NovelToon NovelToon

Merengkuh Derita

Part 1

"Maaf Bu, Niar baru datang," jawab Niar dan  segera duduk di samping pekerja lainnya, yang sedang sibuk memasukkan keripik singkong ke dalam plastik.

"Nggak pa-pa Niar. Kamu baru pulang sekolah, kan? duduk dulu nggak apa," balas Ibu Tini dengan pandangan lembut. Ibu Tini adalah ibunya Aris, pemilik rumah produksi keripik singkong.

Ibu Tini sangat tahu kehidupan yang di jalani gadis cilik bernama Niar.

Sering kali merasa iba dengan nasib malang yang di alami gadis cilik yang baru berumur 8tahun itu. Setiap kali melihat perlakukan Sumiati begitu kasar dan sering menghukum Niar tanpa belas kasih.

Itu juga alasan Tini mau mempekerjakan Niar walau Niar hanya bisa bekerja ala kadarnya.

Niar tidak mengikuti perintah ibu Tini, gadis kecil itu segera mengambil plastik dan mulai memasukan keripik singkong ke dalamnya, lalu memberikan pada mbak-mbak lainnya untuk di rapikan.

Pekerjaan itu telah dilakoni selama satu tahun terakhir, sejak ia masuk sekolah dasar.

Ibu Tini membiarkan Niar melakukan apapun sesuka hati, tidak memaksa melakukan pekerjaan berat.

Ibu Tini memiliki sikap lemah lembut. Dia memiliki dua orang anak namun putri bungsunya telah meninggal satu tahun lalu, karna terpapar virus.

Untuk itu ibu Tini bersikap baik pada Niar karna sering merindukan sosok putrinya. Kini hanya tinggal Aris yang menjadi putra semata wayang.

Jam tiga lewat lima belas menit, Niar berpamit pulang. Ibu Tini menarik tangan Niar dengan lembut dan membawanya masuk ke dalam rumah.

"Ibu ... Niar mau pamit pulang dulu," ulang Niar dengan ke bingungan, karna Ibu Tini justru membimbingnya masuk ke dalam rumah.

"Niar makan dulu ya, nanti baru pulang," tawar Tini.

"Gak usah Bu, nanti beras di rumah Ibu cepet habis kalau tiap hari Niar numpang makan di sini." Niar menolak dan menggelengkan kepalanya.

"Beras Ibu gak akan habis, kemarin Ibu panen banyak. Niar duduk dulu, biar Ibu ambilkan."

Niar menurut dan duduk dikursi meja makan. Ibu Tini mengambilkan nasi juga lauk pauk. Hampir Setiap hari menyuruh Niar makan di rumahnya. Ibu satu anak itu hapal dengan sikap Sumiati yang jarang memberi lauk pauk bergizi kepada Niar. Tini sangat kasihan melihat tubuh Niar yang kurus dan kurang terawat.

"Makasih banyak ya, Bu." Niar mengucap terima kasih saat Ibu Tini menaruh piring didepannya.

Mengambil sendok dan menata nasi untuk di makan.

"Bunda ... peci Aris di taruh di mana?" teriak Aris.

"Di atas lemari meja belajar, Nak."

Tak lama Aris keluar dari kamar. Ibu Tini beranjak menghampiri putranya. "Adzan ashar belum kedengeran, Aris udah mau berangkat?"

"Mau samperin si Hasan dulu, makanya berangkat lebih awal." Bocah lelaki itu sudah bersiap dengan tas di punggungnya.

"Niar, kamu berangkat ngaji, gak?" Aris beralih melihat ke arah Niar.

"Berangkat. Hari ini hapalan do'a masuk rumah, Kakak udah hapal belum?"

"Udah dong," jawab Aris. Bocah itu beralih lagi pada bundanya. "Aris berangkat ya, Bun. Assalamu'alaikum," pamit Aris dengan mencium punggung tangan ibunya.

