Hai ... readers yang santun dan budiman. Terima kasih sudah mampir dan membaca kisah ini. Jika berkenan saya ucapkan terima kasih. Jika tidak semoga Anda menyampaikannya dengan santun. Kisah berikut di ilhami dari kisah seseorang yang author kenal, dengan kisah yang serupa dan modifikasi pada nama, setting dan waktu demi kesantunan serta etika yang berlaku.
Tokoh yang ada memang fiktif tapi isi cerita sesuai dengan apa yang terjadi. Jadi bukan hasil halu murni tapi adaptasi dari kisah nyata. Dan tokoh yang Author gambarkan tersebut bahagia di dunia nyata. Percis seperti yang terjadi dalam cerita ini. Oke.
Selamat Membaca!
******
Fabian Alvaro Ibramsyah, biasa di sapa Bian. Putra tunggal dari almarhum Narendra Ibramsyah pengusaha mebel yang terkenal itu. Sejak kematian Papa nya akibat serangan jantung prilakunya makin tak terkendali. Saat ini dia sudah berada di tingkat tiga semester enam di sebuah universitas swasta ternama dikotanya. Sebagai laki-laki dia bisa dibilang keras hati dan keras kepala. Hobi nya adalah kebut-kebutan dijalan dan berkelahi. Untuk dua urusan itu dia tidak ada tandingnya.
Dia juga hobi sekali alkohol dan mengencani para perempuan. Dia suka bicara seenaknya dan kasar. Namun karena parasnya yang tampan dengan postur tubuh yang mendukung, serta uang yang banyak, banyak gadis berebut mendekatinya.
"Apa? Perjodohan? Bian tidak mau, Ma." Tanpa basa-basi Bian menolak mentah-mentah permintaan mamanya.
"Kamu harus mau!" titah mamanya.
"Bian tidak mau terikat dengan seorang perempuan. Apalagi mama bilang anak kampung? Ya, ampun ... mau taruh dimana muka Bian, Ma. Bisa turun reputasiku jika orang-orang tahu aku dijodohkan dengan anak dari kampung yang kampungan itu." Egoisme yang tinggi membuat Bian tak mau di atur oleh siapapun termsuk mamanya. Dia memang terbiasa seenaknya sendiri dan liar.
"Jaga bicaramu, Bian. Mama ingin kamu menjadi pemimpin yang baik buat keluarga kamu nantinya. Jika kamu menikah dengan perempuan ini, mama yakin kamu bisa menjadi lebih baik lagi. Mama ingin kamu belajar bertanggung jawab, Bian."
"Menikah? Please, Mama. Jangan bicara yang tak masuk akal. Dia saja masih SMP. Masa istriku balita sih." Lagi, Bian menolak dengan tegas perintah itu.
"Kalian bertunangan dulu. Nanti setelah dia tamat SMA baru kalian menikah. Mama yakin dia perempuan solehah yang terbaik untukmu."
"Bian tetap menolak, Ma!"
"Tunggu, Bian! Mama belum selesai bicara!"
"Sudahlah, Ma. Bian tak ingin berdebat masalah ini. Bian tidak mau dijodohkan. Apalagi sampai menikah."
Bian pergi meninggalkan mamanya. Dia tak lagi menggubris panggilan mamanya. Baginya sangat konyol harus menikah. Jika dia bisa bersenang-senang tanpa harus menikah kenapa harus repot, pikirnya. Selama ini dia selalu berkencan dengan banyak perempuan, baginya perempuan hanya untuk hiburan dan kesenangannya saja. Dia tidak pernah serius dengan satu perempuan pun.
******
"Maaf Tante, bisakah saya memikirkan dulu masalah ini. Saya ingin memikirkan dan menimbangnya dulu. Semoga saya segera mendapat jawabannya." Dengan lembut Aulia meminta waktu pada perempuan separuh baya yang duduk di hadapannya. Sebagai seorang yatim piatu, Aulis harus bisa memutuskan sendiri amsa depannya.
