Di tepi jalan terlihat seorang wanita yang sedang berjalan dengan tertatih, sesekali dia mengelus perut buncitnya dengan tangan kirinya. Sedangkan di tangan kanannya, dia membawa tas besar berisikan perlengkapan calon buah hatinya.
Terkadang dia melihat ke kanan dan ke kiri, berharap ada mobil yang mau mengajak dirinya untuk pergi jauh dari tempat itu.
Sesekali dia terisak dan tampak mengusap pipinya yang berderai air mata, sudah satu jam dia berjalan tapi tidak juga mendapatkan tumpangan.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil bak terbuka melintas di depan wanita itu. Dia pun memberhentikan mobil tersebut, dia berharap akan mendapatkan tumpangan.
Sang supir pun dan seorang kernet pun memberhentikan mobilnya, mereka membuka pintu mobil dan menghampiri wanita tersebut.
"Ada apa, Nyonya? Kenapa malam-malam begini anda masih berada di jalan? Bukankah tidak baik seorang wanita yang sedang hamil besar berkeliaran di malam hari?"
Sang supir membrondong wanita itu dengan banyak pertanyaan, rasanya sangat aneh ada seorang wanita hamil masih berada di jalanan seperti itu.
"Maaf, Tuan. Boleh'kah saya ikut menumpang?" tanya perempuan itu.
Sopir dan kernet itu nampak saling pandang, mereka baru saja bertemu dengan wanita itu. Namun, mereka merasa tidak tega jika harus membiarkan wanita itu sendirian di jalanan.
Apalagi perut wanita itu dalam keadaan hamil besar, rasanya mereka begitu tidak tega melihat akan hal itu.
"Kami ini hanya orang kampung yang akan pulang, kami baru selesai mengantarkan sayuran ke pasar induk. Memangnya Nyonya mau pergi ke mana? Kenapa harus menumpang pada mobil kami?" tanya sang sopir.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, wanita hamil itu nampak kebingungan. Dia seakan menyimpan satu rahasia yang tidak ingin dia ungkapkan.
"Aku tidak tahu harus pergi ke mana, tolong bawalah aku ke kampung kalian. Aku akan membayar ongkosnya," pinta perempuan itu.
"Lalu, jika anda sudah sampai di kampung kami, Nyonya mau kemana?" tanya sang sopir dengan khawatir.
Dia sudah tidak peduli akan pergi ke mana, dia sudah tidak peduli akan tinggal di mana. Yang terpenting baginya, dia bisa segera pergi dari sana.
"Kalian bisa turunkan aku di tempat yang ramai, aku akan mencari tempat tinggal di kampung kalian," jawab wanita itu.
Sang sopir terlihat menghela napas berat, dia seakan enggan untuk memberikan tumpangan kepada wanita itu.
Namun, dia juga merasa tidak tega jika harus meninggalkan wanita itu sendirian di tepi jalan. Dia merasa kasihan.
"Baiklah, Nyonya. Tapi, Nyonya hanya bisa duduk di belakang. Jika anda duduk di depan tidak akan muat, apa Nyonya tidak keberatan?" tanya sang sopir.
Wanita itu dengan cepat menganggukkan kepalanya, tidak mengapa jika dia harus duduk di bak terbuka. Yang terpenting dia bisa mendapatkan tumpangan.
"Tidak apa, Tuan. Justru saya sangat berterimakasih," ucapnya dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Sang sopir menepuk pundak kernetnya, lalu dia pun berkata.
"Jhoy! Bantu Nyonya itu naik ke atas mobil," titah sang sopir.
"Baik, Pak," jawabnya.
Jhoy pun memapah dan membantu wanita itu untuk naik ke atas mobil, setelahnya wanita itu nampak duduk sambil memeluk perut buncitnya.
"Terima kasih Jhoy," ucap perempuan itu.
"Sama sama, Nyonya ----"
"Laila, panggil aku Laila," ucapnya.
"Baiklah, Nyonya Laila." Jhoy melepas jaketnya karena merasa tidak tega saat melihat wajah Laila yang mulai memucat.
Lalu, dia memberikan jaket itu kepada Laila. Tentu saja Laila menerima jaket itu dengan senang hati. Karena merasa mendapatkan perhatian dari Jhoy.
"Perjalanan ke kampung masih sekitar enam jam, pakailah jaketku agar anda tidak kedinginan. Kalau di dalam tasmu itu ada kain, pakailah untuk menutupi perutmu itu," ucap Jhoy seraya berlalu.
