Suasana hingar bingar membuat Devan menyernyitkan keningnya. Ia benci suasana ramai dan menyesakkan semacam ini. Jika bukan karena paksaan kedua sahabat gilanya, mungkin saat ini Devan sedang bersantai di rumahnya. Membaringkan tubuhnya di atas matras super empuknya setelah lelah seharian bekerja.
Musik yang menghentak keras membuat telinganya terasa kebas, kedua matanya terasa nyeri akibat lampu disko yang berkedip warna-warni. Ia ingin sekali kabur dari tempat terkutuk semacam ini namun tidak bisa. Aron dan Hwan menahan dompet, ponsel serta kunci mobilnya. Terdengar gila memang, namun memang itulah yang mereka lakukan agar Devan tidak kabur dan meninggalkan tempat itu.
Saat ini Aron dan Hwan sedang menari di dancefloor, sedangkan Devan memilih duduk dan menikmati segelas Cocktail yang tadi Ia pesan. Tubuh tegap berbalut kemeja hitam yang lengannya telah di gulung sampai siku, dua kancing teratas yang Ia biarkan terbuka, vest hitam dan celana bahan hitam cukup membuat para gadis menahan nafas untuk beberapa saat.
Sejak duduk di konter bar sejak 30 menit yang lalu, setidaknya lebih dari 10 wanita cantik dan sexy yang mencoba menggodanya dan mengajaknya bermain. Jika itu Aron atau Hwan mungkin mereka akan langsung menerimanya tanpa berfikir panjang. Tapi ini Devan, manusia terdingin yang tak pernah tertarik dengan mereka yang di sebut wanita.
Bukan karena Devan tidak normal atau lelaki penyuka sesama jenis, dia hanya tidak tertarik saja. Buktinya saat masih duduk di bangku SMA dulu, Ia pernah satu kali dikabarkan berkencan dengan seorang wanita, tapi hubungan mereka tidak lebih dari 1 bulan karena gadis itu menduakan Devan secara diam-diam.
Akhirnya Devan memutuskan gadis itu dan hingga detik ini belum pernah terdengar kabar Ia dekat dengan wanita lagi.
Mata coklat sedingin malam itu menatap sekeliling, banyak hal menjijikan yang tertangkap oleh sepasang binernya. Banyak sekali pasangan yang dengan tidak tau malunya bercumbu di sudut ruangan, bahkan ada yang terang-terangan melakukannya di lantai dansa
"Cihh." Devan mendecih melihat pemandangan semacam itu. Suasana semakin terasa panas dengan adanya suara mengerikan yang bersaing dengan music sang DJ.
Namun Devan tidak mau terlalu ambil pusing, Ia kembali memfokuskan matanya pada gelas Cocktail yang baru terisi lagi.
Golden Bar memang terkenal sebagai surga malamnya para pecinta percintaan bebas, tempat berkumpulnya para wanita cantik dan sexy. Tempat di mana bisnis dunia malam berpusat, alkohol, bisnis narkoba, bisnis syahwat sampai bisnis pemacu adrenalin.
Jika ingin menemukan para bandar besar dan mencari psikotropika dan obat terlarang lainnya, memang di sinilah surganya.
Dan yang paling terkenal di Golden Bar adalah bisnis wanita, karena di sana menyediakan wanita-wanita cantik dan sexy yang sangat menjanjikan.
Mereka memang di latih khusus untuk mempuaskan hasrat para pelanggannya, tidak hanya dari kalangan biasa, namun juga dari kalangan artis sampai model dan mereka adalah pekerja malam yang cukup ekslusif. Tak ada paksaan apalagi pekerjanya gadis masih di bawah umur, mereka bekerja atas inisiatif sendiri dan majikan mereka memperlakukan mereka dengan baik layaknya sebuah keluarga.
Tak ada rasa iri ataupun dengki antara para wanita yang bekerja sebagai penjajah kenikmatan, mereka akur dan saling mendukung. Dan tidak ada larangan jika mereka merasa lelah kemudian memutuskan untuk berhenti, dan dengan tangan terbuka mereka di sambut jika ingin kembali.
Bisnis free fight golden bar lebih terkenal lagi. Karena selalu menyediakan tontonan gratis yang cukup menegangkan dari para bintang yang cukup bersinar di golden bar.
" Wow, Serra, pertunjukkanmu di atas tadi sangat luar biasa." Puji seorang bar tender saat melihat kedatangan darah jelita bersurai coklat terang bernama Serra. Gadis itu meraih gelas berisi wine yang di sediakan oleh bar tender yang baru saja menyapanya lalu meneguknya
" Huh, berhentilah memujiku, Chen, Aku sangat muak mendengarnya." Ujarnya.
Pria yang di panggil Chen itu malah terkikik geli mendengar kalimat yang sama setiap kali Ia memuji Serra. "Oya, Ra, malam ini banyak tamu yang mencarimu." Ucap Chen tanpa mengalihkan perhatiannya dari sosok jelita di hadapannya.
Serra mengerutkan dahinya. "Berapa banyak.?" Tanyanya penasaran. Chen tampak berfikir sebelum menjawab pertanyaan Serra. "Sekitar 5-10 orang." Jawabnya. Serra tertawa renyah dan kembali meneguk winenya.