"Hati-hati ya, Nak. Mudah-mudahan besar nanti jadi anak shaleh. Aamiin."

"Niar, aku duluan ya. Makannya di habisin biar cepet gede'."

"Iya Kak." Keduanya berbalas senyum. Kini Aris hilang dibalik pintu.

Ibu Tini mengantarkan Aris sampai ke depan, setelah itu kembali pada Niar. Gadis kecil itu  fokus melihat pada rak buku. "Kenapa Niar?" tanyanya.

"Gak apa, Bu. Niar cuma baca buku hapalan doa-doa di rak itu," tunjuk Niar dengan jari kecilnya.

"Itu punya Aris, tapi jarang dibaca. Memangnya Niar gak punya buku seperti itu? Buku hapalan doa itu belinya di tempat guru ngaji."

Niar menggeleng lemah. Jangankan membeli buku hapalan do'a, setiap berangkat mengaji ia memilih bagian terakhir. Ia tidak mau mendengar ejekan dari teman-temannya. Datang ke mushola jika anak-anak sudah hampir pulang dan hanya menemui ustadzah untuk membaca iqra' juga setor hapalan doa-doa.

Ibu Tini mengambil buku dan memberikannya pada Niar. "Jangan di tolak, buku ini gak di baca sama Aris daripada mubazir, biar di pakek Niar aja," terang Tini.

"Makasih banyak ya, Bu. Boleh Niar peluk Ibu?"

"Boleh dong, Nak. Sini ... " Niar mendekap tubuh Ibu Tini dengan erat, seperti pelukan anak yang merindukan ibunya. Malangnya sampai hari ini ia tak pernah merasakan hangatnya pelukan dari ibunya sendiri. Entah hal apa yang membuat Sumiati tidak mau berdekatan dengannya.

"Ini untuk upah hari ini, jangan lupa yang satunya untuk–"

"Di tabung," sambung Niar.

"Makasih banyak ya, Bu. Coba kalau Niar punya ibu seperti Ibu Tini, pasti Niar seneng banget," ujar gadis kecil itu.

"Niar bisa anggap Ibu seperti ibu sendiri, jangan sungkan minta bantuan ibu, ya. Tapi jangan bilang sama ibu kamu, nanti dia ngomel."

Bocah kecil itu mengangguk. "Niar pulang ya, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wala'ikum salam." Tini berdiri di depan pintu memandangi langkah Niar untuk kembali pulang ke rumahnya.

Hati Tini berdesir membayangkan ucapan Niar. Andai gadis cilik itu adalah putrinya, tentu saja ia sangat bahagia.

Begitu butanya hati Sumiati selalu berbuat kasar pada Niar–gadis kecil yang baik dan shalehah. Mungkin suatu hari nanti Sumiati akan terkubur dalam penyesalan.

"Ibu, Niar pulang." Niar pulang lewat pintu belakang. Sang ibu sedang mendadani putri kesayangannya yang akan berangkat mengaji. Sumiati diam saja tanpa menyahut suara Niar.

"Bu, iqra' Nesva udah jelek. Beliin yang baru, ya," rengek Nesva.

"Iya sayang, nanti kalau ayah mu pulang bawa uang, Ibu bakal beliin iqra' baru yang paling bagus. Ini jilbabnya belum bener, sini ... Ibu benerin lagi."

Niar berdiri di sisi pintu dan mengawasi interaksi keduanya, penuh perhatian dan kasih sayang.

Iri hati langsung menyeruak dan di rasakan oleh gadis kecil bernama Niar, hal seperti itu tidak pernah di dapatkannya dari Sumiati. 'Ibu, aku juga ingin di dandani sama Ibu. Aku ingin di peluk.' Keinginan seperti itu hanya mampu di pinta dalam hati.

Mulut Niar tidak akan mengucap kalimat permintaan, karna apapun yang di pinta sang ibu tidak akan pernah memberikan.

