Enam tahun berpacaran bukanlah waktu yang singkat untuk dilalui dari hari ke hari, hingga sampai bertahun-tahun pasti telah melewati sekian ratus atau bahkan ribu ujian yang mendatangi satu pasangan. Kenal sejak Sekolah Menengah, hingga akhirnya sama-sama menjadi selebriti tanah air yang populer lewat seni peran yang menjadikan keduanya digadang-gadang sebagai pasangan paling romantis.
Pernikahan mereka sangat dinanti-nanti oleh publik, bahkan penggemar menyiapkan kado dan ucapan selamat yang luar biasa tulus dan megah. Pernikahan itu akan digelar seminggu lagi, undangan sudah tersebar luas pada kerabat, rekan kerja serta keluarga. Infotainment pun selalu menyiarkan pasangan ini di televisi, media massa baik cetak maupun online tidak bosan-bosannya mengulik pasangan kekasih ini, dan memprediksi bagaimana kelak prosesi pernikahan.
"Calon pengantin mah Neng, harus dipingit dulu, jangan ke mana-mana. Sabar dulu atuh ketemunya. Tahu nggak pamali?" Peringat nenek pada si gadis yang sedang bersiap untuk menemui calon suaminya.
Rumah mereka sama-sama di Bandung, jadi wajar saja kalau sehari tidak bertemu tentu akan menghasilkan banyak rindu. Juga, tentunya karena jarak dekat, untuk apa menahan diri hanya untuk kata 'pamali'.
Lagian siapa sih, yang percaya mitos? Pamali? Ah, itu mah jaman dulu.
"Nek, 'kan nikahannya juga seminggu lagi. Tenang saja Nenek. Lagian 'kan rumah kita dekat banget, cuma dua blok bedanya. Hehe ... Nenek nggak perlu khawatir, ya."
"Eh si Neng, dikasih tahu teh ngeyel," kata si nenek sembari menyingkir dari ruang tengah tempatnya dan sang cucu mengobrol.
Si calon pengantin perempuan terus bicara lewat telepon bersama dengan orang-orang katering dan hotel. H-7 pernikahan ternyata sangat menyita waktu dan tenaga, kalau tidak diurus bisa gagal pernikahan impian yang ia idam-idamkan sejak kecil itu.
Ia akan jadi ratu sehari, ia akan pamer pada semua temannya, media, dan tentunya akun gosip lambe turah akan dibuat menganga dengan pernikahan impian si calon pengantin. Selama ini hubungannya dengan sang kekasih tidak pernah diterpa gosip tak sedap, karena setiap ada masalah ia pasti bisa menyelesaikannya tanpa tercium media. Menikah di tengah popularitas yang sedang di puncak membuat Indonesia hari patah hati nasional bagi kaum Adam.
Gadis itu menghentikan mobil dengan terburu-buru saat melihat dua mobil minibus terparkir di depan gerbang rumah calon suaminya. Beberapa kali gadis itu mengerutkan dahi dan memfokuskan penglihatan untuk dapat melihat dengan jelas.
"Siapa sih? Tukang katering datangnya ke sini gitu?" gumam si gadis dengan perasaan bingung dan bertanya-tanya saat melihat dua mobil minibus berwarna hitam.
Gadis itu terpaksa turun dari mobil dan berjalan 10 meter untuk menghampiri rumah kekasihnya, yang lima belas menit lalu mengabari kalau dia baru saja bangun tidur siang.
***
Lautan lepas nan biru menjadi pemandangan satu-satunya bagi si pemilik mata onyx yang lembut ini. Siapa sangka, di balik wajahnya yang bak anggota boyband Korea, pria ini justru mengenakan pakaian tentara Republik Indonesia yang terlihat gagah dan berani. Persenjataan lengkap sehabis latihan masih erat menempel pada tubuhnya, baret pun masih terpasang di kepalanya, tetapi dia benar-benar terlihat hampa, wajahnya yang amat lembut bisa berubah tegas bila dihadapkan pada tugas negara yang diembannya. Pria itu terlihat, patah hati.
Setahun lalu ia gagal menikah dengan seorang dokter militer, teman kerjanya selama menjadi relawan peperangan di jalur Gaza. Gadis itu memilih fokus bekerja dan keliling dunia dibandingkan hidup menjadi istri seorang jenderal. Memang pilihan pria yang berprofesi sebagai tentara ini tidak pernah salah. Dia menyukai gadis yang pandai, kompeten, dan tentunya berjiwa patriotis tinggi. Gadis itu sangat membekas di hati sang Jenderal. Setahun lamanya, Jenderal tidak pernah bisa melupakan betapa pedihnya kegagalan sebuah rencana pernikahan, hingga saat ini dia merasa hidupnya sama sekali tidak berarti dan gagal.