" Hahaha, sepertinya malam ini aku harus berpesta." Chen mendelikkan matanya bosan mendengar ucapan Serra. "Pesta katamu? Jelas-jelas, Mia dan Raina yang selalu melakukannya. Beruntung kau memiliki dua sahabat yang selalu siap melindungimu."
Lagi-lagi Serra terkekeh mendengar nada kesal yang keluar dari mulut Chen. "Hm, tapi setidaknya aku sudah melakukan tugasku." Jawabnya.
Dan perbincangan dua orang berbeda gender itu menarik perhatian Devan yang sedari tadi ada di sana. Ia dan Serra hanya berjarak dua meter saja, meskipun suara musik sangat keras. Namun telinganya cukup tajam untuk mendengar pembicaraan mereka berdua.
Devan tak dapat meluputkan pandangan matanya dari sosok Serra. Gadis itu memiliki paras yang sangat cantik, wajah putih mulus tanpa sedikit pun bekas goresan luka, kulit seputih susu, hidung mancung, bibir tipis menggoda, surai coklat terangnya yang panjangnya melebihi pinggang, kaki jenjang yang indah, bentuk tubuh yang profisional.
Devan tidak tau jika di dunia ini benar-benar ada wanita yang nyaris sempurna. Devan fikir hal itu hanya ada dalam mitologi Yunani, tapi nyatanya tidak. Sosok seperti itu benar-benar nyata ada di hadapannya. Di tambah dengan balutan gaun hitam yang kontras dengan kulit putihnya, yang panjangnya hanya satu jengkal di atas lutut bermodel kemben semakin menyempurnakan penampilannya
Namun ada satu hal yang mengganjal fikiran Devan. Devan mendengus panjang saat menyadari sesuatu. Mendadak Ia merasa jijik."Cih, lagi-lagi wanita murahan." Dengus Devan membatin.
Sedangkan Serra yang merasa di perhatikan terus menoleh kearah pria itu. Dia kaget melihat Devan memandangnya lekat, sementara Ia sendiri tidak tau siapa pria itu. Coklat dan Hazel bertemu. Serra tak dapat mengalihkan pandangannya dari mutiara coklat milik Devan. Entah kenapa Ia merasakan ada desiran aneh di dalam tubuhnya saat mata coklat itu menatapnya tajam.
Serra pun memberanikan diri untuk bertanya pada sosok pria yang membuatnya tertarik sejak pertama menatap manik coklatnya sejak beberapa detik yang lalu. Serra menarik sudut bibirnya. "Ada apa, Tuan? Kenapa Anda menatap saya seperti itu? Apakah ada yang aneh di wajah saya?" tanyanya ramah.
Wajah stoic itu menatap paras ayu Serra dengan tatapan dingin miliknya. "No," Devan menjawab singkat, yang kemudian di sikapi senyum ramah oleh Serra.
"SERRA...."
Teriakan itu mengalihkan perhatian Serra, Chen juga Devan. Tampak sosok jelita berkaki jenjang menghampiri Serra kemudian duduk di sampingnya.
"Malam ini kau kosong, jatahmu aku dan, Raina, ambil alih." Serra tersenyum kemudian mengangguk.
"Tidak masalah. Lagi pula aku merasa malas untuk menemani mereka." Jawabnya santai. Mia memutar matanya jengah.
"Ralat, bukan menemani tapi bermain-main. Toh, masih belum ada satu pun tamumu yang berhasil menjamah apalagi menyentuh kulitmu hingga sejauh ini." Ujarnya, Serra rersenyum tipis mendengar ucapan Mia. Sungguh betapa Ia sangat beruntung memiliki sahabat seperti Mia dan Raina.
Serra tersenyum getir, tangannya memainkan gelas kristal yang ada di genggamannya. Tatapannya berubah sendu. "Aku hanya berusaha menjaga apa yang seharusnya aku jaga."
Meskipun hanya sekilas, keterkejutan terlihat jelas di mata Mia. Ia tau arah dari ucapan Serra, mencoba mencairkan suasana. Mia tersenyum kemudian merangkul bahu Serea yang terbuka.
"Ngomong-ngomong aksimu di atas sana sangat memukau, kau tau. Para fansmu berteriak histeris menyeruhkan namamu, rupanya gelar DJ terpopular masih belum mau lepas darimu." Serra tertawa lepas mendengar ucapan Mia
Sahabatnya yang satu ini memang tidak pernah bosan dalam hal memujinya " Berhenti tertawa, Jung Serra." Mia mendelik kesal kearah Serra.
"Hahaha, baiklah, baiklah. Di mana, Raina, sudah hampir jam 1 sebaiknya kita pulang." Serra bangkit dari duduknya di ikuti Mia yang kemudian berjalan di sampingnya. Dari jarak 5 meter Serra dan Mia melihat Raina yang sudah menunggu mereka.
"Aku perhatikan dari tadi kau tak melepas tatapanmu darinya, apa kau tertarik padanya. Tuan, Alvaro?"
Pertanyaan Chen membuyarkan lamunan Devan akan Serra, kemudian Ia mendongak dan menatap datar bartender di hadapannya.
