NovelToon NovelToon

Gadis Buta Tuan R

Episode 1

Seorang gadis cantik berjalan anggun dengan payung hitamnya, ya pagi ini memang suram sedari tadi gerimis tak henti menguyur kota C.

Splash..

Sebuah mobil hitam melaju kencang melewati sebuah genangan air yang cukup besar.

"Hmmp.. sialan," umpat gadis itu lirih. Dia berhenti, tangan pucatnya mengelap lengan baju dan rambut hitam panjangnya yang basah.

Wanita dengan rambut panjang yang tergerai itupun mempercepat langkah, dengan tongkat yang menjadi komandonya. Gadis itu berjalan menuju sebuah toko bunga tak jauh dari ia berdiri sekarang.

Ting..Ting.

Lonceng besar berwarna emas berbunyi, tiap kali pintu kaca itu terbuka. Gadis bergaun abu-abu itu mendorong, perlahan pintu kaca dengan tangannya yang pucat.

"Selamat datang," sambut seorang perempuan berperawakan tinggi.

"Ah .. kamu Rea, kenapa kamu basah kuyup gitu?" tanya seorang perempuan sambil berlari kecil kearah sahabatnya. Melihat wanita itu basah kuyup, ia meraih handuk yang ada di gantungan pintu kasir kemudian memberikannya pada gadis itu.

"Keringkan rambutmu, dan cepat pergilah ke kamar atas aku akan membuatkanmu coklat hangat," ujar Mella.

"Hmm." jawab Rea singkat. Meraih tongkatnya, Rea berjalan perlahan menyusuri ruangan menuju tangga di lantai atas.

"Mel.. tolong kau ambil payungku tertinggal di luar," Rea berteriak tanpa menghentikan langkah menuju ke kamar.

"Iya iya bawel."

Gadis berperawakan tinggi itu meletakkan cangkirnya kembali. Dengan berlari kecil dia pergi ke luar toko bunganya.

Mella mengibaskan payung hitam itu sebelum memasukkannya kedalam rak payung yang ada di belakang pintu. Setelah itu ia pun kembali ke dapur kecil, untuk meracik dua coklat hangat.

Dengan perlahan Rea menuruni anak tangga. Walaupun gadis itu tidak bisa melihat. Namun, ia bisa dengan baik melakukan setiap hal layaknya orang normal pada umumnya.

Mella meletakkan dua gelas coklat hangat di atas meja lalu menghampiri Rea yang sedang berjalan ke arahnya. Dengan lembut gadis itu menarik tangan sahabatnya.

"Duduklah," ujar Mella sambil menarik kursi dengan satu tangannya.

"Terima kasih, Mel." Rea meraba kursi itu, kemudian mengenyakkan bokongnya.

"Hem." Mella menyeruput coklat hangat, yang menghangatkan tubuhnya.

Tangan lentik Rea yang pucat itu meraba meja dihadapannya, sampai ia akhirnya menyentuh cangkir yang terasa hangat. Dengan perlahan Rea mendekatkan gelas itu ke hidung mancungnya. Aroma coklat yang manis menyeruak masuk ke dalam Indra penciumannya, seulas senyuman terbit di bibirnya yang mungil.

"Man, apa kamu ga punya baju warna lain? apa kamu ga bosan? kamu kaya nenek nenek kalau pake warna itu terus!" sindir Mela sambil menyeruput coklat hangat miliknya.

Mandy memang sudah ganti bajunya. Akan tetapi dia memakai warna yang sama, dengan baju yang tadi ia pakai. Hanya detail renda di bagian bawah mini dressnya dan kerutan di bagian lengan saja yang membedakan. Abu abu warna itu yang selalu Mandy kenakan.

"Aku ga akan pernah bosen Mella. Ini adalah identitas ku agar dia menemukan ku." ujar Mandy dengan senyum termanis yang dia punya. Mella memutar matanya jengah.

"Ya ya aku harap dia akan segera menemukan mu, kau sudah menunggu selama 12 tahun

entah siapa yang kau tunggu," ucap Mella setengah sebal dengan sahabatnya yang keras kepala ini.