Ia masih bersyukur di beri keluarga utuh, daripada hidup di jalanan dan tidak punya orang tua. Ia takut membayangkan hal itu, sangat takut hidup sendirian di jalanan.

"Eh–eh ... ngapain kamu malah bengong disitu? sini ... mana duit nya kasih ke Ibu buat beli lauk."

Niar memberikan upah dari Tini pada Sumiati. "Ya elah ... cuma 8ribu doang, pelit banget si Tini cuma ngasih kamu segini!" cetusnya.

"Tadi Niar berangkat terlambat jadi Ibu Tini cuma bisa ngasih segitu," balas Niar dengan menunduk, menatapi ujung baju yang bolong dan jari tangan kecilnya bermain di sana.

"Huh ... itu juga salah mu pulang sekolah sukanya keluyuran! Sana cuci piring dulu, berangkat ngajinya terakhiran aja," perintah Sumiati.

"Itu ... kamu, bawa buku apa?"

"Buku hapalan doa-doa Bu, di kasih bekasnya Kak Aris."

"Oh ... seperti punya kakak kamu kemarin?"

"Iya. Ibu gak beliin aku buku hapalan doa-doa, jadi Niar ketinggalan buat hapalan. Kak Nesva juga gak boleh di pinjem bukunya," terang Niar.

"Eh, dengerin! Kamu gak hapal doa-doa juga gak apa, gak ada gunanya! Yang terpenting putriku lebih pintar dari kamu," cetus Sumiati tidak suka.

"Tapi Niar juga putri ibu?"

"Iya ... tapi kamu itu putri pembawa SIAL!"

Walau kata itu sudah puluhan kali terdengar tapi mata Niar selalu berkaca-kaca dan berhasil meloloskan airmata. Kedua mata Niar menyiratkan kepiluan dan luka mendalam. Kenapa Ibu selalu mengatakan aku anak pembawa sial?

Part 3

Airmata membanjiri pipi Niar, bocah sekecil itu sudah menerima perlakuan menyesakkan dan itu hampir setiap hari terjadi.

Melihat Niar menangis tak membuat Sumiati merasa iba, perempuan itu menggandeng tangan Nesva dan berlalu begitu saja.

Buku hapalan doa yang tergenggam kuat kena tetesan airmatanya. Begitu menyesakkan, tapi gadis kecil itu biasa menghibur dirinya sendiri. Mengobati luka batin dengan rasa bersyukur, setidaknya masih memiliki keluarga. Ia percaya jika suatu hari, bapak, ibu dan kakaknya mau memeluk dan menyayanginya.

Niar masuk ke dalam kamar menyimpan buku dan juga uang simpanan dari Bu Tini untuk di masukan ke dalam tabungan yang terbuat dari botol bekas. Niar mempunyai keinginan membeli sepatu dengan uangnya sendiri.

Jika meminta pada orang tuanya, ia tahu tidak akan dibelikan. Dari pertama masuk sekolah, semua barang yang dipakai bekas milik kakaknya. Gadis itu belum pernah dibelikan dengan yang baru.

Saat memasukan uang Rp.5000 rupiah ke dalam tabungan, bibir kecil Niar menyunggingkan senyum. Luka beberapa waktu lalu telah melebur, membayangkan jika sudah dewasa kelak memiliki semangat untuk bekerja keras, mencari uang sebanyak mungkin untuk berkeliling dunia. Mimpi yang indah namun tidak tahu bisa dicapai atau tidak.

"Niar ...!" Mendengar suara ibunya memanggil, ia segera menyembunyikan botol itu ke dalam kardus yang digunakan sebagai tempat penyimpanan pakaian. Di bawah tumpukan baju adalah tempat paling aman, menurutnya.

"Iya Bu ...." Niar segera keluar dan menghampiri sang ibu.

"Kamu kebiasaan lelet! Ibu nyuruh kamu cuci piring, malah enak-enakan di kamar terus. Kamu mau dapet jatah makan, enggak? Semua gak ada yang gratis, Niar!" sentak Sumiati dengan kesal.

