"Kia, bangun, Kia! Kamu kenapa? Kia bangun!" Tama yang panik langsung membopong tubuh Kiara dan membawanya ke rumah sakit yang leraknya tidak jauh dari bandara.
Begitu tiba di rumah sakit, Kiara langsung di dibawa ke UGD dan mendapatkan penanganan pertama dari dokter yang bertugas, sebelum di pindahkan ke ruang perawatan, terlebih dulu dokter mengambil sample darah milik Kiara untuk di periksa di laboratorium. Tama menunggu di ruang tunggu rumah sakit dengan perasaan cemas. Dia sampai lupa mengabari keluarga besarnya.
Hari itu seharusnya Tama dan Kiara akan memulai perjalanan bulan madu mereka yang kedua dan tempat yang ingin mereka kunjungi pertama adalah negara Korea Selatan.
Korea Selatan sangat terkenal dengan kebudayaan romantisnya yang manis di dunia. Selain drama koreanya yang sangat terkenal romantis, menghabiskan waktu di negara tersebut bersama pasangan juga akan menjadikan pasangan tersebut seolah-olah berada di dalam drama korea. Seperti mengunjungi Pulau Nami, tempat syuting Winter Sonata yang sangat terkenal, atau juga mengunjungi istana Changgyeonggung, Gyeongbokgung dan Deoksugung.
Tama sudah merencanakan untuk mengunjungi ke semua tempat itu bersama dengan Kiara. Apalagi, Tama tahu, kalau Kiara sangat menyukai drama korea sama seperti adik kembarnya Mikha. Ketika ada waktu kosong, keduanya akan menoton drama kesukaan mereka itu seharian. Namun, semua berubah saat Kiara mengeluhkan rasa sakit dibagian perut bawahnya.
"Ki, kamu kenapa? Kenapa wajahmu pucat?" tanya Tama cemas.
"Tidak apa-apa, Tam. Perutku hanya sedikit sakit," jawab Kiara berbohong. "Lihatlah sekarang sudah tidak sakit lagi!" lanjutnya. Dia berusaha untuk tetap tersenyum dan berpura-pura tidak merasakan apa-apa lagi.
"Bener kamu sudah tidak apa-apa?" Tama kembali memastikan. Kiara menjawabnya dengan sebuah anggukan.
"Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Kiara sambil memeluk lengan suaminya. Namun, baru selangkah dia berjalan tubuh Kiara kembali ambruk. Kiara pingsan dan itu membuat Tama semakin panik.
Tanpa berpikir lagi, Tama langsung menggondong istrinya dan segera membawanya ke rumah sakit.
*****
"Sayang, kamu sudah sadar?" Tama tampak lega saat Kiara mulai membuka matanya.
"Mas, ini di mana?"
"Kita di rumah sakit."
"Rumah sakit?" Tama mengangguk.
"Tapi, bukankah kita akan pergi ke Korea?"
"Kita bisa ke Korea kapan saja. Kesehatanmu lebih penting," tukas Tama.
"Tapi, rencana bulan madu kita ...."
Tama mengecup kening Kiara dengan lembut. "Kita bisa bulan madu lagi lain kali. Kamu lupa, kalau suamimu ini keturunan Wijaya yang memiliki banyak uang? Jadi, saat tenagamu fit kita bisa merencanakan bulan madu kita lagi. Bahkan kita bisa berbulan madu ke banyak negara yang kamu mau."
Kiara tersenyum mendengar penuturan suaminya. Selama ini Tama tidak pernah menyombongkan kekayaan keluarganya dan kali ini dia menyombongkan semua itu untuk menghibur dirinya.
"Maafkan aku ya sayang, rencana bulan madu kita terpaksa gagal."
"Hei, bukan gagal sayang, hanya di tunda. Jadi, jangan pikirkan itu."
Kiara kembali tersenyum.
"Pak Tama, Dokter Louis ingin berbincang dengan Anda. Beliau sudah menunggu Anda di ruangannya," kata seorang perawat yang baru sj datang.
Dokter Louis adalah Dokter spesialis kandungan subspesialis onkologi. Dokter kandungan subspesialis onkologi adalah dokter yang mendalami ilmu ginekologi onkologi. Onkologi adalah cabang ilmu kedokteran yang fokus pada penyakit kanker dan pengobatannya, sedangkan ginekologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang berfokus pada kesehatan organ reproduksi wanita.
Dokter kandungan subspesialis onkologi memiliki gelar Spesialis Obstetri-Ginekologi Konsultan Ginekologi Onkologi atau disingkat Sp.OG (K)Onk. Untuk mendapat gelar tersebut, seorang dokter umum harus menyelesaikan program studi dokter spesialis obstetri dan ginekologi terlebih dahulu, lalu menempuh pendidikan subspesialisasi onkologi selama beberapa tahun.
"Iya, Sus, aku akan segera ke sana," jawab Tama. "Sayang, aku ke ruangan Dokter Louis sebentar ya!" pamit Tama.