"Tidak." Jawab Devan sekenannya.
Chen tersenyum tipis. "Benarkah? Tapi aku melihat itu di matamu? Atau kau penasaran dengannya?" Imbuh Chen di tengah kesibukan meracik minuman untuk pelanggannya.
" Jangan sok tau." Ketus Devan. Chen terkekeh.
"Baiklah, tapi aku ingin memberi taumu satu hal." Chen menjeda kalimatnya. Devan memicingkan matanya. "Temanku itu sepertinya memiliki ketertarikan padamu, jika keyakinanku benar. Bisa jadi kau akan mendapatkan hal paling berharga yang selama ini dengan sepenuh hati dia jaga."
Dan untuk sesaat Chen melupakan bagaimana caranya bernafas melihat tatapan Devan yang tajam penuh intimidasi. Chen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Lupakan apa yang baru saja aku katakan. Anggap saja aku tidak mengatakan apa-apa, hehehe." Ucap Chen sebelum beranjak meninggalkan Devan.
Sebelum pergi, Ia melambaikan tangannya pada seseorang. Dan posisi Chen di gantikan oleh bartender lain.
"Aku hanya berusaha menjaga apa yang seharusnya aku jaga."
Entah kenapa kata-kata itu begitu membekas di ingatan Devan. Devan merasa ada sejuta rahasia yang tersembunyi di balik wajah cantik itu yang selalu menyunggingkan senyum ramah. Yang menghantarkan Devan pada rasa penasaran yang begitu besar. Mungkinkah pria sedingin Devan memiliki ketertarikan pada gadis penghibur, atau hanya sebatas rasa penasaran saja.
"Chen." Suara indah yang tertangkap gendang telinganya mengalihkan fokus Chen dari gelas kristal yang sejak tadi ada di genggamannya. Melakui ekor matanya, Devan melihat dengan jelas sosok Serra yang berdiri di samping kanannya. "Mino.?"
"Oh... Hai, Ra." Sapa Mino, bartender yang baru saja menggantikan posisi Chen. Pemuda itu menatap Serra sedikit bingung. "Aku pikir kau sudah pulang, oya kau mencari, Chen? Dia baru saja memulai aksinya."
" Oh benarkah?? Aku fikir dia tidak tampil malam ini." Ucapnya.
Serra melirik sekilas pada sosok tampan yang diam-diam memperhatikannya. Wajah itu begitu dingin, persis seperti beberapa menit yang lalu. Serra menarik sudut bibirnya, menunjukkan senyum ramah sebelum menghilang dari hadapan Devan.
"Aku kembali hanya untuk mengambil ponselku yang tertinggal. Aku pulang dulu, bye, Mino." Dengan ceria Serra melambaikan tangannya pada Mino dan berlalu begitu saja.
Di tengah langkahnya, Serra berpapasan dengan dua pria yang merupakan sahabat Devan. 'Aron dan Hwan'. Kedua pria itu tersenyum, menyapa yang hanya di sikapi senyum tipis oleh Serra. "Wow, bukankah itu, Serra Jung?? Primadona di bar ini." Seru Aron, pandangannya masih tak lepas dari sosok Serra hingga sosoknya menghilang di balik lorong gelap.
.
.
.
BERSAMBUNG.
Waktu telah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Terlihat tiga gadis masih lengkap dengan pakaian sexynya yang tersembunyi di balik mantel cantik yang membungkus tubuh indahnya. Berjalan beriringan meninggalkan bar, sudah ada dua pria yang telah menunggu kedatangan mereka. Dua di antaranya memisahkan diri dari sosok jelita berparas barbie yang tak lain dan tak bukan adalah Serra.
"Ra, pulanglah bersama kami." Kata Raina namun segera di tolak halus oleh Serra. "Tidak usah, aku naik taxi saja." Jawabnya. "Tapi, Ra----" Serra tersenyum lalu menggeleng
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Aku bisa menjaga diri, lagi pula sudah biasa aku pulang sendiri." Tuturnya.
Raina dan Mia terdiam untuk sesaat, sedetik kemudian kedua gadis itu tersenyum lalu mengangguk. "Baiklah, tapi berjanjilah untuk berhati-hati dan pulang dengan selamat dalam keadaan utuh. Dan segera hubungi aku atau, Raina, jika sudah tiba di apartemenmu." Ucap Mia tanpa ada jeda di dalam kalimatnya
Serra tersenyum lalu mengangguk. "Tentu." Jawabnya. Raina, Mia dan Serra berpelukan sebelum ketiganya berpisah.
"Kita duluan, Ra." Ucap seorang namja bertubuh jangkung 'Zain' sambil melambaikan tangannya. Sereaa tersenyum, membalas lambaian tangan Zain.
Selepas kepergian kedua sahabatnya yang pulang di jemput kekasih masing-masing, gadis berparas barbie itu melangkahkan kakinya cepat meninggalkan area bar dan menuju halte bus terdekat. Masih ada sekitar dua atau tiga taxi yang bisa Ia temui di jam segini. Dan saat berjalan menuju beberapa blok dari bar, terlihat segerombolan pria hidung belang menghadang dan menggodanya.
