Seperti biasanya, setiap pulang sekolah Wilona dijemput oleh Pak Yus, tetangga sekaligus tukang ojek langganannya. Wilona merasa beruntung karena Pak Yus tidak pernah terlambat menjemputnya.
Sepeninggal papanya setahun yang lalu, Wilona harus membiasakan diri hidup dengan cara sederhana. Saat ini, ia dan mamanya harus bertahan dengan uang tabungan yang masih tersisa dan hasil penjualan kue mamanya. Walaupun masih sedih, Wilona berusaha terlihat baik-baik saja agar tidak menambah beban yang tengah dirasakan mamanya.
"Pak Yus, terimakasih," ucap Wilona turun dari motor Pak Yus.
"Sama-sama, Wilo. Besok Bapak jemput setengah tujuh pagi."
"Iya, Pak, sampai jumpa besok."
Setengah berlari, Wilona cepat-cepat ingin masuk ke dalam rumahnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sebuah mobil sedan mewah terparkir di halaman rumahnya. Seorang pria berseragam biru tua tampak berdiri dan menunggu di depan mobil itu.
"Apa Om Adrian datang lagi bersama supirnya untuk menemui Mama?"
tanya Wilona di dalam hati.
Dari pintu rumahnya yang terbuka, Wilona bisa mendengar suara seorang pria sedang berbicara dengan mamanya.
Pria yang seumuran dengan papanya itu tersenyum melihat kedatangan Wilona.
"Halo, Wilona, kamu sudah pulang sekolah?"
"Sudah Om Adrian," jawab Wilona singkat.
"Sayang? Apa hari ini tidak ada ekstrakurikuler musik? Biasanya kamu pulang jam tiga sore?" tanya Ny. Kalea memperhatikan wajah Wilona yang muram.
" Gak ada, Ma. Guru musik sedang sakit, jadi kelasnya ditiadakan."
"Kalau begitu kamu ganti baju lalu makan ya. Mama sudah siapkan makan siangmu di meja."
Wilona mengangguk dan bergegas menuju ke kamarnya. Ia meletakkan tas ranselnya di atas meja belajar dan menghempaskan diri di kursinya.
Entah mengapa setiap melihat Om Adrian mendekati mamanya, Wilona menjadi kesal. Meskipun mamanya berkata bahwa Om Adrian adalah sahabat almarhum papanya, tapi Wilona merasa ada yang berbeda pada sikap pria itu.
Usia Wilona memang baru menginjak empat belas tahun, namun ia paham bagaimana ciri-ciri rasa suka antara pria dan wanita. Instingnya meyakini bahwa Om Adrian menyimpan perasaan suka terhadap mamanya. Tanpa sengaja, Wilona pernah memergoki Om Adrian memegang tangan mamanya dengan pandangan mata yang berbinar. Mamanya pun tampak tidak keberatan menerima perlakuan istimewa dari pria itu.
Bagi Wilona, papanya adalah satu-satunya sosok pria yang berhak mencintai mamanya. Hingga saat ini, Wilona masih tidak rela jika posisi papanya digantikan pria lain. Sayangnya, sebagai anak yang beranjak remaja, ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencampuri urusan orang dewasa.
Sebaiknya aku dengarkan percakapan antara Mama dan Om Adrian,
pikir Wilona penasaran.
Wilona menempelkan telinganya di pintu kamar, agar bisa mendengar suara dari ruang tamu dengan lebih jelas.
"Lea, aku pulang sekarang ya. Aku harus kembali ke kantor. Jangan lupa nanti aku jemput jam tujuh untuk makan malam. Tolong sampaikan salamku untuk Wilona," terdengar suara Om Adrian berpamitan kepada Ny. Kalea.
"Iya, hati-hati, Adrian," jawab Ny. Kalea lembut.
Om Adrian mengajak Mama makan malam? Jangan-jangan Mama sudah berpacaran dengan Om Adrian.
gumam Wilona tidak suka.
Wilona mendengar mamanya mengantarkan Om Adrian hingga ke halaman depan rumah mereka. Setelah mamanya menutup pintu rumah, Wilona buru-buru menjauh dari pintu kamarnya.