Laila tersenyum, dalam hatinya sungguh dia berterima kasih. Kini dia akan pergi ke tempat yang jauh untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan memulai kehidupannya yang baru. Hanya ada dia dan bayi yang ada di dalam kandungannya.
Mobil pun mulai berjalan, suasana malam yang dingin menjadi sangat dingin dengan adanya hembusan angin yang menerpa. Laila pun memakai jaket dari Jhoy, dia membuka tasnya dan mengambil selimut bayi yang sudah dia persiapkan untuk calon baby boy-nya.
Ya, menurut dokter bayi itu berjenis kelamin laki laki dan akan lahir sekitar satu minggu lagi. Laila nampak meringkuk dan menyandarkan kepalanya di atas tas besar tersebut, walaupun udaranya sangat dingin, tapi akhirnya dia pun bisa tertidur dengan lelap.
***
Laila merasa jika dirinya baru saja memejamkan matanya, tapi sang sopir sudah membangun dirinya.
"Nyonya, bangunlah. Maaf saya menurunkan anda di pasar, karna saya tidak mungkin membawa anda pulang ke rumah saya. Istri saya pasti akan langsung meminta saya untuk menceraikannya kalau saya pulang membawa anda bersama saya, maaf." Sopir itu berbicara dengan penuh sesal.
"Tidak apa-apa, Tuan. Justru saya sangat berterimakasih kepada anda, karena anda sudah memberikan tumpangan," ucap Laila.
Laila pun turun dari mobil di bantu oleh Jhoy, Laila nampak merogoh tas yang dia bawa dan mengambil beberapa lembar uang.
"Ini, Pak. Saya ada uang sebagai ongkos karena Bapak sudah baik membawa saya ke sini," ucap Laila.
"Tidak usah, buat anda saja, Nyonya. Anda pasti membutuhkannya untuk biaya melahirkan nanti, saya permisi," ucap Pak sopir.
"Terima kasih, Pak. Anda sangat baik," ucap Laila.
Pak sopir pun pergi untuk pulang ke rumahnya, sedangkan Laila yang baru saja datang ke tempat itu nampak celingukan.
Dia memang berasal dari keluarga sederhana, tapi dia baru tahu jika kehidupan di kampung itu terlihat lebih memprihatinkan. Bisa dikatakan di sana itu masih dalam lingkup orang-orang miskin.
Laila merasa jika dirinya memang harus mulai beradaptasi dengan lingkungan tersebut, karna inilah jalan yang dia ambil. Dia sudah memutuskan untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan mengubur semuanya.
Cukup lama Laila berjalan menyusuri kampung tersebut, tidak lama kemudian dia melihat Masjid besar tidak jauh dari pasar.
Laila pun langsung pergi ke mesjid tersebut, dia langsung menuju toilet mesjid dan menumpang membersihkan diri.
Setelah selesai, Laila pun langsung masuk ke dalam mesjid. Dia melihat jam yang bertengger cantik di dinding Masjid, Laila tersenyum.
"Pukul empat pagi, sebentar lagi waktu subuh. Aku akan mengaji sebentar sambil menunggu waktu subuh tiba," ucapnya saraya memakai mukena yang ada di Masjid tersebut.
Laila mengaji dengan suara sir, dia takut suaranya akan mengganggu. Tidak lama para jemaah pun mulai berdatangan, karena memang waktu subuh telah tiba.
Banyak orang yang memandang ke arah Laila, karna mungkin mereka tidak mengenal sosok wanita itu. Mereka seperti memandang remeh ke arah Laila, tapi dia merasa tidak perduli.
Baginya yang terpenting untuknya saat ini adalah segera shalat dan pergi mencari tempat tinggal yang baru, dia tidak ingin memikirkan apa pun lagi.
Selesai shalat, Laila langsung bergegas untuk pergi. Tentu saja yang pertama kali Laila lakukan adalah mencari tempat makan, karena perutnya terasa lapar.
Beruntung di pasar tradisional itu terdapat banyak jajanan, baik berupa kue atau pun nasi bungkus.
Laila pun membeli satu bungkus makanan untuk mengisi perutnya, saat Laila hendak mengambil dompet dari tas besarnya, tiba tiba saja ada seorang copet yang mengambil dompetnya dan dia langsung berlari dengan cepat.
