Pagi ini seperti biasa Sherly, gadis yang berusia 19 tahun yang baru saja tamat SMA itu telah selesai dari kesehariannya mencuci pakaian milik semua penghuni rumah, ia berganti mengepel lantai seluruh ruangan yang ada di rumahnya. Bukannya tidak ada pembantu dalam rumah yang sebesar istana itu, namun sang ibu tiri yang bernama Anita dan anak perempuannya bernama Imel memang sengaja memerintah Sherly untuk mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan pembantu.
Ayahnya baru tiga bulan meninggal menyusul ibunya yang sudah dulu pergi, dengan meninggalkan setumpuk kekayaan yang mungkin tidak akan habis tujuh turunan. Namun, karena keserakahan dari ibu tiri dan anaknya dia tak pernah menerima uang sepeser pun dari harta ayahnya.
"Makan yang banyak Non, agar badan tetap sehat dan tak mudah sakit." ujar mbok Kah yang saat ini berada di dapur bersama Sherly.
Mbok Kah, pembantu yang baik hati. Dialah yang satu-satunya orang yang menyayangi Sherly. Dia selalu menyiapkan makanan khusus untuknya tanpa sepengetahuan nyonya besar.
Anita tidak mengizinkan Sherly untuk melanjutkan kuliah karena pikirnya hanya buang-buang uang saja dan baginya kuliah tidak penting. Jadi, dia baru semester 3. Berbeda dengan kakak sambungnya, Imel, dia selalu dimanjakan, dia kuliah di perguruan ternama yang ada di kota Jakarta. Usianya tiga tahun lebih tua dari Sherly.
"Sherly!" teriak Imel dari arah belakang rumah. Dengan segera Sherly memenuhi panggilan kakaknya.
"Iya Kak, ada apa?" Sherly datang tergopoh -gopoh ketika sampai di halaman belakang.
"Kamu nggak lihat, tuh!" Imel menunjuk ke arah kolam, Sherly tidak paham dengan maksud kakaknya menunjuk kolam.
"Kolam, kenapa dengan kolamnya?" tanya Sherly benar -benar tak mengerti.
"Kamu bersihkan lumut di pinggir sepanjang kolam ini! Aku jijik melihatnya!" sahut Imel sambil berkacak pinggang.
"Tapi, Kak, aku belum selesai menyapu dan beres-beres," Sherly menerangkan apa yang sedang ia kerjakan.
"Kamu mau membangkang perintahku? Aku teriak panggil mama biar kamu dimarahi lagi!" bentak Imel sambil mengancam.
"Jangan Kak!" pekik Sherly, dengan segera dia mengambil peralatan membersihkan kolam. Imel tersenyum sinis, ia berhasil mengerjainya.
Setiap hari ada saja ulah Imel untuk membuat Sherly merasa kesulitan. Tapi, karena sudah terbiasa menjalaninya, Sherly menganggap ini sebuah cobaan untuk menjadi orang sukses dikemudian hari. Entah itu kapan?
Byur...
Dengan sengaja kaki Imel menjegal kaki Sherly hingga dia kehilangan keseimbangan.
"Kyaaa!!" Sherly berteriak histeris minta tolong, dia gelagapan di dalam kolam.
"Hahaha, rasain kamu!" Imel tertawa jahat dan segera meninggalkan kolam tanpa menolong adik tirinya. Dirasa mengerjainya sudah cukup dan merasa puas dia bersiap berangkat ke kampus.
Setelah sepi, Sherly yang tadinya tak bisa berenang kini dia menggerakkan kakinya dengan gaya katak menuju tepi kolam. Sebenarnya tadi dia berpura-pura saja tak bisa berenang.
"Non Sherly tidak apa-apa kan?" mbok Kah terlihat panik setelah mendengar bunyi sesuatu yang terjebur. Dia mengulurkan tangannya menggapai tangan majikannya.
Sherly berhasil menuju tepi kolam dengan menggigil kedinginan.
"Nggak pa-pa Mbok," sahutnya dengan suara khas kedinginan.
"Ini pasti ulah non Imel ," tukas mbok Kah seraya memapah Sherly menuju dapur.
"Aku hanya terpeleset tadi, Mbok?" bohong Sherly, meski dia menyadari ini ulah kakaknya tapi dia tak mau menyalahkannya.
"Mbok, Mbok Kah!" teriak Anita menghampiri kedua wanita itu, dimana kedua wanita itu, yang paruh baya bertubuh gemuk dan yang gadis bertubuh langsing.
