NovelToon NovelToon

Menjadi Simpanan CEO

Prolog

Prolog

Di taman dekat sekolah Archilla, gadis itu duduk dengan pemuda tampan bernama Alvaro Antarakna, lelaki yang sudah ia sukai sejak lama. Sebut saja cinta pertamanya. Lelaki yang memiliki wajah tampan dan tatapan tajam, setajam mata elang. Tatapan yang kerap kali membuat Chilla menggila.

Cukup banyak Chilla mengenal pemuda itu, karena sejak kecil mereka kerap kali bermain bersama, bahkan kedua orang tua mereka bersahabat dan rumah mereka bersebelahan.

Namun karena usia yang terpaut cukup jauh, Alva hanya menganggap Chilla sebagai sosok yang harus dilindungi dan di ayomi. Ya dia hanya menganggap Chilla sebagai adik kecilnya.

Berbeda dengan Chilla, yang selalu menganggumi Alva, hingga seiring berjalannya waktu, rasa kagum dan suka itu berubah menjadi cinta, cinta yang ia pupuk dengan indah di hatinya.

Hingga tepat di usianya yang ke 18 tahun ia membuat keputusan sendiri untuk melangkah ke situasi ini, meski ia tahu Alva hanya menganggapnya sebagai adik, namun ia tak akan menyerah begitu saja.

Ia yakin bahwa hati Alva mampu ia luluhkan, meski ia tahu kini lelaki itu akan bertunangan. Hingga akhirnya dengan tekad yang bulat, ia memberanikan diri untuk meminta Alva menerimanya menjadi seorang simpanan.

"Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?" Tanya Alva pada Chilla yang sedang menunduk menatap sepatunya sendiri. Sewaktu di kantor ia mendapat info dari asistennya Juna, bahwa gadis disebelahnya menelpon, dan meminta Alva untuk datang di jam istirahat nya, dengan alasan ada sesuatu penting yang akan gadis itu sampaikan.

Dan disinilah mereka sekarang, Chilla yang mendengar pertanyaan seperti itu mendongak dan perlahan menatap Alva yang sama sekali tak memandang ke arahnya.

Gadis itu mengulum senyum. Mengagumi keindahan yang tepat didepan matanya.

"Eummm... Kak Alva liat Chilla dong." Ucap Chilla dengan manja. Ia sama sekali tak peduli pada makhluk-makhluk yang sedari tadi menatap aneh ke arah dirinya dan juga Alva.

Yang ia tahu, ia bahagia berada di dekat lelaki itu.

Alva bergeming, hingga akhirnya Chilla mulai merengek sambil menarik-narik lengannya. Kebiasaan yang selalu membuat Alva mengalah padanya, karena tak mau berdebat lebih lama.

"Lepaskan dulu tanganmu, aku akan berbalik." Ucap Alva tetap dengan air muka yang tak berubah, tetap dingin. Namun inilah daya tariknya, sesuatu yang selalu membuat Chilla tergila-gila, dingin namun tampan luar biasa.

Akhirnya Alva berbalik, menatap lekat wajah Chilla, gadis lugu yang memiliki lesung di pipi kanannya. Ditatap seperti itu Chilla jadi tersenyum malu-malu.

Kak Alva benar-benar tampan. Batin Chilla riang.

"Cepat katakan. Karena sebentar lagi aku harus kembali ke perusahaan." Ujar Alva dengan lugas.

Lagi-lagi gadis belia itu mengulum senyum, senyum yang terlihat menyebalkan dimata Alva. Membuang waktu saja pikirnya.

"I love you." Ucap Chilla dengan tersenyum manis, dan berkedip-kedip manja, berharap kali ini ucapannya ditanggapi serius oleh sang pujaan.

Alva memandang Chilla tak suka. Ia seperti sedang dipermainkan oleh gadis SMA itu.

Ia sudah meluangkan waktunya yang cukup sempit demi menemui gadis itu, tetapi hanya kalimat itu yang ia dapat.

Ck! Alva berdecak keras.

"Kau menyuruhku datang kemari hanya untuk mengatakan itu?" Tanya Alva, gigi gerahamnya saling bertautan, tanda ia geram.

Chilla mengangguk, senyum di bibirnya sama sekali tak tertanggal, meski ia tahu kini mimik wajah Alva telah berubah. Memerah menahan marah.

"Kau tahu bukan aku akan bertunangan? Jadi jaga ucapanmu Chilla." Tanya Alva lagi, sekaligus memberi peringatan, dan Chilla hanya mengangguk santai. Seolah apa yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan.