Laila langsung berteriak dengan histeris, karena semua uangnya ada di dalam dompet itu. Bahkan untuk biaya melahirkan pun ada di dalam dompetnya, Laila pun berusaha mengejar pencopet itu.
"Tolong kembalikan dompetku, kumohon. Jangan ambil dompetku!" teriak Laila.
Perempuan hamil itu tidak bisa mengejar pencopet itu dengan perut besar nya, dia merasa tubuhnya sangat lemas.
Satu hal yang membuat dirinya sedih, tidak ada satu pun orang yang mau menolongnya. Mereka hanya melihat saja tanpa berniat membantu, sungguh miris pikirnya.
"Ya Tuhan, maafkan atas segala dosa besarku. Maafkan aku," ucap Laila seraya terisak.
Laila menjatuhkan tubuhnya di tanah sambil memeluk perut besarnya, tasnya pun dia campakkan begitu saja. Kini perutnya terasa sangat sakit, tubuhnya terasa sangat lemas.
Mungkin, karna efek berlari tadi perut Laila langsung mengalami kontraksi. Laila tampak meringis menahan sakit, beberapa orang nampak melihat iba ke arahnya, tapi mereka tidak mau ambil risiko karena tidak mengenal Laila.
"Tolong, tolong aku," pintanya mengiba.
Orang orang yang ada di sekitar sana hanya melirik ke arahnya sekilas saja, setelah itu mereka pura-pura tuli.
Laila pun semakin merasa sedih dan juga nyeri di perutnya, dia mencengkram tas yang ada di dekatnya dengan kuat.
"Aaaarggh! Siapa pun tolong aku," pintanya terbata.
Namun, tetap saja tidak ada yang mau menolongnya. Semua yang ada di sana seperti payung hidup yang taj berhati.
Darah segar mulai terlihat mengalir dari sela pahanya, Laila nampak panik. Dia bersusah payah untuk berdiri, Laila bersusah payah berjalan menuju jalan besar.
Dia sungguh berharap ada orang yang bersedia untuk menolongnya, dia takut baby yang dia kandung akan kenapa-kenapa.
+
+
+
TBC
Laila menangis, menahan sakit di perutnya dan menahan rasa sakit di dalam hatinya. Rasanya dia telah salah sudah datang ke desa itu, karena mereka terlihat cuek atau lebih tepatnya di sebut tidak berprikemanusiaan.
"Ya Tuhan, tidak adakah orang yang mau menolongku? Kenapa semua orang terkesan sangat tidak peduli?" tanya Laila dengan sedih.
Tidak lama kemudian, tangis Laila berhenti. Karena saat ini dia melihat Jhoy yang tidak jauh dari dirinya, dengan cepat Laila berteriak memanggil namanya.
"Jhoy!" panggil Laila.
Jhoy yang merasa namanya di panggil langsung menolehkan wajahnya ke arah Laila, dahinya nampak mengernyit dalam. Namun, tidak lama kemudian Jhoy berkata.
"Nyonya Laila!" teriak Jhoy dengan kaget, Jhoy begitu kaget karena melihat tubuh bagian bawah Laila yang berdarah.
"Jhoy, tolong antar aku ke Rumah Sakit. Sepertinya aku akan melahirkan, tolong aku Jhoy!" pinta Laila mengiba.
Hanya Jhoy yang dia kenal di sana, rasanya dia sudah tidak mengenal siapa pun lagi. Sepertinya meminta tolong kepada Jhoy adalah hal yang paling baik.
"Baiklah, Nyonya. Saya akan membantu anda, tapi di sini tidak ada Rumah Sakit, Nyonya. Hanya ada puskesmas saja," ucap Jhoy.
Untuk saat ini Laila tidak memikirkan apa pun lagi, yang terpenting dia bisa segera. melahirkan baby yang dia kandung.
Kalau terlalu lama dalam keadaan seperti ini, dia takut jika baby yang berada di dalam kandungannya tidak akan terselamatkan.
"Tak apa, Jhoy. Yang penting tolong cepat bawa aku sekarang, aku takut terjadi apa apa pada bayiku. Kumohon," pinta Laila.
Untuk sesaat Jhoy terdiam, rasanya membantu Laila adalah hal yang tidak merugikan. Namun, sangat merepotkan.