"Sayang, kenapa belum ganti baju? Apa kamu tidak lapar?"
"Iya, Ma, ini baru mau ganti baju."
"Bagaimana hasil ulangan matematikamu, Sayang? Apa kamu dapat nilai seratus lagi?"
Wilona mengangguk.
"Kalau begitu, semester ini kamu akan jadi juara kelas lagi. Hampir semua nilai ulanganmu seratus," puji Ny. Kalea bangga.
"Belum tentu, Ma."
Ny. Kalea mengernyitkan dahi mendengar jawaban Wilona yang pesimis.
"Kenapa, Sayang?"
"Karena ada anak pindahan baru yang nilainya sama bagusnya denganku. Tadi Pak Ilham mengumumkan Wilo dan anak itu dapat nilai seratus. Apa Mama tidak ingat apa yang Wilo ceritakan ke Mama hampir sebulan ini?"
"Oh, maaf, Sayang, Mama lupa...Sainganmu itu anak cewek atau cowok?" tanya Ny. Kalea merasa bersalah.
Dulu Mama selalu perhatian padaku. Dia bisa mengingat semua yang aku ceritakan. Tapi sekarang Mama berubah jadi pelupa. Pasti karena dia memikirkan Om Adrian,
batin Wilona kesal.
"Dia anak cowok, Ma. Wilo gak suka dengan sikapnya yang angkuh dan sombong. Dia suka mendahului kalau Wilo ingin menjawab pertanyaan dari guru. Sepertinya dia sengaja membuat dirinya terlihat lebih unggul. Anak itu juga sangat percaya diri, karena teman-teman cewek di kelas banyak yang mengidolakan dia."
Ny. Kalea membelai rambut putrinya.
"Wilo, persaingan di sekolah itu biasa. Gak usah dimasukkan ke dalam hati. Mungkin kamu gak suka sama dia, karena baru pertama kali ada anak yang berani menyaingimu di kelas. Fokus saja dengan pelajaranmu. Soal juara tidak perlu terlalu kamu pikirkan."
"Ada satu hal lagi yang paling buat Wilo jengkel, Ma. Nama panggilan anak itu mirip dengan Wilo," sambung Wilo dengan raut wajah sebal.
"Ha? Memangnya siapa namanya, Sayang?"
"Namanya Wildan. Dia dipanggil Wil. Sekarang para guru dan teman-teman sering memanggil kami pasangan Double U. Wil dan Wilo. Padahal Wilo gak suka dihubung-hubungkan dengan anak itu."
Ny. Kalea tersenyum mendengarkan cerita Wilona.
"Kenapa bisa kebetulan seperti itu? Ya sudah, Wilo, jangan marah-marah. Gak baik anak gadis cemberut karena masalah sepele. Nanti cepat tua. Ayo, kita makan. Mama hari ini masak sup daging kesukaanmu."
"Iya, Ma."
Selesai makan siang, Ny. Kalea menghampiri Wilona yang sedang bersantai menonton TV.
"Sayang, nanti jam tujuh Om Adrian mengajak Mama makan malam bersama. Kamu tidak keberatan, khan? Kamu gak apa-apa Mama tinggal sendirian di rumah?"
"Ma, sebenarnya apa hubungan Mama dengan Om Adrian? Kenapa dia sekarang sering sekali bertamu ke rumah kita? Apa Mama pacaran dengan Om Adrian? Mama sudah gak ingat Papa lagi?" tanya Wilona tidak dapat menahan diri.
Ny. Kalea terkejut mendengar pertanyaan terus terang dari putrinya.
"Wilo, kenapa sikapmu seperti ini kepada Mama? Mama tau kamu sangat sayang pada Papa. Tapi jangan pernah berpikir jika Mama dekat dengan pria lain, lalu artinya Mama melupakan papamu. Kalau kamu memang tidak suka Mama berteman dengan Om Adrian, Mama akan membatalkan makan malamnya."
Sekilas Wilona bisa melihat ekspresi kecewa di wajah mamanya.
"Maafkan Wilo, Ma. Mama pergi saja dengan Om Adrian. Malam ini Wilo juga mau belajar untuk tes Bahasa Inggris besok. Mama gak perlu mengkhawatirkan Wilo," ucap Wilona mengalah.