Mandy hanya diam dan menikmati alunan dari setiap butir tetes air langit yang seolah mewakili harinya. Harapannya untuk bertemu sang pangeran kecil tak pernah surut, meskipun dalam keterbatasan dirinya sekarang.

*****

Di tempat lain seorang lelaki duduk di kursi kebesarannya, memandang keluar di temani segelas wine di tangan nya. Entah apa yang ada di pikirannya.

ceklek

"Tuan. Nyonya besar sudah meninggal," ucap seorang laki laki memakai jas hitam pekat khas orang berduka.

"Baguslah, lalu apa lagi?" jawab Pria itu datar. Senyum miring terbit di bibirnya.

"Tuan besar, ingin bertemu dengan Anda." lanjut sang asisten tanpa merubah posisi kepala nya yang menunduk.

"Ck.. jangan panggil dia dengan sebutan itu. Dia tak lebih dari lintah,menjijikkan!" sentak pria itu.

Pria itu mengeraskan rahangnya. Dadanya bergemuruh setiap dia mendengar nama dari seorang penghianat yang selama ini di peliharaannya.

"Ma..maafkan saya Tuan." jawab sang asisten dengan tergagap.

"Biarkan dia menemui ku. Aku ingin tau apa yang sampah itu ingin katakan " ucapnya sang Tuan.

"Baik Tuan. kalau begitu saya permisi." ujar sang asisten dengan membungkuk hormat, lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

Pria itu menyandarkan tubuhnya di sofa, sambil membuang nafas kasar. Randall meneguk wine yang sedari tadi tidak tersentuh oleh tangan nya.

"Kita lihat siapa yang akan hancur, Jun Matsumo kau atau aku."

Sorot matanya kian menajam, merah dan penuh amarah. Gelas wine kini sudah remuk dalam genggamannya. Mungkin jika ada yang melihat dia sekarang akan mati berdiri karna sorot mata yang begitu gelap penuh amarah dan kebencian.

"Randall.. Randall .... keluar kau brengsek!" seorang pria yang sudah tak muda lagi berteriak, mengamuk di depan sebuah kantor. Dia yang tak lain adalah Jun Matsumo.

Beberapa satpam sudah menahannya.Akan tetapi dia terus meronta tenaganya cukup kuat. Hingga para satpam pun merasa merasa kewalahan.

"Lepaskan.. dia biarkan dia masuk." perintah Vin.

Satpam pun melepaskan pegangan mereka. Merapikan jasnya Jun pun melesat masuk, setengah berlari menuju lift langsung menekan angka 31. Sebuah lantai yang di khususkan untuk Presdir, dan para petinggi perusahaan. Lift itu terasa lambat untuknya, ia menghentakkan kakinya tak sabar, mata yang memerah dan sembab, rambut yang acak acakan, penampilan yang luar biasa kusut, sungguh seperti bukan Jun.

"Cepatlah dasar lift Brengsek," umpat Jun, pada kotak besi berjalan itu.

Episode 2

"Ting"

"Akhirnya"

Jun segera melangkahkan kakinya lurus, menuju pintu besar yang ada di hadapannya.

Braak

"Randall .... ka..."

Teriakannya tergantung di langit. Bingung yang dia hadapi bukan yang dia inginkan, hanya jajaran bangku kosong melingkar meja besar di lengkapi dengan audio canggih. Matanya melotot terkejut, tangannya mengepal kuat.

"Siiiiaaaaal.. haaaaa.....!!!" Jun berteriak meluapkan

amarahnya yang sudah di ubun-ubun.

"Haaa,..!!!"

Satu persatu bangku melayang ke arah meja besar dan tembok yang ada di ruangan meeting tersebut.

Bruak .. Bruak.. braaak

Tiap kursi sudah tak berbentuk lagi. puas dengan furnitur disana Jun berniat turun ke lantai bawah lagi

Pyaarr

Satu pot bunga besar tak luput dari kakinya yang berapi sejak tadi. Lagi, Pria itu harus menunggu lift itu turun ke lantai satu.

"Dimana ruangan Randall?" sentak Jun dengan tersengal menahan amarah yang sudah di tenggorokan, tangannya sudah mencengkeram pinggiran meja, dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya.

