NovelToon NovelToon

Belinda

1. Bertemu Tuan Marchetti

Benjamin turun dari mobil dan mengedarkan pandangan ke sekitar tempat parkir. DD Restaurant, salah satu tempat ternama di kota yang dimiliki oleh Tuan Daniel Dolores. Menurut informasi yang pernah ia baca, Tuan Dolores lebih sering berada di klub kecilnya di pinggir kota. Menuangkan anggur untuk para langganan tetapnya sambil membicarakan bisnis.

Benjamin melangkahkan kakinya menuju restoran. Kedatangannya di restoran ini bukan untuk menemui Tuan Dolores, melainkan ipar dari pemilik restoran tersebut. Tuan Verone Marchetti.

Seorang pelayan yang menyambut kedatangan Benjamin segera mengantarkan pria tersebut ke sebuah meja dimana Verone Marchetti berada.

Ketika tiba di meja yang dituju, Benjamin mendapati seorang pria tua yang tampak tampan dan masih bugar untuk seorang seumuran dirinya.

"Tuan Marchetti, selamat malam," sapa Benjamin.

Sepasang mata biru yang ramah memandang Benjamin dengan penuh penilaian.

"Selamat malam, Tuan Antolini," jawab Verone Marchetti.

Kedua pria itu bersalaman. Setelah duduk di kursi mereka masing-masing, Verone Machetti kembali menatap dengan penuh tanda tanya.

"Aku tidak menyangka melihat sosok dirimu yang sebenarnya ternyata masih muda. Setahuku ... Belardo Antolini sudah tua ... Mungkin lebih tua dariku," ucap Verone.

Benjamin tertawa kecil, lalu membalas tatapan pria tua di depannya dengan tatapan tegas.

"Belardo Antolini memang sudah tua, Tuan Marchetti. Kenalkan ... Saya Benjamin Antolini, putranya. Sayalah yang mengajukan kontrak bisnis dengan perusahaan Anda dan meminta bertemu."

"Atas nama ayahmu ...."

"Ya. Berguna untuk melancarkan negosiasi ... terbukti bukan?" Ucap Benjamin.

"Kau yang menjalankan perusahaan ayahmu?"

"Belum sepenuhnya ... tapi ya ...."

Verone Marchetti menatap sosok pria muda di depannya dengan penuh selidik. Usia pria ini mungkin hanya beberapa tahun di atas usia putranya sendiri, Verga.

Verone menyangka akan bertemu sang legendaris pengusaha perkapalan terkenal Belardo Antolini secara langsung. Ia tidak menyangka menerima permintaan secara khusus untuk pengerjaan sebuah gedung galeri seni. Namun pengajuan itu tidak dilakukan secara resmi melalui perusahaannya Marchetti Enterprises, melainkan melalui permintaan pribadi secara langsung dari Tuan Antolini.

Sekarang Verone tahu ia salah ketika mengira kalau Antolini yang menginginkan pertemuan dengannya adalah Antolini senior.

"Boleh aku tahu apakah ayahmu tahu tentang ini?"

Benjamin tersenyum. "Kenapa ia harus tahu? Proyek ini murni rencanaku dan hanya menggunakan seluruh dana dariku, Tuan Marchetti."

"Ah ... Begitu ... Sebenarnya aku sudah pensiun. Akan lebih mudah bila kau meminta Verga membantumu."

"Verga?"

"Putraku. Yang sekarang mengambil alih perusahaan."

"Owh ... begitu ya. Tapi aku ingin bertemu secara langsung dengan Anda. karena itu aku menghubungi Anda daripada menghubungi Verga. Aku meminta Enrico mengatur semua ini."

Verone tercenung. Enrico Costra, seorang pengusaha perkebunan anggur. Seorang yang baru saja mencuri calon menantu idamannya. Senyum geli tersungging di bibir Verone teringat sosok pria yang namanya disebut oleh Benjamin.

"Kau teman Enrico?

"Ya, sekaligus relasi bisnisnya."

Verone mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku ingin gedung ini selesai sesuai tenggat waktu yang direncanakan. Tidak boleh meleset, Tuan Marchetti ... aku ingin pameran lukisan perdana adikku digelar di gedung ini nantinya."

Verone menaikkan alis. "Adik?"

