Menjelang pagi, hujan deras itu berhenti. Berganti angin semilir yang datang dari selatan. Udara terasa semakin dingin menusuk tulang. Arya Pethak terus bersemedi di atas batang bambu yang menjadi tempat bertapa nya.

Saat sinar matahari pagi mulai terbit, Arya Pethak membuka mata nya. Sinar matahari menghangatkan tubuh nya yang basah kuyup oleh hujan deras semalam. Arya Pethak terus menata nafas dan pikirannya, tubuhnya terasa begitu ringan seperti kapuk randu yang beterbangan di tiup angin.

Saat matahari terbit sepenggal naik, Mpu Prawira mendekati tempat tapa ngalong Arya Pethak. Sekali loncat, tubuh kakek tua bertubuh tegap itu sudah ada disamping Arya Pethak.

Taphhh!!

Melihat kedatangan Mpu Prawira, Arya Pethak tersenyum simpul. Tak di duga Mpu Prawira malah mengayunkan tongkatnya menyerang Arya Pethak.

Whuuuuttt

Dengan cepat, Arya Pethak segera menghindar dari serangan ayah angkatnya itu.

Melihat serangan nya di hindari, Mpu Prawira kembali mengayunkan tongkatnya ke arah dada Arya Pethak. Namun dengan sekali pijakan kaki yang halus, Arya Pethak melenting tinggi dan mendarat di ujung bambu tempat bertapa nya.

Pagi itu mereka segera bertarung diatas bambu yang menjadi tempat bertapa nya Arya Pethak.

Gerakan cepat dan ringan dari dua orang itu benar benar terlihat seperti pertarungan 2 jagoan dunia persilatan.

Namun Mpu Prawira yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan bukan lawan yang mudah dihadapi Arya Pethak.

Saat Arya Pethak sedikit lengah, sabetan tongkat kayu Mpu Prawira berhasil memukul kaki kanan Arya Pethak yang baru melompat menghindari sepakan keras dari kakek tua itu.

Deshhhh

Arya Pethak terpelanting dan terjatuh dari bambu tempat bertapa nya. Namun sebelum menyentuh tanah, dia memutar gerakan tubuhnya dan turun ke tanah dengan sempurna.

Mpu Prawira lantas segera menyusul turun ke samping Arya Pethak.

"Bagus sekali Ngger,

Gerakan mu sudah semakin cepat dan ringan. Tinggal aku menurunkan Ajian Langkah Dewa Angin kepadamu.

Sekarang kau duduk di atas batu besar yang ada disana itu", ucap Mpu Prawira sambil menunjuk sebuah batu besar yang ada di barat hutan bambu betung di samping pohon bendo yang rindang.

Arya Pethak segera mengangguk mengerti dan menuruti perintah Mpu Prawira.

Pemuda tampan itu segera duduk bersila di atas batu besar itu sambil memejamkan matanya. Mpu Prawira dengan cepat melesat ke samping Arya Pethak.

"Kosongkan pikiran mu, atur jalan nafas dan tenaga dalam mu Ngger", perintah Mpu Prawira pada Arya Pethak. Pemuda itu dengan cepat segera melakukan perintah Mpu Prawira.

Setelah memejamkan mata sejenak, tiba-tiba tangan kanan Mpu Prawira mengeluarkan asap tipis berwarna putih dengan sinar biru terang. Lalu tangan kanannya itu di letakkan pada ubun-ubun kepala Arya Pethak.

Zzzrrrrrttttthhh!

Sinar biru terang segera menyelimuti seluruh tubuh Arya Pethak. Seluruh pori pori tubuh nya terasa sejuk, dan tenaga dalam nya meningkat cepat.

Arya Pethak memutar kedua telapak tangannya, untuk membantunya mempercepat penyerapan Ajian Langkah Dewa Angin.

Setelah cukup, Mpu Prawira menarik tangan kanannya dari ubun-ubun kepala Arya Pethak.

Arya Pethak segera membuka mata nya, saat Ajian Langkah Dewa Angin merasuk sempurna ke tubuh nya.

"Ilmu Ajian Langkah Dewa Angin sudah masuk sempurna ke tubuh mu Pethak.

Kini kau memiliki tubuh seringan kapas kapuk randu. Sekarang cobalah ambil buah nangka yang ada disana Ngger", ujar Mpu Prawira sambil tersenyum tipis sambil menunjuk ke buah nangka matang yang ada di pucuk pohon nangka yang lumayan tinggi.

"Baik Romo, akan aku coba", Arya Pethak mengangguk dan segera melesat cepat kearah buah nangka matang yang di tunjukkan kepada nya.