Akan tetapi, saat melihat darah yang terus mengalir dari area inti Laila, Jhoy seketika merasa iba dan ingin memberikan pertolongan dengan cepat.
"Baik, Nyonya," jawab Jhoy.
Jhoy pun langsung mengambil motor matic kesayangannya, dia pun membawa Laila ke puskesmas. Beruntung walaupun hanya puskesmas desa, tapi puskesmas itu beroperasi dua puluh empat jam.
Laila langsung di bawa ke ruang observasi, di sana dokter pun memeriksa keadaan dari Laila. Dokter mengatakan jika dia sudah pembukaan tujuh dan sudah harus dipindahkan ke ruang bersalin.
Laila pun menurut, tapi sebelum dia dipindahkan, Laila meminta Jhoy untuk menjual semua perhiasannya.
Saat ini dia sudah tidak mempunyai uang, hanya perhiasan yang menempel di tubuhnya saja yang dia punya.
Semua uang miliknya sudah raib diambil pencopet, dia benar-benar tidak mempunyai uang untuk biaya persalinan.
Kalung, gelang, anting dan juga cincin yang sengaja dipersiapkan untuk acara pernikahannya pun dia lepas. Laila pun meminta Jhoy agar segera menjualnya, karena dia membutuhkan uangnya segera.
"Aku mohon, Jhoy. Tolong bantu aku, aku percaya kepada kamu," pinta Laila.
Untuk sesaat dia menatap semua perhiasan yang diberikan pria yang dia cintai untuk dirinya itu, tidak lama kemudian dia tersenyum getir.
Cinta itu memang terkadang membuat orang tersiksa dan sengsara, tapi Laila tidak bisa menyalahkan siapa pun. Mungkin ini adalah hukuman untuk dirinya dari Tuhan, karena sudah menjadi hamba yang tidak patuh dan taat kepada agam.
"Baiklah, aku akan membantu anda, Nyonya. Berjuanglah untuk kelahiran sikecil," ucap Jhoy menyemangati.
"Iya, terima kasih. Aku akan berjuang untuk kelahiran putraku," jawab Laila.
Tidak lama kemudian Laila pun masuk ke ruang bersalin, sedangkan Jhoy langsung pergi ke toko emas untuk menjual semua perhiasan Laila.
Laila berjuang dengan seluruh kekuatan yang dia punya, dia ingin segera bertemu dengan babby'nya. Dia ingin menjadi seorang ibu, walaupun mungkin prianya tidak akan pernah melihat mereka kembali.
"Ayo, Nyonya. Dorong terus dengan kuat, ambil napas dalam dan mengejan," ucap Dokter.
Laila berusaha untuk mengatur napasnya, dia berusaha untuk mengejan sesuai dengan instruksi dari dokter.
Setengah jam berjuang, lahirlah baby yang sangat tampan. Laila sempat kecewa karena wajahnya begitu mirip dengan prianya, tapi walau bagaimana pun juga, Laila tetap akan membesarkan anak itu dan akan menyayanginya dengan sepenuh hati.
Setelah selsai semua prosesnya, Laila dan bayinya pun dipindahkan ke ruang perawatan. Laila memangku putranya dan mencoba untuk menyusuinya, tidak berselang lama Jhoy pun datang.
Dia sangat lega saat melihat Jhoy, ternyata Jhoy sangat bisa diandalkan. Padahal mereka belum saling mengenal, Laila pun berjanji akan membantunya jika dia membutuhkan bantuan.
"Jhoy, kamu sudah pulang?" tanya Laila.
Jhoy tersenyum hangat mendengar pertanyaan dari Laila, wanita yang terlihat begitu kuat di matanya. Walaupun dia sudah berjuang untuk melahirkan putranya dan wajahnya terlihat begitu pucat, tapi dia berusaha untuk tersenyum dengan riang.
"Sudah, Nyonya," jawab Jhoy.
Laila langsung menggelengkan kepalanya, rasanya dia tidak enak hati karena Jhoy terus saja memanggil dirinya dengan sebutan Nyonya.
"Panggil aku Kakak, Jhoy. Karena sepertinya kamu lebih muda sedikit dariku," ucap Laila seraya terkekeh.
Jhoy ikut terkekeh, kemudian pria itu terlihat menunjukkan plastik hitam berisikan uang hasil penjualan perhiasan milik Laila.
