Tahun 2000
Sinar matahari terasa menyilaukan mata Sandy. Membuat tidur lelapnya merasa terganggu. Sandy membuka matanya dan memejamkannya lagi akibat terlalu silau.
Kembali Sandy membuka matanya dan merasa asing dengan keadaan sekitarnya. Bukan di rumahnya, bukan pula di club yang semalam Ia datangi. Lalu dimana?
Sandy langsung duduk tegak. Rasa pusing langsung menderanya. "Awww!" Sandy memegang kepalanya. Menenangkan diri sejenak sampai pusingnya hilang.
Sandy melihat keadaan sekitarnya. "Dimana ini?" gumamnya pelan. Sandy melihat sebuah kalender bertuliskan Toko Mas 57-58 dengan tulisan tahun 2000 berwarna merah di tengahnya. Kenapa kalender jadul masih disimpan?
Sandy lalu melihat sebuah surat kabar yang terletak tak jauh dari Ia duduk. Tertera tanggal 24 Februari 2000 dengan berita:
...Christina Aguilera memenangkan Artis Pendatang Baru Terbaik di Grammy tahun 2000, mengalahkan pop princess, Britney Spears....
Kening Sandy berkerut. Kenapa koran yang sudah berusia 21 tahun terlihat baru, seperti tak lekang dimakan jaman?
Sandy memeriksa barang miliknya. Ia masih memakai baju yang sama, hanya sekarang agak longgar. Tas dan sepatunya juga masih sama.
Sandy membuka tas miliknya dan mendapati sebuah botol minuman di dalamnya. Botol kecil berukuran 100 ml, berwarna hitam dan bergambar bulan sabit.
Botol ini beneran ada. Berarti apa yang terjadi semalam juga nyata. Sandy pun berusaha mengingat apa yang sudah terjadi.
****
Tahun 2021
"Bagaimana ini? Perusahaan merugi karena ulah kamu! Bodoh! Kerja begini saja sudah tak becus! Jangan mengaku pintar kalau malah bikin perusahaan sampai digugat pihak lawan!" pria berdasi dengan kemeja agak kusut itu melempar sebuah streples tepat mengenai pipi seorang pria yang hanya bisa menunduk.
Brukk...
Tidak ada noda darah. Hanya terasa menyakitkan dan sedikit menyengat. Mungkin akan meninggalkan bekas kebiruan nantinya.
"Ma-maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulangi lagi kesalahan saya." ujar pria yang terkena straples tersebut. Ketakutannya lebih besar daripada rasa sakit terkena lemparan straples.
"Maaf? Maaf kata kamu? Enak saja! Kamu pikir semua masalah bisa selesai hanya dengan satu kata maaf saja! Kamu pikir kerugian perusahaan bisa dibatalkan karena kamu minta maaf?!" pria berkemeja agak kusut itu kini semakin menaikkan intonasi suaranya.
Wajahnya memerah menahan amarah. Jika tidak menahan diri, bukan hanya straples yang terlempar. Mungkin monitor juga bisa Ia lemparkan juga.
Dikendorkannya ikatan dasi yang terasa mencekik lehernya. Melihat wajah laki-laki di depannya semakin membuat emosinya terbakar.
"Lalu apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya perbuat untuk menutup kerugian yang saya sebabkan Pak?" suaranya terdengar bergetar. Entah menahan takut atau penuh penyesalan.
Braaakkk...
Kembali sebuah pembolong kertas dilemparkan ke sembarang arah. Tidak mengenai pria yang baru saja berbicara namun cukup membuat jantungnya berdebar kencang karena ketakutan.
"Cih! Kamu pikir bisa menutup kesalahan kamu semudah itu? Berapa banyak uang yang kamu punya? Bahkan dengan menjual seluruh organ tubuhmu pun tak bisa menutup kerugian perusahaan!"
Pria itu semakin menunduk. Rasa bersalah kembali menderanya. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apalagi untuk memperbaiki kesalahannya.