"Lalu apa maksudmu mengatakan itu?" Alva mencondongkan wajahnya tepat dihadapan Chilla, hingga pucuk hidung mancungnya sebentar lagi mengenai bibir mungil milik Chilla, dengan jarak yang sedekat ini gadis itu mampu merasakan terpaan nafas halus yang mengenai wajahnya.

Aroma maskulin lelaki itu bahkan sampai ke rongga-rongga hidungnya yang terdalam, ia seperti melambung tinggi, sampai ia memejamkan matanya menikmati posisi seperti ini.

Chilla membuka matanya, memainkan bibirnya agar nampak seksi, lalu tanpa sadar satu tangannya mengelus wajah rupawan yang sedari tadi mengelilingi otaknya.

Alva semakin geram, namun tak di pungkiri sentuhan halus itu sedikit membuatnya meremang.

"Chilla!!!" Bentaknya.

Seketika Chilla langsung sadar, dengan cepat ia menarik tangannya dari wajah tampan Alva. Lalu wajahnya berubah cemberut.

"Kau mau mati?" Ucap Alva dengan sinis, Chilla menggeleng.

"Tidak, kak Alva kan belum menerima cintaku. Masa iya aku mati lebih dulu." Balas Chilla dengan nada merengek.

Alva sedikit menarik sudut bibirnya, namun sama sekali tidak disadari oleh gadis didepannya.

Ia menghembuskan nafasnya dengan kasar, lalu kembali meminta penjelasan pada gadis itu, sebenarnya apa yang dia mau?

"Jadikan aku simpanan mu." Ucap Chilla dengan tatapan yakin, ia sudah memikirkan ini. Ia harus memastikan sendiri bahwa wanita yang akan bertunangan dengan lelaki yang di cintainya itu benar-benar baik atau tidak.

Karena sebenarnya yang ingin ia sampaikan adalah sesuatu yang berkaitan dengan calon tunangan Alva, yaitu Yolanda.

Namun karena ia teringat tidak memiliki bukti apapun, ia urungkan niat itu dan mencari sesuatu yang lain, yaitu menjadikan dirinya sebagai simpanan.

Terlebih dengan cara ini ia sendiri bisa berjuang, ia harus mendapatkan status hubungan mereka, agar terjalin lebih kuat, meski hanya di anggap sebagai pihak ketiga. Itu sama sekali tidak masalah baginya.

"Chilla kau benar-benar sudah gila. Aku tidak mau." Tolak Alva mentah-mentah, bahkan lelaki itu langsung bangkit dari kursinya. Dan berniat meninggalkan Chilla.

Chilla mengikuti Alva, ia juga bangkit dan berusaha mensejajarkan diri dengan lelaki itu.

"Aku tidak gila kak, aku hanya mencintai mu. Jadikan aku simpanan mu, itu tidak masalah. Yang penting aku tetap bisa bersamamu." Ucap Chilla dengan wajah memelas, ditambah penuh harap.

Alva memijat pelipisnya, kepalanya terasa pening mendengar permintaan Chilla yang tak masuk akal, bisa-bisa nya ada gadis SMA seberani ini meminta padanya untuk dijadikan simpanan. Terlebih itu adalah Chilla, gadis yang sudah lama dikenalnya.

Ya Tuhan... Dosa apa diriku ini.

Di keheningan itu Alva terus berpikir keras, bagaimana caranya menghentikan niat bodoh Chilla, hingga akhirnya terbesitlah satu cara yang menurut nya bisa membuat Chilla mundur. Ia yakin, dengan ini Chilla pasti akan menarik sendiri kata-kata nya.

"Baiklah, apa yang bisa kamu berikan untuk menjadi simpananku?" Tanya Alva dengan menggebu. Gadis ini harus ditantang, pikirnya.

"Semuanya." Jawab Chilla dengan cepat. Tak kalah menggebu dari Alva.

Alva menyunggingkan senyum sinis, ia menatap remeh pada gadis kecilnya yang ia anggap belum mengerti apa-apa tentang cinta. Ia yakin, apa yang dirasakan gadis itu hanyalah sebatas sebuah rasa cinta sementara.

Sesuatu yang bisa saja hilang kapan saja.

"Termasuk tubuhmu?"

...****************...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...****************...

Berikan like, komen, vote dan dukungan lainnya guyyyyysssssss🙏🙏🙏

Big love you kalian semua❤️❤️❤️

Salah Menilai

Disebuah apartemen mewah, yang hanya ditempati oleh seorang lelaki muda, ruangannya nampak sedikit meremang, karena lampu utama telah dimatikan.