"Baiklah Sayang, Tante tunggu jawabannya." Mira pergi meninggalkan perempuan muda berhati lembut itu. Dia merasa bahwa gadis muda itu pantas menjadi pendamping putra tunggalnya. Walaupun dia masih duduk di banggu sekolah menengah pertama, namun cara bicara dan pola pikirnya sangat dewasa dan tenang. Ini hanya perjodohan biasa, meminang seorang perempuan yang kelak akan menikah dengan putranya saat dewasa kelak.
Aulia Izzatunnisa, biasa dipanggil Lia, remaja kelas dua SMP disebuah asrama yatim piatu di desa kecil yang jauh dari keramaian. Gadis manis berkerudung itu terlihat begitu bersahaja, bicaranya lembut dan santun. Mira, mama Bian, bertemu dengannya saat berkunjung kesana untuk acara bakti sosial dua tahun lalu. Lia menolongnya saat nyaris tertabrak mobil di halaman asrama.
Sejak saat itu Mira dekat dengan Lia. Dia selalu mengunjungi Lia saat senggang. Mira tertarik dengan kepribadian perempuan muda ini. Aulia adalah seorang yatim piatu. Sejak umur sembilan tahun dia sudah ditinggal kedua orang tuanya yang menjadi korban kecelakaan mobil. Dialah satu-satunya yang selamat. Orang tua dan kakak laki-laki nya meninggal dunia dan ditemukan dalam puing rongsok mobil yang mereka kendarai.
"Tante mengharapkan jawaban yang terbaik untuk kalian. Tante sangat berharap kamu menjadi anak menantu Tante nantinya. Perempuan solehah," ucap Lia sebelum meninggalkan asrama. Asrama yatim piatu yang terletak di pinggiran kota, tempat Aulia menimba ilmu dan kasih sayang dari para penghuni panti.
"Terima kasih, doanya Tante. Lia akan memberi jawaban secepatnya. Apapun pilihan yang akan Lia pilih nanti, insha allah akan menjadi pilihan terbaik dari Tuhan." Jawaban diplomtis Aulia mengukir garis lengkung indah di ujung bibir manis Mira. Merasa misinya selesai, Mira pamit pulang kerumahnya. Dia biasa mengendarai sendiri mobilnya. Dia sangat berharap jawaban yang mengembirakan hatinya. Dia berharap dengan menikah Bian bisa belajar menjadi laki-laki yang bertanggung-jawab atas hidupnya dan istrinya kelak.
******
"Oh no, Mama. Please, jangan paksa Bian. Bian tidak suka di paksa begitu. Pokoknya Bian tidak mau bertunangan apalagi sampai menikah. Tidak!" Bian menolak lagi.
"Bian, kamu selama ini tidak pernah mendengar kata-kata Mama. Mama mohon sama kamu untuk kali ini saja, untuk pertama dan terakhir kamu dengarkan perkataan mama. Dengarkan permintaan Mama."
"Tidak!"
Bian mengambil kunci mobilnya lalu menancap gas menuju arena balap. Dia ingin menenangkan diri disana. Memacu adrenalinnya. Setelah itu seperti biasa Bian menuju sebuah club malam untuk bersenang-senang disana. Dia tak memperdulikan lagi handphone nya yang sejak tadi siang berbunyi.
Malam makin larut, Bian makin buas dengan prilaku liarnya. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan penghibur. Libidonya selalu tertantang jika menyaksikan aroma sensual yang di suguhkan para penjaja kenikmatan itu. Seorang pelayan tergopoh-gopoh mencari Bian dikamar hotel melati, dia mengetuk pintu kamar hotel. Bian baru saja hendak memulainya, dengan kesal dia membuka pintu kamar.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Maaf, Tuan. Ada seseorang yang mencari anda?" jawab pelayan itu ketakutan. "Dia menunggu di lobi." Pelayan itu tertunduk, dia tak berani menatap mata Bian.
"Baiklah, aku kesana sebentar lagi." Bian belum mulai apa-apa saat pelayan tadi memanggilnya. Dia segera menuju lobi hotel dan menemui orang itu.
"Ada apa kamu mencariku, Ujang?" tanya Bian heran saat mendapati supirnya di sana. Wajah Ujanh panik dan juga takut. Namun mau tak mau dia harus menemui tuan mudanya.