"Iya, Nyonya," sahut mbok Kah melepaskan dekapannya pada Sherly yang menggigil.
"Kenapa kamu?" tanya Anita, tatapannya tak senang.
"Anu, non Sherly terjebur kolam, Nyonya." sahut mbok Kah menerangkan.
"Aku tidak tanya sama kamu, cepat buatkan aku kopi!" perintah Anita, mbok Kah langsung terdiam dan mengangguk. Dia bergegas menuju dapur dan membiarkan majikan mudanya sendirian.
"Kamu, kerjanya hanya main -main saja, cepat ikut aku!" ucap Anita tanpa memperdulikan keadaan Sherly.
"Kemana Ma?" tanya Sherly polos dengan tetap menggigil.
"Alah, tidak usah banyak tanya cepat ikut aku!"
Sherly mengikuti mamanya menuju lantai atas.
"Tunggu! Aku tidak mau kamarku nanti basah, cepat ganti bajumu!" perintah Anita.
Sherly hendak mengangkat kakinya menaiki tangga. Namun bentakan ibu tirinya membuat dia tersentak dan dengan cepat Sherly yang patuh itu bergegas ke kamar mengganti bajunya dan kembali menemui ibu tirinya.
Anita membawa Sherly menuju kamarnya, di sana dia memberikan sebuah gaun yang sangat cantik untuk dikenakan nanti malam. Sherly yang takut itu tak bertanya untuk apa dia harus mengenakan gaun itu.
.
Alvarendra Rizki, cowok kharismatik dan seorang CEO yang baru naik daun, namanya begitu cepat terkenal apalagi dikalangan remaja. Cowok berusia 28 tahun ini mengidap mysophobia. Dia sangat menjaga kebersihan diri dan sangat jijik dengan tempat kotor. Parahnya lagi dia alergi dengan semua wanita. Mysophobia ini sudah ia sandang sejak dia masih duduk di bangku SD. Dia terpaksa harus menyetujui ajakan temannya bernama Wendy untuk menghadiri ulang tahun sang pacar. Banyak para wanita yang mendekatinya, namun semuanya ilfill, karena dia tak berhenti bersin-bersin selama berada di dekat wanita.
Imel kakak tiri Sherly mengundang salah satu temannya yang miskin, dia bermaksud ingin menjodohkan adik tirinya dengan pemuda kelas bawah itu, dia bernama Edo. Agar suatu hari nanti harta warisan akan jatuh padanya, setelah Sherly menikah dengan pemuda miskin itu.
Malam pun tiba, Sherly mengenakan gaun yang sedikit terbuka itu dengan terpaksa, ia juga sangat risih mengenakannya.
Acara perayaan ulang tahun akhirnya usai sudah, dan berjalan sangat meriah.
Anita dan Sherly memberi minuman yang sudah diberi obat tidur plus perangsang. Mereka melancarkan rencananya agar Sherly tidur semalam dengan temannya yang bernama Edo itu. Edo menurut saja karena teriming-iming dengan upah yang tidak sedikit jumlahnya.
Alvarendra tak henti-hentinya bersin, seperti terserang flu, sehingga membuat pemilik rumah memberikan obat . Tapi, naas obat yang diberikan itu ternyata sama dengan obat yang diberikan pada Sherly.
"Kepalaku terasa berat, Wendy, tolong aku!" rintih Alvarendra seraya memegangi kepalanya.
"Sayang, izinkan temanku ini beristirahat semalam dirumahmu, boleh?" izin Wendy pada Imel sang pacar.
Imel mengizinkan dan menunjukkan kamar tamu untuk beristirahat.
Imel menyuruh Edo untuk tidur di kamar Sherly.
Sherly yang merasa kepalanya pusing pamit undur diri dari acara tersebut. Melihat ekspresi Sherly, Anita dan Imel tersenyum puas dan saling pandang.
Sherly berjalan dengan tertatih menuju kamarnya, sangking ngantuknya dia salah masuk kamar dan tak menyadarinya.
Satu malam penuh Alvarendra dan Sherly berada di kamar dengan pengaruh obat. Alvarendra seperti bermimpi sedang bermain cinta dengan sang kekasih yang kini sedang pergi ke Bali. Tentu saja Sherly tak menyadarinya karena sangking lelapnya. Alvarendra tak merasakan bersin lagi saat berada di samping Sherly, dia justru merasakan keteduhan yang sangat di atas ranjang itu.
