Dia bernama Ana Bella, seorang gadis rantau. Berasal dari daerah Jawa Timur, yang nekat pergi ke ibu kota Jakarta seorang diri. Demi melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda. Ana memilih kota Jakarta, karena ingin mendapat banyak pengalaman baru. Juga, kampus utama pilihannya ada di kota itu.
Gagal ujian berkali-kali demi mendapatkan PTN ternama. Namun, lagi-lagi harus mengalami patah hati kedua. Melihat teman-temannya yang sudah lebih dulu diterima di PTN impiannya. Sementara Ana sendiri gagal berulang kali.
Ana mulai mendapat pencerahan, setelah bersikeras untuk bangkit kembali. Memohon izin pada kedua orang tuanya untuk merantau ke Jakarta.
"Bu, Ana ... boleh, kan? Kuliah ke Jakarta?" Tutur Ana ragu-ragu pada Bu Ani. Ibu kandung Ana.
"Loh, memangnya harus ke Jakarta toh, Nduk? Apa ndak ada tempat lain? Ibu khawatir, kamu disana sendirian. Ndak ada orang tua, keluarga, apalagi saudara," sergah Bu Ani, menolak keinginan Ana. Wajah Ana langsung tertunduk sedu.
"Kalau itu keinginan Ana, apa boleh buat toh, Buk? Jangan terlalu memaksakan pada anak sendiri. Takutnya, dia malah jadi tertekan." Sanggah Pak Agi. Yang kerap disapa Bapak, oleh Ana.
"Bapak ini lho, Ana itu anak perempuan kita satu-satunya," sambung Bu Ani.
"Lha, anak kita bukannya dua toh, Buk? Itu, si Abi," tukas Pak Agi.
"Maksud Ibu, Ana 'kan anak perempuan. Bahaya, kalau dia merantau sendirian ke Jakarta. Disana tuh keras, Nduk. Kehidupan Jakarta berbeda dengan di desa kita." Bu Ani sepertinya kukuh menolak permintaan Ana.
Namun, setelah memohon berulang kali, akhirnya Bu Ani pun menyetujui. Meski dengan terpaksa. Bagi Ana, ini adalah awal perjalanan karier hidupnya. Dan sekarang, sudah berbulan-bulan sudah. Ana menjalani kehidupan di kampus baru ini.
Walaupun sama sekali tak mempunyai teman dekat. Tapi Ana begitu giat memperoleh nilai IPK yang tinggi. Demi mewujudkan harapan kedua orang tuanya yang berada di kampung halaman.
.........
Selesai mengikuti kelas hari ini, rasanya masih belum cukup. Bila tidak menikmati makanan yang ada di kantin kampus. Ana berniat untuk memakan semangkuk bakso. Makanan favoritnya setelah ayam goreng. Dahaga nya terasa kering dan haus. Meminum segelas es jeruk, mungkin bisa melepaskan semuanya.
"Bu, pesan bakso satu mangkuk, ya! Sama es jeruknya juga," pinta Ana pada ibu warung di kantin itu.
"Siap, Kak! Mohon ditunggu sebentar, ya!" Ana lantas mengangguk pelan seraya tersenyum ramah.
Sembari menunggu, Ana memilih untuk mencari tempat duduk di sekitarnya yang masih kosong. Pandangannya melihat-lihat sekelilingnya yang tampak begitu ramai. Masing-masing orang mempunyai circle nya sendiri.
Hanya Ana sendiri, yang sudah sejak awal memijakkan kakinya di tempat ini, masih juga sendirian.
Tanpa teman, atau pula pacar.
Apa itu pacar? Ana tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. Bahkan saat SMA pun, Ana belum pernah berpacaran.
"Pesanan bakso nya sudah siap!" Ucap Ibu kantin sembari membawa semangkuk bakso beserta es jeruk di nampan besar yang ada di kedua tangannya.
SET!
"Terima kasih, Bu." Tutur Ana.
"Sama-sama, Kak! Mari..." balasnya seraya pergi.
Tinggallah Ana sendiri, memulai makan siangnya dengan satu porsi bakso itu.
"Nyam... nyam... nyam..." gumamnya mengunyah bakso yang ada di dalam mulutnya.
Sedang asyik-asyiknya mengunyah bakso, tiba-tiba seseorang datang mendekati Ana. Lelaki muda dan tampan, memberanikan dirinya duduk di sebelah Ana. Tampaknya, anak itu usianya lebih muda jika di bandingkan dengan usia Ana.