"Lapor, Komandan! Pelatihan dan tugas dasar telah kami selesaikan. Laporan selesai."
Pria itu menoleh, kharismanya kembali sebagai seorang pemimpin satuan tentara Republik Indonesia yang bertugas di Flores.
"Laporan diterima. Kita kembali ke rumah dinas," katanya dengan suara berat namun masih terdengar tegas dan tentunya segera dipatuhi oleh Sersan Mayor yang menerima perintah. "Siap, laksanakan!"
***
Hancur sudah semua harapan dan mimpi besar gadis itu ketika melihat si calon suami diborgol dan dikawal oleh lima orang pria berpakaian serba hitam. Sementara banyak orang lain yang disibukkan oleh tugasnya masing-masing, yang membuat si gadis makin bingung. Wajah gadis itu benar-benar kaku dan pucat pasi ketika gerombolan polisi membawa calon suaminya pergi.
Sang calon suami menatap dengan penuh rasa bersalah, kedua mata sipitnya benarbenar merah dan bengkak. Dapat dipastikan dia pasti menangis dengan kejadian tak terduga ini.
"Ada apa ini, Pak?" tanya si gadis dengan suara agak goyah dan gemetar.
Seorang ibu tiba-tiba muncul, wanita paruh baya itu adalah calon mertuanya yang tak kalah kacau dengan si calon suami.
"Mamah ... ini kenapa? Ini prank, ya? Mah, kenapa ini ... ada apa?" tanya si gadis dengan histeris sambil mengguncang bahu calon mertuanya.
Ibu itu malah menangis dan menjerit-jerit, wajahnya merah padam dan tangisan semakin menjadi. Gadis itu memeluk berusaha menenangkan. Namun, tidak berhasil, si gadis pun ikut menangis.
"Saudara Vidi untuk sementara akan kami bawa ke kantor polisi, untuk ditindak lebih lanjut atas kepemilikan ganja dan sabu-sabu. Ini surat penangkapan resmi dari pihak kepolisian kota Bandung."
Tangan gadis itu bergetar saat menerima selembar kertas putih berisikan pernyataan penangkapan yang sudah dicap resmi oleh pihak kepolisian dan BNN."
BLAMM!!
Gadis itu merasakan dunia gelap dan berputar, tangannya terkulai lemah begitu saja, sama dengan tubuhnya yang kini jatuh di atas tanah.
BERSAMBUNG ....
Hai, aku mau kasih info dulu sebelum dihujat. Ini novel emang udah terbit di sini, tapi nggak sampai tamat karena akunku yang lama nggak bisa masuk, jadi mau up ulang aja.
"Ada kabar, katanya Dokter Nellie dipindah tugaskan kembali ke Indonesia," ujar salah satu lelaki yang tengah menikmati makan malam di sebuah rumah dinas. Suara lelaki itu pelan, tetapi karena suasana pedesaan yang sepi tanpa adanya hiruk pikuk kendaraan bermotor membuat suaranya terdengar amat jelas.
Lelaki bermata onyx yang duduk di teras sambil menikmati segelas teh menoleh ke dalam, membuat para anggota satuan yang dipimpinnya beradu pandang tak enak.
Nama Nellie begitu haram diucapkan di tanah gersang ini, tepatnya jika terdengar oleh si pemilik telinga lebar yang sekarang pura-pura berusaha tidak peduli.
"Yang benar?" tanya salah satu lelaki lain dengan penasaran, dengan suara bisikan.
Si pengaju topik mengangguk. "Hm ... setelah beres jadi relawan di Palestina, dia balik lagi ke Indonesia. Namun, nggak tahu tugasnya di mana. Hebat betul ya Dokter Nellie."
"Shh ... wanita yang tidak boleh disebut namanya. Jangan sembarang!" peringat anggota lain dengan waswas.
Pria bermata onyx yang menikmati teh tersenyum kecut. "Kalian kalau mau bicara tentang Dokter Nellie, bicara saja ... saya enggak keberatan, kok."