Hanya dalam sekejap mata, Arya Pethak sudah sampai di pohon nangka dan segera berbalik arah menuju ke arah Mpu Prawira. Gerakan cepat seperti terbang diatas udara.

Mpu Prawira tersenyum simpul. Arya Pethak memang berbakat menjadi pendekar tangguh.

"Hebat!

Romo bangga pada mu Ngger. Sekarang ayo kita temui ibu mu. Dia dari semalam mencemaskan keadaan mu", ajak Mpu Prawira yang segera melesat cepat kearah kediama. nya. Arya Pethak segera mengejar langkah ayah angkat sekaligus guru nya itu.

**

Sementara itu, nun jauh di Utara tepatnya di bukit Lanjar.

Seorang gadis muda berbaju hijau sedang memainkan pedangnya dengan lincah dan gesit.

Seorang wanita yang sudah berumur tapi masih terlihat cantik, terus menatap gerakan gadis muda berbaju hijau itu dengan tatapan penuh arti.

Gerakan si gadis muda berbaju hijau itu sangat indah, seperti sedang menari meski dengan tujuan yang mematikan.

"Larasati,

Cukup untuk hari ini. Nanti sore kita lanjutkan lagi latihan mu", ujar si perempuan paruh baya itu sambil berdiri dari tempat duduknya di atas batu besar.

"Tapi guru, Laras masih ingin berlatih beberapa jurus lagi", ujar gadis muda berbaju hijau yang bernama Rara Larasati itu.

"Sudah jangan keras kepala. Kita lanjutkan nanti sore saja.

Hari ini Guru besar akan keluar dari pertapaan nya. Semua murid Padepokan Bukit Lanjar harus bersiap menyambut nya", ujar wanita paruh baya itu sambil melangkah menuju ke rumah kediaman nya. Perempuan itu bernama Nyi Sawitri atau yang lebih dikenal sebagai Dewi Lengan Seribu dari Bukit Lanjar.

Padepokan Bukit Lanjar berdiri di bekas Padepokan Anggrek Bulan, yang hancur saat terjadi akhir perang 60 tahun antara Jenggala dan Panjalu.

Guru besar mereka, Dewi Bukit Lanjar sangat terkenal sebagai pendekar wanita pilih tanding pada masa lalu.

Dewi Bukit Lanjar memiliki belasan murid hebat dan tersohor di wilayah Negeri Singhasari. Salah satu murid kesayangannya adalah Nyi Sawitri yang dikenal sebagai Dewi Lengan Seribu. Julukan itu bukan hanya omong kosong belaka, kehebatan Nyi Sawitri terletak pada kemampuan beladiri berpedang nya yang mampu membuat perhatian lawan terpecah karena ilusi tangan nya yang bisa terlihat berjumlah ratusan bayangan.

Nyi Sawitri hanya mempunyai seorang murid, Rara Larasati. Berbeda dengan kakak kakak seperguruannya yang memiliki setidaknya 5 murid.

Larasati segera menghentikan latihan nya. Gadis muda itu segera mengejar langkah sang guru menuju ke arah kediaman nya.

Pagi itu di Padepokan Bukit Lanjar, semua orang sibuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan guru besar mereka.

Seorang wanita sepuh berjalan masuk ke dalam serambi utama Padepokan Bukit Lanjar. Langkahnya yang pelan di bantu tongkat kayu galih asem tampak anggun menuju kursi pemimpin padepokan. Semua murid Padepokan Bukit Lanjar segera membungkuk hormat pada Dewi Bukit Lanjar yang kemudian duduk.

"Selamat datang kembali Guru", ujar Kuda Laleyan, murid pertama Dewi Bukit Lanjar dengan penuh hormat.

"Sudah cukup, duduklah dengan tenang", ujar Dewi Bukit Lanjar sambil tersenyum tipis.

Semua murid dan cucu murid yang ada di serambi kediaman utama segera duduk bersila di hadapannya.

Dewi Bukit Lanjar menatap ke arah murid murid Padepokan Bukit Lanjar. Kemudian ia berkata dengan penuh wibawa,

"Murid Padepokan Bukit Lanjar semuanya,

Hari ini ada sesuatu yang penting untuk ku sampaikan kepada kalian semua.

Sudah saatnya aku mundur dari dunia persilatan".

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Bersambung kak 😁

Ikuti terus kisah selanjutnya yah 👍

Yang suka silahkan tinggalkan jejak kalian dengan like 👍, vote ☝️, favorit 💙 dan komentar 🗣️ nya agar author terus semangat menulis 😁

Selamat membaca 🙏🙏🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!