"Sandy! Mulai hari ini kamu dipecat! Tinggalkan perusahaan ini secepatnya! Dan jangan pernah mengharap kamu akan mendapat pesangon sepeser pun!"
****
Sandy, pria yang tadi dilempar straples. Jika tidak sedang kusut karena banyak masalah, wajahnya lumayan tampan juga.
Tubuhnya tegap dengan beberapa otot yang terbentuk dengan sempurna. Ciri khas laki-laki yang rajin berolahraga.
Alis matanya tebal dengan wajah yang maskulin. Wajah khas Indonesia asli. Berkulit agak kecokelatan karena sering diterpa sinar matahari.
Sorot matanya tajam, bak burung elang jika sedang melihat mangsa. Namun itu menjadi daya tariknya tersendiri.
Sandy hanya bisa pasrah. Ia kembali ke kubikalnya dengan wajah layu. Suara bentakkan sang boss juga beberapa barang yang Ia lempar pasti sudah membuat karyawan lain mengetahui apa yang telah terjadi.
Ia merapihkan barang-barang miliknya dan memasukkan ke dalam kardus kosong.
Lebih dari sepuluh tahun Ia mengabdikan dirinya bekerja di perusahaan ini. Bekerja bagai tak mengenal waktu. Bisa dibilang bekerja lebih dari 14 jam sehari.
Sandy bahkan tidak punya banyak waktu untuk keluarganya. Tidak ada saat anaknya baru bisa belajar berjalan. Bahkan anaknya pun agak takut dengannya dan lebih dekat dengan Mamanya. Semua waktunya Ia habiskan untuk pekerjaannya.
Kini apa yang Ia dapat? Selain lemparan straples yang mengenai pipinya dan pembolong kertas yang hampir mengenainya?
Ia bahkan dipecat dengan tidak terhormat. Dipecat! Hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sandy melihat tatapan ingin tahu yang kini tertuju padanya. Juga terdengar suara bisik-bisik, menggunjing tentangnya juga.
"Huft... Tenang... Semua akan baik-baik saja. Aku masih bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Aku punya pengalaman kerja. Aku pasti bisa." Sandy berusaha menenangkan dirinya.
Ia memasukkan barang-barang pribadinya. Sebuah bingkai foto berisi dirinya, sang istri Shanum dan anak mereka Sally.
Ia mengambil bingkai foto tersebut. Senyum bahagia merekah tatkala fotografer menyuruh mereka tersenyum. Bahkan Sally yang awalnya rewel pun bisa tersenyum bahagia.
Ia taruh bingkai foto itu dengan penuh hati-hati di dalam kardus. Dianggapnya sebagai salah satu barang berharga miliknya.
Kini meja kerjanya sudah bersih. Tak ada satu pun barang pribadinya yang tersisa. Hanya tersisa monitor dan mouse serta box telepon saja.
Laci kerjanya pun sudah Ia kosongkan. Ia baru saja hendak bangun ketika salah seorang rekan kerjanya datang.
"Kamu... Beneran dipecat San?" tanya Harry, rekan kerja yang duduk di belakang kubikalnya.
Sandy mengangguk lemas. "Iya." jawaban singkat saja yang Ia berikan.
"Karena kegagalan proyek kemarin?" tanya Harry lagi. Suasana terdengar sunyi, artinya semua sedang menguping pembicaraannya dengan Sandy. Menggali lebih dalam bahan gosip langsung dari sumbernya.
Sandy pun mengangguk lagi.
"Bagaimana bisa? Kenapa semua tanggung-jawab dilimpahkan sama kamu? Apa gunanya semua atasan itu?" tanya Harry yang kini menurunkan nada suaranya. Takut juga Ia kalau sampai atasannya mendengar suaranya.
Sandy mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Mungkin karena kerugian yang kusebabkan terlalu besar jumlahnya." jawab Sandy pasrah.
"Semoga segera dapat pekerjaan baru ya, Sob!" Harry menepuk bahu Sandy, memberinya sedikit dukungan.
"Thanks." jawab Sandy.