Keesokan harinya, Edo semalaman tak mendapati Sherly di kamarnya. Dia memutuskan pergi dengan kesal karena tak jadi menikmati tubuh Sherly. Sedangkan Anita dan Imel saling melempar pandang menanyakan kepergian Sherly selama semalam.
"Kyaa! Apa yang kamu lakukan padaku?" Sherly ketakutan seraya mengenakan kembali semua pakaiannya. Dia mencoba mengingat apa saja yang ia lakukan semalam, tapi dia tak mengingat sama sekali.
"Siapa kamu? Dan bagaimana kamu bisa tidur seranjang bersamaku?" bentak Alvarendra yang masih memegang keningnya, mengingat peristiwa semalam. Dia memungut kemejanya yang berserakan di lantai.
"Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan semalam? Perasaan aku bermimpi sedang bercinta dengan Kenzi." batin Alvarendra.
Sherly memandang situasi sekitar, begitu terkejutnya dia setelah menyadari kamar ini bukan miliknya.
Alvarendra segera mengenakan pakaiannya, sesaat dia menyadari alergi pada wanita hilang untuk pertama kalinya selama hidup.
"Aneh, aku tak bersin-bersin saat di dekatnya." batin Alvarendra.
Sherly memandang lekat pria yang ada di depannya, dia tak pernah bertemu dengan manusia tampan sebelumnya.
"Aku juga tak tahu!" Sherly mulai menangis karena kesuciannya telah hilang.
"Dasar cewek murahan!" maki Alva.
"Tidak, aku bukan cewek seperti yang kamu kira!" Sherly mengelak.
"Mana ada penjahat ngaku! Kamu mau menjebakku kan! Agar kamu bisa menikah denganku dan mendapatkan semua hartaku!" bentak Alvarendra membuat Sherly semakin sedih.
"Tidak! Aku bukan penjahat! Tolong, hentikan!" sangkal Sherly dengan menutup kedua telinganya.
"Apa buktinya?" tanya Alvarendra yang tak mudah percaya.
"Bukti?" tanya Sherly memikirkan sesuatu.
"Hah, sok polos kamu! Pergi sana sejauh mungkin dari kehidupanku, agar aku tak pernah melihatmu lagi!" bentak Alvarendra lagi.
Sherly turun dari ranjang, merasa area sensitivnya sakit dia tersungkur. Namun, Alva tak peduli, dia segera menghubungi Wendy.
Wendy masuk ke dalam kamar setelah Sherly keluar terlebih dahulu.
Alvarendra tak menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Mereka berdua memutuskan pulang.
Anita dan Imel marah lantaran rencana mengusir Sherly gagal.
Satu bulan kemudian.
Alvarendra sibuk dengan bisnisnya yang mulai berkembang pesat dan dia juga sudah tak mengingat peristiwa panas itu.
Sherly telat datang bulan, dia membeli tespack dan mencobanya.
"Aku hamil?" Sherly membelalakkan matanya, dia menangis meraung -raung di kamar mandi tak percaya dan memeriksakan dirinya ke dokter kandungan tanpa sepengetahuan orang rumah.
"Ma, Mama!" teriak Imel histeris.
"Ada apa sayang, pagi-pagi begini kamu sudah ribut?" Anita setengah berlari kaget mendengar teriakan anaknya.
Imel menunjukkan tespack yang ia temukan di bak sampah. Betapa terkejutnya Anita dengan apa yang Imel tunjukkan. Dan mereka mencurigai Sherly lah yang hamil.
Sepulangnya Sherly dari dokter kandungan, dia diusir dari rumah. Sherly memutuskan pergi ke luar negeri untuk menemui bibinya yang bernama Ratna. Di sana juga dia akan melahirkan anaknya.
6 tahun kemudian, Sherly kembali ke Indonesia dengan membawa kelima anaknya yang semuanya berjenis kelamin laki -laki, dalam istilah jawa disebut pandawa.
"Ibu, kita akan pergi ke mana?" tanya si sulung bernama Abigail saat sudah tiba di bandara.
"Kita akan mencari kost-kostan yang cukup untuk menampung kita berenam," sahut Sherly seraya menghentikan sebuah taksi. Mereka masuk ke dalamnya.
"Kenapa tidak tinggal di apartemen saja, Bu?" tanya putra kedua, dia bernama Boman.
"Ais, kita harus hemat, uang ibu tidak cukup," sahutnya lagi.
"Charles bisa mencarikan uang untuk Ibu, jadi Ibu tidak usah bersedih lagi." imbuh Charles putra ketiga.