“Hey, Kakak cantik? Sendirian aja, Kak?” tanyanya menyapa Ana secara tiba-tiba.
“Iya," jawab Ana singkat, lalu kembali melahap bakso yang sudah dia pesan tadi.
“Teman nya emang kemana, Kak?” tanyanya lagi sambil memperhatikan Ana yang tengah mengunyah bakso.
“Gak ada!” cetus Ana berdecak sebal, tanpa menoleh dan menatap wajahnya.
“Pacarnya?” pungkasnya lagi yang membuat Ana jengah dan buru-buru menghabiskan semangkuk baksonya.
“Bisa diam gak sih?!” cerca Ana ketus, sambil berdiri dan meninggalkan bocah kecil itu.
Lama-lama bisa emosi dibuatnya, kalau tidak buru-buru pergi.
Tapi sayangnya dia malah mengikuti Ana sampai ke depan pintu kelas. Mau tidak mau, Ana pun duduk di kursi koridor depan kelasnya. Agar dia tidak mengikuti sampai masuk ke dalamnya. Sampai akhirnya, Ana sendiri yang lebih dulu angkat bicara.
“Mau kamu apa sih? Dari tadi ngikutin melulu? Kamu tahu, nggak? Kamu tuh gak ada bedanya dengan pembuntut. Suka buntutin orang tanpa sebab,” tutur Ana tanpa langsung ke intinya. Spontan justru dia malah cengengesan.
Apa sih? Cringe banget. Dasar bocil!
“Kakak baru semester satu juga, ya?” lanjutnya bertanya, membuat wajah Ana berubah merah merona seketika, menahan malu.
Memang tadinya, Ana pun juga sudah berkuliah, namun karena keadaan yang tidak memungkinkan memaksanya untuk berhenti dan kembali melanjutkannya lagi sekarang. Di usianya yang sudah berumur 20 tahun. Seharusnya mungkin ia sedang mengerjakan skripsi. Tapi kini memulai semuanya dari awal lagi.
Nasib memang tidak ada yang tahu, bukan? Kapan dan mengapa hal itu harus terjadi pada kita. Kendatipun demikian, kesuksesan bukan hanya milik mereka yang lebih dulu berjalan. Tapi juga milik semuanya. Orang-orang yang enggan untuk menyerah.
“Emang kenapa, kalau aku baru semester satu? Ada masalah sama kamu?” sungut Ana sedikit emosi, sambil berkacak pinggang menghadap ke arahnya.
“Ya bagus dong Kak, aku bisa setiap hari datang kesini. Sambil meminta ajarkan tugas-tugasku," jawabnya sambil menyengir kegirangan.
Aneh 'tuh anak!
“Emangnya kita satu fakultas? Kenal juga enggak!” lanjut Ana sambil mengalihkan pandangannya ke arah lantai.
“Ya memangnya kenapa, kalau beda fakultas? Nggak ada yang melarang juga, kan? Makanya kenalan, setelah kenalan terus jadian. Setelah jadian, terus lamaran, dan kemudian, kita menikah. Lalu ... kita ehem-ehem. Hehe!" celotehnya sambil menyengir dan mengedipkan sebelah matanya.
Wajah Ana berubah tidak berekspresi. Tatapannya menatap datar ke arah anak itu. Bahkan hidungnya tampak kembang kempis sekarang. Tidak habis pikir, ia bisa bertemu dengan pemuda narsis sepertinya.
Belum apa-apa udah ngomongin nikah? Heh, kuliah saja dulu yang rajin.
Ana menghela napas panjang. Tangannya terangkat dan memijat keningnya. Kepalanya pusing, tiba-tiba bertemu dengan lelaki menyebalkan seperti pemuda yang ada di hadapannya saat ini.
“Udah, ngomongnya? Aku mau masuk kelas lagi,” kata Ana, sambil bangkit dari tempat duduk dan melangkah masuk ke dalam kelas. Namun, belum sampai depan pintu, langsung di tahan pergelangan tangan Ana olehnya.
"Apaan sih?! Jangan sentuh aku!" sentak Ana berdecak kesal.
“Tunggu dulu, Kak! Kita belum saling tukar nomor ponsel,” pungkasnya menghentikan Ana sambil menengadahkan ponselnya pada Ana.