Pria itu kemudian melenggang masuk ke dalam rumah dinas dan menatap anggota satuannya satu persatu dengan pandangan yang tidak dapat ditebak. Semua anggotanya menegakkan tubuhnya seolah siap menerima perintah.
"Siap, Komandan!" jawab mereka serentak.
Pria yang mengenakan setelan tidur berlambang Tentara Republik Indonesia itu tertawa kecil. "Saya mau tidur. Lusa, saya akan ambil cuti untuk bertemu dengan nenek saya. Sepertinya cuti akan cukup lama. Kalian sudah tahu, 'kan?"
"Siap, Komandan!" jawab Sersan Mayor dengan tegas, karena ketika Jenderal pergi maka tugas Jenderal akan dilimpahkan sementara pada Sersan Mayor yang berada 1 tingkat di bawahnya.
"Hm, bagus."
Pria itu masuk ke kamarnya, merebahkan diri di atas tempat tidur dengan posisi tidur resmi. Kaki lurus, selimut rapi menutupi sampai kebagian dada. Lalu, pria itu mengeluarkan sesuatu dari laci meja dengan tangan panjangnya yang sudah terampil.
Sebuah dompet kulit berwarna cokelat gelap, lelaki itu kembali duduk sambil menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Diambilnya sebuah foto di dalam dompet.
Foto seorang wanita cantik dengan seragam dokter, bertubuh mungil dan senyum ceria yang ditampilkannya membuat sang pria tersenyum pedih. Ternyata ada yang lebih menyakitkan dari sekedar tembakan senapan angin, yaitu senyum cantik wanita yang meninggalkannya ketika cinta sedang tumbuh begitu besar. "Nellie ... saya harap. Saya bisa melupakan kamu."
***
Hans Bintang Dawud, atau dengan nama panggung Vidi merupakan seorang musisi sekaligus vokalis dan gitaris sebuah band papan atas Indonesia. Wajahnya yang tampan karena blasteran Sunda dan Jepang membuat Vidi menerima banyak cinta atas bakat dan rupanya. Tak sedikit lagu dan pertunjukan musik yang sudah diciptakan seorang laki-laki yang genap berusia 28 tahun ini, masuk sebagai jajaran musisi muda dengan segudang prestasi luar biasa hebat. Di samping karirnya sebagai musisi dan penyanyi, Vidi pun sempat membintangi beberapa sinetron pendek yang mengisi layar kaca, di sana pulalah ia mengenal calon istrinya.
Namun, kini nama Vidi sangat terpuruk. Skandal narkoba atas kepemilikan ganja dan sabu-sabu yang tersimpan di kediamannya, Vidi diadili publik, banyak yang menghujat namun tak sedikit pula yang mendukung bagaimana kelak kehidupan sang musisi. Vidi menghilang selama seminggu ini, tetapi namanya selalu disebut-sebut di setiap portal online, begitu banyak spekulasi mengenai skandal yang menimpanya. Tentu, topik panas yang menjadi buah bibir semua kalangan tentang nasib pernikahannya bersama aktris dan penyanyi, Nadia Adriana.
Satu-satunya manusia yang paling terpuruk adalah Nadia, gadis berusia 28 tahun itu tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan sehancur ini. Dunia terbalik dalam sedetik, semuanya karena Vidi dan barang haram yang dimiliki pria itu.
Nadia terus mengutuk dunia, mengutuk Vidi, dan mengutuk rasa cintanya untuk pria
itu.
Sang ayah yang selama ini membujuk Nadia sama sekali tidak mempan barang satu kalimat pun. Nadia mengurungi diri di dalam kamarnya, dia tidak makan dan juga tidak minum, yang dilakukannya hanya menangis. Wartawan di pekarangan rumah sudah menjejali selama sepekan, meminta atau bahkan mencuri satu foto agar dapat dipublikasikan pada media.
Janur kuning yang sudah siap untuk dipasang di pekarangan rumah seolah mengejek keluarga besar Nadia. Penghinaan terbesar Vidi pada pernikahan mereka membuat keluarga Nadia murka pada lelaki itu.
Lewat dari tengah malam, Nadia bersama manajernya berkunjung ke BNN, di mana Vidi menjadi tahanan sementara sebelum lelaki itu disidang resmi. Waktu siang hari atau sore hari sangat tidak mungkin jika Nadia melakukan ini, wartawan pasti membuntutinya dan menghalangi langkahnya. Gadis itu memberanikan diri datang ke BNN dan menemui Vidi. Sebenarnya, semua ini Nadia lakukan sembunyi-sembunyi dari keluarganya, terutama sang ayah dan nenek yang amat menghakimi Vidi yang sudah mencoreng dengan buruk nama baik keluarga Nadia.