"Baik Kak, ini uangnya. Ada lima ratus juta, Kak. Ternyata emas punya Kakak sangat mahal, Kakak tahu, yang punya toko emas sampai menguras semua isi brankasnya," seloroh Jhoy.
Laila langsung tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh Jhoy, pria itu bertingkah seperti tidak pernah melihat uang banyak, pikirnya.
"Pegang dulu saja uangnya, Jhoy. Oiya, Jhoy. Bolehkah aku minta tolong?" pinta Laila.
Jhoy menghela napas berat, dia pasti akan menolong jika bisa. Karena dia merasa iba saat melihat wajah Laila yang terlihat begitu sendu.
"Katakan saja, Kak. Kalau bisa akan aku bantu," ucap Jhoy.
Laila tersenyum lalu memandang wajah bayi yang baru saja dia lahirkan, lalu dia kembali menatap wajah Jhoy.
"Tolong adzani putraku," pinta Laila.
Jhoy terdiam seraya menatap wajah baby yang baru dilahirkan oleh Laila, tidak lama kemudian dia tersenyum seraya menganggukan kepalanya.
"Boleh, Kak," ucap Jhoy.
Jhoy pun mengambil alih bayi mungil nan tampan itu ke dalam gendongannya, lalu dia mulai mengadzani bayi tampan itu tepat di telinga kanannya. Setelah selsai, Jhoy pun membaca iqomat tepat di telinga kirinya.
Laila pun tersenyum senang melihat akan hal itu, walaupun tidak ada prianya di sana, tapi masih ada orang baik yang mau membantu dirinya.
"Terima kasih, Jhoy," ucap Laila.
"Sama sama, Kak. Putra kamu ini sangat tampan, siapa namanya?" tanya Jhoy.
Laila terkekeh mendengar pertanyaan dari Jhoy, dia malah belum kepikiran untuk memberikan nama yang bagus untuk putranya. Namun, tidak lama kemudian dia tersenyum dan berkata.
"Karna dia putra pertamaku dan dia terlihat sangat tampan, aku akan memberinya nama... Adam Putra Pratama," jawab Laila.
"Apakah pertama Pratama itu nama marga ayahnya?" tanya Jhoy.
"Pratama adalah nama marga ayahku, dia anakku. Jadi, sudah sewajarnya aku memberi dia nama margaku," jawab Laila.
Saat sedang asik mengobrol, seorang perawat datang dan membawa nampan berisi sepiring nasi, sepotong buah dan segelas susu untuk Laila.
"Makanlah dulu, Nyonya. Anda pasti lelah karna sudah melahirkan, makannya yang banyak biar asinya banyak. Bayi yang tampan ini biar saya yang gendong," ucap suster.
"Terima kasih, sus. Anda baik sekali," ucap Laila.
Akhirnya Laila pun memakan makanan yang sudah disiapkan oleh suster, sedangkan baby Adam digendong oleh Jhoy.
Setelah selesai makan, Laila pun menyusui kembali putranya. Sedangkan Jhoy dan perawat tadi masih terdiam menemani Laila di dalam ruang perawatannya.
Laila sempat heran, karena perawat itu begitu anteng diam di sana. Namun, saat dia bertanya, katanya memang sudah tugasnya seperti itu.
"Kak, sekarang tidurlah dulu. Kakak harus memulihkan tenaga Kakak, Kakak jangan khawatirkan Adam. Karena dia terlihat tidur dengan pulas," ucap Jhoy.
"Ya, kamu benar, Jhoy. Aku butuh istirahat," ucap Laila membenarkan.
Laila pun menidurkan bayinya tepat di sampingnya, kemudian Laila merebahkan tubuhnya. Dia sangat lelah dan merasa sangat tidak bertenaga, tidak lama Laila pun tertidur dengan pulas.
"Bagaimana, Sayang?" tanya si perawat pada Jhoy yang ternyata adalah kekasihnya.
"Dia sudah tertidur, jadi... apa rencanamu?" tanya Jhoy.
"Kita ambil uangnya, kita pakai untuk modal nikah dan untuk keperluan kita nanti," jawab perawat itu.
"Tapi, Sayang. Jangan di bawa semuanya, kasihan dia. Dia hanya pendatang," ucap Jhoy.
"Baiklah, aku rasa tiga ratus juta cukup tuh untuk kita bawa. Dua ratus jutanya untuk biaya dia dah putra tampannya itu, anggap saja itu uang imbalan karena kamu sudah menolongnya," usul perawat itu.