"Maaf, Mas Bian. Saya dari kemarin menelepon ponsel mas Bian. Tapi tidak di angkat," ucap Ujang.
"Aku sedang sibuk. Ada apa?"
"Ibu, Mas ... "
"Mama kenapa, Ujang?" Bian menggeser posisi duduknya. Dia menatap tajam pada laki-laki lusuh yanh ada di hadapannya.
"I-ibu sudah tiga hari ini tidak keluar kamar. Tidak makan tidak minum. Tidak juga merespon panggilan kami. Ibu mengunci pintu kamarnya. Kami takut terjadi sesuatu dengan Ibu, Mas. Mas Bian tolong pulang dulu sebentar." Wajah Bian pias mendengarnya. Dia bergegas menuju mobilnya. Dia menginjak gas mobilnya kuat-kuat, berharap sampai dirumah dalam waktu secepatnya.
Tok ... Tok ... ketukan keras menggema dari pintu kamar Mira yang di ketuk kencang Fabian. Panik. Takut. Dia tak sabar ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam.
"Ma-mama, mama dengar Bian, Ma." Mira tidak memberi reaksi apa-apa. Bian mendobrak pintu kamar.
Brak!
Dia menyerobot masuk kamar mamanya. Dia melihat mamanya sudah tergeletak lemas diatas tempat tidur. Bibirnya kering dan membiru. Tubuhnya lemas. Wajahnya seolah kehilangan rona merahnya, pucat seperti sesosok mayat. Bian mengangkat tubuh mamanya.
"Mama! Mama dengar Bian, Ma. Bangun, Ma!" teriaknya panik.
Dia segera membawa mamanya ke rumah sakit. Dokter memasang infus di pergelangan tangan Mira. Dia menolak makanan dan minuman yang diberikan.
"Makanlah, Ma," pinta Bian. Namun Mira tetap menolaknya. Dia merapatkan kedua bibirnya. Lalu bibi, asisten rumah tangganya datang menghampiri.
"Mas, maaf. Bibi menemukan ini didepan pintu kamar kemarin." Bian mengambil secarik kertas itu lalu membukanya.
Mama mau kamu bertunangan lalu menikah dengan Lia. Tolong ikuti kata-kata mama kalau kamu masih ingin melihat mamamu hidup, Bian.
Dengan kesal Bian meremas kertas itu lalu membuangnya kelantai. Mama mengancamku, pikirnya. Namun dia tak mau dan belum siap kehilangan mamanya saat ini.
"Baiklah, Ma. Aku akan bertunangan dan menikah dengan perempuan pilihan mama, jika itu membuat mama sembuh." Tanpa pikir panjang Bian menyanggupi titah mamanya kemaren. Mira yang terbaring lemas di atas tempat tidur menghela nafas panjang dan tersenyum.
******
Lia didampingi dengan kepala asrama dan ibu pengasuh nya berkumpul di ruang kepala asrama. Bian dan Mira yang sudah berpakaian rapi pun ada disana.
"Nak Bian, saya sebagai wali dari Aulia Izzatunnisa, ingin menanyakan kesungguhan niat Nak Bian ingin meminang Aulia."
"Iya, Pak saya berniat meminta perempuan ini untuk bertunangan, insha Allah empat tahun lagi menikahinya," jawab Bian diplomatis.
"Baiklah, saya akan panggilkan Aulia, tunggu sebentar." Kepala asrama masuk kedalam ruangan bagian dalam, memangil Aulia dan seorang ibu pengasuh yang menemani Aulia. Perempuan muda itu muncul dengan mengenakan kerudungnya dan baju kurung sederhana. Tanpa riasan apapun. Bian meliriknya dengan pandangan mengejek.
"Jadi ini perempuan yang akan menjadi istriku? Ya,Tuhan ... gayanya kampungan sekali," batin Bian.
Aulia duduk disebelah ibu pengasuh asrama, sementara Bian dan mamanya duduk dihadapannya, lalu kepala asrama disisi antara mereka.