"Hm, ibu tidak bersedih Nak, ibu kan punya pandawa kecil, jadi ibu akan selalu bahagia." imbuh Sherly menenangkan kegelisahan putranya.
"Tapi Ibu tak bisa membohongiku, aku tahu Ibu pasti sedang memikirkan sesuatu," Dave menghentikan kegiatannya menyusun pazzle yang dalam sekejap saja selesai lalu menatap ibunya, dia anak keempat.
"Benarkah, jadi ibu tidak cocok berakting ya," gurau Sherly yang ketahuan.
"Hentikan mobilnya!" perintah Ethan dengan berteriak, dia anak kelima lalu membuka handel pintu hendak keluar.
"Ethan, kamu mau kemana?" Sherly menghentikan pergerakan Ethan.
"Aku melihat seseorang sedang pingsan di jalan, dan dia jadi tontonan orang-orang di sekitar, bahkan tak ada satu pun dari mereka yang menolongnya." Setelah menjelaskan, Ethan turun dan menuju ke kerumunan tadi. Dia memang bersikap spontan dalam menghadapi sesuatu hal.
Sherly dan keempat putranya yang lain ikut turun menyusul Ethan.
Ethan dengan peralatan seadanya mencoba menyelamatkan nyawa seseorang yang mendadak pingsan.
"Hai bocah, hentikan! Jangan sentuh orang itu, jika kamu tidak ingin mencari gara -gara!" bentak seorang pria pada bocah lima tahun itu.
"Anda tenang saja, aku sangat ahli dalam bidang kedokteran, jika terjadi sesuatu pada orang ini apa akan ada yang menolongnya? Tidak kan? Jadi, biarkan aku menolongnya." jelas Ethan lalu mulai memegang pergelangan tangan wanita yang pingsan itu.
Orang -orang di sekitar dibuatnya takjub, omongannya seperti nyata. Wanita yang pingsan itu tersadar kembali.
Sherly yang menyadari kelebihan putranya ikut senang karena kemampuannya bisa digunakan untuk menolong orang.
Ethan dalam sekejab saja menjadi perbincangan di publik, ia cepat terkenal.
Sherly dan pandawa kecilnya melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.
"Ibu, coba lihat tulisan di sana!" Dave menunjuk jarinya ke sebuah galeri lukisan.
Dave meminta ibunya untuk mengantarnya masuk ke dalam galeri. Sherly pun menyetujui permintaannya.
Dave yang bisa berpikir logis dan pandai dalam bidang seni lukis itu mengeluarkan peralatannya dari dalam ransel. Dia meminjam kanvas pada pemilik galeri dan membuat penawaran. Jika hari ini juga, lukisannya terjual dia akan mendapatkan kompensasi. Tentu saja pemilik galeri menyetujuinya.
Selesai Dave melukis, tak lama ada seorang pembeli dan langsung tertarik dengan lukisannya. Orang itu membelinya seharga 120 juta, dan membayarnya tunai. Pemilik galeri senangnya bukan main. Sesuai perjanjian yang Dave lakukan tadi, pemilik galeri mendapatkan bagiannya.
"Dave, kamu mendapatkan uang yang begitu banyak. Ibu bisa membelikan kalian rumah." ungkap Sherly seraya mencium kening Dave dan memeluknya.
"Itu bukan seberapa Ibu, aku bahkan bisa membelikan istana padamu," hibur Dave seraya melekatkan pelukannya.
Dengan uang itu, Sherly akhirnya bisa membeli sebuah rumah yang cukup bagus.
Saat Sherly membuka berita di internet, dia menemukan satu berita yang cukup menarik baginya. Kompetisi berenang dengan hadiah juara satu sebuah mobil. Dia ingin mengikuti kompetisi itu. Tanpa dia sadari pandawa kecilnya telah mengetahui niat Sherly.
Jangan lupa mampir ke karya author terbaru, yang berjudul, Buih Jadi Permadani. Jangan lupa beri like, vote, hadiah dan komentarnya.
Terima kasih 😘😘😘😘😘
mampir yuk ke pandawa mencari cinta, semoga suka. !
.
.
Hai reader semuanya, author membuat cerita baru dengan judul, "Aku menjadi dia untuk balas dendam." silahkan mampir !
"Charles, sepertinya ibu ingin mengikuti perlombaan itu," kata Abigail pada adik ketiganya.