Ponsel canggih nan mahal yang lagi viral seharga puluhan juta rupiah. Tampaknya, pemuda itu bukan berasal dari keluarga berlatar belakang biasa. Berbeda dengan Ana yang dari kampung pedalaman. Bahkan tampilan style bajunya begitu modis. Layaknya anak-anak hitz Jakarta Selatan pada umumnya.
Nak Jaksel kah, dia?
“Nomorku cuma satu, kalau di tukar-tukar, aku jadi gak punya nomor lagi, dong?” sergah nyeleneh. Menolak keras untuk memberikan nomor ponselnya pada pemuda itu.
“Ya udah, kalau gitu di sebutkan aja nomornya berapa?” sambungnya berkata dengan wajah serius.
Dari tatapannya, dia sepertinya tidak main-main. Peluh keringat bercucuran pada keningnya. Ana yang tidak tega-an, tentu saja akan mudah luluh. Dan memberikan nomor ponselnya secara cuma-cuma. Tentu hanya ingin membuat orang itu pergi dari hadapan sekarang.
“Kamu sakit, ya?” tanya Ana sedikit khawatir sekaligus mengalihkan topik. Meskipun tiga menit lagi waktunya akan habis. Tampaknya Ana masih kekeh dan enggan memberikan nomor berharganya pada bocah itu.
“Eng-nggak, udah berapa nomornya Kak? Aku juga ada kelas soalnya,” titahnya lagi sambil menatap ponselnya kali ini.
Ana menatapnya dengan tatapan iba. Benar saja, hati kecilnya luluh. Tidak tega dengan bocah kecil itu. Alhasil, dia pun menyebutkan nomornya pada lelaki itu.
"Udah, kan? Udah sana, hus hus hus!" usir Ana.
Hati-hati Ana, awas jatuh cinta! Ehem.
“Thanks, Kakak cantik! Nanti aku telepon diangkat ya, Kak?” ujarnya ceria, sambil melambai-lambai tangan ke arah Ana yang sekarang sudah berada di depan pintu kelasnya.
Ana terpaku menatap kepergian pemuda itu. Kedua matanya mengedip berulang kali. Bisa-bisanya dia bertemu lelaki narsis. Bahkan tingkahnya seperti anak kecil. Manja dan kekanakan.
Selepas dia pergi dari pandangan Ana, ia pun memulai kelas keduanya. Mata kuliah di jam terakhir. Yang begitu membosankan, sebab di pukul segini, rasa kantuk mulai datang dan menyerang. Namun, Ana segera menepisnya. Dengan meminum air mineral yang sempat dia beli sewaktu di kantin tadi.
Beberapa menit setelahnya...
Kelas telah berakhir, dan Ana berniat untuk pergi ke perpustakaan terlebih dulu untuk meminjam beberapa buku yang akan dijadikan referensi dalam makalahnya. Dalam sekejap, Ana mengecek ponselnya. Ada sebuah panggilan tidak diketahui namanya.
Ana mengacuhkan panggilan itu. Buru-buru ia mengambil beberapa buku yang sudah dia pinjam, dan pergi mendekati loker untuk mengambil tasnya. Sebab hari sudah mulai senja. Ana harus segera pergi dari sana.
Ketika Ana hendak membuka lokernya, tiba-tiba ada suara yang berdehem tepat berada di belakangnya. Sontak, Ana pun menoleh kebelakang.
“Astaghfirullahal'adzim!” ujar Ana kaget.
Bocil itu lagi?
“Emangnya aku setan, Kak?” celetuknya dengan raut wajah yang datar.
“Ih, kamu lagi, kamu lagi. Gak bosen? Ngintilin aku terus?" sambung Ana seraya berbalik badan untuk mengambil tasnya yang masih berada di dalam loker.
“Kakaknya tiba-tiba menghilang. Aku tadi ke kelas Kakak. Tapi udah nggak ada siapapun disana," celotehnya menjelaskan.
“Aku gak nyuruh kamu buat nungguin aku, loh. Oh, itu nomor kamu? Ku kira nomor nyasar tadi,” ucap Ana sambil memasukkan semua buku yang sudah dia pinjam tadi ke dalam tasnya.
“Sini, aku bantu, Kak?” katanya. Tapi tidak di gubris oleh Ana.
Cie, di acuhin. Uhuk!
“Gak perlu, aku lagi buru-buru nih,” sergah Ana menolak.
“Kemana? Aku antar ya, Kak?” kilahnya yang kini berjalan berdampingan dengan Ana sekarang.