"Terima kasih, Sayang. Mama janji akan segera pulang," kata Ny. Kalea seraya memeluk Wilona.
...****************...
Suara ketukan di pintu membuat Wilona keluar dari kamarnya.
"Sayang, tolong bukakan pintunya," seru Ny. Kalea dari kamar mandi.
Pasti itu Om Adrian,
gumam Wilona menebak siapa yang bertamu ke rumahnya.
Dengan enggan, Wilona membukakan pintu.
"Malam, Wilona. Apa Mamamu ada?" tanya Om Adrian sembari memamerkan deretan gigi putihnya.
Jika diperhatikan dari dekat, wajah pria itu memang tampan. Penampilannya juga sangat berkelas, semewah mobil yang dimilikinya. Apalagi malam ini dia terlihat lebih menawan dan gagah dengan setelan jas dan kemeja abu tua. Kemungkinan besar, Mamanya akan semakin terpesona ketika melihat pria itu.
Wilona teringat perkataan mamanya, bahwa Om Adrian adalah CEO Galavindo Group, salah satu perusahaan terbesar di Jakarta. Dari wajah, penampilan dan kekayaannya, tidak mengherankan jika mamanya akan mudah jatuh cinta kepada Om Adrian.
"Ada, Om, silahkan masuk."
"Adrian, kamu sudah datang," sapa Ny. Kalea sambil tersenyum.
Wilona menengok ke arah mamanya. Ia terbengong mengagumi penampilan mamanya yang tidak biasa. Dengan gaun hitam panjang dan rambut yang sebagian disanggul ke atas, mamanya benar-benar terlihat cantik.
Diam-diam, Wilona mengamati kedua orang dewasa di hadapannya yang saling beradu pandang itu. Jelas sekali mata mereka memancarkan perasaan saling suka satu sama lain.
Mama berdandan cantik demi Om Adrian. Mama juga kelihatan bahagia sekali. Sudah lama aku tidak melihat Mama tersenyum secerah ini.
"Lea, kita berangkat sekarang?" tanya Om Adrian mengulurkan tangannya.
"Iya," jawab Ny. Kalea sembari mengambil tasnya.
Sebelum pergi, Ny. Kalea berpamitan kepada Wilona.
"Wilo, Mama pergi dulu. Jangan lupa kunci pintunya. Mama akan pulang sekitar jam sembilan malam," ucap Ny. Kalea mengecup dahi Wilona.
"Wilona, Om pamit. Oh ya, besok Sabtu, Om akan mengajakmu bersama anak Om juga untuk makan malam bersama."
"Iya, Om. Hati-hati di jalan," ucap Wilona berusaha bersikap ramah.
Wilona melihat Om Adrian membukakan pintu mobil untuk mamanya sebelum dia sendiri masuk. Om Adrian memang selalu memperlakukan mamanya dengan spesial. Pandangan mata pria itu pun tidak pernah lepas dari mamanya. Sesekali mereka berdua saling melemparkan senyum dengan wajah yang berseri-seri.
Sepertinya Om Adrian sayang dan perhatian pada Mama. Mungkin dia memang cocok jadi suami Mama. Tapi, apa orang yang sedang jatuh cinta harus bersikap berlebihan seperti itu?
pikir Wilona terheran-heran.
"Wilo, Mama ingin mengatakan sesuatu yang penting."
"Apa ini tentang Om Adrian?" tanya Wilona menebak dari ekspresi wajah mamanya.
Ny. Kalea mencoba berhati-hati untuk melanjutkan perkataannya. Ia tidak ingin melukai hati putri semata wayangnya itu.
"Sayang, apa kamu setuju kalau Mama menikah lagi? Sebenarnya kemarin saat makan malam, Om Adrian melamar Mama. Tapi Mama belum memberikan jawaban. Mama ingin tau pendapatmu dulu."
Wilona tidak terlalu terkejut mendengar apa yang disampaikan mamanya. Ia sudah menebak bahwa cepat atau lambat, Om Adrian pasti akan menikahi mamanya. Tapi Wilona tidak menduga hal ini akan terjadi lebih cepat daripada perkiraannya.
Wilona menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan yang sulit itu.