Sandy mengangkat kardus berisi barang pribadinya dan membawanya keluar dari kantor. Keluar dari tempat yang sudah menendangnya tanpa ampun. Tanpa sepeser pun uang pesangon yang diberikan.
****
Sandy memasuki rumahnya dengan gontai. Istrinya Shanum sedang menyuapi anak mereka ketika Ia datang dan memberitahu sebuah berita yang membuat sang istri amat terkejut.
"Aku dipecat!" Sandy langsung duduk di sofa ruang tamunya. Dibukanya kaus kaki lalu melemparnya ke sembarang tempat. Seperti kebiasaannya dahulu.
"Apa? Kamu dipecat Mas? Bagaimana bisa?" tanya Shanum istri Sandy saat Ia baru saja duduk di ruang tamu.
Kardus yang Ia bawa ditaruh di lantai. Belum sempat Ia bernafas sudah diberondong pertanyaan oleh istrinya.
"Kenapa diam saja Mas? Jawab pertanyaan aku!" desak Shanum.
Sandy menghela nafas kesal. "Iya. Aku dipecat! Aku pengangguran! Puas?"
Shanum pun terduduk lemas di lantai. Sorot matanya langsung kosong. Piring berisi makanan anaknya pun Ia letakkan saja diatas baby chair. Tak peduli jika anaknya akan mengacak-acak makanan di dalam piring plastik berwarna pink tersebut.
"Lalu bagaimana dengan hidup kita kelak? Bagaimana kita membayar pengeluaran kita sehari-hari? Bagaimana Mas?" Shanum mengguncang-guncang tubuh Sandy.
Mendengar Shanum yang terus saja merengek tanpa berusaha memberi dukungan padanya membuat emosi Sandy terpancing.
"AKU ENGGAK TAU! AKU ENGGAK TAU!" bentak Sandy dengan suara keras.
Seketika Shanum terdiam. Ia pun mulai menarik dirinya.
Sandy membentaknya. Lagi.
Ini bukan yang pertama Sandy membentaknya. Sejak naik jabatan Sandy sering berkata kasar dan tak jarang membentaknya. Namun kali ini suara bentakkan Sandy membuatnya amat takut.
Takut akan kemarahan Sandy, takut anaknya menderita beban psikis dan yang pasti takut membayangkan masa depannya dengan Sandy kelak.
"Jangan hanya bisa merengek saja! Jangan hanya bisa minta uang saja! Kamu juga kerja dong! Mikir! Jangan cuma tau terima beres saja! Dasar anak manja!" kata Sandy dengan tajam.
Tes... Air mata mulai menetes di pipi Shanum. Sakit.... Hatinya amat sakit....
Hati Shanum terasa amat sakit. Teriris. Terasa amat perih. Dibentak sudah biasa. Namun dibilang hanya bisa merengek minta uang saja membuat hatinya sakit.
Siapa dulu yang meminta dirinya berhenti bekerja? Siapa yang dulu dengan sombongnya mengatakan kalau Ia akan menafkahi keluarganya sendiri tanpa bantuan gaji Shanum?
Kini keadaan menjadi semakin terpuruk. Tidak ada pekerjaan berarti tidak ada pemasukan. Tidak ada pemasukan lalu bagaimana membiayai kebutuhan sehari-hari?
Apa Ia masih bisa bersandar dan menggantungkan hidupnya pada Sandy suaminya?
Dengan kesal Sandy bangun dari duduknya dan menendang kardus yang Ia bawa dari kantor lalu pergi keluar rumah.
Brukkk...
Tendangan yang kencang membuat isi di dalamnya berhamburan.
Shanum meringkuk ketakutan. Tak berani lagi berkata apapun pada suaminya. Ia menangis dalam diam.
"Mama.... Huaaa.... Mama......" bayi kecilnya menangis.
Shanum pun bangkit dan menggendong hartanya yang paling berharga. Pasti bayi kecilnya amat ketakutan. Ia saja yang sudah dewasa melihat sikap Sandy takut, apalagi Sally yang masih kecil?