"Iya, Mas," jawab Kiara.
Setelah mencium kening istrinya lagi Tama melangkahkan kakinya ke luar dari ruang rawat istrinya. Namun, sebelum itu dia menitipkan istrinya pada perawat yang barusan datang untuk memanggilnya.
"Sus, jaga istriku sebentar ya!" pinta Tama.
"Baik, Pak," jawab perawat itu.
Kiara menggeleng melihat sikap Tama yang protektif.
Saat ini Tama sudah berada di ruangan Dokter Louis. Dia duduk di kursi kosong yang berada di depan meja dokter tersebut.
"Suster bilang ada yang ingin kamu bicarakan kepadaku. Katakan saja ada apa!"
Louis menatap Tama sebentar. Kemudian dia menghela napasnya.
"Lou, apa Kiara mengalami sakit yang serius?" tanya Tama saat melihat ekspresi wajah Louis yang sedikit tegang.
Louis adalah teman lama Tama, jadi, Tama sudah hapal dengan ekspresi yang temannya itu tunjukkan saat ada hal yang menurutnya serius.
"Lou, katakan!" desak Tama.
Kembali Louis menghela napas beratnya. "Tam, aku mencurigai kalau Kiara ...."
"Kiara kenapa?" sela Tama.
"Kiara menderita kanker rahim. Itu kemungkinan yang aku dapat setelah memeriksa hasil tes laboratorium milik istrimu itu."
Tama shock mendengar pernyataan temannya itu. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki. Rasanya begitu berat saat mengetahui orang yang dia cintai terkena kanker.
"Sudah stadium berapa kanker yang diderita oleh Kiara?" tanya Tama lirih.
"Untuk memastikan itu, kita harus melakukan pengecekkan secara menyeluruh."
"Tapi, masih ada satu hal lagi yang harus kamu ketahui." Louis menatap netra teman lamanya itu serius.
"Apa itu?"
"Kemungkinan, Kiara akan sulit untuk bisa hamil. Dan jika kanker rahim yang diderita Kiara sudah stadium akhir, kemungkinan kita harus mengangkat rahimnya. Dan itu berarti, kalian tidak akan pernah bisa memiliki keturunan," terang Louis berhati-hati.
Louis bangun dari kursinya dan berjalan mendekat ke arah Tama. "Tam, kamu harus kuat menghadapi ini. Kiara membutuhkan dukungan darimu. Dukungan dari suami yang dia cintai akan sangat berarti untuknya." Louis menepuk bahu Tama pelan. Dia tahu kalau saat ini temannya itu pasti dalam keadaan buruk setelah mengetahui keadaan istri yang dicintainya. Tapi, dia harus bisa menyemangati temannya itu agar bisa lebih kuat.
"Aku tahu, Lou. Aku hanya bingung bagaimana cara menyampaikan semua ini kepada Kiara. Dia sangat ingin memilik anak, bahkan dia berharap kalau bulan madu kami kali ini bisa membuahkan hasil. Dan sekarang ...." Tama tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
Ucapan Kiara sebelum berangkat ke bandara masih terngiang di telinganya.
"Aku harap pulang dari bulan madu kita kali ini akan ada janin yang hadir di sini, di perutku," ucap Kiara pagi ini. Dia mengusap perutnya sambil terus tersenyum.
"Semoga ya, sayang. Kita sebagai manusiakan hanya bisa berdoa dan berusaha. Untuk hasil akhir, kita serahkan semuanya kepada Tuhan. Karena hanya Tuhanlah yang bisa mengijabah segala usaha dan doa yang dilakukan oleh setiap hambanya," ucap Tama bijak.
"Iya, Mas. Aku tahu. Tapi ...."
"Tapi, apa?" tanya Tama saat Kiara menggantung ucapannya.
"Tapi, jika Tuhan tidak mengijinkan aku hamil, maka berjanjilah kamu akan menikah lagi."
Tama menatap Kiara tidak suka.
"Sayang, janji ya. Kamu akan menikah lagi, saat aku tidak bisa memberimu keturunan."
"Tidak," jawab Tama tegas.
"Tapi ...."
"Kita ini mau berangkat untuk berbulan madu. Kenapa kamu malah membicarakan soal poligami?" dengkus Tama.
"Iya, iya. Maafkan aku ya sayang. Aku tidak akan berbicara soal poligami lagi." Kiara tersenyum sambil menatap Tama. "Tapi, seandainya itu terjadi ...."
"Berhenti berbicara omong kosong!" tukas Tama. Dia kesal karena Kiara terus saja membicarakan soal poligami.
Kiara menampilkan deretan gigi putihnya dihadapan Tama.
"Ayo, kita ke bandara sekarang. Pilot yang aku sewa sudah menunggu disana!" ajak Tama. Sambil tersenyum Kiara kembali memeluk lengan suaminya.
Dengan langkah gontai Tama meninggalkan ruangan dokter Louis. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi istrinya saat tahu dirinya terkena penyakit yang mematikan. Kali ini langkahnya terasa begitu berat, apalagi saat dirinya tiba di depan ruang rawat istrinya.