"Ma, apa Mama suka pada Om Adrian seperti Mama menyukai Papa?"
Pertanyaan Wilona membuat Ny. Kalea bingung harus menjawab apa. Mustahil baginya untuk mengakui kepada Wilona bahwa Adrian Sanjaya adalah cinta pertamanya. Di masa mudanya, mereka berdua merupakan sepasang kekasih yang saling mencintai. Sayangnya takdir berkata lain. Adrian yang menjadi pewaris kekayaan keluarga Sanjaya, sudah dijodohkan dengan gadis dari keluarga terpandang. Karena itu, Kalea muda memilih untuk mundur.
Butuh waktu cukup lama baginya untuk bisa melupakan Adrian. Untung saja ada Calvin, sahabat Adrian, yang selalu siap menghiburnya. Karena kesabaran Calvin, Kalea lambat laun sembuh dari patah hatinya. Hingga akhirnya mereka menikah dan memiliki seorang putri kecil bernama Wilona.
"Wilo, di usiamu sekarang kamu belum paham perbedaan antara rasa suka dengan cinta. Pernikahan antara orang dewasa bukan hanya didasari rasa suka, tapi juga tanggung jawab. Selain itu harus bisa saling memahami satu sama lain."
Mama tidak menjawab pertanyaanku secara langsung. Aku yakin Mama suka pada Om Adrian, tapi dia tidak mau mengakuinya.
"Aku terserah Mama saja. Asalkan Mama bahagia, aku tidak keberatan. Tapi, Mama jangan minta Wilo menganggap Om Adrian sebagai pengganti Papa," kata Wilona memalingkan wajahnya.
Ny. Kalea membelai rambut Wilona untuk menenangkan perasaannya.
"Papamu tidak akan tergantikan oleh siapapun, Wilo. Mama bersedia menikah lagi karena memikirkan masa depanmu. Om Adrian itu pria yang baik, dia bisa melindungi kita. Nanti kamu juga bisa kuliah di universitas yang terbaik. Bukankah kamu ingin menjadi seorang guru?"
"Iya, Ma. Lalu kapan Mama akan menikah?"
"Mama belum tau, Sayang. Besok Minggu Om Adrian mengundang kita makan malam di rumahnya. Sekaligus kita akan berkenalan dengan anaknya Om Adrian. Anaknya itu laki-laki dan sebaya dengan kamu. Mama yakin kalian akan lebih mudah berteman karena seumuran. Setelah kalian berdua bertemu, kami baru akan mengumumkan tanggal pernikahan."
Wilona menganggukkan kepalanya walaupun hatinya masih bergejolak.
"Kalau Mama sudah menikah, apakah Mama masih bisa tidur sekamar dengan Wilo?" tanya Wilona dengan polos.
"Sayang, kita pikirkan itu nanti. Tidurlah, besok kamu harus bangun pagi. Jangan sampai terlambat ke sekolah."
"Iya, Ma," jawab Wilona memejamkan matanya di pelukan mamanya.
Seandainya Mama tau, aku tidak rela Mama menikah lagi. Tapi aku pura-pura setuju demi kebahagiaan Mama,
batin Wilona menahan kesedihan.
...****************...
"Oiiii...Wilo," seru Gabby menepuk bahu Wilona.
"Eh, ada apa?" tanya Wilona tersadar dari lamunannya.
Wilona masih memikirkan rencana pernikahan mamanya yang terkesan begitu tiba-tiba.
"Ada apa gimana? Kamu ketua kelompok Wilo. Tugasmu membawa tanaman kita ke depan lab supaya kena udara luar. Dari tadi kamu bengong aja memegangi pot tanaman."
"I..iya, tunggu..."
"Buruan, nanti Bu Erna marah. Kelompok lain udah kumpulin tanamannya lho."
"Iya nih, si Wilo dari tadi nglamun aja. Aku pengen cepat selesai supaya bisa pulang ke rumah. Perutku udah teriak minta makan," sahut Ovi yang selalu ingin makan hingga tubuhnya semakin gempal.
"Iya, iya, aku keluar sekarang."
Wilona tergesa-gesa bangkit dari kursinya agar tidak mendengar omelan dari teman sekelompoknya.