Vidi menunduk ketika di hadapannya Nadia berusaha untuk mengintimidasi calon suaminya. Pandangan mereka tidak kunjung bertemu meski 10 menit sudah berlalu sia-sia. Untuk masuk ke tempat ini, Nadia malah harus membayar suap sekian juta rupiah, namun rasanya sia-sia, karena tidak ada satu kata pun yang terucap.
"Nad ...."
Akhirnya, Vidi berani bicara lebih dahulu.
"Aku minta maaf ... sebesar-besarnya."
"Dari aku untuk seluruh keluarga besar kamu, terlebih untuk kamu, Nad."
Nadia mengepalkan tangannya yang lemah karena gadis itu sama sekali belum makan. Kacamata hitam yang menutupi sepasang matanya yang sembab, rasanya cukup membantu untuk membuatnya tak terlihat menangis.
"Aku salah ... belakangan ini aku stres. Aku pakai barang itu, karena aku ...." Vidi tak sanggup melanjutkan kalimatnya, ada banyak penyesalan yang dapat terbaca hanya dari sekilas pandangan mata.
"Aku nggak pantas untuk kamu ... harusnya, kamu nggak pernah kenal aku."
Nadia mendongak dan menatap Vidi susah payah dengan linangan air mata di pelupuknya. Sebenci apa pun Nadia pada Vidi sekarang, nyatanya ada begitu banyak cinta dan kenangan yang tidak mungkin dapat dilupakan dalam 1 atau 2 tahun.
Vidi meraih tangan Nadia yang terkepal. Tangan Vidi gemetar karena lelaki itu menangis, menyesal, frustrasi, dan tentu menderita.
"Vid ... kenapa kamu tega? Hiks ... sekarang, semuanya ... nggak mungkin!"
***
Sebenarnya Bab 1-3 itu satu bab, tapi karena aku mau buat sub judul, jadi dipisah.
Sejuk, Bandung tempatnya tinggal memang memiliki suasana segar pegunungan yang hijau dan asri. Jauh sekali dengan suasana pesisir pantai seperti Flores, kalau di Bandung kamu bisa tidur nyenyak tanpa kipas angin atau AC.
Sang nenek yang bawel menyambut cucunya yang baru saja mengambil cuti dari tugas negara, sore itu langsung berhambur ke sang cucu laki-laki satu-satunya itu, sembari membawa satu tumpuk album foto. Neneknya yang cantik karena blasteran Belanda dan Indonesia, tetapi banyak bicara dan sangat up to date mengenai banyak hal. Entah datang dari mana si nenek itu sampai bawa album foto sebanyak itu ke kamar cucunya.
"Hei, anak ganteng!" sapa nenek sambil nyelonong masuk segera setelah membuka pintu.
Cucunya yang tenang sedang membaca buku dan menoleh sambil tersenyum. "Nek ... tadi saya ke rumah, katanya nenek sedang pergi."
"Ck, kenapa ngomongnya formal banget sih, Omongan kamu kayak kakekmu saja," sindir nenek pada cucunya.
Si cucu tertawa kecil, lalu menutup buku bacaannya dan beralih pada neneknya yang menyerahkan satu tumpuk album foto.
"Nih coba dilihat-lihat," ucap si nenek tanpa basa-basi.
"Apa ini, Nek?"
"Hehe ... album foto, siapa tahu kamu suka."
"Saya tahu Nek, ini album foto. Tapi isinya foto apa?"
"Ck ... cewek cantik. Pretty lady." Beritahu si nenek sambil membuka halaman utama album foto.
Si cucu mengerutkan dahinya. "Enggak Nek, saya tidak tertarik," katanya sambil menggeser album foto.
Nenek cemberut, dan membuat cucunya itu diam tanpa membujuk.
"Umur kamu udah 32 tahun. Pangkat kamu jenderal. Di usia dan pekerjaan yang bagus ini, apa yang membuat kamu tertarik. Nenek pengen punya cicit dari Jenderal."
Lelaki itu tertawa kecil lagi. "Nenek ... saya ingin fokus bekerja. Lagi, kalaupun saya menikah dan memberikan nenek cicit. Saya pasti bawa istri saya ke rumah dinas, dan tidak akan tinggal di Bandung."