"Iya Bu, tadi Niar nyimpen buku dulu. Sudah itu mau cuci piring," jawab Niar. Ia segera berlalu menuju dapur, mengambil ember berisi piring kotor juga peralatan dapur lainnya untuk dicuci.

Setelah selesai mencuci piring, Niar segera mandi dan berangkat ke mushola terdekat. Seperti biasa, jika anak-anak lain belum pulang ia akan menunggu. Duduk di 'lincak' panjang terbuat dari anyaman bambu yang ada di bawah pohon mangga.

Kerumunan anak-anak mengaji sudah mulai membubarkan diri, ketika mushola sudah tampak sepi ia berjalan menuju ke sana untuk menemui ustadzah.

"Assalamu'alaikum ...." Niar mengucap salam.

"Wala'ikum salam, Niar. Masuk!"

"Ayo baca doa dulu sebelum belajar membaca iqra'. Hapalan yang kemarin udah hapal belum?" Ustadzah yang mengenal Niar begitu ramah menyapa.

"Sudah, Bu."

"Ya udah baca dulu hapalan doanya. Baru dilanjut mengaji iqra', ya."

Mengaji sore itu telah usai saat senja hampir menanggalkan langit. Ustadzah menyuruh Niar sholat berjamaah dan setelah itu baru pulang.

Langit telah berubah hampir menggelap. Namun setitik langit biru masih terlihat. Tak ada rasa takut menyusuri jalanan, gadis kecil itu tampak senang berjalan kaki dengan sesekali memandangi langit yang telah muncul satu, dua, tiga bintang dengan bias cahayanya.

"Assalamu'alaikum." Niar melepas sendal dan masuk ke dalam rumah. Di ruang makan sudah berkumpul untuk menyantap makan malam.

Niar mendekat dan menyalimi tangan ibunya.

"Kenapa pulangnya sampai malam?" Pak Bejo bertanya. Pak Bejo adalah ayahnya Niar.

"Tadi, Bu guru ngajak Niar sholat maghrib di mushola, jadi pulangnya lama, Pak," jawab Niar dengan menyalimi punggung tangan ayahnya dengan takzim.

Pak Bejo terdiam menatapi wajah Niar, polos dan berseri seperti wajah anak seumuran dengannya. Namun, siapa sangka gadis sekecil itu sudah menanggung beban kepiluan. Dia anak baik, tapi tidak memiliki nasib baik.

"Ayo makan," ajak Pak Bejo mengalihkan pikirannya. Ia memang tidak terlalu galak seperti Sumiati tapi perlakuannya tidak jauh beda. Jarang memperhatikan anak-anak karna sibuk bekerja. Terkadang turut memarahi Niar karna hasutan dari istrinya. Walau dalam hati tak tega, tapi beban pikiran tentang ekonomi membuat dirinya acuh dengan keluarga.

Ia belum bisa menjadi imam yang baik untuk keluarganya.

"Ibu, aku mau ayam dua," rengek Nesva pada Sumiati.

"Iya-iya, Ibu ambilkan." Sumiati cekatan mengambilkan permintaan putrinya.

Apalagi yang diperhatikan Niar selain perhatian Sumiati pada kakaknya. Bocah itu memiliki keinginan yang sama, tapi tak pernah didapatkan. Hal-hal kecil seperti itu mampu melukai batinnya.

Pak Bejo beralih melihat tatapan Niar, ia sangat tahu keinginan putri keduanya. "Bu, Niar juga ambilkan ayamnya," perintah Pak Bejo pada istrinya.

Sumiati mencebik kesal. "Ngambil sendiri, 'kan bisa. Biasanya juga ngambil sendiri!" Sumiati menjawab ketus.

Pak Bejo menghembuskan napas panjang, kini ia sendiri yang mengambilkan lauk pauk untuk Niar.