"Kamu benar, Sayang. Yang cepat, Sayang. Nanti dia keburu bangun," ucap Jhoy.
Perawat itu pun memasukan uang tiga ratus jutanya ke dalam tasnya, setelah itu dia memasukan uang dua ratus jutanya ke dalam tas milik Laila.
Tidak lupa perawat itu pun menuliskan sebuah catatan kecil dan menyimpannya di dalam tas milik Laila, setelah dirasa selesai mereka pun pergi dengan tergesa.
Satu jam kemudian Laila terbangun, dia terusik karena putranya mulai merengek. Bibirnya terlihat bergerak ke sana dan kemari, hal itu membuat Laila merasa sangat gemas.
Laila bangun dan menyusui anaknya tersebut, lama Laila memandang wajah tampan putranya itu. Tanpa terasa buliran air bening pun keluar dari matanya, terasa hangat dan membasahi pipinya untuk kesekian kalinya.
"Sayang, kenapa wajah kamu begitu mirip dengan ayah kamu, Sayang? Ibu yang mengandung kamu, tapi kamu malah memihak kepada ayah kamu," ucap Laila seraya mencuil gemas hidung putranya.
Saat sedang asik mengajak putranya untuk berbicara, ada empat orang polisi yang masuk ke dalam ruangan Laila.
Laila begitu terkejut dibuatnya, dia hanya bisa diam seraya memandang ke empat orang polisi yang kini sudah berada di dekatnya itu.
"Maaf mengganggu waktu ibu, sebentar saja," ucap Pak polisi.
+
+
+
TBC
Laila menatap polisi itu dengan wajah kebingungan, dia merasa tidak melakukan kejahatan. Kenapa ada polisi di sana, pikirnya.
Justru, dirinya yang seharusnya datang ke kantor polisi. Karena Laila sudah kecopetan, polisi yang paham pun akhirnya bersuara.
"Maaf, Nyonya. Bolehkah kami bertanya?" tanya Pak polisi.
Laila menganggukkan kepalanya dengan cepat, karena tidak mungkin dia menolak permintaan dari polisi di hadapannya.
"Tentu saja boleh,"Ucap Laila.
"Apakah anda salah satu kerabat dari Jhoy?" tanya polisi lagi.
Laila tentu saja langsung menggelengkan kepalanya dengan apa yang ditanyakan oleh polisi, karena dia memang tidak mengenal Jhoy. Dia baru dua hari ini mengenal pria itu.
"Bukan, Pak. Kebetulan dia menolong saya dan saya meminta tolong kepadanya untuk menjual perhiasan saya, karna saya sudah kecopetan. Sedangkan saya sangat membutuhkan uang untuk biaya melahirkan," jelas Laila.
"Anda tahu, Nyonya? Jhoy adalah pencuri yang ulung, bahkan dia merupakan buronan kami," terang Pak polisi.
Laila pun langsung lemas, jika Jhoy adalah buronan polisi, itu artinya uang yang dia titipkan kepada Jhoy sudah barang pasti dibawa oleh pria itu.
"Ya Allah, uang saya masih di tangan Jhoy, Pak. Bagimana nasib saya dan putra saya? Tolong saya, Pak," pinta Laila.
"Tenang dulu, Nyonya. Kami sudah melihat rekaman cctv di area Rumah Sakit ini, kami melihat dia masih menyisakan uang yang di masukan ke dalam tas anda. Coba di cek dulu," titah Pak polisi.
Laila pun segera membuka tas yang berada di atas nakas, dia melihat ada uang dua ratus juta di sana.
Laila juga melihat dompetnya yang sudah kosong telah berada di sana, beruntung KTP-nya masih ada.
Laila pun langsung menunduk lemas, dia tidak menyangka jika semua sudah terencana.
Jhoy benar benar ingin mengambil uang yang dia punya, tapi dia masih berpikir positif karna Jhoy masih mau meninggalkan uang untuknya.
"Bagaimana, Nyonya?" tanya Pak polisi.
"Dia yang mencopet dompet saya saat di pasar, dia juga membawa uang hasil penjualan perhiasan saya sebesar tiga ratus juta, Pak." Laila berucap seraya terisak.
Dia benar-benar merasa sedih dan merasa dipermainkan, karena Jhoy datang sebagai penyelamat. Namun, pada kenyataannya Jhoy adalah penjahat.