"Iya Kak, aku paham maksudmu, kamu memintaku kan untuk melatih ibu?" Charles menghentikan gerakan saltonya dan menatap serius kakaknya. Charles sangat pandai dalam beladiri, jadi dia sendiri yang akan melatih fisik ibunya agar selalu bugar sampai perlombaan nanti.
Keesokan harinya.
Setelah Sherly membuat sarapan untuk kelima pandawanya, dia memanggil satu persatu nama anaknya. Sering juga dia hanya memanggil huruf depannya saja.
"A, B, C , D dan E! Ayo sarapan!" teriak Sherly dari meja makan. Dia sengaja menyingkat agar lebih mudah.
"Ibu, selesai sarapan aku akan melatih Ibu," ujar Charles penuh semangat.
"Untuk apa Sayang?" tanya Sherly tak tahu maksud putra ketiga.
"Sudahlah, Ibu menurut saja. Ini juga bagus untuk menjaga daya tahan tubuh Ibu," ujar Charles lagi.
Sherly menyetujuinya saja tanpa menyangkal.
Selesai sarapan Charles dan Sherly berlari mengitari rumah sebanyak 10 putaran.
"Sudah, Charles! Ibu sudah tak kuat lagi, nafas ibu hampir saja habis." Sherly membungkukkan badan, nafasnya tersenggal -senggal.
Charles hanya membuang nafas kasar.
"Ya sudah, Ibu istirahat saja, aku mau latihan beladiri dulu." sahut Charles lalu meninggalkan ibunya sendirian di teras.
"Kalau begini terus aku bisa mati sebelum ikut kompetisi." keluh Sherly lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Baru beberapa saja ia melangkahkan kaki datang seorang kurir yang mengantar sebuah motor matic berwarna merah. Sherly terkejut, mungkin kurir itu salah mengantar pesanan, karena merasa dia tak memesan motor.
"Itu punya Ibu," ucap Abigail si putra sulung yang baru keluar dari dalam, Sherly mengerutkan dahinya tak percaya, bagaimana bisa?
Setelah kurir itu pergi, Sherly memangku Abigail dan bertanya intens.
"Uang dari mana? Bukankah sudah ibu bilang, kita harus hemat."
"Ibu jangan salah sangka dulu, aku baru saja mengikuti kuis soal pelajaran matematika tingkat SMA. Dan siapa yang terlebih dahulu menjawab soal itu akan mendapatkan hadiah sepeda motor." terang Abigail dengan wajah imutnya. Sherly dibuatnya tak percaya.
Sherly bangga dengan pandawa kecilnya, sudah sejak bayi kelima putranya menunjukkan kemampuan yang luar biasa, dia menyadari pandawa kecilnya memiliki otak yang genius. Namun, dalam hatinya yang terdalam ingin mengasah kemampuan pandawanya agar otak genius mereka tidak disalah gunakan orang lain.
Abigail pemilik IQ tertinggi di dunia, yang diperkirakan mencapai 210. Diusia 3 tahun, ia menjadi dosen tamu fisika di Universitas Hanyang, Korea. Dan di usianya yang kini genap lima tahun, dia telah menguasai lima bahasa diantaranya Korea, Jepang, Belanda, Spanyol dan Inggris.
Boman, putra kedua, dia sangat ahli dalam bidang elektronik. Diusia dua tahun dia sudah merancang sebuah buku pelajaran elektronik untuk anak seusianya. Dan karyanya bisa diterima publik.
Charles, putra ketiga, diusia 2 tahun dia sudah tertarik dengan seni beladiri dan sudah bisa salto. Kini kemampuan luar biasa tiada tara.
Dave, putra keempat, sejak bayi 22 bulan dia sudah pandai corat-coret di lantai, suatu ketika Sherly memberikannya selembar kertas, dia langsung melukis. Betapa terkejutnya Sherly saat ada tamu yang tanpa sengaja memperhatikan Dave melukis, lalu membawa hasil lukisan Dave ke galeri sampai laku dua ratus juta.
Ethan, putra bungsu, bersikap spontan dengan segala keadaan. Ethan sangat pandai dalam bidang kedokteran. Saat di luar negeri dulu ada gadis setempat yang menderita luka bakar hingga jari-jarinya menutup menjadi kepalan dan tidak bisa dibuka. Gadis berusia 10 tahun itu tak memiliki biaya untuk operasi ke dokter. Namun, Ethan yang hanya asal tanpa pengalaman apapun justru bisa membuat gadis itu sembuh.
Sebenarnya penghasilan dari kelima putranya itu banyak, namun semuanya sudah ludes untuk membayar hutang dan persiapan pulang ke tanah air.