Karena berjalan terlalu cepat, ia tidak sadar telah menabrak seseorang yang masuk ke dalam lab.
"Uupss, sorry..." pekik Wilona melihat sebagian tanah di dalam potnya terpercik ke seragam anak itu.
"Aduh, kamu jalan pakai mata gak? Lihat celanaku jadi kotor kena tanah."
Wilona mendongakkan kepalanya ke atas dan terkejut ketika mengetahui siapa yang ditabraknya.
Astaga, Wildan!
Wildan memandang Wilona dengan tatapan penuh kemarahan.
"Maaf, maaf, aku akan membantumu membersihkannya nanti. Aku letakkan dulu tanamanku di depan," ucap Wilona merasa malu dengan kecerobohannya.
Setengah berlari, Wilona menuju ke halaman lalu meletakkan tanamannya di tempat yang masih kosong. Ia buru-buru kembali ke lab untuk memperbaiki kesalahannya pada Wildan.
"Ovi, kamu bawa tissue gak di sakumu? Tolong beri aku beberapa lembar. Aku tadi gak sengaja menumpahkan tanah di seragam Wildan."
Ovi mengambil tissue dari dalam sakunya. Anak itu sengaja membawa tissue kemana-mana karena tubuhnya mudah sekali berkeringat.
"Makanya jangan melamun terus, Wilo. Ini tissuenya."
"Makasih, Ovi."
"Kasihan Wildan, cakep-cakep bajunya jadi kotor gara-gara Wilona," ujar Gabby menimpali.
Wilona tidak menghiraukan kata-kata kedua temannya. Ia menghampiri Wildan yang masih sibuk menepuk noda tanah dari celananya.
"Biar aku yang membersihkannya," kata Wilona menawarkan bantuan.
"Kamu mau menyentuh celanaku? Apa kamu tidak malu?" tanya Wildan yang diiringi gelak tawa teman-teman cowok sekelompoknya.
"Wah wah, Wilo mau pegang celana Wildan, ini bahaya," ledek Thomas.
Thomas adalah cowok tinggi berambut keriting, yang gemar membuat lelucon dan menyebarkan gosip di dalam kelas.
Wajah Wilona memerah karena merasa dipermalukan di hadapan teman-temannya. Tapi ia tetap berusaha menenangkan diri untuk meredakan rasa malunya.
"Kalau begitu coba bersihkan dengan tissue ini," ucap Wilona menyerahkan tissue yang dipegangnya.
Dengan enggan, Wildan menerima tissue dari tangan Wilona dan mengusap kotoran di celananya.
"Hah, tissue seperti ini mana bisa membersihkan noda tanah. Ini semua salahmu," gerutu Wildan kesal.
"Wil, jangan marah-marah. Wilona khan gak sengaja. Nanti tinggal suruh pembantumu mencucinya. Ini sudah jam pelajaran terakhir, sebentar lagi kita juga akan pulang," kata Nelson mencoba membela Wilona.
Thomas langsung bereaksi mendengar ucapan Nelson. Dia memang paling suka menghebohkan situasi di dalam kelasnya.
"Cieee... Nelson belain Wilona. Jangan-jangan naksir."
"Ada apa ini, kenapa kalian semua ribut di dalam lab? Baru saya tinggal beberapa menit, tapi kalian sudah tidak bisa menjaga sikap," seru Bu Erna memarahi murid-muridnya yang sedang berkerumun.
Bu Erna membetulkan letak kacamatanya lalu mengarahkan pandangannya kepada Thomas.
"Thomas, kamu mengatakan apa tadi? Apa ini ulahmu?"
"Eee.., maaf Bu, bukan saya. Itu Wilona gak sengaja menumpahkan tanah di celana Wildan."
Bu Erna mendekati Wildan dan memicingkan matanya.
"Nodanya tidak terlalu banyak. Nanti kamu cuci bersih saja di rumah."
"Maafkan saya, Bu," ucap Wilona menundukkan kepalanya.
Ia benar-benar merasa bersalah atas situasi yang terjadi saat ini.
Bu Erna tidak menanggapi permintaan maaf Wilona. Ia justru memandangi muridnya satu per satu.
"Apa tugas kalian semua sudah selesai?"