"Sudah kami duga, pasti sekarang dia sudah kabur bersama pacarnya. Kalau begitu terima kasih atas ketersediaan Nyonya untuk memberikan keterangannya, kami permisi," ucap Pak polisi.
Laila hanya mengangguk pasrah, Laila mulai berpikir jika dia harus pergi dari desa itu. Laila tidak mau terjadi hal buruk lagi, dia sudah memutuskan jika sudah pulih pasca melahirkan, dia akan merantau bersama putranya ke ibu kota.
Rasanya pergi ke ibu kota adalah hal yang tepat, karena dengan pergi ke ibu kota dia bisa mencari nafkah untuk putranya.
Dia sering mendengar jika di ibu kota apa saja bisa dijadikan uang, dengan memunguti rongsokan saja bisa dijual dan bisa dijadikan penghasilan.
Terlebih lagi di ibu kota itu sangat ramai, sudah barang pasti Laila tidak akan merasa kesepian seperti saat ini.
Mata Laila pun menerawang jauh, awalnya dia merasa sangat bahagia karna menjadi lulusan terbaik di kampusnya.
Laila pun langsung melamar kerja di perusahaan ternama di kota K, tanpa di duga Laila pun di terima sebagai sekretaris.
Laila begitu senang, apa lagi saat melihat bosnya yang masih muda, begitu tampan dan memesona. Dari awal melihatnya dia sudah tertarik padanya, tapi dia sadar diri karena dia hanya gadis biasa.
Tapi ternyata perasaan Laila tak bertepuk sebelah tangan, bosnya menyatakan cinta padanya. Awalnya Laila selalu menolak, karena dia merasa tidak pantas bersanding dengan pria kaya seperti bosnya itu.
Dia merasa jika dirinya dan juga bosnya tersebut bagaikan bumi dan langit, tapi bosnya begitu gigih dalam memperjuangkan cintanya.
"Aku sangat tulus mencintai kamu, aku tidak akan mempermainkan kamu. Aku janji akan berusaha untuk membahagiakan kamu," itulah kata-kata yang selalu terlontar dari bibir bosnya.
Bahkan atasan Laila selalu memberikan perhatian, selalu membelikan perhiasan dan juga barang mewah.
Dia juga selalu memperlihatkan rasa cintanya pada Laila, Laila sangat suka akan hal itu dan terlebih sikap baiknya yang dia suka dari bosnya itu.
Akhirnya Laila pun menerima cinta sang pria, bahkan saat pergi selama tiga hari untuk bekerja di luar kota mereka melakukan hubungan selayaknya suami istri.
Dua bulan kemudian Laila pun hamil, sang bos sangat senang dan berjanji akan menikahinya.
Namun, sayangnya ke dua orang tua bosnya itu tidak menyetujuinya, mereka malah mengancam Laila untuk meninggalkan putra mereka.
Laila pun menurut, dia pergi dari kota K, berpindah ke kita L. Laila banting tulang kerja keras di kota L, dia mengumpulkan pundi pundi rupiah untuk membiayai kelahiran calon bayinya nanti.
Namun, sialnya setelah tujuh bulan berlalu. Sang bos menemukan keberadaan Laila, Laila takut akan ancaman yang dulu dilontarkan oleh kedua orang tua bos sekaligus kekasihnya itu.
Akhirnya Laila memutuskan untuk pergi dari kota L, dia ingin menghindari pujaan hatinya dan keluarga dari kekasihnya itu.
Namun, sialnya kini dia malah terperangkap di kampung kecil ini dan menjadi sasaran empuk pencurian.
"Heh!" Laila pun menghembuskan napas panjang karena dadanya mulai terasa sesak.
Laila mulai berpikir, apakah keputusannya untuk menjauhi sang kekasih adalah hal yang salah atau tidak. Karena hanya ada kesialan yang terjadi pada dirinya.
Laila terlihat menatap wajah putranya yang begitu tampan dan mirip sekali dengan kekasih hatinya, lelaki yang sudah memberikan kebahagiaan dan juga ketidakberdayaan di dalam hidupnya.
"Maafkan ibu, Nak. Tapi ibu tidak mungkin memilih untuk tetap bersama dengan ayah kamu, karena mereka mengancam akan membunuh kita berdua kalau ibu membangkang. Ibu janji, Sayang. Ibu akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ucap Laila seraya mengelus lembut pipi sang putra.