"Ya pulang, lah. Mau kemana lagi emangnya? Udah sana, kamu juga pulang. Aku gak suka di ikutin terus sama kamu," tutur Ana seraya berjalan pergi meninggalkannya di perpustakaan itu. Namun...
“Kak, tunggu!" sanggahnya memanggil Ana dari belakang. Dengan terpaksa, Ana menghentikan langkah kakinya.
“Apalagi? Aku lagi capek dan sensitif loh ini. Kamu mau? Aku tinju kamu sampai babak belur, hah?!" ancam Ana sambil menoleh ke belakang. Lalu sekarang jarak Ana dengannya hanya berjarak dua jengkal dan saling berhadap-hadapan satu sama lain.
Lelaki itu menatap Ana dengan tatapan aneh. Seraya tersenyum menyeringai tidak jelas. Sesekali, dia memainkan alisnya yang di naikkan ke atas.
Heh, dasar buaya bocil! Kecil-kecil sudah bertingkah genit. Ngeselin!
“Kakak cantik, deh. Hehe!" pujinya tiba-tiba memuji Ana, sambil mengangkat satu tangan kanannya yang ingin mengelus pipi Ana. Tapi keburu di tepis tangan itu olehnya.
“Don't touch me! Kamu ngerti nggak, sih? Berapa kali aku bilang, untuk stop ikutin aku?! Udah sana, pulang! Mama kamu pasti lagi nungguin kamu," decak Ana sembari memasang ekspresi jutek.
Banyak pasang mata yang menatap mereka berdua secara bergantian. Spontan, Ana terdengar menghela napasnya panjang. Ia tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian orang disini. Dan anak itu, hampir membuatnya emosi.
“Aku belum tahu namamu, Kak. Namaku, Bara," ujarnya sambil mengangkat sebelah tangan kanannya, berniat untuk menyalami Ana. Memperkenalkan dirinya seperti orang-orang pada umumnya.
“Aku Ana," balas Ana. Pandangannya tampak celingukan memperhatikan sekitarnya. Ia lantas sedikit berjalan mendekati emperan yang dekat dengan pohon. Ana pun duduk dibawah sana.
“Pegal ya, Kak? Mau aku gendong, nggak? Kosan Kakak dibelakang kampus ini, kan?” celotehnya mulai bertanya lagi.
Yah, tidak ada bedanya seperti emak-emak yang sedang menginterogasi anaknya yang sehabis di bawa pulang sama cowok.
Eh.
"Apaan, sih! Mau gendong aku? Kita tuh, bukan mahrom, Dek." Cerca Ana berdecak sebal.
“Berarti kalau udah jadi mahrom, boleh dong, aku gendong Kakak?"
“Enggak.”
“Loh, kan tadi Kakak bilang, boleh. Kalau udah sah jadi mahrom.”
“Iya, kalau yang menggendong aku itu, Suamiku. Jodohku kelak.”
“Kalau Suami Kakak itu aku, bagaimana?”
Dasar mvrit!
“Aku mau pulang, kamu jangan ikuti aku. Awas, kalau sampai ngikutin aku lagi!” Ana beralih topik dengan gertakan pada Bara.
“Kalau aku ikutin lagi, emangnya kenapa?”
“Aku bakal block nomor kamu, dan kita gak akan pernah ketemu lagi.”
“Iya, iya. Aku diem deh, nggak lagi-lagi ngikutin Kakak." Bara tersenyum menyeringai menatap Ana.
Entah apakah perkataannya bisa dipercayai atau tidak. Yang jelas, Ana sudah muak berada di dekatnya.
“Ya udah, kamu diam disini. Sampai aku menjauh dari pandanganmu, baru kamu boleh pergi.”
“Iya, Kakak cantik," balasnya memuji Ana, sambil menyengir memamerkan gigi putihnya.
Ana pun berjalan dengan langkah cepat, agar bisa secepatnya tiba di kosan. Lelah sudah ia berjalan jauh menghindari Bara, siapa lagi kalau bukan bocah kecil dan tengik itu. Tanpa terasa, lima belas menit sudah Ana berjalan, akhirnya ia pun tiba di depan pintu asrama putri. Buru-buru Ana membuka gerbang itu dan masuk ke dalamnya. Namun, ketika ia berbalik badan dan hendak menutup pintu gerbang, Ana di kejutkan dengan kehadiran bocah itu lagi.
Lebih tepatnya, Bara.