"Hush... cup...cup...cup... Sayang. Tenang ya Nak. Ada Mama. Cup....cup...cup... Anak pintar." Shanum menenangkan Sally yang memeluknya dengan erat.
"Aku enggak bisa terus seperti ini. Bukan hanya dibentak, Mas Sandy pun kini sudah menghinaku. Bukan tidak mungkin Ia akan berlaku kasar padaku dan Sally nanti." batin Shanum.
Shanum pun cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya. Meletakkan Sally di bawah dengan mainan disekelilingnya agar tidak mengganggu apa yang akan Ia lakukan.
Diambilnya sebuah tas koper. Dimasukkannya baju miliknya dan milik Sally, beserta surat penting lainnya. Ya, buku nikah. Ia harus membawa buku nikah juga!
Shanum mencari di dalam brangkas kecil tempat menaruh surat-surat berharga lainnya. Sebuah buku nikah berwarna hijau diambilnya dan dimasukkan serta ke dalam tas.
Dengan gemetar Ia memesan taksi online. Jarak rumahnya yang jauh dari jalan raya lebih mudah kalau menggunakan taksi online daripada memesan langsung.
Shanum melihat ke sekeliling rumahnya. Rumah yang dulu penuh kehangatan kini hanya tersisa penderitaan saja.
Masih terbayang di benak Shanum, saat mereka merayakan kenaikan jabatan Sandy. Sejuta impian mereka rangkai. Berharap dengan kenaikan jabatan ini akan membuat hidup mereka lebih baik. Lebih bahagia lagi.
Namun harapan hanya tinggal harapan. Semua hanyalah impian kosong yang tak pernah terwujud.
Sandy mulai berubah. Pekerjaan menjadi prioritasnya yang pertama. Keluarga pun Ia lupakan.
Sandy mulai gila kerja. Berangkat pagi dan pulang tengah malam. Ia berangkat saat Sally masih tertidur dan pulang saat Sally juga sudah tertidur lelap.
Jangankan dengan Sally, dengan Shanum saja Sandy amat dingin dan cuek. Tak ada lagi kehangatan dan tatapan mata penuh cinta di dalamnya. Hanya uang, uang dan uang. Bagaimana mendapatkan uang yang banyak, yang ada di dalam otak Sandy.
Ia pun mulai terbiasa mengurus Sally sendiri. Ia yang tahu perkembangan Sally. Sandy mana peduli. Weekend pun kadang Ia sibuk kerja. Tak ada waktu untuk keluarga.
Shanum merasa amat kesepian. Ia merindukan kehidupannya sebelum Sandy naik jabatan. Tidak berlebihan materi namun bahagia. Selalu ada waktu kumpul bersama keluarga.
Bukan hanya waktu yang tak bisa diberikan Sandy. Kehangatan dan cinta kasihnya pun hilang. Tak ada lagi canda tawa. Tak ada lagi tatapan penuh cinta. Semua seakan tenggelam dengan kesibukan Sandy dengan dunia pekerjaannya sendiri.
Kini, pekerjaan yang selama ini selalu jadi prioritas hidup Sandy sudah hilang. Tak ada lagi pemasukan. Apa yang dipertahankan?
Mempertahankan cinta yang sudah lama hilang? Mempertahankan rumah tangga yang sudah lama hambar? Mempertahankan tali kasih yang sudah lama putus?
Shanum memejamkan matanya. Air mata tak kunjung berhenti menetes. Malang benar nasibnya.
Ia harus tegas. Ia harus membuat keputusan. Ia harus setidaknya menyelamatkan Sally dari tekanan karena memiliki Papa yang emosional dan tempramental.
Ia mengambil sebuah kertas dan mulai menuliskan pesan.
Aku dan Sally pergi dari rumah, Mas. Segera, aku akan mengurus perceraian kita. Mari kita akhiri pernikahan menyakitkan kita demi Sally anak kita.
Shanum
Dilipatnya kertas berisi pesannya dan diletakkan di atas meja riasnya. Agar Sandy bisa langsung melihatnya saat masuk ke dalam kamar.