"Di lantai 32 Tu...uan Jun" jawab resepsionis dengan tergagap. Mukanya pucat pasi, ia takut laki-laki di hadapannya akan mengamuk dan menghajarnya.

Braak..

Jun mengebrak meja untuk menutupi rasa malunya. Pria itu membalikkan badannya dan melangkah menuju lift.

"Jika Tu..u..an butuh saya lagi.. Tu..uan bisa pang ..gil saya lewat intercom yang ada di setiap ruangan," meskipun dengan ketakutan si resepsionis itu, tetap memberikan informasi pada Jun.

Jun menoleh, melempar pandangan tajam pada sang resepsionis, tentu untuk menutupi rasa malunya. Betapa bodohnya ia setelah 10 tahun menjalankan W corp, baru pertama kalinya dia di permalukan seperti ini. Jun segera masuk ke dalam lift dan menekan angka lantai yang dia tuju.

Ting.

Pintu lift terbuka. Dengan bersungut-sungut Jun melangkah lebar ke arah pintu jati besar yang ada di hadapannya.

Braaak

Pintu itu di buka dengan kasar.

"Randall.apa yang kau perbuat pada Ella?" sudah tak sabar Jun ingin menghajar Randall, tapi melihat dua body guard yang besar di belakang Randall, dia hanya mengebrak meja kerja untuk meluapkan emosinya.

"Hemm.. tidak ada, aku hanya mengatakan pekerjaanmu di rumahku Tuan Jun," jawab Randall tenang, di iringi dengan smirk yang mengejek. Tangannya yang semula memegang pena kini di lipat untuk menopang dagunya.

"Kau! bajingan, Brengsek.. karna kau Ella sekarang meninggal..ini balasan mu atas pengabdian kami pada keluarga mu heh!!"

"Pengabdian," ulang Randall dengan nada mengejek.

"Hahahaha." Randall tertawa lepas. Namun, terdengar menakutkan.

"Pengabdian mu, untuk membuat ayahku kecelakaan dan mati, untuk meracuni ibu ku perlahan, oh dan untuk mendorong ku di tebing saat usia dua tahun."ucap Randall dengan menatap tajam pada pria menyedihkan yang ada di hadapannya.

Mata Jun terbelalak mendengar setiap perkataan Randall. Pria itu melihat Randall dengan terkejut

"Bagaimana aku tahu semua ini.. itu yang ada di pikiran mu bukan?" ucap Randall tepat di wajah Jun. lidah Jun kelu, rasanya dia sulit untuk bernafas, keringat dingin mulai meluncur dari tiap pori pori kulit nya.

Randall bangun dari kursi kebesarannya, Pria bertubuh tegap itu berjalan perlahan memutari mejanya, mendekati Jun yang mulai beringsut mundur.

Randall meraih kerah baju yang di pakai pria paruh baya itu, dengan satu tangannya Randall mengangkat tubuh Jun dan melemparkannya ke lantai. Bukan tanpa perlawanan tapi tenaga Jun tak sepadan untuk melawan pria di hadapannya.

Randall mengerakkan dagunya, memberi kode pada dua anak buahnya. Dua orang itu mengangguk, melangkah mendekat ke arah dengan seringainya.

"Apa yang kalian lakukan, pergi. Jangan mendekat!" Pekik Jun dengan ketakutan.

Bruugh

"Aaaghhh," Jun mengerang saat sebuah bogem mentah mendarat di perutnya.

Bruugh

Bruugh

Dua orang kekar itu mendaratkan pukulan di tubuhnya secara membabi buta.

Bruugh

"Uhuk...uhuaak....!!"

Darah segar mengalir dari mulut Jun, setelah sebuah tendangan di Randall menghempaskan tubuhnya di sofa, menikmati pemandangan yang sungguh menyenangkan baginya.

Pukulan demi pukulan terus mendarat di tubuh Jun. Sampai tubuh itu tak lagi bergerak. Melihat Jun sudah tak berdaya kedua anak buah Randall berhenti, lalu melangkah mundur.

Randall bangun dari duduknya, mengayunkan kakinya mendekat ke arah tubuh yang bersimbah darah dan lebam. Randall menarik rambut Jun, membuat sang empunya terpaksa mendongakkan kepalanya.