*****
Seminggu telah berlalu, Laila pun memutuskan untuk membawa bayi merahnya menuju ke ibu kota.
Laila menaiki kapal laut menuju ibu kota, agar ongkosnya tidak terlalu mahal. Selama satu minggu dia sudah berpikir, baginya akan lebih baik jika pergi yang jauh sekalian.
Beruntung putranya tidak rewel sama sekali, selama dalam perjalanan menuju ibu kota Adam terus saja tidur di dalam gendongan Laila.
Sesekali anak itu akan menggeliat kala lapar dan buang air, Laila benar-benar merasa gemas pada putranya itu.
Tiga puluh jam kemudian, kapal yang Laila tumpangi sampai di pelabuhan. Laila merasa sangat lelah, Laila pun mencari mesjid untuk beristirahat karna saat ini hari memang masih malam.
Setelah menemukan mesjid Laila pun meminta izin pada pengurus mesjid tersebut untuk menginap selama satu malam, dia berjanji jika esok harinya akan pergi dan mencari tempat tinggal.
****
Pagi pun menjelang, Laila terlebih dahulu mengisi perutnya dan tentunya dia juga menyusui putranya. Setelah merasa kenyang, dia pun bertanya pada orang yang ada di sana.
"Maaf pak, saya ingin pergi ke ibu kota. Saya harus naik apa ya?" tanya Laila.
Bapak-bapak yang ditanya oleh Laila terlihat memindai penampilan Laila dari atas sampai bawah, tidak lama kemudian dia pun berkata.
"Naik Bis bisa, Bu. Di terminal sana banyak bisnya, ibu tinggal lihat sesuai alamatnya saja," jawab bapak itu.
''Ah, iya. Terima kasih, Pak," ucap Laila.
Laila pun segera ke terminal, dia mencari cari bis menuju ibu kota. Laila memperhatikan satu persatu bis yang berjejer di sana, akhirnya Laila pun memutuskan untuk menaiki bis menuju pusat ibu kota.
Satu jam perjalanan Laila lakukan, sampailah dia di terminal pusat. Laila pun bertanya tanya kepada orang yang ada di sana, dia juga bertanya di mana ada yang menjual rumah yang murah.
Biarlah kecil pikirnya, yang penting bisa di tempati, mungkin saja akan ada sebuah keberuntungan saat ini akan segera menghampirinya.
Saat Laila sedang kelelahan setelah satu jam bertanya-tanya, tiba-tiba saja seorang wanita tua menawarkan sebuah rumah berukuran tiga kali empat meter padanya.
Walaupun terlihat seperti sebuah kamar dan terletak di wilayah kumuh, tapi terlihat lumayan nyaman.
Laila pun memberanikan diri untuk bertanya tentang harganya, siapa tahu harganya murah dan juga terjangkau, pikirnya.
"Ibu mau menjual rumahnya berapa?" tanya Laila.
"Seratus lima puluh juta, pas tanpa tawar!" jawabnya dengan tegas.
Laila pun berpikir dengan keras, kini uangnya tinggal seratus tujuh puluh juta. Namun, dia juga butuh tempat tinggal.
Tidak apa pikirnya membeli rumah kecil dengan harga yang lumayan mahal, karena dia memang membeli rumah di ibu kota. Bukan di kampung halamannya.
Mungkin ini akan jadi jalan yang terbaik untuknya, Laila pun akhirnya membeli rumah yang terlihat seperti kamar tersebut.
Laila juga tidak bodoh, sebelum memberikan uangnya, dia meminta pak RT di sana untuk menjadi saksi jual beli tanah tersebut.
Tidak lupa Laila juga meminta tolong kepada pak RT untuk balik nama surat tanahnya, agar tidak ada kata sengketa di hari kemudian. Pak RT pun setuju.
Pak Rt meminta biaya pemindahan suratnya sebesar lima juta, Laila pun menyanggupi. Dari pada suatu saat nanti dia mendapatkan gusuran, itu akan lebih baik pikirnya.
Rumah sepetak pun sudah dia beli, kini dia akan bersiap untuk menghadapi harinya bersama putra kecilnya. Dia juga harus mulai berpikir dengan sisa uangnya yang tinggal lima belas juta, karna uang segitu pasti akan cepat habis bila tinggal di kota besar.
"Apa yang akan lakukan dengan uang ini?" tanya Laila lirih.
+
+
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!