Ponsel Shanum berbunyi, telepon dari supir taksi online yang memberitahu kalau Ia sudah sampai di depan rumahnya.
Shanum menggendong Sally yang masih asyik dengan mainannya. Dengan tangan kiri yang menarik koper bawaannya Ia pun berjalan meninggalkan rumahnya.
Shanum menatap sebentar rumahnya. Rumah yang dulu dipenuhi cinta. Air matanya kembali menetes. Berat rasanya meninggalkan rumah ini.
Shanum pun masuk ke dalam taksi online lalu mobil tersebut pergi meninggalkan rumahnya. Pergi meninggalkan serpihan hati yang terluka.
Satu jam kemudian Sandy kembali pulang ke rumah. Ia hanya butuh angin segar untuk menjernihkan pikirannya.
Sandy menyesali perkataannya yang menyakitkan pada Shanum. Pasti Shanum amat terluka dengan perkataannya.
Ia bertekad akan meminta maaf pada Shanum dan memperbaiki kesalahannya pada Shanum. Ia akan berubah.
Sandy heran dengan pintu rumahnya yang terkunci. Diketuk berkali-kali pun tak ada yang menjawab. Sandy membuka pintu dengan kunci di dalam kantongnya.
Kosong. Rumahnya sepi tak ada orang. Ia mencari keberadaan Shanum namun istrinya tidak Ia temukan.
Sandy mengambil ponsel miliknya dan mulai menelepon Shanum. Nomornya tak bisa dihubungi. Shanum sudah memblokir nomor Hp miliknya.
Perasaan tak enak mulai menguasai Sandy. Ia masuk ke dalam kamar dan mendapati mainan milik Sally bertebaran di lantai. Tidak biasanya Shanum membiarkan rumah berantakan seperti ini. Shanum tipikal istri yang cinta kerapihan.
Sandy lalu membuka lemari baju Sally, sebagian pakaiannya kosong. Ia lalu membuka lemari pakaiannya dengan Shanum. Hanya tersisa beberapa baju saja. Sisanya tak ada.
Sandy tahu ada yang tidak beres. Kemana Shanum? Ia kembali menghubungi Shanum namun tetap tidak terhubung.
Sampai akhirnya Ia melihat sebuah surat diatas meja rias istrinya. Ia pun menghampiri dan membuka apa isi surat tersebut.
Tangan Sandy bergetar saat membaca isi surat yang ditulis dengan tulisan tangan Shanum yang rapi. Ia bahkan mengulangi membaca surat tersebut, berharap kalau Ia akan salah membaca. Berharap kalau kata-kata dalam surat itu akan berubah.
Dengan penuh emosi Sandy me re mas surat itu dan melemparkannya ke sembarang arah.
Shanum mau cerai? Shanum mau pergi meninggalkanku? Shanum mau membawa Sally anakku juga?
Tubuh Sandy pun terasa lemas. Ia terduduk di lantai, di tempat yang sama saat Sally main tadi. Air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya.
Hari ini Ia dipecat, dilempar straples, dicemooh rekan satu kantor dan kini.... kini keluarganya pun meninggalkannya. Ia seperti berada dalam jurang keterpurukan yang terdalam.
Bisakah Ia keluar dari jurang tersebut? Masih bisakah Ia memperbaiki semuanya?
Malam pun berganti menjadi siang. Suasana di dalam rumah Sandy begitu kelam, gelap dan sunyi.
Tak ada tangis Sally yang minta perhatian. Tak ada suara Shanum yang berusaha menenangkan Sally sambil memasak di dapur. Tak ada harum masakan yang membuat perut Sandy terasa lapar.
Masakan Shanum memang paling enak menurut Sandy karena dibuat dengan penuh cinta. Sally juga berpikir yang sama, karena tubuhnya montok berisi akibat doyan dengan masakan yang Shanum buat.
Sejak menerima surat dari Shanum, Sandy hanya tiduran di lantai. Tak punya keinginan untuk melakukan apapun.