"Aulia, ini Nak Bian ... Dia ingin memintamu bertunangan lalu menikahimu empat tahun dari sekarang. Apakah kamu bersedia menerima pinangannya?" tanya kepala asrama. Aulia melirik pada Bian, dia hanya menganggukkan kepalanya. Mira mengeluarkan sebuah kotak berisi sepasang cincin emas. Bian memasangkan cincin itu ke jari tangan Aulia. Sejak saat itu resmilah mereka berdua bertunangan. Mira sangat bahagia melihatnya. Perasaannya terpancar dari wajahnya yang cerah, secerah pagi hari itu. Namun Bian tetap memasang wajah dingin dan sikap acuh tak acuh.
******
"Hei," sapa Bian pada Lia. Wajahnya saat itu datar dan tidak bersahabat. Dia mendekati Lia yang berdiri di balkon ruang tamu asrama.
"Ya, Mas," jawab Lia lembut.
"Kamu tahu kan aku bertunangan dengan mu cuma demi mama ku saja. Jadi jangan berharap lebih padaku." Tanpa basa-basi dan pikir panjang, Bian menyerocos pada Aulia. Gadis muda yang kini jadi tunangannya.
"Mas Bian tidak usah khawatir aku tahu alasanmu itu."
"Bagus kalau begitu, kamu .... Eh ... siapa tadi namamu?" Bian mengerutkan kedua alisnya.
"Aulia Izzatunnisa."
"Susah sekali menyebutnya," protes Bian.
"Panggil saja, Lia."
"Namamu saja susah aku menyebutnya, nama yang aneh, seaneh penampilanmu," gerutu Bian dalam hati.
"Umurmu berapa?" tanya Bian lagi, tak ramah. Terdengar ketus dan tajam. Namun dengan tenang Aulia menanggapinya. Senyuman manis terukir dari ujung bibir mungilnya.
"14 tahun, Mas."
"Ya Tuhan, dia masih bayi. Delapan tahun lebih muda dariku. Masa iya harus menikah dengan balita," gerutu Bian lagi dalam hati.
"Kelas dua?"
"Ya, Mas." Bian menghela nafas panjangnya. Dia menyandarkan tubuhnya pada tembok. Dalam hati dia mengutuki semua yang terjadi pada dirinya hari itu. Sesi wawancara itu membuatnya makin frustasi dengan perjodohan itu, ide yang sangat buruk pikirnya.
"Sayang, kamu sedang libur bukan?" tanya calon mama mertuanya.
"Iya, Tante. Kemarin baru pembagian rapor."
"Kalau begitu kamu ikut kami saja kekota. Menginap di rumah. Liburan disana ya, Sayang," pinta Mira.
"Tapi tante ... "
"Eh, jangan panggil Tante. Kamu akan jadi istrinya Bian. Panggil Mama saja."
"Tapi," Lia segan dengan Bian. Gadis muda itu melirik pada Bian yang ada di hadapannya. laki-laki itu memalingkan wajahnya. Bian sama sekali tak perduli dengan semuanya.
"Jangan begitu. Kita nantinya akan jadi satu keluarga. Jangan bersikap formil begitu."
"Ya, Tan ... Eh, Ma."
"Nah, begitu kan lebih baik, bukan begitu Bian." Lagi-lagi Bian bersikap masa bodo. Dia enggan menanggapi kata-kata mamanya apalagi berurusan dengan perempuan yang di jodohkan dengannya itu.
"Ayo, siap-siap. Mama sudah minta izin dengan kepala asrama kalau kamu akan liburan bersama kami." Calon mama mertuanya membawa Lia kekamarnya untuk membereskan pakaiannya. Dia ingin menghabiskan waktu bersama calon menantu pilihannya.
******
Bian duduk di belakang kemudi mobilnya. Mira menyuruh Aulia duduk disebelah Bian, sementara dia duduk dikursi tengah. Kali ini Bian merasa di kerjai oleh mamanya. Sepanjang perjalanan dia hanya diam. Hatinya kesal sekali.