"Sudah Bu," jawab mereka serempak.
"Kalau begitu bereskan meja, lalu kembali ke kelas. Jam pelajaran Sains sudah selesai. Lain kali saya tidak akan mentolerir keributan apapun selama pelajaran Sains. Mengerti semuanya?"
"Mengerti, Bu."
"Tunggu! Hari ini yang bertugas membersihkan lab dan mengunci pintu adalah pasangan double U, Wildan dan Wilona. Kalian berdua sudah menyebabkan keributan. Jadi, saya serahkan tugas piket pada kalian berdua."
"Iya, Bu. Sekali lagi saya minta maaf," jawab Wilona menyesal.
Tanpa menunggu lama, teman-teman sekelas Wilona kabur secepat kilat untuk meninggalkan lab. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Bu Erna yang terkenal galak itu.
"Karena nilai Sains kalian berdua bagus, bukan berarti saya akan mengabaikan kesalahan kalian. Sekarang selesaikan tugas kalian dengan baik lalu kalian bisa pulang. Saya akan kembali ke ruang guru."
"Iya, Bu," jawab Wilona dan Wildan bersamaan.
Setelah Bu Erna meninggalkan lab, Wilona segera mengembalikan peralatan ke raknya. Sementara Wildan merapikan dan mengumpulkan kotoran dari atas meja.
"Biar aku yang membersihkan sisa kotorannya," kata Wilona sembari mengelap meja.
"Kamu tau ini semua salahmu dan aku yang terkena getahnya. Seharusnya kamu sendiri yang melakukan semua ini," jawab Wildan sinis.
"Kalau kamu keberatan, kamu boleh pulang. Aku bisa membereskan lab sendiri. Aku tau ini memang salahku, tidak perlu diungkit lagi," bantah Wilona merasa dipojokkan.
"Kamu pikir Bu Erna akan diam saja kalau melihatku pulang? Selesaikan saja tugasmu dengan cepat. Merepotkan aku saja," gerutu Wildan.
Dia ini benar-benar pemarah dan pendendam. Semoga aku tidak berurusan lagi dengannya,
batin Wilona melirik ke arah Wildan.
"Apa kamu sudah selesai? Aku mau pulang sekarang," tanya Wildan tidak sabar.
"Sudah, kamu boleh pulang duluan. Aku yang akan kunci pintunya."
"Oke, terserah kamu," ucap Wildan berjalan ke arah pintu.
Dengan wajah cemberut, Wilona mematikan lampu di ruang laboratorium. Ia menyusul Wildan yang sudah menunggu terlebih dahulu di depan pintu. Sebelum pergi, Wilona mengunci pintu lalu mengecek ulang untuk memastikan semua tugasnya selesai dengan baik.
Wildan mendahului Wilona menuruni tangga menuju ke lantai bawah.
Tanpa saling bicara, mereka berjalan sendiri-sendiri menuju ke ruang guru.
"Bu, kami sudah selesai. Ini kuncinya," ucap Wilona mengembalikan kunci laboratorium Sains kepada Bu Erna.
"Terima kasih, kalian boleh pulang."
Suasana di lorong sekolah mulai sepi ketika Wilona berjalan menuju ke kelasnya.
Pak Yus pasti sudah menungguku dari tadi,
pikir Wilona cemas.
Wilona buru-buru masuk ke dalam kelasnya untuk mengambil tas. Ruangan itu tampak kosong dan sunyi tanpa kehadiran teman-teman sekelasnya.
Tidak ingin berlama-lama, Wilona langsung berjalan ke kursinya yang ada di deretan ketiga dari depan. Namun langkahnya terhenti, ketika melihat sesuatu berwarna coklat yang bergerak-gerak. Ia memicingkan mata untuk mengamati benda yang berada di bawah kaki kursinya itu.
"Whoaaa...," teriak Wilona ketakutan.
Wildan yang baru memasuki kelas, terkejut mendengar suara teriakan Wilona.
"Kenapa kamu teriak-teriak begitu? Memangnya kamu lihat hantu?"
Wilona mengarahkan jari telunjuknya ke bawah kursi.
"Gak, i...itu ada kecoa..."
Wildan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendesis.