'Astaghfirullahal'adzim! Anak itu benar-benar. Dia sebenarnya paham nggak, sih? Ocehan aku tadi? Kenapa masih ngikutin lagi, coba?' gerutu Ana dalam hati tersentak emosi.
“Kamu! Ngapain kamu ngikutin aku lagi sampai kesini? Kan, tadi udah buat perjanjian kalo-" ujar Ana terpotong oleh perkataan Bara.
“Sssttt! Kakak jangan berisik, dong. Aku mau menumpang ke toilet sebentar, boleh ya?” pintanya.
"Nggak bisa! Ini kamar kosan aku, bukan kosan kamu. Sana balik lagi ke kampus! Di sana kan, ada banyak toiletnya." Sergah Ana menolaknya mentah-mentah.
“Gak bisa Kak, ini udah diujung tanduk. Please! Boleh, ya? Aku janji gak akan macam-macam. Berani sumpah, deh!" tutur Bara dengan tatapan seriusnya. Tubuhnya meronta-ronta seperti orang yang sedang menahan pipis.
Seperti sejak awal, Ana memang orang yang tidak tega-an. Dan akhirnya, Ana memberi izin Bara untuk menumpang sebentar ke dalam toilet kamarnya.
"Huh, oke. Tapi jangan lama-lama, hanya lima menit aja. Dan lagi, jangan berisik. Kalau suaramu kedengaran sampai ke telinganya Ibu kos disini, aku juga yang bakalan di usir."
“Ibu kosnya juga tinggal disini, Kak?”
“Iya. Tuh, disampingku tempat tinggalnya. Yaudah buruan, aku mau istirahat soalnya."
Pov Ana
Mau tidak mau aku pun memberikan izin Bara untuk buang hajatnya di toilet dalam kamar kos ku. Dengan berat hati, aku mengizinkannya. Meskipun aku tahu resikonya. Kalau sampai ketahuan dengan ibu kos, tentu aku bakalan di usir dari kosan ini.
Lagian kenapa juga, aku bisa-bisanya mau menerima dia masuk ke dalam kamar kos ku? Entahlah, aku juga tidak tega untuk menyuruhnya balik lagi ke kampus dengan kondisi yang sudah diujung tanduk.
Pov End.
“Jangan lama-lama, Bar.” Panggil Ana yang kini tengah duduk di ruang tamu, menunggu Bara keluar dari toilet kamarnya.
Pintu kamar kosnya sengaja Ana tutup, supaya tidak ketahuan kalau Ana membawa laki-laki masuk ke dalam kamar ini. Ana tidak mau menjadi panjang masalahnya jika sampai ketahuan.
Beberapa saat kemudian, Bara muncul dari bilik toilet kamar Ana. Rambutnya tampak basah seperti sehabis mandi. Ia lantas berjalan mendekati Ana. Senyumnya kembali mengukir pada bibirnya. Ana tertegun menatapnya, sosok lelaki yang begitu menyebalkan itu kini seratus persen berubah menjadi pemuda tampan.
'Apa karena rambutnya yang basah? Dia jadi berubah tampan begitu? Kyaaaaa, aku mikir apaan sih?!' gumam Ana dalam hati berteriak kagum pada Bara.
Cie, kesemsem. Ehem!
“Duh, lama banget sih kamu, Bar? Aku takut Ibu kos nya dengar suara kamu disini," lirih Ana sedikit resah.
“Aku diam aja kok dari tadi, Kakaknya aja yang mengoceh mulu.”
“Kamunya yang buat aku jadi mengoceh melulu. Kan, udah aku bilang. Jangan ganggu hidupku, dan jangan ngikutin aku lagi. Tapi kamu malah ingkar janji.” Bara hanya diam tertunduk, lalu ikut duduk disamping Ana yang kini tengah selonjoran di bawah sana.
Namun...
Tok
Tok
Tok
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Ana terperanjat tak percaya. Degupan jantungnya berdebar tidak karuan. Ia gugup dan ketakutan sekarang.
“Ana! Kamu bawa siapa masuk ke dalam kosan?” panggil orang yang ada di luar sana, dan ternyata ialah ibu kos pemilik kos-kosan ini.
“Tuh kan, gara-gara kamu sih! Kamu sembunyi, buruan!" titah Ana memberikan perintah pada Bara untuk bergerak cepat.
“Kok aku sih, Kak? Aku mau bersembunyi dimana? Disini nggak ada tempat untuk bersembunyi.”