"Gak usah banyak-banyak, Pak. Inget kita harus hemat. Situ kerja kadang dapet duit, kadang enggak. Kalau makan jangan boros-boros!" cibir Sumiati dengan lirikannya.

"Bu, jangan mulai. Setidaknya malam ini kita makan dengan damai, gak berantem terus! Bapak capek seharian kerja, di rumah Ibu selalu ngajak ribut," ucap Pak Bejo menahan kesal.

Sumiati langsung membungkam mulut, tapi hatinya memaki anak keduanya. Apapun keributan yang terjadi selalu menyalahkan Niar, yang dianggap anak pembawa sial.

"Di makan," perintah Pak Bejo pada Niar.

"Iya, Pak. Makasih."

Seusai makan malam, Pak Bejo dan Sumiati duduk di depan televisi. Sedangkan Niar dan Nesva mengerjakan PR.

"Niar, kamu dapat pensil baru dari mana?" Nesva melirik pensil yang digunakan Niar.

"Dikasih ibunya kak Aris, Kak."

"Kamu deket banget sama bude Tini. Kamu gak deket 'kan, sama Kak Aris? besok kalau besar aku mau nikah sama dia. Kamu jangan deketin dia, awas aja kamu!" ancam Nesva.

"Enggak Kak, aku gak deket sama Kak Aris."

"Siniin pensilmu buat aku." Nesva ingin merebut pensil milik Niar. Sudah menjadi kebiasaan, apapun barang yang dimiliki Niar selalu dipinta secara paksa.

"Jangan Kak!" Niar mempertahankan pensilnya.

Terjadi berebut pensil antara keduanya, dan suara Sumiati menggelegar menghentikan.

Apalagi yang dilakukan Sumiati jika tidak mengedepankan keinginan Nesva, mengambil pensil Niar dan memberikan pada putri kesayangannya.

Terdengar isak tangis tertahan dari Niar, merelakan pensil yang baru dibeli direbut oleh kakaknya. Kejadian kecil itu bukan kali pertama, bahkan sering terulang. Dan lagi-lagi selalu dia yang harus mengalah.

Memberesi peralatan sekolah. Setelah itu ia beranjak masuk ke kamar. Membuka jendela kecil yang ada di sudut kamar dan memandang langit yang kini telah sempurna bertabur bintang.

"Meong ...." Hanya kucing kecil satu-satunya teman berbicara. Niar mengangkat kucing itu dan menaruh di atas pangkuannya. "Pus-pus, kenapa Ibu dan kak Nesva selalu begitu? Gak pernah baik sama aku? Tadi pensilku direbut lagi sama Kak Nesva," curhatnya dengan sedih. Tangan kecil itu mengelus bulu-bulu kucing lebat nan halus. Sang kucing membalas dengan gerasakan mengusap-ngusapkan kepalanya pada tangan Niar.

"Kalau aku gak nurut sama mereka, aku takut sama sepertimu ... gak punya keluarga dan hidup sendirian. Nanti aku tinggal di mana?"

"Kamu gak akan tinggal dimana-mana, Niar. Tetap di sini karena ini juga rumahmu." Suara Pak Bejo mengejutkan Niar, pandangan Niar tertuju pada ayahnya.

"Bapak?"

Part 4

"Bapak," panggil Niar dan menoleh ke arah pak Bejo yang berdiri disisi pintu.

Pak Bejo mendekati putri keduanya, mengelus pucuk kepala Niar dengan rambut hitam nan lebatnya. "Kamu akan tetap di sini, Nak. Kamu putri bapak yang baik. Maafin Bapak kurang perhatiin kamu, sering mengabaikan keberadaanmu. Bapak sibuk bekerja, sampai lupa caranya memberi kasih sayang," ucap Bejo merasa bersalah.

"Pak, kenapa Ibu dan Kak Nesva gak sayang sama Niar? Kenapa Ibu selalu bilang Niar anak pembawa sial." Gadis kecil itu telah memupuk airmata, jika ia berkedip airmata itu akan keluar.