Meski hidup susah membesarkan kelima anaknya tapi dia bahagia. Dia juga sudah merencanakan sejak mengandung dulu untuk mencari ayah mereka. Sherly tak begitu ingat wajah pria yang pernah seranjang dengannya. Yang pastinya wajah pria itu pasti tampan setampan putra mereka.
Kedatangannya ke Jakarta tak hanya untuk mencari pria itu, tapi untuk merubah hidup.
"Boman, di mana kamu, Nak?" teriak Sherly mencari putra kedua. Lama tak ada sahutan dari kamarnya dia mencoba mencari di ruangan lain. Sejak sarapan hingga siang ini, Sherly belum bertemu lagi. Dia tak sengaja masuk ke ruangan komputer.
"Ternyata putra ibu ada di sini, sedang apa kamu?" tanya Sherly seraya berdiri di samping Boman dan memperhatikan yang sedang ia lakukan.
"Ibu, jangan menggangguku! Aku sedang sibuk." Boman tak mengindahkan kehadiran ibunya.
"Ais, sibuk apa, sejak tadi ibu perhatikan kamu cuman mainan mouse,"
"Ibu belum tahu ya, ada sebuah perusahaan yang sedang aku rentas rahasianya." terang Boman.
"Jangan, ibu tidak mau bila kamu terlibat masalah!" Sherly tampak cemas.
"Tenang saja Ibu, aku sudah ahli dalam hal ini, aku hanya ingin membaca data-data saja, siapa tahu aku menemukan pemimpin perusahaan yang korupsi." terang Boman lagi mencoba menenangkan hati ibunya. Dia anak yang memiliki keingintahuan yang tinggi.
Mendengarkan penjelasan Boman, Sherly akhirnya lega dan meninggalkan dia menuju ke dapur untuk menyiapkan makan siang.
.
Hari kompetisi berenang ajang mencari bakat pun tiba, Sherly yang sudah hampir satu minggu latihan berenang yang dipandu langsung oleh Charles kini berada di sebuah kolam renang yang sangat luas, sejurus pandangannya tertuju pada lawan-lawannya yang terlihat seperti seorang atlit.
"Bagaimana bisa menang, saingan ibu atlit-atlit semua," keluhnya pada pandawa yang ikut mengantar. Sherly bisa saja mencari babysitter untuk pandawanya, tapi dia belum tega lantaran maraknya perdagangan anak.
"Kita sudah berusaha semaksimal, kita akan tahu setelah Ibu mengikuti perlombaan itu. Jadi, Ibu jangan pesimis dulu. Semangat!" ujar Abigail menyemangati ibunya yang gundah.
"Benar apa yang dikatakan Kakak, Ibu pasti bisa. Menang urusan mudah, yang penting Ibu berusaha memberikan yang terbaik pada para juri," imbuh Boman.
"Ibu, berdoa lah dulu agar tidak terjadi cedera nanti," Charles mengingatkan.
"Cepat, Ibu ganti pakaianmu dengan baju renang, nomor Ibu 34 kan?" Dave memperhatikan ibunya yang masih mematung sambil meremas ujung bajunya.
Tanpa banyak bicara, Ethan langsung memeluk ibunya. Sherly melekatkan pelukannya bersama putranya yang lain.
"Kamu pasti bisa, Ibu," bisik Ethan.
Mendengar semua ucapan pandawa kecilnya semangat Sherly yang sempat menciut tadi kini bangkit.
Satu persatu para peserta telah memberikan penampilannya yang menurut mereka bagus.
Sherly kini mulai percaya diri, niatnya yang ingin mendapatkan hadiah mobil dari perlombaan inilah yang ia prioritaskan. Pasalnya tidak murah untuk membeli sebuah mobil.
Tapi mengingat perkataan dari Boman, membuat dia hanya fokus pada penampilan yang akan dia tunjukkan pada para juri.
Tiba saatnya nomor dia dipanggil. Dia melawan 5 perenang yang terlihat sudah mahir, beda dengan penampilannya yang hanya amatiran.
Di tengah kompetisi ini, dia terus berdoa agar menjadi yang terbaik.
Selesai sudah seratus peserta telah mengikuti perlombaan dengan selamat tak ada satu pun yang cidera.
Saatnya untuk mengumumkan pemenang dari kompetisi yang selalu ada setiap tahun ini.
"Dan pemenangnya adalah..." suara si pembawa acara menyampaikan pengumuman, semua peserta yang berjumlah seratus orang termasuk Sherly berkumpul di aula.