"Hheizzz, kamu teriak sekencang itu hanya karena melihat kecoa??? Untung aku ini sehat. Kalau tidak, aku bisa mati kena serangan jantung."
"Sorry, aku gak tau kamu ada di belakangku."
Wildan mengambil tas ranselnya sendiri dari kursi tanpa mempedulikan perkataan Wilona.
Aduh, bagaimana ini? Aku takut kecoa itu akan bergerak mendatangiku kalau aku berani mendekat. Tapi mau gak mau aku harus mengambil tasku,
pikir Wilona panik.
Wilona memang memiliki fobia terhadap serangga yang bernama kecoa. Ia tidak bisa melupakan pengalaman masa kecilnya saat masih berusia lima tahun. Tanpa disengaja, dia pernah memakai sepatu yang berisikan kecoa di dalamnya. Kecoa itu merayap di kakinya, menimbulkan sensasi geli serta jijik. Sejak peristiwa itu, Wilona selalu ingin lari jika bertemu seekor kecoa.
"Tunggu, Wil,..." ucap Wilona mencegah Wildan meninggalkan ruangan kelas.
Karena tidak ada pilihan lain, Wilona terpaksa merendahkan diri untuk meminta bantuan Wildan.
"Bisakah kamu membantuku? Tolong ambilkan tasku di kursi itu."
Wildan membalikkan badannya. Ia menatap Wilona dengan geram.
"Apa??? Kamu menyuruhku mengambilkan tasmu? Apa kamu gak punya tangan sendiri untuk mengambilnya?"
"Wil, tolong bantu aku kali ini. Aku takut kecoa itu akan berjalan menghampiriku," ucap Wilona memohon.
"Kenapa kamu suka sekali merepotkan aku? Kecoa itu gak akan menggigitmu. Baru kali ini aku bertemu dengan seorang juara kelas yang konyol sepertimu."
"Kumohon, Wil. Aku akan membalas kebaikanmu nanti."
Dengan wajah kesal, Wildan berjalan ke arah kursi yang dimaksud Wilona lalu menginjak kecoa itu hingga tak bergerak. Tangan kanan Wildan bergerak cepat dan meraih tas milik Wilona dari atas kursi.
"Terima kasih," ucap Wilona merasa lega karena Wildan bersedia menolongnya.
"Eiitts, kamu pikir aku akan menyerahkan tasmu semudah itu? Sepanjang hari ini kamu sudah membuat aku susah," ujar Wildan sembari menahan tas Wilona.
"Aku minta maaf, Wil. Sekarang tolong serahkan tasku. Aku sudah ditunggu ojek di gerbang sekolah."
"Aku akan memberikan tasmu, asalkan kamu mau menuruti perintahku selama satu hari penuh. Itu sebagai bentuk permintaan maafmu padaku."
"Aku janji, Will. Tapi jangan memintaku melanggar peraturan sekolah."
"Bagus, aku pegang janjimu. Sampai jumpa besok."
Setelah melemparkan tas yang dipegangnya ke tangan Wilona, Wildan tersenyum tipis lalu berjalan keluar dari ruang kelas. Sikapnya menunjukkan bahwa ia sangat menikmati kesempatan untuk membalas Wilona.
Sementara Wilona hanya bisa menahan amarahnya, menyaksikan tingkah laku Wildan yang menyebalkan itu.
Bodoh, kenapa aku harus menuruti kemauannya?
sesal Wilona di dalam hati.
...****************...
Hari Jumat adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak di kelas sembilan. Mereka merasa bersemangat karena esok harinya akan menikmati libur weekend. Di semester pertama, mereka masih punya sedikit waktu bersantai sebelum menghadapi persiapan ujian kelulusan yang menguras pikiran.
"Anak-anak, kita akan berlatih basket hari ini. Pertama kita akan melakukan passing dan catching berpasangan. Kemudian satu per satu kalian bergiliran menembak bola ke dalam ring. Terakhir, kita akan berlatih melakukan gerakan lay up. Sekarang pilih partner kalian masing-masing," ucap Pak Bram memberikan instruksi.
Seperti biasanya, Wilona memilih berpasangan dengan Gabby, sahabatnya sejak di kelas tujuh.