Tama menghela napasnya beberapa kali sebelum masuk ke ruang rawat tersebut. Dia juga memasukkan amplop berwarna putih yang berisi laporan hasil lab Kiara kedalam saku celananya. Setelah Tama merasa sedikit tenang dan sudah bisa mengendalikan perasaannya, Tama mulai memutar tuas yang ada di pintu. Tama pun memasang senyum lebar di bibirnya saat pintu itu mulai terbuka. Dia belum berani memberitahu Kiara akan penyakit yang diderita istrinya itu.
"Mas, apa yang Dokter Louis katakan? Kenapa kalian lama?"
"Bukan sesuatu yang penting. Dia hanya memarahiku karena tidak bisa menjagamu dengan baik," jawab Tama berbohong.
"Benarkah?" tanya Kiara.
"Iya, benar. Mentang-mentang dulu dia menyukaimu, dia menggunakan alasan ini untuk memarahiku. Benar-benar licik." Keluh Tama yang berpura-pura kesal.
"Benarkah?" selidik Kiara. Entah kenapa dia merasa ada yang suaminya itu sembunyikan darinya.
"Tentu saja benar," jawab Tama dengan memasang wajah cemberutnya. "Lain kali, aku tidak akan membawamu ke rumah sakit ini. Harusnya aku langsung membawamu ke rumah sakit milik keluarga Wijaya saja tadi. Aku yakin fasilitas di rumah sakit milik mommy pasti lebih bagus dari rumah sakit ini," gerutu Tama. Dia melirik ke arah istrinya dan berharap Kiara akan percaya dengan alasan yang dia buat.
"Rumah sakit ini bagus kok. Aku jauh lebih nyaman berada di rumah sakit ini."
"Kenapa? Apa kamu tidak suka kalau yang merawatmu itu mommy?" tanya Tama yang kembali berpura-pura kesal.
"Bukan begitu, Mas. Aku hanya tidak suka diperlakukan istimewa," jawab Kiara jujur.
Dia masih ingat ketika beberapa bulan yang lalu dirinya demam dan Tama membawanya ke rumah sakit milik mommynya. Mommynya mengerahkan dokter dan perawat terbaik untuk memeriksa keadaannya. Dan itu membuatnya merasa risih. Dan sejak saat itu, Kiara menolak untuk dibawa ke rumah sakit jika sakit yang dia rasakan ringan.
"Mas, tapi benerankan tidak ada yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kiara lagi. Dia bahakan menajamkan tatapannya.
Untuk sesaat Tama terdiam mendengar pertanyaan istri cantiknya. Namun, beberapa detik kemudian dia langsung tersenyum dan menjawab, "tentu saja. Tidak ada yang aku sembunyikan darimu."
"Sayang kenapa kamu belum makan makananmu?" tanya Tama saat melihat makanan di atas nakas masih utuh. "Mau aku belikan makanan di luar?"
"Tidak usah, Mas. Ini saja, tapi, aku maunya disuapin," jawab Kiara.
"Dasar manja." Tama tersenyum. Dia mengambil makanan tersebut kemudian mulai menyuapi istrinya.
"Kia, apa tidak sebaiknya kita memberitahu Bunda sama Mommy tentang keadaanmu di sini?"
"Tidak usah. Bukankah, barusan kamu bilang kalau tidak ada yang serius dengan penyakitku. Jadi, untuk apa memberitahu mereka," jawab Kiara.
"Tapi, Kia ...."
"Mas, aku tidak mau membuat mereka khawatir. Jadi, please, jangan beritahu mommy apalagi bunda!" pinta Kiara.
Rasanya Tama semakin tidak kuat untuk menyampaikan penyakit yang diderita istrinya itu. Dia meletakkan kembali makanan yang ada di tangannya di atas nakas.
"Aku ke kamar mandi sebentar," pamit Tama. Buru-buru dia masuk ke dalam kamar mandi, rasanya dia sudah tidak bisa menahan air matanya. Tama sengaja menyalakan kran air agar isakannya tidak terdengar oleh Kiara.
"Aku tidak kuat kalau harus memberitahu tentang penyakitmu, Kia. Aku tidak sanggup melihatmu sedih," batin Tama.
Setelah sedikit tenang, Tama membasuh wajahnya dengan air. Dia berharap air bisa menyamarkan air matanya dari pandangan Kiara. Dia tidak ingin istrinya tahu kalau dia baru saja menangis. Sebelum keluar, Tama memasang kembali senyum diwajahnya.
"Kia, kamu kenapa?" tanya Tama yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia kembali mengambil makanan yang tadi dia letakkan di atas nakas.
"Kenapa kamu membohongiku, Mas?" tanya Kiara dengan air mata yang jatuh dikedua pipinya.
"Apa maksudmu, sayang?" tanya Tama bingung.
"Ini." Tama membeliak melihat sesuatu yang ditunjukkan oleh istrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!