"Hai, Nona. Mau menemani kami?" Goda seorang pria dewasa yang setengah mabuk bersama beberapa temannya.
"Tidak mau." Serra menolak dengan ketus.
Greppp .. !!
Tangannya di cengkram dan di tarik oleh salah satu dari lima pria itu
"Lepaskan." Teriak Serra tak suka. Dengan kasar gadis itu menepis tangan pria itu dan kembali melangkah pergi. Tapi belum sampai 10 langkah, langkahnya kembali terhenti. Pria itu kembali menarik lengannya dan menghimpitnya pada tembok. "Sialan, lepaskan aku berengsek." Marahnya dengan tatapan membunuh.
Pria-pria itu menyeringai lebar. "Wow, kau sangat liar juga ya ternyata. Sangat menantang, aku semakin bernafsu untuk segera memakanmu. Aku ingin tau bagaimana rasanya menikmati seorang bidadari." Sabutnya dengan seringai yang sama. Serra menahan nafasnya saat pria hidung belang itu mengusap wajahnya yang putih dan sehalus kulit bayi.
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu, berengsek." Teriaknya marah.
Bukannya menuruti, pria itu semakin menginginkan gadis itu. Dengan kasar Ia membuka mantel yang menutup tubuh Serra hingga terlihat tubuh indah yang terbalut gaun malam berwarna hitam. "Wow, ini benar-benar yang di namakan surga dunia."
Merasa ada bahaya yang mengancam dirinya, tanpa berfikir lagi Serra bersiap untuk berlari. Di injaknya kaki pria yang memegang tangannya hingga pegangan itu terlepas. Dan moment itu di manfaatkan oleh Serra untuk melarikan diri.
"Aarrggghhh, jangan lari kau jalang sialan. Apa yang kalian tunggu, cepat kejar jalang itu dan bawah dia kehadapanku." Teriak laki-laki itu penuh amarah.
"I-iya boss."
Di tengah malam Serra harus berlari menyelamatkan diri dari kejaran pada hidung belang yang menginginkan tubuhnya. Serra terus berlari sambil sesekali menengok kebelakang, beberapa pria mengejar di belakangnya. Ini bukan pertama kalinya semenjak Ia memutuskan untuk bekerja di bar, dan mungkin sebagian orang di luar sana memandangnya sebagai gadis rendah dan murahan karena pekerjaannya.
Tapi demi Tuhan, bekerja selama 3 tahun di bar belum ada satu pun pria yang berhasil menjamah tubuhnya apalagi mendapatkan mahkota berharganya. Interaksi yang Serra dan para tamunya lakukan tak lebih dari pegangan tangan atau semacamnya.. Semua tamu-tamu itu di buat tak sadarkan diri oleh Mia dan Raina sebelum berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Dan pekerjaan selanjutnya di selesaikan oleh Raina dan Mia. Mereka melepas pakaian para hidung belang dan membuat berserakan di lantai seolah pergulatan itu benar-benar terjadi. Kadang Mia dan Raina meninggalkan bekas merah di tubuh pria itu seolah-olah mereka dan Serra telah benar-benar melakukannya. Ya, yang mereka lakukan hanya untuk melindungi kesucian Serra
Beruntung Serra memiliki sahabat seperti Raina dan Mia, mereka memang sudah hancur dan mereka tidak akan membiarkan Serra ikut jatuh di dalam lubang yang sama.
Serra bekerja di bar bukan tanpa alasan, Ia harus membiayai pengobatan Ibunya dan dia masih memiliki adik yang masih sekolah. Tuntutan hiduplah yang membuat Serra harus rela mengambil pekerjaan kotor itu.
" Hei berhenti kau, jalang."
Serra menengok kebelakang dan orang-orang itu masih berusaha mengejarnya. Dalam hatinya Ia berdoa seseorang akan datang dan menyelamatkan dirinya. Dengan sisa tenaga yang Ia miliki Serra masih berusaha untuk berlari. Namun sialnya kakinya tersandung dan Serra berakhir di aspal dengan keras. "Sial." Umpatnya menggumam.
"Hahahah." Keempat pria itu tertawa terbahak melihat mangsanya tak berdaya di hadapannya, salah satunya maju untung menghampiri Serra.
"Mau lari kemana lagi kau cantik, ikutlah dengan kami. Boss kami sangat mendambakanmu." Serra mendelik marah dan menatapnya tak bersahabat
"Sialan, jauhkan tangan kotormu itu dari tubuhku. Berengsek." Teriak Serra dengan suara meninggi.
" Dasar jalang."
Plakkk ..!!
Satu tamparan keras melayang bebas di pipi kiri Serra, menghantarkan rasa panas dan peri di sudut bibirnya yang robek dan mengeluarkan sedikit darah. Mata bening itu berkaca-kaca, mungkinkah ini akhirnya?
Mungkinkah apa yang selama ini Ia jaga akan berakhir malam ini, mungkinkah kesucian itu akan terenggut darinya? Mungkinkah ,, mungkinkah ,,mungkinkah? Serra menggeleng kuat, Ia tidak siap dan tidak akan pernah siap. Jika Ia harus kehilangan kesuciannya, tapi setidaknya bukan di tangan seorang hidung belang seperti mereka.