"Dengan jumlah nilai 1230, diraih oleh peserta dengan nomor dada... 34," sambungnya lagi memecah keheningan peserta yang sejak tadi menyimaknya. Terutama, Sherly. Dia menutup mulutnya yang menganga tak percaya. Dialah pemenang dari kompetisi ini.
Memang bukan rekor olimpiade, dan apalagi bukan rekor dunia, tetapi waktu yang dia bukukan 3 menit 29,69 detik adalah yang tercepat dalam final 400 meter gaya bebas wanita.
"Hore!!" teriak para pandawa dengan berjingkrak, mereka saling bergandengan tangan membentuk lingkaran. Pandawa kecil begitu senang.
Sherly naik di atas podium, satu juri juga ikut naik memberikan kunci mobil secara simbolik. Peserta yang lain memberikan tepuk tangan yang meriah.
"Saya sungguh tak percaya. Ini mimpi yang menjadi kenyataan. Luar biasa, ini merupakan lomba pertama saya," kata Sherli seraya mengangkat kunci mobil dan uang tunai sebesar 5 juta.
"Syukurlah, akhirnya impianku terwujud." batinnya tidak dapat memungkiri kalau dia benar-benar senang sekarang.
"Selamat Ibu, kamu nomor satu." Abigail mengulurkan tangannya memberi selamat pada ibunya. Sherly menarik tangannya dan memeluknya erat, dia mengarahkan pandangan pada putranya yang lain untuk mendekat. Mereka berpelukan bersama.
Sherly akan membawa pulang mobil xenia itu, tapi dia tak tahu caranya mengemudi mobil tersebut lantaran dia belum bisa menyetir.
"Ibu tidak usah khawatir, serahkan ini pada Boman!" ucap Boman yang kini sudah masuk mobil dan duduk di depan.
"Kamu yang akan menyetir?" Sherly seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan Boman. Dia hanya tersenyum saja menyahut ketakutan ibunya.
"Kakak akan menjadi pemandu Ibu, ayo masuk!" ajak Dave yang sudah berada di dalam mobil.
Sherly tetap mematung, pikirnya mana mungkin bocah 5 tahun sudah tahu arah menyetir.
"Nak, kita panggil derek saja ya," Sherly mencoba mencegah Boman.
"Aku bisa menjadi pemandu untuk Ibu, jadi cepatlah masuk, hari sudah semakin gelap." Boman menegaskan ibunya agar menurut. Karena desakan dari kelima putranya, dia masuk mobil juga dengan masih was-was.
"Berdoalah Bu, kalau itu membuat hatimu tenang," imbuh Charles yang menyadari ketakutan ibunya.
Sherly menarik nafas panjang dan membuangnya pelan.
Sherly dengan arahan Boman mulai melajukan mobilnya, betapa terkejutnya Sherly menyadari kemampuan Boman. Mobil hitam ini melaju pelan sehingga membuat nyaman penumpangnya.
"Boman, kamu tahu dari mana?" tanya Sherly.
"Aku sering mainan game, jadi ya tahu saja," sahut Boman.
Sherly dan pandawa kini sampai di rumah. Abigail tak langsung masuk ke kamar, dia ingin mandi dulu. Boman sedang mengarahkan ibunya untuk memarkir mobil. Charles masih menyempatkan diri untuk latihan bela diri sebentar di teras. Dave duduk di sofa sambil menyalakan televisi. Sedangkan Ethan langsung masuk kamar dan ingin segera tidur. Selesai dirinya memarkir mobil, Sherly segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Ibu, Kakak, Adik!" teriak Dave yang berada di ruang keluarga. Ethan yang baru saja memejamkan mata segera bangkit menuju sumber suara. Begitu juga yang lain, mereka segera menuju ke ruang tamu.
"Apa Dave? Suaramu tak bisa dikecilkan sedikit apa!" tukas Abigail yang masih penuh dengan sampo rambutnya, memakai handuk melilit pinggangnya.
"Adik, kalau teriak bukan di sini, sana ke lapangan!" imbuh Charles yang geram dengan teriakan adiknya yang cempreng.
"Apa yang kamu lihat itu? Bukankah di televisi itu wajahmu?" Boman yang baru masuk rumah hendak ke kamarnya langsung melihat adiknya yang masih menatap televisi.
"Itu aku," Ethan tersenyum tipis.
Sherly tengah berjalan dengan sedikit berlari menghampiri pandawa.