"Bian, kamu tahu Lia ini juara umum di sekolahnya loh. Dia sudah menjadi juara umum sejak sekolah dasar. Beruntung sekali kedua orang tuamu memiliki anak cerdas seperti kamu, Sayang," puji Mira.
Bian tetap diam. Dia tak perduli dengan semuanya. Dia ingin cepat sampai rumah dan membebaskan diri dari keduanya. Dia sedikit menambah kecapatan mobilnya. Dari arah depan ada sebuah truk pengangkut barang, Bian memberikan sen ke kanan dan hendak menyalip mobil yang ada didepannya. Namun ditengahnya ada sebuah mobil dari arah depan yang melaju sangat cepat.
Dia mengurungkan niatnya dan kembali mebuang stir kekiri. Aulia menjadi pucat pasi, tangannya gemetaran. Tak dirasanya airmatanya mengalir dikedua pipinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Mira.
Bian menoleh ke arah perempuan yang duduk di sampingnya. Dengan terpaksa dia harus menghentikan mobilnya di rest area terdekat. Aulia turun dari mobil dengan tubuh gemetaran. Jantungnya berdetak kencang, nafasnya terasa sesak sekali.
"Kenapa kamu?" tanya Bian masih dengan nada ketus. Aulia menggengkan kepalanya. Dia masih merasakan sesak didadanya. Mira membawakan sebotol air mineral pada calon menantunya. Lia meminumnya sampai habis.
"Maaf ya Sayang, kamu pasti ingat kedua orang tuamu ya. Kamu trauma sekali dengan keadaan seperti tadi. Mama juga kesal dengan kelakuan Mas Bianmu, dia tidak memikirkan perasaan tunangannya," gerutu Mira.
Lia hanya tersenyum kecil. Setelah dia tenang barulah mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah kediaman keluarga Ibramsyah.
******
Lia menempati kamar tamu. Malam itu adalah malam pertamanya tidur dirumah, sejak kematian orang tuanya lima tahun lalu, dia tidak pernah lagi merasakan suasana rumah. Rumah milik keluarganya dijual dengan paman tirinya. Semua aset milik keluarganya dijual oleh adik tiri ibunya itu. Malam ini dia kembali merasakan suasana rumah yang tenang. Rumah calon suaminya.
"Umi ... Abi ... Abang ... Lia rindu kalian. Semoga kalian tenang disana," lirihnya. Isaknya tak terbendung lagi. Namun ketukan suara pintu membuat kekhususan tangisnya pecah seketika. Suara itu makin kencang dan tak sabaran. Lia bangun dari tempat tidur, mengambil jaket dan kerudungnya.
"Siapa malam-malam begini?" gumamnya. Dari balik pintu Bian muncul dengan gayanya yang urakan. Terlalu santai bahkan terkesan brutal. Walaupun dia adalah laki-laki yang tampan jika sudah berpenampilan klimis.
"Mas Bian?" Lia memundurkan langkahnya. Tak menyangka jika Bian datang malam-malam begini. Bian masuk kedalam kamar lalu duduk diatas tempat tidur. Dia merebahkan diri disana.
"Ada apa, Mas Bian kesini malam-malam?" Lia menjaga jaraknya. Dia tetap berada di ujung pintu. Mengamati tingkah laku calon suaminya.
"Memang tidak boleh?" protes Bian.
"Maaf Mas, tidak baik kalau berdua dikamar seperti ini." Mendengar ucapan Aulia, Bian bangkit dari tidurnya. Seringainya membuat Lia mundur lagi beberapa langkah. "Kamu takut?" tanya Bian.
Lia terdiam. Dia tak berani memandang wajah Bian. Dia berdiri didepan pintu menundukkan wajahnya. "Tenang saja, kamu bukan seleraku. Aku tak berminat dengan perempuan sepertimu."
Bian keluar kamar sambil tertawa sinis mengejek Lia. Gadis muda itu cepat-cepat menutup pintu kamarnya. Entah kenapa hatinya malah tertuju pada Bian dalam doanya beberapa waktu lalu. Namun dia tetap berbaik sangka pada laki-laki yang memang menyebalkan itu, Bian.
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!