"Ya ... adik perempuanku pandai melukis. Terakhir aku mengunjunginya, hasil karyanya sudah memenuhi semua tempat di rumah tinggalnya sekarang," ucap Benjamin sambil dengan pelan membuka ponselnya, lalu menunjukkan gambar sebuah lukisan.

Verone mendekat, menatap layar yang ditunjukkan Benjamin.

Tanpa ketara Benjamin menggeser gambar, lalu tertera foto adiknya di ponsel tersebut. Verone menyipit memandang gadis cantik dengan rambut kecoklatan, kulit putih dan mata bulat polos di layar.

"ini siapa?"

Benjamin menarik ponsel dan menatap.

"Oh, ini adikku. Lukisannya lah yang tadi aku ceritakan."

Verone mengangguk, kemudian seorang pelayan datang dan melayani dua pria tersebut makan malam.

Keakraban antara keduanya mulai terjalin. Didahului dengan pembicaraan tentang Enrico yang sama-sama mereka kenal, lalu menjalar ke bisnis secara garis besar dan berujung tentang keluarga masing-masing.

Verone banyak bertanya tentang keluarga Antolini, secara tak ketara menggali cerita tentang adik Benjamin.

Benjamin menyeringai dalam hati.

Ya, Tuan Verone ... bukankah kau sedang mencari pengantin untuk putramu? Belinda, adikku adalah kandidat sempurna. Benjamin membatin, merasa lega rencana pertamanya berjalan dengan mulus.

NEXT >>>>>

**********

From Author,

Halo semuanya,

apa kabar readers? Semoga kalian sehat selalu ya. Rezeki sehat selalu harus disyukuri, karena kalau sudah sakit, alamat semua rezeki yang diberikan tidak ada yang memberi kenyamanan dan kenikmatan. Namun kalau tubuh kita sehat, semuanya terasa enak. Makan terasa nikmat, minum terasa enak, tidur juga nyenyak. Iya kan ... hehe.

Selamat membaca kisah Verga Marchetti. Jika kalian stay dan mengikuti terus, otor akan sangat bersemangat untuk terus up. syaratnya tolong jangan menimbun bab. baca ketika sudah muncul bab baru. karena jika di tumpuk sampai banyak, akan membuat resistensi pembaca jelek, hingga level novel terjun bebas hingga dasar.

Setia membaca, setia tekan like tiap bab, setia kasih komentar, juga vote hadiah jika punya poin, adalah bentuk dukungan para readers pada otor. Di sini gak ada buka kunci, buka gembok dll. Jadi, tolong dukungannya dengan hal-hal yang otor sebutin tadi ya.

Selamat berjumpa kembali dan terimakasih sudah singgah. Luv yuuuuu

Salam. DIANAZ.

2. Mengatur perjodohan

Kilau cairan keemasan di dalam gelas yang ada di hadapan Benjamin memantulkan cahaya dari lampu-lampu hias mewah yang ada di atas langit-langit. Lampu hias tersebut berada tepat di atas bagian tengah meja panjang ruang makan keluarga Antolini.

Di bagian kepala meja, Belardo Antolini yang berwajah kaku dan dingin menatap satu demi satu anggota keluarganya yang hadir di meja makan tersebut.

Di sebelah kanan Belardo, putra tertua dan satu-satunya pewaris utama dari seluruh kekayaan dan perusahaannya duduk sambil menatap gelas minuman di atas meja. Ekspresi Benjamin masih sama seperti dulu, tanpa emosi, tertutup dan tidak dapat ditebak.

Tidak ada yang berani duduk di sebelah Benjamin. Tiga wanita yang hadir di acara makan malam tersebut duduk di bagian kiri Belardo. Kursi pertama diduduki sang istri ketiga. Wanita tukang mengeluh dan sangat cerewet, Maurice.

Di sebelah Maurice, duduk putri dari wanita tersebut, anak dari suaminya terdahulu. Sebelum Maurice bercerai dan memutuskan mengoda duda kaya yang bisa menjamin hidupnya, juga putrinya, Alana, putri Maurice yang berusia tujuh belas tahun.

Di sebelah Alana, duduk wanita muda yang sangat anggun juga cantik. Usia muda membuatnya lebih bersinar dari sang istri ketiga. Dress yang ia pakai untuk makan malam benar-benar mewah dan glamour, juga perhiasan yang ia gunakan. Kecantikan yang ia miliki begitu bersinar seperti seorang dewi bila dibandingkan dengan ibu dan anak yang duduk di sebelahnya.