"Ada apa ini, Dave kamu barusan berteriak memanggil ibu, ada apa Nak?" tanyanya seraya mengusap lembut kepala Dave, khawatirnya terjadi sesuatu pada putra keempatnya.
"Lihat itu Bu!" Dave menunjuk layar televisi begitu juga Sherly meluruskan pandangannya ke arah tv.
"Ethan masuk berita!" Sherly terperangah lagi. Ini bakalan menjadi kebiasaan barunya, tiba-tiba kaget atau menganga.
"Ibu, apa kita tak memiliki ayah?" tiba-tiba pertanyaan muncul dari mulut kecil Boman.
Sherly menelan salivanya bingung mau jawab apa.
"Bagaimana kalau kita mencari ayah?" tukas Ethan yang sejak tadi memperhatikan ekspresi ibunya.
.
"Presdir, lihat acara televisi sekarang!" asistennya yang bernama Thomas mengambil remot di atas meja dan menyalakan televisi.
"Aku tak sedang ingin menonton acara televisi, jadi tolong kamu pergilah !" Alvarendra memalingkan wajahnya, dia masih duduk di kursi kebesarannya.
"Anda pasti takkan percaya dengan apa yang anda lihat." Thomas meyakinkan Alvarendra, membuat si tuan bersin-bersin itu menatap ke arahnya penasaran. Thomas segera memindah chanel dimana ada berita seorang anak yang menolong wanita pingsan.
"Terus..." Alvarendra bertanya sambil mengerutkan dahinya tak peka.
"Presdir, lihat dan perhatikan baik -baik wajah anak ini! Bukankah dia mirip sekali denganmu?" Thomas mencocokkan foto tuannya diwaktu masih kecil yang terpajang di meja kantornya.
"Alah, itu kan bisa editan dari sutradara!" sanggah Alvarendra yang merasa berita itu tak menarik.
"Tapi Presdir, video amatir ini asli dan tanpa rekayasa, aku sendiri sudah menghubungi pihak yang menyebarkan video itu," terang Thomas mencoba menyakinkan bosnya.
Alva terdiam sesaat memikirkan ucapan Thomas barusan.
"Memangnya kalau dia mirip denganku, terus kenapa?" tukas Alva cuek.
"Beberapa media mengatakan kalau anak di video itu..." Thomas sedikit kikuk untuk menyampaikan berita itu.
"Apa?" Alva merasa tenggorokannya kering, dia meraih gelas yang ada di mejanya, meneguk air itu.
"Ada yang bilang anak itu adalah anak dari hasil hubungan gelap Presdir." terang Thomas, membuat Alva tersedak dan menyemburkan air minum yang ada di mulutnya.
"Hubungan gelap!" bentak Alva tak percaya dengan gosip itu.
Thomas mengangguk cepat, karena takut dengan suaranya yang menggelegar bak petir itu.
Dengan segera dia menghubungi bagian media untuk menghapus video yang sudah viral itu, namun sudah terlambat seluruh kota sudah mendengar kabar miring itu.
"Aku tak pernah melakukan itu, menyentuh wanita saja aku tak bisa, kamu tahu sendiri kan, bersin-bersinku ini tak pernah berhenti jika aku dekat dengan wanita , meski aku punya kekasih." Thomas manggut -manggut mendengar tuturan bosnya yang masuk akal juga.
Tok...tok...tok...
"Masuk!" perintah Alvarendra.
Seorang wanita yang tidak lain adalah sekretarisnya masuk sambil membawa dokumen.
"Haciu, haciu!" suara bersin Alva ketika sekretarisnya masuk.
"Ada apa? Haciu..." Alvarendra meraih tisu dan mengelap ingusnya.
"Ini Presdir, data dari keungan kita tidak sesuai dengan data sebelumnya yang tiba-tiba turun drastis." terang sekretarisnya.
"Drastis? Bagaimana bisa?" Alva memukul meja nya dan membaca dokumen yang diberikan sekretarisnya.
"Pasti ada yang korupsi, ini tidak bisa dibiarkan." Alva duduk di kursi kebesarannya sambil bersin-bersin.
Thomas menyuruh sekretaris yang bernama Lia itu segera meninggalkan ruangan presdir.
"Thomas, apa pernah aku berlaku tidak adil pada bawahanku?" tanya Alva serius.
"Anda selalu adil dan bijaksana, tak pernah berbuat curang sekali pun." terang Thomas membuat hatinya sedikit tentram.
"Tapi, bagaimana bisa ada yang korupsi di perusahaan yang baru saya aku pimpin ini?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!