"Hn."
Gumaman itu mengalihkan fokus empat pria itu. Keempatnya menegakkan tubuhnya kemudian berbalik dan mendapati seorang pria muda yang sangat tampan dan cantik di waktu bersamaan. Atau yang lebih akrab di sebut androghini.
"Siapa kau?? Berani-beraninya kau mencampuri urusan kami."
Pria itu maju satu langkah, di liriknya sosok Serra yang duduk sambil memeluk tubuhnya. Ada liquid yang membasahi wajah cantiknya, meskipun hanya sekilas. Namun keterkejutan tampak jelas di sorot matanya yang dingin
"Aku hanya tidak suka melihat ada yang melakukan kekerasan pada wanita." Ucapnya dingin.
"Ohh mau jadi pahlawan rupanya. Cari mati kau, kita habisi pemuda sombong ini."
"Begitukah.??"
Duaaakkk..
Dua dari keempat preman itu terkapar setelah mendapatkan pukulan telak dari pria berwajah stoic di hadapannya. Di susul dengan dua preman lainnya, Pria itu membereskan keempat preman tersebut tak sampai 10 menit. Keempatnya sudah kalang kabut dan berlari entah kemana.
"Kau tidak apa-apa?" Suara dingin itu menyadarkan Serra dari ketakutannya. Sontak Ia mengangkat wajahnya dan terkejut mendapati sosok pria tampan yang Ia temui di bar beberapa jam yang lalu berdiri di hadapannya.
Dengan ragu Serra menerima uluran tangan pria itu dan membantunya berdiri. Serra mengangguk. "Ya." Jawabnya gugup. Devan mengulurkan mantel berwarna pastel pada Serra yang Ia punggut saat hendak menyelamatkan gadis itu.
"Ini milikmu." Serra menatap mantel itu lalu mengangguk
"Ya." Serra mengambil mantel itu kemudian memakainya.
Mata coklat dingin itu menatap Serra sedikir tajam. "Bagaimana kau bisa berurusan dengan mereka?" Serra kembali mendongak dan menatap wajah pria penolongnya.
"Aku hendak pulang tapi tiba-tiba gerombolan pria itu datang dan berusaha untuk melecehkanku." Jelasnya. Muncul perempatan siku-siku di dahi Devan, otaknya mencoba berfikir keras
'Bukankah dia murahan, lalu mengapa takut di lecehkan??' Pikirnya.
"Terimakasih, Tuan. Anda tidak terluka bukan." Akhirnya kata itu keluar dari mulut Serra.
"Di mana rumahmu." Alih-alih menjawab ucapan Serra, Devan justru berbalik bertanya. Serra menjawab lirih. Berfikir sejenak, menatap Serra dengan pandangan datar seperti biasanya. "Ikutlah denganku. Aku akan mengantarkanmu."
"Tidak usah, Tuan, aku akan pulang menggunakan taxi saja----"
"Dan membiarkan gerombolan preman mengganggumu lagi." Ucapnya telak. Serra membeku. "Ikutlah denganku, dan aku tidak menerima penolakan. Tenang saja, aku tidak mungkin memakanmu." Sambungnya. Serra tidak memiliki pilihan selain menuruti ajakan Devan.
"Eemm, baikah."
🌹🌹🌹
Setelah mengantar Serra pulang keapartemennya. Devan tiba di rumah mewahnya hampir setengah tiga. Seluruh tubuhnya terasa lelah, namun sebelum pergi kekamarnya untuk beristirahat. Devan menyempatkan diri dulu untuk pergi kekamar adik kembarnya yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya.
Di dalam ruangan yang tidak bisa di katakan sedang, terlihat dua orang pemuda yang tidur nyenyak di matras yang terpisah. Ya, mereka adalah Rio dan Rico. Dan mereka berdua adalah satu-satunya keluarga yang Devan miliki. Kedua orang tuanya meninggal 5 tahun yang lalu dalam kecelakaan tunggal.
Meskipun sudah dewasa, tapi Rio dan Rico tidak mau tidur di kamar yang terpisah. Mereka ingin melakukan apapun termasuk tidur dan mandi secara bersama-sama, mungkin karna ikatan mereka terlalu kental. Dan Devan tidak keberatan dengan keinginan kedua adiknya itu.
"Ohh, Hyung, kau baru pulang.??" Ucap Rio dengan suara seraknya. Rico merubah posisinya dengan mata setengah terbuka saat melihat Devan memasuki kamarnya.
"Apa aku membangunkan kalian?" Devan bertanya seraya mengusap kepala coklat kedua pemuda itu. Pemuda tampan itu menggeleng.
"Tidak sama sekali. Hyung, kau pasti lelah. Pergilah ke kamar dan lekaslah istirahat, aku sangat mengantuk." Devan terkekeh kemudian mengangguk
"Baiklah." Jawabnya dan pergi begitu saja.
Devan merebahkan tubuhnya yang terasa lelah di atas tempat tidur king size mikiknya. Namun matanya belum mau terpejam apalagi segera pergi kealam mimpi, ada sesuatu yang sangat menganggu fikirannya. Entah kenapa Ia menjadi begitu penasaran pada sosok Serra, gadis penghibur yang Ia temui beberapa jam yang lalu.