Wanita muda itu adalah Athena. Istri ke empat Belardo Antolini, sekaligus mantan kekasih dari Benjamin.

Athena berulangkali melirik ke arah Benjamin selama makan malam. Namun wajah pria itu masih sama, tak ada yang bisa menebak isi pikirannya.

"Jadi ...kau sudah menanganinya?" tanya Belardo pada Benjamin.

"Sudah. Hanya tinggal mengatur waktu pertemuan dengan mereka."

"Verga Marchetti ...," gumam Belardo dengan suara pelan. Ia mengangkat gelas dan menyesap minuman.

"Belardo, Sayang ... apakah ... Belinda sudah tahu tentang masalah ini?" Maurice mencoba mengeluarkan pendapatnya. Bukan apa-apa, penjelasan singkat dari Benjamin tentang keluarga Marchetti sepertinya sangat memuaskan. Verga Marchetti adalah calon suami idaman. Jika memungkinkan, lebih baik dicalonkan dengan Alana. Alana tidak mendapatkan jaminan apapun dari Belardo karena dia adalah anak tiri. Jadi Maurice ingin mencarikan jodoh pria kaya untuk putrinya.

"kenapa? Apa itu diperlukan? Dia hanya perlu menuruti kata-kataku," ucap Belardo.

"Jika aku katakan padanya dan dia tidak mau ... bagaimana menurutmu kita harus menangani masalah itu, Maurice?" tanya Benjamin pada istri ayahnya tersebut. Sengaja bernada manis, memancing wanita tersebut agar berani menyuarakan pikirannya.

"Belinda hanya sibuk dengan lukisan. Di pulau tersebut, ia tidak pernah bersosialisasi dengan orang banyak. Tidak pernah menghadiri pesta, tidak tahu bagaimana bergaul dengan kalangan atas ... aku khawatir ... mmm ...."

"katakan saja Maurice," ucap Benjamin menyemangati.

"Itu, Ben ... Mmm, bagaimana kalau setelah melihat Belinda, keluarga Marchetti keberatan?"

"Karena apa mereka keberatan?" Benjamin menyipitkan matanya.

"Belinda kita memang cantik, Ben. Tapi ... dia ...ah, bagaimana ya ... hidup dan dibesarkan di desa, di sebuah pulau. Bagaimana kalau dia kesulitan jika dijadikan istri seorang pengusaha kaya ...."

Benjamin menggosok dagunya seolah berpikir. Keputusan memilih keluarga Machetti sudah ia pertimbangkan masak-masak. Ia sudah mendengar sendiri kalau Verone menginginkan menantu. Calon sebelumnya yang dipasangkan dengan Verga bukanlah dari kalangan keluarga kaya. Gadis itu gadis yatim piatu yang hidup berdua dengan neneknya dengan penampilan biasa.

Belinda sudah hampir dua puluh tahun. Gadis itu sudah beberapa kali melarikan diri dari mansion di tengah pulau. Entah kapan gadis itu akhirnya akan berhasil dan ia tidak lagi bisa menahan. Jadi yang harus dilakukan adalah menikahkannya dengan seorang suami yang akan menjaganya. Sehingga Ben akan lepas dari tanggung jawab terhadap gadis itu selamanya.

Benjamin mengerti kalau Belinda bosan tinggal di properti yang merupakan warisan dari ibunya tersebut. Sebuah mansion di tengah pulau dengan penduduk yang hanya beberapa gelintir saja.

Kehadiran Maurice dan Alana di kehidupan ayahnya membuat Benjamin segera memindahkan adik dari istri kedua ayahnya tersebut ke mansion yang dulu diberikan Belardo pada ibu Belinda.

Kalau bukan karena ibu Belinda memintanya untuk berjanji agar menjaga gadis itu, Benjamin tidak akan mengurusi kehidupan gadis itu terlalu jauh. Tapi dengan kehadiran ibu tiri dan adik tiri yang haus harta, dan ditambah lagi dengan wanita ular yang sekarang hidup berdampingan dengan sang ayah, Ben harus menjauhkan Belinda, karena ia sendiri sudah lama pergi dari mansion ayahnya itu. Memulai bisnisnya sendiri, sehingga tidak bisa mengawasi adiknya itu terus menerus.