"Hmm, sayang sekali lantai ku terlalu mahal untuk di kotori darah penghianat seperti mu."

Randall menghempaskan kepala Jun dengan kasar.

"Seret dia keluar dari gedung ini!" titah Randall pada kedua pengawalnya.

"Baik .. Tuan."

"Aku akan membalas mu Ran," gumam Jun lirih dengan mulut yang penuh darah.

"Aku tunggu." jawab Randall enteng.

Dua orang pria itu segera menyeret Jun keluar dari ruangan Tuannya.

"Tuan," ucap Vin yang baru saja masuk dengan membungkuk hormat.

"Vin kirim tua Bangka itu kembali kenegaraan" ujar Randall, sambil memijit pelipisnya.

"Baik Tuan." Jawab Vin patuh.

"Vin bagaimana tugas yang aku berikan padamu.. apa kau sudah menemukannya."

"Maaf Tuan .. agak sulit untuk itu," jawab Vin gugup melihat raut wajah tuannya yang berubah masam.

"Ck...cepat cari dia dasar lamban, waktumu hanya satu Minggu Vin," tegas Randall dengan tatapan yang seolah menembus kepala Vin.

"Baik Tuan.. kalau begitu saya permisi." Vin membungkuk hormat lagi.

"Hmm"

"Dasar Tuan muda tidak berperasaan, satu minggu aku bisa dapat apa? Dia hanya tau nama, yang bahkan hanya nama panggilan, bukan nama asli gadis itu." gerutu Vin dalam hati, tentu mana berani dia bicara seperti itu. Ia bisa jadi tuna dalam kaleng kalau sampai terdengar oleh Randall.

****

episode 3

"Katakan sesuatu.. kenapa kau diam saja," Mella melambai lambaikan tangan, di wajah Mandy yang sedari tadi mematung.

"Eh.. iya.." sentak Mandy tersadar mendengar perkataan Mella

"Kau .. melamunkan dia? pangeran kecilmu itu?" tebak Mela

"Mell... apa sudah saatnya aku menyerah," Mandy berucap lirih, dengan rasa sesak tertahan di dadanya.

Ia menghembuskan nafas panjang, sembari meletakkan beberapa tangkai bunga mawar, yang di rangkainya.

"Kenapa?.. apa kau sudah bosan menunggu. Bukankah kau selalu membanggakan cerita masa lalu mu yang indah dengan laki laki itu," Sindir Mela.

"Tidak.. aku tidak akan pernah bosan menunggunya, hanya saja aku khawatir. Dia akan kecewa dengan keadaan ku sekarang, dan akan meninggalkan aku lagi Aku tak sempurna seperti dulu lagi Mella, aku .. aku..buta." Air mata Mandy lolos begitu saja di pipinya yang mulus.

"Sejak kapan kau menangisi nasibmu, kau selalu mandiri, kau bisa melakukan segalanya tanpa merepotkan orang lain. Bahkan sekarang kau sudah bisa memberi uang pada Ibu panti." Mella menghela nafas panjang. di cengkramnya bahu Sabahat kecilnya itu.

"Mandy .. dengarkan aku, Pangeran kecilmu itu akan menerima apa adanya dirimu, jika memang dia sebaik yang kau katakan," kali ini Mella sedikit terbawa emosi

"Hehehehe." Mandy terkekeh mendengar penuturan sahabatnya, yang selama ini selalu menyindirnya pekara pangeran kecil yang selalu dia tunggu.

"Sudah... kenapa kau jadi cengeng begini, cepat selesaikan buket mawar itu sebentar lagi mereka akan mengambil nya." Mella pun mulai meraih kertas pembungkus buket bunga,sambil membenahi duduknya.

"Hmm, ok."

Mandy kembali bersemangat, pesanan hari ini cukup banyak beberapa buket mawar untuk acara pertunangan seorang pelanggan setia mereka.

Senda gurau mewarnai ruangan itu, suasana menghangat kembali gelak tawa Mandy kembali terdengar. Mella tersenyum simpul mendapati sahabatnya kembali bisa ceria.

*****

Dentuman musik keras, sorotan lampu gemerlap menyambut langkah Randall, menuruni beberapa anak tangga dari pintu utama.