Iya juga sih, ruang tamu kosan ini kan hanya berukuran sepetak. Itu juga gak ada barang-barang apapun disini selain karpet dan meja belajar.
“Ana!!! Saya hitung sampai tiga kalau kamu gak jawab, saya dobrak pintu ini!” Teriaknya dari luar mengancam. Ana semakin panik dan gemetar ketakutan. Ia benar-benar takut sekarang.
“Gimana, dong? Aku takut di usir dari sini," tutur Ana panik disertai wajah sedu nya.
“Tenang aja, Kak. Kalau Kakak di usir, kita pindah ke apartemen. Aku yang akan bayar semuanya," ucap Bara santai. Tapi, pintu kamar Ana semakin di dobrak dengan paksa Lalu tiba-tiba...
BRAKKK!
“Astaghfirullah! Ana! Kamu bawa lelaki masuk ke dalam kamar kosan? Habis ngapain saja kamu, hah?!" umpat ibu kos itu memaki Ana dengan suara lantang. Rupanya, dia tidak datang sendirian. Melainkan sudah bersama dengan warga kos yang lain.
“Astagfirullah, usir aja Bu! Malah jadi bikin sial disini. Lihat tuh, rambut cowoknya basah. Pasti dia habis berbuat mesum, kan? Ayo ngaku kalian!" sambung seorang ibu-ibu berkata yang dia tujukan untuk Ana dan Bara.
“Gak bisa dibiarkan Bu, kita harus panggil RT setempat.” Cerca yang lainnya mengompori ibu kos itu.
“Baiklah, saya akan telepon Pak RT untuk datang kesini."
Ana yang di pergok habis-habisan oleh ibu kos dan juga tetangga sebelah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya tertunduk malu. Bara pun hanya berdiam diri dan tak bergeming. Seolah pasrah dengan keadaan ini. Walau sebenarnya, mereka berdua tidak melakukan apapun.
'Ini semua gara-gara dia, kalo dia gak maksa aku buat masuk ke dalam kamarku, kejadian ini gak akan terjadi,' gumam Ana menyesal karena sudah membiarkan Bara masuk ke dalam kamarnya.
Beberapa saat kemudian...
Datanglah sejumlah orang mendatangi kosan ini. Seorang lelaki paruh baya bersama dengan wanita dewasa, serta anak kecil di sebelah mereka. Ana tidak bisa membela dirinya. Sebab semua orang disini tak akan ada yang mempercayainya. Bahkan mereka memandang Ana begitu jijik.
Layaknya orang yang baru saja berbuat zina.
“Sebaiknya kita nikahkan saja mereka, dari pada nantinya akan berdampak kesialan pada penghuni kosan lain dan warga sekitar," ucap seorang lelaki paruh baya itu. Yang ternyata ia adalah Pak RT di sekitar warga sini.
'Aku bahkan dibuat kehabisan kata-kata. Masa iya aku harus menikah sama Bara?' gumam Ana dalam hati tidak terima.
“Tunggu dulu Pak, saya bisa jelaskan kejadian yang sebenarnya. Kalau saya dan Bara itu tidak melakukan hal-hal diluar pernikahan. Kita hanya-" tutur Ana mencoba membela diri. Namun perkataannya tidak sampai habis. Sebab langsung di potong oleh ibu kos itu.
“Diam kamu! Sudah berbuat mesum masih saja membela diri, seakan tidak terjadi apa-apa. Sudah, Pak RT buruan kita nikahkan mereka," bentak Ibu kos memotong ucapan Ana. Dan beralih berbicara pada Pak RT.
'Hatiku bagai tertusuk duri ketika diperlakukan seperti hewan yang habis tercebur got lalu terlihat oleh manusia. Bara juga sedari tadi hanya diam saja dan tidak membela sama sekali. Apa dia senang mau dinikahkan denganku? Ini kan yang dia mau?! Pak, Bu, maafkan Ana' tutur Ana dalam hati sedu.
“Mari semuanya, kita akan pergi ke rumah Ustadz setempat. Saya pun sudah memberitahu beliau mengenai hal ini," ujar Pak RT sambil memboyong Ana dan Bara keluar dari kosan menuju rumah Pak Ustadz yang jaraknya tidak jauh dari sini dengan berjalan kaki.
“Bara, kok kamu diam aja sih?! Kamu senang, kan? Iya, kan?! Aku kecewa sama kamu!" sentak Ana sambil berjalan mengekor di belakang mereka semua.