"Jika memang memerlukan calon untuk mempererat hubungan dengan keluarga Marchetti, bagaimana kalau Alana saja yang kita pasangkan dengan Verga. Alana juga cantik, dia pandai bersosialisasi dan sangat pintar mengambil hati orang lain," ucap Maurice.

"Ibu!" Alana menoleh dan melotot ke arah ibunya. Tidak menyangka atas perkataan ibunya itu.

Athena mendengus keras, sama sekali tidak anggun. Namun, wanita itu tidak peduli. Keserakahan Maurice membuatnya muak.

Benjamin sudah menduga, sehingga ia tidak terkejut sama sekali.

"Maaf Maurice, perlu berbulan-bulan bagiku agar keluarga Marchetti mempercayai keluarga Antolini dan memandang kita layak. Tidak mungkin mengganti Belinda dengan Alana secara tiba-tiba," Benjamin menyesap minumannya dengan mata menatap tajam ke arah Maurice. Membuat wanita itu tertunduk dan menelan ludah.

"Kau benar, bodoh sekali pemikiranku," Maurice tertawa sumbang.

"Sudah diputuskan kalau begitu." Belardo berdiri, meletakkan serbet di atas meja dan mengulurkan tangan ke arah Maurice.

"Ayo ke aula," ajaknya pada wanita itu. Maurice tersenyum bangga sambil melirik puas ke arah Athena. Alana mengikuti keduanya, berjalan cepat, menghindari tatapan tajam dari Benjamin.

Ditinggal berdua membuat Athena memberikan senyuman manis pada mantan kekasihnya tersebut.

"Ben ...sudah lama sekali kita tidak bertemu," ucap wanita itu.

Benjamin menatapnya tanpa ekspresi.

"Ben ... Aku merindukanmu," ucap Athena setengah mendesah.

Benjamin berdiri.

"Ben! Kau mau kemana?"

Benjamin terus melangkah pergi. Melihat wanita itu membuat perasaannya campur aduk. Ia mual dan mungkin saja akan muntah bila memilih tinggal lebih lama. Lebih baik ia pergi, urusan Belinda harus diselesaikan secepatnya. Agar beban menjaga gadis itu, yang ditaruh di pundaknya bisa ia pindahkan ke pundak orang lain.

NEXT >>>>>

**********

From Author,

Happy reading ya. Stay healthy, always happy.

Baca novel kesayangan, semoga bisa menaikkan imun, hahahha.

Jangan lupa dukungannya, Oke. Luvv yuuu

Salam. DIANAZ.

3. Berita dari Benjamin

Belinda menyapukan kuas dengan perlahan, memindahkan bayangan di dalam otaknya tentang sebuah taman bermain dengan sebuah bianglala yang sedang berputar ke atas kanvas. Ia begitu fokus, berkonsentrasi dengan setiap garis dan warna yang ia buat. Suara pintu terbuka dan langkah kaki mendekat tidak membuat Belinda teralihkan.

"Nona, Tuan Antolini datang berkunjung," ucap Siena, wanita paruh baya yang menjadi pelayan pribadi Belinda. Namun, Belinda merasa wanita itu hanyalah mata-mata dari kakak dan ayahnya.

Belinda hanya diam, mengabaikan ucapan Siena.

"Nona ... Tuan Benjamin tidak akan suka bila menunggu lama," tambah Siena lagi.

Kuas Belinda seketika berhenti mendengar nama Benjamin.

"Kakak? Bukan Ayah?" tanyanya memastikan. Tadi ia mengira ayahnya lah yang datang.

Siena mengangguk. "Ya, Nona. Beliau menunggu Anda di bawah."

Siena lalu undur diri, tidak menunggu nonanya bergerak mengikuti. Seolah tahu, nama Benjamin adalah jaminan kalau gadis itu akan segera bangkit meninggalkan pekerjaaannya.

Belinda memperhatikan jari-jarinya yang terkena noda cat, namun memutuskan kalau tidak baik membuat kakaknya yang jarang berkunjung itu menunggu lama. Setelah merapikan roknya yang kusut, Belinda melangkah keluar dari ruangan besar di lantai dua yang dijadikan sebagai ruangannya untuk melukis.