"Wilo, apa kemarin tugasmu di lab berjalan lancar? Kamu gak berantem dengan Wildan, khan?" tanya Gabby penasaran.
"Lancar semua. Kami bekerja sendiri-sendiri, jadi tugasnya cepat selesai."
Wilona melemparkan bolanya ke arah Gabby, tapi temannya itu malah melihat ke arah lain.
"Gabby, kenapa gak tangkap bolanya? Bola kita jadi menggelinding jauh tu," ucap Wilona berlari untuk mengejar bolanya.
"Sorry, sorry. Aku lagi lihat permainan lempar tangkap Wildan dan Nelson. Nanti aku pengen menyaksikan mereka melakukan lay up. Pasti keren banget. Mereka berdua terpilih jadi team basket inti sekolah kita, sama-sama jago."
"Iya terserah kamu. Tapi sekarang kita harus fokus melakukan latihan kita."
Tak berapa lama, Pak Bram membunyikan peluitnya sebagai tanda gerakan berikutnya akan segera dimulai.
"Anak-anak sekarang berbaris, urut dari nomer absen satu, tembakkan bolanya ke ring. Setelah itu langsung lanjut ke lay up. Ayo cepat cepat," seru Pak Bram.
Dengan patuh, mereka mengikuti perintah dari Pak Bram, guru olah raga mereka.
Ketika tiba giliran Wildan menunjukkan aksinya, teman-teman sekelas Wilona tampak terpukau. Sekali tembakan, ia berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. Ia juga mampu melakukan gerakan lay up dengan sangat sempurna. Para gadis saling berbisik kagum memandang keahlian Wildan di lapangan basket.
"Wuih, hebat," teriak Thomas bertepuk tangan.
"Bagus, Wildan! Anak-anak kalian bisa berlatih lagi di rumah untuk melakukan lay up yang benar seperti Wildan. Minggu depan saya akan mengambil nilai untuk shooting dan lay up."
"Baik, Pak," seru anak-anak serempak.
"Sekarang kalian boleh ganti baju dan kembali ke kelas. Oh ya, giliran siapa hari ini yang bertugas mengembalikan bola ke ruang peralatan?"
Wildan sengaja berdiri mendekati Wilona dan memberikan isyarat dengan matanya. Ia mengarahkan pandangannya ke bola basket lalu menggerakkan jarinya kepada Wilona.
Apa dia menyuruhku untuk menggantikannya mengumpulkan bola?
batin Wilona menebak makna isyarat yang diberikan Wildan.
Wildan mengulangi isyaratnya sekali lagi sambil menatap Wilona dengan sorot mata tajam.
"Saya, Pak. Saya yang bertugas mengembalikan bola basketnya," ucap Wilona maju ke depan.
"Baik, Wilona. Kalau begitu tolong kerjakan sekarang. Yang lain boleh kembali ke kelas."
Gabby yang melihat Wilona menerima tugas itu, tampak keheranan.
"Wilo, bukannya giliran kamu masih dua minggu lagi? Seingatku hari ini Wildan yang bertugas."
"Aku lupa kapan giliranku. Biar aku yang mengerjakannya sekarang," jawab Wilona pura-pura lupa.
"Oke, aku tunggu di kantin ya dengan Ovi. Aku mau ganti baju dulu."
"Iya, Gab. Daag," ucap Wilona sembari memasukkan bola-bola ke dalam keranjang.
Wilona mengangkat keranjangnya dan berjalan menuju ke ruang penyimpanan alat olah raga. Namun di tengah jalan, Wildan tiba-tiba muncul dan mencegatnya.
"Setelah kamu selesai menyimpan bola, pesankan aku mie ayam dan es jeruk di kantin. Aku malas mengantri bersama yang lain. Lalu belikan aku sebotol air mineral dingin."
"Iya nanti aku pesankan."
"Bagus, jangan sampai ada yang terlewatkan," ucap Wildan dengan santai.
Ekspresinya tampak begitu puas bisa mempermainkan Wilona.
Wilona mengayunkan kepalan tangannya ke arah Wildan yang sudah berbalik meninggalkannya.
Dasar anak tukang perintah. Lain kali aku akan membalasmu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!