Nenek semakin cemberut, wajahnya kesal campur sedih karena jawaban enteng dari cucunya.
"Kamu lihat dong, sekali saja ... artis cantik, ia penyanyi, pemain sinetron yang sering nenek liat di TV."
Cucunya tetap menggeleng. "Wah apalagi kalau artis, Nek. Pasti susah diatur. Kehidupannya jauh berbeda dari militer seperti saya."
Neneknya lalu pergi dengan raut marah, tanpa bicara pada cucunya yang berusaha untuk memanggil.
"Terserah kamu deh, awas nyesel," kata nenek di ambang pintu.
Chandra Loey Abdinegara, lelaki berusia 32 tahun itu adalah seorang TNI AD yang sudah berpangkat Jenderal. Nasionalisnya yang tinggi terlahir turun temurun karena sang kakek merupakan veteran zaman perang dahulu, sementara neneknya yang mewariskan mata bulat dengan lensa cokelat serta nama Belanda 'Loey' yang terselip di antara nama gagahnya.
Wajahnya perpaduan unik antara pria Sunda dan Belanda, ibunya sendiri memiliki garis keturunan Jepang sehingga membuat Chandra memesona dengan wajah bak anggota boyband Korea.
Karena gagal menikah, Chandra sepertinya trauma dengan hubungan permanen itu. Sampai saat ini dia masih berusaha untuk menunggu Dokter Nellie, yang kabarnya akan kembali melakukan tugas di wilayah Indonesia.
Lagu milik Nadia Adriana yang bertajuk 'mantan terindah' tak pernah lepas dari daftar putar milik Chandra, ponsel kunonya memutar lagu tersebut tanpa tahu jika si pemilik suara justru akan diperkenalkan oleh sang nenek.
"Suaranya bagus sekali ... saya penasaran, orangnya seperti apa," gumam Chandra pada adiknya yang kebetulan sedang duduk di sampingnya yang sama-sama mendengarkan lagu.
Joy melebarkan kedua matanya pada sang kakak dengan gereget. "Ish. Kakak emang nggak pernah buka internet?!"
Kakaknya menggeleng polos. "Di Flores jaringan internet tidak ada. Akses telepon juga hanya ada di dataran tinggi, dekat dengan kantor Bupati setempat."
Joy menepuk keningnya. "Ish, kesel."
"Memangnya kenapa?"
"Yang nyanyi barusan itu, gagal nikah Kak. Calon suaminya malah ketangkap sebagai pemakai narkoba. Sedih banget, lagi viral. Seminggu ini semua berita tentang dia Kak. Aku ngefans banget sama dia, tapi sekarang dia nggak pernah muncul lagi karena pernikahannya gagal total."
"Oh ... kasihan, ya."
Joy mendelik, kesal juga karena kakaknya sepolos kain sutera yang baru disulam.
Enggak tahu tentang dunia hiburan, selain menjaga batas negara, dan peperangan dunia.
"Kalau begitu, lagu ini cocok buat penyanyinya."
Joy menganggukkan kepalanya. "Nih fotonya ... cantik banget, 'kan? Ia seumuran sama aku Kak." Joy menunjukkan foto si penyanyi pada Chandra, membuat Chandra dengan lamat-lamat memperhatikan foto gadis dalam layar ponsel Joy.
"Oh, cantik, suaranya juga bagus. Badan kecil. Kalau kamu tinggi besar."
"Ih, jahat!!" Joy menyenggol lengan berotot kakaknya dengan keras, membuat kakaknya tertawa kecil.
***
Nah, aku mau memberi info lagi sebelum dihujat.
Umur Chandra masih 32 tahun, apakah pantas menjadi Jenderal? Oh, jelas!
"Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) diberikan kepada Prajurit TNI dalam melaksanakan tugas secara langsung baik tugas tempur maupun tugas non tempur dengan pertaruhan jiwa dan raga," kata Achmad.
Nah kata-kata di atas itu aku ambil di google. Jadi intinya, kenaikan pangkat TNI itu, tidak hanya dilihat dari umur, tapi dedikasi mereka dalam bekerja. (Nanti aku bahas tentang Chandra yang betapa gigihnya bertugas sebelum jadi Jenderal.
Oiya, setelah aku search juga, ada anak yang berumur 13+ tahun sudah kuliah. Karena apa? Karena IQ-nya tinggi! (Kalau artikel ini bukan hoax).
See you
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!