Mata Benjamin memperhatikan dengan seksama ketika Belinda menuruni tangga mansion. Rok gadis itu berkerut dimana-mana, menandakan waktu yang dihabiskannya duduk berjam-jam dengan melukis. Blus katun yang dipakainya tampak biasa, rambutnya dijadikan satu lalu diikat di belakang leher. Jari-jari gadis itu terdapat noda cat. Tidak ada perhiasan sama sekali, meski hanya sepasang anting atau kalung mungil. Belinda tak ubahnya gadis pelayan atau gadis penjual jeruk yang biasa Benjamin temui di pasar tradisional di pulau ini.

"Selamat siang, Ben." Belinda membungkukkan tubuhnya sedikit. Kedua tangannya disatukan di depan tubuh, lalu ia menunggu dengan patuh. Sikap yang terbiasa ia lakukan baik di depan ayahnya atau kakaknya itu.

"Apa kabarmu, Bel?"

Belinda tahu Benjamin hanya berbasa-basi. Kakaknya itu hanya melakukan kewajiban. Mengurus Bel seperti keinginan dari ibunya sebelum meninggal. Tentu saja ibu yang dimaksud adalah ibu Belinda. Istri kedua dari Belardo Antolini. Wanita yang sebelumnya hanyalah seorang pelayan di rumah besar keluarga Antolini.

"Aku baik-baik saja ... dan sehat."

"Sepertinya begitu. Duduklah. Ada yang ingin kubicarakan."

Belinda menurut. Ia duduk dengan patuh. Ekspresinya datar tanpa emosi.

Benjamin tidak ingat kapan Belinda akhirnya berhenti menyambut kedatangannya ke mansion ini. Dulu, Belinda remaja selalu berlari bila mendengar ada yang datang. Baik ayahnya atau Benjamin. Dengan gembira menyambut kedatangan salah satu dari pria yang merupakan keluarganya. Lalu gadis itu tiba-tiba berhenti bersikap antusias ketika menerima kunjungan mereka. Ben tidak pernah tahu alasannya. Tebakannya adalah, gadis itu akhirnya mengerti, bahwa sikap hangat dan penuh cinta sama sekali tidak akan pernah diterimanya dari sang ayah, ataupun Ben. Mereka tidak pernah dekat, meskipun itu bukan berarti Ben sama sekali tidak peduli dan tidak mengurus Belinda.

Benjamin memegang janjinya pada Lucretia. Ibu Belinda yang sudah meninggal. Bahwa ia akan menjaga dan melindungi Belinda. Adik satu-satunya yang ia miliki meskipun berbeda ibu.

"Bulan depan, kau akan berumur dua puluh, Bel. Ada rencana yang sudah disepakati dengan sebuah keluarga terpandang dan mempunyai nama baik turun temurun, berasal dari Kota Broken Bridge. Kau pernah dengar nama kota itu?"

Belinda mengangkat kepalanya. Ia dan Benjamin duduk berhadapan. Sejak lama Belinda mengerti, bila Benjamin atau ayahnya datang ke pulau ini mengunjungi Belinda karena memang mereka ada urusan. Bukan murni mengunjunginya. Baik urusan dengan para penggarap lahan tanah di perkebunan atau penyewa tanah di desa kecil di dekat mansion tempat tinggalnya ini.

Tanah di tempat ini, semua memang milik Belardo Antolini, atau lebih tepatnya pulau ini ... Ayahnya pemiliknya, dan Belinda diasingkan di tempat ini. Sendirian.

"Ya."

"Bagus. Keluarga Tuan Verone Marchetti berasal dari sana. Sebentar lagi akan diadakan pertemuan antara dua keluarga. Jadi kau akan ikut aku. Bersiaplah, kita pergi sebentar lagi."

Belinda memandang Benjamin, kebingungan.

"Tidak perlu bingung, Bel. Kau dan aku akan pergi ke Mansion utama keluarga Antolini. Nanti malam ... kau akan dipertemukan dengan calon suamimu, Verga Machetti."

NEXT >>>>>

**********

From Author,

Happy reading semuanya. jangan lupa dukungannya dengan tekan like, love, bintang lima, komentar dan Vote hadiah. Terima kasih banyak sebelumnya.

Salam. DIANAZ.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!