"Sebelah sini Tuan Randall," seorang waiters membungkuk menyambut Randall, mengarahkan nya menuju ruang VVIP dalam club ini.

Beberapa pasang mata memperhatikannya, mengerlingkan matanya mencoba mengoda

tangan seorang wanita bertubuh sintal memakai pakaian kurang bahan yang menunjukkan hampir separuh dari buah melon yang ada di dadanya menahan tangan Randall.

Tanpa rasa malu, ia menempelkan buah dadanya,

mengerakkan naik turun lengan Randall.

"Tuan bermainlah denganku, aku akan memuaskan mu," bisiknya. lirih sambil menjilat ujung telinga Randall.

Randall mengibaskan keras lengannya membuat pegangan wanita itu terlepas dan agak terdorong beberapa langkah kebelakang.

"Kau.. pikir.. aku sudi menyentuh ****** seperti mu, menjijitkan!" Randall melepaskan jas yang ia pakai membuang nya ke arah waiters dengan kasar. Ia pun mempercepat langkahnya menuju ruang VVIP.

Wanita itu dia menatap punggung Randall yang pergi meninggalkan nya.

"Kau akan membayar penghinaan ini Tuan." gumam katrina, matanya melotot merah, dia tak pernah di tolak oleh lelaki mana pun sebelumnya, dia adalah mahkota di club ini. Dan akan tetap seperti itu, tidak ada yang boleh menolak seorang katerina.

"Ck.." Katrina berdecak kesal, lalu mengayunkan kakinya meninggalkan club, moodnya sudah rusak dia tidak ingin di melayani siapapun malam ini.

"Selamat datang Tuan muda, mari mari nyaman kan dirimu Tuan," sambut seorang berkepala botak.

Karena orang inilah Randall ke club ini, seumur hidupnya dia hanya sesekali ini dia menginjakan kakinya di club, itu pun karena undangan kolega bisnisnya. Randall lebih suka menyendiri di kamar atau berjibaku dengan perkembangannya. Tempat seperti ini hanya membuatnya merasa muak.

Randall mendudukkan dirinya di sofa tepat di hadapan kolega lamanya itu.

"Saya punya beberapa hadiah untuk Anda Tuan," ujar max sambil meneguk wine dari gelas nya, beberapa wanita berdandan menor, berpakaian minim, berjalan hendak mengerubuti Randall. Membuat Pria itu merasa tak nyaman.

"Ck, cepat suruh mereka semua pergi, aku muak dengan bau mereka," bentak Randall dengan sorot matanya menatap jijik pada wanita yang berdiri di hadapannya. Randall membuat mereka semua takut, dan segera mereka kembali ke balik tirai di mana merek semua keluar tadi.

"Maafkan saya Tuan, saya kira Anda suka dengan hadiah seperti ini, karena Tuan Jun tidak pernah menolaknya." ucap Max gugup, Pria botak itu tak menyangka Randall dengan terang terangan menolak para wanita yang sudah di sewanya dengan tarif paling mahal di club itu.

"Jangan samakan aku dengan manusia brengsek itu, cepat katakan ada apa Anda mengundang saya kemari!" Randall berusaha sopan, karena Max adalah salah satu kolega bisnis yang cukup lama ia kenal, sejak ayah Randall masih hidup Max sudah berkerja sama dengan W corp.

"Tenanglah Tuan muda, saya hanya ingin berbincang santai dengan Anda," Max menyunggingkan sebelah bibirnya. Pria itu meraih gelas wine di meja Lalau mengangkatnya untuk bersulang bersama Randall.

"Untuk, tahun tahun kerjasama kita Tuan," Randall menyambutnya dengan turut mengangkat gelasnya. Keduanya mendekatkan gelas bening itu hingga menimbulkan bunyi karena saling beradu. Randall menenggak habis wine di gelasnya. Max tersenyum tipis melirik tajam ke arah Randall.

Wajah Randall mulai panas, hawa panas itu menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Sial." umpat Randall, dia merasa ada yang tidak beres

terjadi pada tubuhnya.

"Maaf Tuan Max saya tidak bila terlalu lama di sini, aku harus pergi sekarang." Randall mengangkat tubuh nya dari sofa mencoba berjalan.

Tapi..

tapi apa 😀

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!