Tidak ada yang istimewa dengan pertemuan mereka, tidak ada percakapan berarti meskipun Devan telah menyelamatkannya dari para hidung belang yang mencoba menggoda dan berusaha melecehkannya. Devan juga sempat mengantarkannya pulang, namun sepanjang perjalanan tidak ada percakapan. Kebersamaan mereka di isi dengan keheningan.
Devan mendesah untuk yang kesekian kalinya, matanya masih enggan terpejam meskipun tubuhnya merasakan lelah yang luar biasa. Ia segera menepis semua fikiran konyolnya. Bagaimana pun caranya Ia harus segera tidur. Ia tidak ingin telat datang kekantor, apalagi besok Ia harus menghadiri rapat penting. Devan berusaha membuat dirinya rileks dan segera pergi menuju alam mimpi.
.
.
Bersambung.
Disiang hari. Serra hanyalah mahasiswi biasa, terlampau biasa malahan. Bukan berasal dari keluarga berada tapi juga bukan dari kalangan yang terlalu bawah. Ia memiliki tempat tinggal yang cukup layak yang Ia beli dari hasil jerih payahnya bekerja sebagai seorang wanita malam di salah satu bar terkenal.
Awalnya banyak yang merasa jijik dengan pekerjaan yang Serra tekuni, karena di mata mereka itu adalah pekerjaan paling rendahan yang memalukan. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang mulai menerimanya dan tidak lagi mempermasalahkannya.
Serra bercita-cita menjadi seorang Dokter, itulah kenapa Ia mengambil jurusan fakultas kedokteran. Bukan hanya satu specialis, Serra ingin menguasai semua bidang dalam kedokteran. Alasannya adalah agar Ia bisa menyembuhkan orang-orang yang memiliki penyakit gagal jantung seperti Ibunya.
Alasan lainnya adalah karena Ia ingin memberi orang-orang tak mampu di luar sana pelayanan kesehatan yang layak. Entah sebuah kebetulan atau memang takdir, kedua sahabat Serra juga ada di satu fakultas yang sama dengannya. Dan dari Uang yang Ia hasilkan, selain bisa membeli apartemen sederhana dan mengobati biaya pengobatan ibunya. Serra juga mampu membiayai kuliahnya serta sekolah adik laki-lakinya juga memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Serra tidak pernah mengeluh dengan takdir hidup yang Tuhan berikan. Jika saja ayahnya masih ada, mungkin hidupnya tidak akan seperti ini. Tapi Serra tidak pernah tau seperti apa rupa sang ayah, karena Ibunya mengatakan jika ayahnya telah lama meninggal.
Serra terlihat sangat serius saat mendengar penjelasan Dosen yang sedang berdiri di depan kelas. Semua tampak bosan termasuk kedua sahabatnya namun hal berbeda justru tidak berlaku untuk Serra. Ia mendengar dengan baik apa yang tengah di sampaikan oleh sang dosen dan sesekali Ia mencatat materi yang Ia anggap penting.
"Adakah yang bisa menjelaskan sedikit perincian mengenai botox?" Sang dosen berbicara lantang, menatap seluruh orang yang ada di ruangan itu. Namun tak ada satu pun orang yang mengangkat tangannya, dosen itu menghela nafas. Pandangannya jatuh pada Serra. "Serra, kau bisa menjelaskannya.?" Tanyanya ulang. Dengan mantap Serra mengangguk.
"Seperti yang selama ini banyak kita ketahui, botox banyak di gunakan sebagai alternatif kecantikan yang instan. Namun sayangnya, botox sendiri berasal dari racun hasil microba yang sudah Clostridium Botolium. Dan biasanya dapat kita jumpai pada makanan kaleng yang sudah rusak, pada prinsipnya. Botox dapat melumpuhkan sistem di dalam tubuh sehingga menghalangi kontraksi otot. Sekian penyampaian dari saya." Serra membungkuk kemudian kembali duduk.
Sementara dosen itu tersenyum lebar, puas dengan penjelasan Serra.
Dosen muda itu tersenyum lebar. "Penjelasan yang sempurna, Serra. Dan tolong berikan penjelasan untuk efek sampingnya." Perintah dosen muda itu dengan nadanya yang lembut. Seulas senyum tipis tersirat di bibir gadis bermarga Jung itu, segera Ia berdiri dan memberi penjelasan lagi.
"Reaksi yang dialami tubuh setelah penggunaan bodox adalah alergi, sakit kepala, infeksi saluran pernafasan. Juga terbentuknya antibodi hingga pengguna bisa kebal dengan pemakaian selanjutnya."
Semua terperangah mendengar penjelasan Serra. Tidak di sangka jika gadis yang selama ini di kenal sebagai wanita murahan ternyata memiliki kecerdasan di atas rata-rata bahkan IQ nya mencapai 200. Sayang tidak ada yang menyadari kejeniusan yang Ia miliki dan keberadaannya terkesan di abaikan, padahal dia adalah calon dotker hebat di masa depan.
.
.
.