"Ibu memang bersikap sedikit kasar. Banyak beban pikiran membuat Ibu sering marah-marah. Niar tolong maafin Ibu, ya. Jika Niar tetap jadi anak baik, suatu saat Ibu akan sayang dengan Niar. Dan, ada yang perlu Niar ingat, tidak ada anak pembawa sial. Setiap anak membawa kebahagiaan juga rezeki sendiri," ujar pak Bejo memberi pengertian.

"Tapi, kapan Ibu sayang sama Niar, Pak? Niar cuma pengen tidur di samping Ibu juga dipeluk ibu." Kali ini airmata Niar berhasil lolos. Tangan mungilnya segera menghapus dengan cekatan.

Itulah permintaan sederhana dari bocah berumur 8tahun yang belum pernah merasakan hangatnya didekap sang ibu. Keinginan itu tidak sulit untuk diwujudkan, bahkan sangat mudah bagi kebanyakan ibu lainnya. Namun, semua itu tidak berlaku pada Sumiati, ibu dua anak yang enggan mewujudkannya. Entah apa penyebab Sumiati begitu membenci kehadiran Niar.

"Secepatnya ... Bapak akan mengusahakan. Niar tetap bersabar dan tetap hormat pada ibu, ya. Karna surga ada di bawah telapak kaki ibu," ujar pak Bejo dengan membubuhi nasehat.

"Iya, Pak. Walau Ibu gak sayang sama Niar, tapi Niar sayang banget sama Ibu. Niar selalu berdoa semoga Ibu panjang umur dan bisa sayang sama Niar seperti Ibu sayang sama Kak Nesva."

Tanpa mereka tahu, Sumiati berdiri di samping pintu. Dengan jelas mendengar percakapan suami dan anak keduanya. Tapi, apa tanggapan ibu dua anak itu? Ia hanya mencebik kesal mendengar permintaan Niar yang baginya sangat memuakkan. "Sampai kapanpun aku tidak mau mengabulkan keinginanmu, anak sialan!" umpatnya kesal.

••••••••••••••••••

Seperti hari biasa, rutinitas hari-hari di lakoni Niar dengan ceria. Bocah itu tak pandang kondisi hatinya, tetap berangkat ke sekolah meski berjalan kaki.

Pikirannya masih menuju pada Nesva yang beberapa menit lalu mendahuluinya dengan menaiki sepeda mini, kapan ia bisa memiliki sepeda seperti itu?

Meski setiap kali mata itu mengeluarkan airmata, tapi seolah sumbernya masih sangat melimpah hingga airmatanya tak pernah surut. Bagaimana ia tak menangis menjalani ketidak adilan ibu dan kakaknya. Ia menanggung malu dan hinaan dari teman-teman sekolah karna seragamnya yang lusuh, sedangkan Nesva—sang kakak, tidak pernah merasakan yang di rasa.

Ingin sekali ia berteriak untuk menyuarakan semuanya. Tapi apa daya, semua tak ada guna. Justru ia akan mendapat kemarahan bahkan pukulan dari Sumiati.

Beruntung di sekolah ada ibu guru yang selalu memantau, hingga Niar jarang diganggu oleh murid yang tidak menyukai bocah itu. Di sekolah pun tak ada teman yang mau menghampiri atau sekedar berbicara padanya, di tempat keramaian pun seolah seperti sendiri, itulah kehidupan Niar.

••••••••••••••••

Ada yang berbeda dengan kepulangan Niar kali ini, gadis kecil itu tidak berjalan kaki melainkan dibonceng sepeda motor oleh ibu wali kelas yang mengantarkan langsung ke kediaman Sumiati.

Airmata deras membanjiri kedua Niar.

"Assalamu'alaikum," Ibu Wali Kelas Niar mengucap salam.

Sumiati tergopoh-gopoh muncul dari arah dapur. "Wala'ikum salam," jawabnya.