Tanpa sadar, bulir bening itu luruh dengan sendirinya. Ana menitikkan air matanya. Menangis tanpa bersuara, hal yang begitu menyesakkan di dadanya. Tiba-tiba saja, tangan Bara terangkat dan mengusap air matanya. Tapi Ana sama sekali tidak luluh dengan tindakannya.
“Maafkan aku Kak, semua salahku." Bara menyesal karena sudah membuat Ana malu.
Tidak ada yang berguna jika semuanya sudah menghakimi keduanya. Sebab mulut manusia mudah sekali memberikan racun pada manusia yang lain. Seperti ular yang berbisa. Karena itulah, hati-hati dengan perkataan. Jika semua itu tak benar, maka akan menjadi fitnah. Dan dosa jariyah untuk yang sudah memfitnahnya.
“Permintaan maaf mu tidak berguna. Semuanya sudah terlambat," tutur Ana seraya memalingkan pandangannya, menatap lurus ke depan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke rumah Pak Ustadz, kami pun tiba. Istri dan anaknya juga sudah menunggu kami dengan senyuman. Sangat berbeda sekali dengan ekspresi mereka semua yang sudah menggerebek aku dan Bara, meskipun kami berdua tidak berbuat macam-macam.
"Ayo nak, silakan masuk!" ucap Istri dari Pak Ustadz mengarahkan kami untuk segera masuk ke dalam. Pak Ustadz juga sudah menunggu diruang tamu sambil duduk bersila diatas karpet tebal dan juga ada satu meja kecil disampingnya.
"Asalamu'alaikum Tadz, ini mereka yang saya bicarakan tadi di telepon," tutur Pak RT sambil memandang ke arah ku dan Bara.
"Baiklah kalau begitu, bisa kita mulai sekarang saja prosesi akadnya? Agar lebih memudahkan mendapat berkah dari-Nya. Allahu subhanahuwata'ala. Serta mendapat pintu maaf dan juga taubat-Nya. Mari kita mulai sekarang. Bismillahirrahmanirrahim. Dengan mengucap basmalah, mari perkenalkan dulu siapa namanya nak?" tanya Pak Ustadz.
"Nama saya Bara Kertajaya Muhammad," jawab Bara sambil menatap serius ke arah Pak Ustadz.
"Adiknya siapa namanya?" kini giliranku yang ditanya Pak Ustadz. Aku yang ditanya tiba-tiba gelagapan dan terkejut.
"Sa-saya... Ana Bella," jawabku gugup.
"Iya sudah tidak apa-apa. Mungkin masih ada trauma sedikit dari kejadian tadi. Kalau boleh tahu, siapa nama Ayahmu nak?" tanya Pak Ustadz padaku.
"Malik Ahmad, Pak Ustadz," ucapku tertunduk malu.
"Baik, bismillahirrahmanirrahim. Kita akan mulai sekarang," tutur Pak Ustadz sambil mengulurkan tangannya pada Bara.
"Oh iya, kita hampir lupa. Maharnya mana nak?" kilahnya lagi.
"Kalau pake HP bisa gak, Pak ustadz?" tanya Bara.
"Bisa, apa saja. Asal tidak memberatkan."
"Baik, ikuti saya ya nak Bara. Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan dan kawinkan Bara Kertajaya Muhammad dengan Ana Bella binti Malik Ahmad dengan mas kawin berupa alat elektronik Handphone dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Ana Bella binti Malik Ahmad dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Bara mengucapnya dengan lancar.
"Bagaimana para saksi?" tanya Pak Ustadz pada semua saksi mata yang melihat acara pernikahanku dengan Bara.
Iya, pernikahan yang diselenggarakan atas kesalahpahaman. Penggerebekan yang mereka lakukan padaku berakhir begini. Sungguh menyedihkan kamu, Ana.
SAH
SAH
SAH
"Alhamdulillah," ucap Pak Ustadz sambil memanjatkan doa, yang aku sendiri tidak tahu doa apa yang dia bacakan.