Belum ada sehari Ia ditinggalkan oleh Shanum dan Sally, dunia seakan berhenti berputar. Dunianya menjadi lebih sepi. Lebih sunyi dan seakan tanpa kehidupan.
Dulu, saat pulang larut malam Ia merasa kesal karena harus terbangun pagi-pagi mendengar rangekan Sally dan suara Shanum yang berusaha menghiburnya, bagi Sandy itu adalah suatu polusi udara. Ia pasti akan langsung marah-marah bahkan membentak Shanum agar membawa Sally pergi dari kamar tidurnya dan membiarkan Ia tertidur lebih lama.
Dulu, saat melihat Sally memberantaki rumahnya dengan makanan yang Ia makan, Ia melihatnya dengan sebal. Ia nggak suka rumahnya kotor. Ia nggak suka rumahnya berantakan. Ia mau semuanya rapih dan bersih. Karena itu, Shanum selalu menjaga rumahnya tetap bersih dan rapi. Tak mau melihat Sandy sampai mengomeli Sally.
Kini, apa yang Ia inginkan sejak dulu sudah terkabul. Tak ada lagi suara bising dikala Ia sedang tertidur. Tak ada lagi rumah berantakan. Yang ada hanya kesunyian, dan Ia tak menyukai hal itu.
Sandy pun pergi ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang sejak kemarin belum mandi. Berharap dengan mandi, Ia bisa berpikir jernih.
Benar saja, kini setelah mengguyur kepalanya dengan air dingin Ia dapat berpikir jernih, keputusan apa yang akan Ia ambil. Ia akan menjemput Shanum dan meminta maaf atas kesalahannya.
Ia masih bisa bertahan saat dipecat kemarin. Masih bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Menjadi buruh pun akan Ia lakukan.
Namun saat kehilangan Shanum dan Sally, Ia tak yakin bisa menjalani lagi hidupnya. Tekadnya sudah bulat. Ia akan membawa keluarganya pulang lagi.
Sandy mengenakan kaus lengan pendek dan celana jeans lalu memakai jaket di luarnya. Ia pun mengemudikan mobilnya ke rumah orang tua Shanum.
Ia mengetuk pintu rumah mertuanya beberapa kali. Tak ada suara yang terdengar. Sunyi. Pertanda tak ada orang di dalamnya.
Sandy menunggu sampai malam tetap saja tak ada orang di rumah tersebut. Kemana lagi Shanum? Ia hanya punya satu tempat tujuan, yakni rumah orang tuanya.
Sandy mulai mendatangi rumah sahabat Shanum namun hasilnya nihil. Shanum dan Sally hilang bagai ditelan bumi.
Sandy tak putus asa. Sambil sibuk mencari pekerjaan baru dengan menghubungi teman-temannya, Ia juga menyempatkan diri ke rumah mertuanya namun lagi-lagi Ia harus menelan kekecewaan.
Rumah mertuanya tetap kosong seperti sebelumnya. Menelepon Shanum pun percuma, karena nomor Hp miliknya sudah di blokir. Menelepon pakai nomor lain pun di reject.
Shanum benar-benar menyingkirkan Sandy dari hidupnya. Apa karena baru dibentak sekali saja Shanum langsung sakit hati? Konyol sekali rasanya, tak bisakah Ia mengerti sedikit kalau Sandy sedang ada masalah?
Beberapa hari kemudian hal yang Sandy takutkan pun terjadi. Seorang pengacara datang ke rumahnya dan memberitahu kalau Shanum sudah melayangkan gugatan cerai untuknya.
Dalam gugatannya Shanum mengatakan kalau sudah tidak ada lagi kecocokan diantara mereka. "Tidak ada kecocokan? Maksudnya apa Pak? Saya hanya bertengkar sekali kemarin dan Shanum langsung pergi tanpa memberi saya kesempatam untuk menjelaskannya! Saya tidak terima ini!"