"Silahkan masuk, Bu." Sumiati mempersilahkan tamunya masuk. Bisa dilihat dari penampilannya yang memakai seragam guru, perempuan itu pasti ibu guru di sekolah anaknya.

Setelah mereka duduk dengan santai, Ibu Wali Kelas mulai bicara. "Begini Bu, Niar tadi tidak sengaja melempar bola ke jendela kaca hingga pecah, saya ke sini untuk menyampaikan hal itu dan memberitahukan wali murid agar membayar uang kompensasi untuk kerusakan kaca yang disebabkan oleh putri ibu." Ibu wali Kelas menjelaskan dengan nada sopan.

Sumiati langsung melirik tajam ke arah putrinya, kemarahan langsung terpancar dari kilatan matanya.

Niar menundukkan kepala, gadis kecil itu tak ada keberanian membalas tatapan sang ibu yang sangat menakutkan. Gadis kecil itu tahu jika sang ibu akan murka setelah kepergian guru kelasnya. Ia hanya pasrah dengan keadaan.

Setelah berbincang untuk meminta keringanan dan ibu wali kelas telah berpamitan, Sumiati dengan cepat menghampiri Niar dan menjewer telinga Niar dengan kuat.

"Sakit, Bu." Tangisan Niar pecah saat tangan ibunya menyakiti daun telinganya.

"Dasar anak sialan! Apa yang kamu lakuin sampek mecahin kaca sekolah! Kamu tau kita miskin, tidak punya uang, karna ulahmu Ibu harus membayar uang ganti rugi. Dasar anak gak tau diuntung! Bisanya cuma nyusahin! Kalau bukan karna bapakmu, udah dari bayi kamu aku cekik!" Sumiati memarahi Niar dengan suara tinggi, menjewer dan menjambak rambut Niar yang tergerai panjang.

"Ibu sakit, Bu. Ampun ...." Niar meminta pengampunan dan belas kasih agar tangan Sumiati mau beralih pada rambutnya yang terasa panas karena dijambak begitu kuat. Ketika tangan itu beralih, tak bisa membuat Niar lega, gadis itu meringis lagi ketika tangan Sumiati mencubiti lengannya dengan kuat dan terasa sangat sakit.

"Maafin Niar, Bu. Niar gak sengaja, itu bukan salah Niar. Temen Niar yang salah," mohon Niar. Bocah kecil itu ingin menyampaikan kebenaran tapi Sumiati tidak mau mendengarkan dan menarik paksa tangan Niar untuk dibawa masuk ke dalam kamar Niar.

Mendorong tubuh Niar hingga jatuh di lantai yang keras.

"Kamu, Ibu hukum! Tidak boleh pergi ke mana pun! Gak ada makanan atau minuman! Ibu akan bukain pintu ini kalau bapak kamu sudah pulang!" ujar Sumiati dengan dingin dan melangkah keluar meninggalkan kamar Niar yang sempit dan engap.

Brak ...

Daun pintu dibanting dengan kuat lalu dikunci dari luar.

"Ibu ... tolong bukain pintunya, Bu. Bu ... Niar haus!" teriak Niar dengan berusaha menggedor pintu kamar. Tapi sama sekali tidak mendengar sahutan dari ibunya.

"Bu ... Niar laper, Bu." Suara Niar melemah, hingga gadis cilik itu berjongkok di belakang pintu. Isak tangis masih jelas terdengar, namun tenaga untuk berteriak sudah menipis, setengah hari menahan lapar dan haus tapi sampai di rumah ia dikurung tanpa setetes air dan makanan.

Niar masih menangis dengan menyandarkan kepala disisi kusen. "Kapan Niar tumbuh besar, ya, Allah? Niar ingin bekerja dan mencari uang yang banyak untuk Ibu. Jika Niar memberi uang banyak, mungkin ibu akan sayang Niar." Niar masih sangat dini, namun pikirannya dituntut lebih untuk dewasa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!