"Sekarang kalian berdua sudah sah sebagai Suami dan Istri. Tanggung jawab sepenuhnya sudah diserahkan kepada nak Bara sekarang. Meskipun saya bukan orang tua dari nak Bella, tapi saya disini wajib menggantikan posisi sebagai Ayah atau Wali dari nak Bella. Saya harap, nak Bara bisa menjadi Suami yang bertanggung jawab serta bisa membahagiakan nak Bella sebagai seorang Istri. Pernikahan bukanlah sebuah permainan yang bisa dilakukan begitu saja, lalu ditinggalkan dengan tidak sebaik-baiknya. Semoga pernikahan ini bisa langgeng sampai akhir hayat hingga mau memisahkan. Baik, sudah selesai sampai disini. Ada yang mau ditanyakan sebelum saya pergi? Kebetulan sekarang saya ada jadwal kajian di masjid," jelas Pak Ustadz.
Sementara aku dan Bara hanya saling diam sekarang. Tanpa bicara sepatah kata pun. Tak juga berani menatapnya. Aku benar-benar kecewa pada anak ini!
Rasanya aku bahkan seperti tidak punya muka. Meskipun kami tidak melakukan apa-apa. Tetapi di pergoki begini sampai akhirnya dinikahkan oleh para warga. Yang aku bahkan sendiri tidak akrab dengan mereka semua, apalagi kenal. Rasanya seperti suatu aib bagiku.
Bara benar-benar menyebalkan! Eh, bukan hanya menyebalkan. Tapi juga sudah merusak nama baikku! Harkat, martabat dan citraku telah dirusak olehnya. Meski sebenarnya kami tidak berbuat seperti yang mereka tuduhkan.
Setelah selesai akad, aku kembali lagi ke kosan ku. Diikuti Bara yang mengekor dibelakangku. Dengan lemah ku langkahkan kakiku masuk ke dalam kamar kos menuju kasur empukku. Entah Bara mungkin sedang mengunci pintu depan. Aku tak peduli dengannya, gara-gara dia aku jadi dinikahkan begini secara tiba-tiba.
Menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak aku kenal
sebelumnya. Bahkan aku sendiri tidak tahu bebet serta bobotnya seperti apa. Orang tuanya, tempat tinggalnya, pun aku juga tidak mengetahui. Seperti orang yang sudah menikah siri namanya kalau seperti ini. Bara.... kamu membuat aku benci dengan kehidupanku!
"Kak."
"Hm."
"Aku juga mau tiduran dong."
"Tidur aja di karpet," jawabku kesal. Biarkan saja. Toh, aku juga begini gara-gara dia kan.
Eh.
"Kan aku udah jadi Suami kakak, aku tidur dikasur juga ya?"
Duh, malesin banget kalau aku harus berbagi ranjang dengannya. Mana bantalnya cuma satu pula. Kalau aku biarkan dia tidur dikarpet kasihan juga sih. Huh, dasar aku. Gak tegaan banget jadi orang.
"Yaudah sini, sebelum aku berubah pikiran."
Bara beranjak ke tempat tidur, aku langsung berubah posisi menjadi duduk selonjoran diatas kasur.
"Aku boleh peluk Kakak gak?"
Ini bocil maunya apa sih? Etdah, tadi minta tidur dikasur. Sekarang minta peluk, besok kalau tiba-tiba minta keperawananku bagaimana? Duh, gusti!
"Kamu jangan mancing emosiku deh! Aku masih kecewa sama kamu!" umpatku kesal.
"Iya, iya. Aku minta maaf, Kak."
Bara pun tiduran dengan posisi membelakangiku disamping. Dengan berbagi satu bantal dan ranjang. Aku tak tega melihatnya yang meringkuk begitu, ku selimutkan tubuhnya dengan selimut tebalku. Padahal sebentar lagi memang sudah mau masuk waktu Ashar. Sekarang sudah pukul 14.30 WIB. Kegiatan kampus ku memang tidak banyak hari ini, hanya sampai pukul 11.30 WIB. Makanya aku pingin buru-buru pulang ke kosan buat langsung istirahat. Jarang-jarang aku dapat mata kuliah sedikit kayak gini.
Kulihat Bara nampak sudah memejamkan matanya, gak tega juga aku sama dia. Duh kok aku malah jadi begindang sye. Harusnya aku tuh marah. Bukan malah kasihan. Gara-gara dia masuk kesini aku jadi di gerebek.
Haish. Ana.. Ana.
Aku memutuskan untuk tidur juga barang sejenak untuk menghilangkan rasa lelah. Tanpa terasa mataku sudah terpejam dan tertidur pulas. AC dikamarku tidak begitu dingin, memang sengaja tidak ku dinginkan terlalu. Ini saja sudah dingin, apalagi kalau suhu nya ditambahin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!