"Menurut keterangan Ibu Shanum, Bapak tidak pernah memperdulikan anak kalian, Sally. Bapak terlalu sibuk mengejar karir Bapak. Banyak perbedaan pendapat dengan Ibu Shanum namun Bapak tak pernah sekalipun mendengar apa yang Ia katakan." pengacara tersebut menjelaskan alasan yang Shanum katakan padanya.
"Ya itu kan saat saya masih bekerja dulu. Kini saya menganggur, bilang saja Shanum tak mau hidup susah dengan saya!" sahut Sandy tak mau kalah. Tak terima Ia dengan alasan yang Shanum kemukakan.
"Ibu Shanum bilang, Bapak tidak pernah perduli pada Sally anak kalian. Saat Sally sakit sampai dirawat di rumah sakit, tetap saja Bapak tidak peduli dan hanya memikirkan pekerjaan. Bu Shanum bilang, Ia juga sudah menahan perasaannya karena sering dibentak-bentak Bapak. Mungkin ini adalah batas kesabaran Bu Shanum, Pak."
"Dimana Shanum sekarang Pak? Saya mau bicara dengannya!" paksa Sandy.
"Maaf Pak. Silahkan nanti Bapak bertemu dengan Ibu Shanum di pengadilan. Saya permisi dulu!" Pengacara itu lalu bangkit dan bersiap pergi.
"Tunggu Pak! Saya mau memperbaiki rumah tangga saya. Beritahu saya dimana Shanum dan Sally berada. Saya sudah mencari mereka di rumah mertua saya namun tak ada. Tolong bantu saya Pak." Sandy yang sombong bahkan memohon kebaikan hati pengacara tersebut.
"Maaf. Tugas saya sudah selesai. Saya hanya menyampaikan amanat Bu Shanum saja." pengacara itu pun pergi meninggalkan Sandy yang terus memohon namun tak Ia dengarkan.
Sandy merasa amat terpuruk. Kini hidupnya benar-benar hancur. Tak punya pekerjaan. Tak punya keluarga dan sebentar lagi tak punya tempat tinggal. Rumahnya pasti akan disita bank karena Ia belum punya pekerjaan untuk membayar cicilan rumahnya.
Sandy butuh melampiaskan masalahnya dengan sesuatu. Ya, Ia merasa harus membuat dirinya mabuk untuk melupakan semua beban hidupnya.
Sandy mengemudikan mobilnya ke salah satu club tempat Ia pernah menyambut clientnya dulu, sayang club itu sedang di booking oleh Richard, anak Kusumadewa yang sedang merayakan ulang tahun.
Ia pun pergi ke sebuah club yang tak pernah Ia sadari keberadaannya. Apa Ia yang tidak memperhatikan saja kalau disana memang ada club yang didirikan?
Club tersebut masih sepi pengunjung. Mungkin masih terlalu sore untuk buka. Club biasanya ramai saat malam, diatas jam 9 malam. Ini masih jam 7. Wajar kalau sepi.
Sandy lalu menuju meja bartender. "Kasih minuman apa saja yang bisa bikin mabuk!" pesannya pada bartender tersebut.
"Baik." tak lama bartender tersebut meracik minumannya.
Gelas pertama habis, berganti gelas kedua sampai gelas ke lima namun Ia masih tersadar. Ia butuh minuman yang lebih memabukkan lagi.
Club mulai ramai. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam pun duduk di sampingnya.
"Kurang nendang ya?" tanya pria itu.
Sandy mengangguk. "Ada rekomen enggak?" Sandy pikir laki-laki tersebut adalah penjual narkoba.
Pria itu lalu mengeluarkan sebotol minuman kecil bergambarkan bulan sabit. Tak ada merk hanya bulan sabit saja.
"Minum setengahnya saja cukup. Minum lagi sisanya kalau mau balik lagi kesini!" ujar pria itu.
"Mau balik kesini apa maksudnya?" gumam Sandy dalam hati.
Sandy pun meneguk minuman tersebut setengahnya. Tak lama kesadarannya mulai menghilang dan Ia jatuh semakin dalam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!