"Serra itu tadi sangat luar biasa." Mia dan Raina langsung menyerbu gadis barbie itu sambil mengacungkan jempol padanya. Serra terkekeh, kedua sahabatnya ini memang selalu bersikap berlebihan padanya. Mengangkat bahunya dan mulai mengayunkan kedua kakinya, kanan dan kiri secara bergantian
"Ingin makan sesuatu?? Hari ini biar aku yang traktir." Tawar Serra pada kedua sahabatnya. Keduanya saling bertukar pandang, dengan kompak mereka menjawab.
"STEAK." Serra hanya bisa tertawa melihat kekompakan mereka berdua. Serra merangkul kedua gadis itu dan membawa keduanya meninggalkan area kampus.
Tidak sampai 15 menit, ketiga gadis itu tiba di cafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu saat pulang kuliah atau ketika libur bekerja. Mereka berjalan memasuki cafe itu di iringi canda tawa seperti biasanya. Dan Serra hanya terkikik geli saat mendengar perdebatan antara kedua sahabatnya, baru saja Ia memasuki cafe.
Namun langkahnya di hentikan oleh keberadaan seorang pemuda yang Ia temui di bar sekitar satu minggu yang lalu, tak sengaja pemuda itu menoleh dan membuat pandangan mereka bertemu, coklat dan hazel. Serra mengangguk singkat kemudian melangkah menuju meja favoritnya.
Tak lama setelahnya seorang pelayan datang dengan membawa tiga piring steak dan tiga jenis minuman yang berbeda. Mereka bertiga adalah pelanggan tetap di cafe itu, dan kebetulan cafe itu milik Chen dan Mino Jadi kedua pemuda itu sudah hafal betul apa makanan dan minuman favorite ketiga gadis berbeda karakter tersebut.
"Silahkan di nikmati nona-nona." Ucap Chen,
Mia menyapukan pandangannya kemudian tatapannya bergulir pada pengunjung yang berjarak dua meja dari tempat mereka berada."Serra, bukankah dia pemuda yang waktu itu. Aku lihat dari tadi terus memperhatikanmu." Serra mengikuti arah pandang Mia, lagi-lagi matanya bersiborok dengan pemuda itu.
"Ahh, mungkin hanya perasaanmu saja," Balas Serra menimpali.
"Ahh, aku rasa tidak, Ra. Jelas-jelas dia memperhatikanmu." Ucap Raina menyahuti
"Dia sangat tampan lohh." Timpal Mia. Serra hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan kedua sahabatnya
"Dia orang berada dan berasal dari keluarga terpandang, perbedaan yang sangat jauh. Dan aku tidak ingin memimpikan sesuatu yang tidak mungkin, dan lagi pula mana mungkin dia akan tertarik pada wanita murahan sepertiku." Tutur Serra seraya tersenyum kecut.
"Hei-hei,kalian ke sini untuk makan bukan?? Kenapa malah sedih-sedihan." Ucap Chen mencairkan suasana.
"Dan kalian makanlah sepuasnya, khusus hari ini Chen yang akan mentraktir kalian." Sahut suara dari arah belakang yang kemudian merangkul bahu Chen sambil mengedipkan sebelah matanya. " Bukannya begitu, Chen." Chen yang masih belum sadar dengan perkataan Mino mengangguk antusias
" Ya." Jawabnya, namun sedetik kemudian Chen memekik kaget dengan kedua mata membelalak sempurna. "APPPAAA.?
" HAHAHAHA." Dan tawa keempat orang itu pun pecah, sementara Chen terus menggerutu tidak jelas. Dan ini bukan pertama kalinya Ia di kerjai oleh keempat sahabatnya. Tak tau kenapa selalu Ia yang menjadi korbannya.
.
.
.
Setelah menyantap makan siangnya. Ketiga CEO muda itu memutuskan untuk tidak kembali kekantor dan berkumpul di Villa milik Devan bersama kawan-kawan lama mereka.
Duduk di ruang tamu dengan di temani sebotol Penfolds Grange Hermitage 1951, salah satu jenis wine termahal di dunia karna hanya ada 20 botol diseluruh dunia dan Devan mendapatkan saat Ia berkunjung ke Australia satu bulan yang lalu. Dan Devan harus mengeluarkan 38.420 USD atau sekitar 534 juta, sungguh harga yang sangat fantastis untuk satu botol wine.
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan wanita itu?" Hwan tiba-tiba sudah ada di samping Aron, tangan kanannya merangkul bahu pemuda yang mendapatkan julukan, tuan tiang karena tinggi tubuhnya yang menjulang.
Tangan kirinya menelan-nekan pipi Aron kemudian Ia lakukan hal yang sama pada sudut bibirnya. "Berapa banyak pukulan yang harus kau terima dari dua bocah itu demi cintamu.??
Semua orang minus Devan tertawa atas pertanyaan konyol Hwan. Merasa terganggu, Arom segera menepis tangan Hwan yang masih menekan-nekan luka memar di pipi dan sudut bibirnya.
"Kau tidak perlu tau, Hwan!! Yang jelas aku mulai muak dengan wanita itu."
"Sudah putuskan saja, lagi pula masih banyak wanita di dunia ini yang lebih cantik dan sexy dari dia." Timpal Mark.
"Hei, Panda, kenapa akhir-akhir ini lingkaran matamu semakin parah saja? Apa kau tidak tidur selama satu abad.?" Tanya Hwan pada Tao, bosan bermain-main dengan Aron, kini Hwan beralih pada Tao.
"Beberapa hari yang lalu aku bertemu seorang gadis di club malam, dia sangat cantik tapi galaknya gak ketulungan. Dan sialnya, aku malah tidak bisa melupakannya." Jawab Zitao sebelum meneguk kembali winenya.
"Hiaaaa itu artinya hanya aku dan Devan saja yang belum punya pacar! Astaga apa itu artinya kami akan menjadi BU-DI?" Seru Hwan histeris.
"Jangan samakan aku denganmu, aku menolaknya. Saranku, sebaiknya kau cari wanita sebelum menjadi perjaka tua." Komentar Devan yang kemudian mengundang gelak tawa diantara teman-temannya.
Niat awalnya mengerjai malah Ia balik di kerjai, mungkin saja hari ini adalah hari tersial untuk Hwan. Semua seolah kompak untuk mempermalukan dirinya. Dan disaat seperti ini, Hwan menjadi sangat merindukan Leo Jika saja dia ada, pasti Ia akan memiliki pahlawan yang segenap hati mau membelanya. Tapi sayangnya saat ini dia sedang berada di luar negeri.
Dan tidak ada pilihan untuknya selain menerima semua hal buruk yang menimpa dirinya.
"Sialan kalian semua." Gerutu Hwan ambil mencerutkan bibirnya. Dan lagi-lagi gelak tawa terdengar memenuh ruang tamu vila milik Devan. Masih sama, Hwan-lah yang lagi-lagi menjadi korbannya.
.
.
Membiarkan teman-temannya tetap bersenang-senang di vila miliknya. Devan melajukan mobil mewahnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota Seoul yang padat dengan kendaraan. Sedikit terjadi kemacetan. Matanya fokus pada jalanan yang Ia lalui, namun tidak dengan fikirannya.
Sejak malam itu, Devan tidak bisa mengenyahkan bayangan gadis itu dari kepalanya. Bukan karna Devan tertarik padanya, melainkan hanya rasa penasaran padanya. Dan karna tidak berkonsentrasi Devan tidak melihat ada yang menyebrang jalan dan...
Ckiiittttt ... !!
Dengan segera Devan menginjak rem dan membanting setir berusaha untuk menghindari orang itu. Untung jalanan cukup legang setelah sempat terjadi sedikit kemacetan. Beruntung mobil yang Devan kendarai memiliki manuver hebat sehingga orang yang hampir Ia tabrak bisa selamat.
Devan memarkirkan mobilnya di tepi jalan dan segera menghampiri gadis itu yang masih tampak syock. "Nona, apa kau tidak apa-apa? Apa kau terluka.?" Tanya Devan memastikan.
Kedua tangan gadis itu saling meremas, keringat dingin membasahi kedua tangannya. Nafasnya menderu tak beraturan, hampir saja Ia kehilangan nyawanya jika saja Devan tidak bisa mengendalikan mobilnya sendiri. Dan setelah dirasa cukup tenang, Serra mengarahkan pandangannya pada orang yang berdiri di sampingnya.
"Aku-----?!!" Gadis itu tertegun dan kehilangan kata-katanya setelah melihat wajah orang yang membuatnya hampir kehilangan nyawa.
Hal serupa juga di tunjukkan oleh Devan, ada rasa bersalah menyeruak memenuhi perasaannya saat melihat wajah pucat Serra. Serra menarik sudut bibirnya dan tersenyum ramah. "Maaf, saya harus pergi." Membungkuk singkat dan melenggang pergi sebelum sebuah tangan menghentikan langkahnya.
"Siapa kau sebenarnya?"
Serra mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan aneh Devan, gadis itu membalikkan tubuhnya. Posisinya dan Devan saat ini saling berhadapan.
"Apa maksud Anda, Tuan?" Katanya bingung.
"Kenapa kau begitu penuh dengan misteri? Dan mantra apa yang telah kau terapkan padaku sampai-sampai aku tidak bisa berhenti memikirkanmu setelah pertemuan pertama kita di club malam itu."
Serra tertegun mendengar rentetan kalimat yang keluar dari bibir Devan. Dan detik berikutnya senyum manis tersungging di sudut bibirnya. "Intinya kau merasa penasaran akan diriku-? Apakah aku wanita baik-baik atau justru wanita murahan seperti yang selama ini kau fikirkan?" Tepat sasaran, kata-kata Serra seolah menohok perasaannya.
Devan masih menatap gadis itu dengan tatapan dingin tanpa ekspresi "Aku akan membayarmu sepuluh kali lipat dari bayaran yang kau dapatkan saat kau melayani para tamumu di bar. Bisakah kau memuaskan aku malam ini." Nada dingin dan datar, namun sorot matanya memancarkan ketegasan. Serra menarik sudut bibirnya kemudian mengangguk.
"Baiklah."
.
.
.
BERSAMBUNG.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!