Lelaki itu duduk didekat jendela sambil menghisap benda bernikotin yang diapit dikedua jarinya. Kakinya bertengger pada kursi yang lain, sedangkan tubuhnya hanya didekap oleh kain kimono.

Dengan tatapan sendu, ia memandang ke langit yang membiru bertabur bintang.

Namun pikirannya hanya terfokus pada satu arah, yaitu gadis belia bernama Chilla. Gadis yang berjanji akan menyerahkan tubuhnya malam ini.

Mengingat itu Alva sedikit menarik sudut bibirnya keatas, merasa bodoh, ia yakin Chilla tidak akan mungkin datang menemuinya. Untuk apa dia menunggu dengan harap-harap cemas?

Karena ia pun tahu, Chilla tidak akan seberani itu. Ditambah keluarga Chilla yang kerap kali over protektif, tidak boleh inilah, tidak boleh itulah.

Semua alasan itu kembali membuat Alva percaya, apa yang dibicarakan oleh Chilla adalah omong kosong belaka.

Akhirnya dengan sedikit rasa kecewa dihatinya, Alva bangkit dari kursi, berencana untuk mengistirahatkan tubuhnya. Namun seketika langkahnya terhenti, matanya terbuka lebar begitu ia mendengar pintu apartemennya dibuka oleh seseorang.

Chilla? Batin Alva bersorak.

Chilla melangkah dengan perlahan, menyusuri setiap inchi ruangan dengan kaki yang gemetar, mencari keberadaan lelaki yang cintainya.

Awalnya ia gamang, namun segera ia tepis karena itu semua hanya akan membuatnya dicap sebagai pembual.

Semakin lama, kaki mungil itu membawanya masuk kedalam apartemen Alva, hingga terhenti disebuah pintu ruangan yang ia yakini itu adalah kamar milik lelaki tersebut.

Berkali-kali Chilla menelan ludahnya dengan susah payah, hanya karena berpikir untuk membuka pintu ruangan itu atau tidak.

Namun semuanya sudah terlanjur basah, ia tidak mungkin untuk berjalan mundur dan berlari menjauh.

Akhirnya dengan kegugupan yang luar biasa Chilla memutar knop pintu.

Ceklek!

Tidak dikunci sama sekali, itu artinya Alva telah menyiapkan ini semua untuknya.

Chilla kembali merasakan gugup, dirinya sudah seperti akan dieksekusi mati oleh sang pemilik kamar, padahal ia sendiri yang sukarela untuk datang.

Begitu tubuh Chilla masuk dengan sempurna. Dan...

Prok!

Dengan sekali tepukan, tiba-tiba lampu bersinar dengan terang benderang. Dan hal itu sukses membuat Chilla menatap ke arah ranjang dimana Alva berada, dengan hanya mengenakan handuk kimono lelaki itu duduk dengan penuh wibawa.

Pandangan mata mereka bertemu, terkunci dalam waktu yang cukup lama.

Dengan hanya ditatap seperti itu, ternyata mampu membuat darah ditubuh Chilla berdesir dengan aneh.

Dan kegugupan yang sempat melanda, tiba-tiba hilang entah kemana.

Berbeda dengan Chilla, Alva terus menelisik dengan detail semua yang melekat ditubuh gadis kecilnya, mini dress selutut berwarna abu-abu, sepatu berhak rendah warna senada, rambut tergerai indah sebahu, dan riasan tipis penyempurna penampilan gadis itu.

Satu kata untuk Chilla, sempurna.

"Ku kira kau tidak akan datang." Cibir Alva, memutus pandangan keduanya.

Chilla berkedip pelan, lalu mengembangkan senyumnya, membalas cibiran Alva.

Kemudian kaki jenjang itu melangkah mendekat ke arah ranjang, tanpa aba-aba Chilla mendudukkan dirinya diatas pangkuan Alva.

Lelaki itu sampai terjangkit kaget dengan tingkah Chilla, ia kira gadis ini akan malu-malu untuk memulai terlebih dahulu.

Cup

"Chilla tidak mungkin berbohong pada kak Alva." Ucap Chilla setelah mengecup sekilas bibir lelakinya.

Diperlakukan seperti itu Alva semakin merasa tertantang, baru kali ini ada wanita yang begitu berani padanya. Bahkan kecupan singkat itu merupakan ciuman pertamanya.

Cih! Alva berdecih kesamping. Lalu matanya kembali menatap tajam ke arah Chilla, benarkah gadis ini akan berani melakukan itu semua dengannya.

"Baiklah, tidak perlu berbasa-basi lagi. Buka bajumu!" Titah Alva dengan suara yang sama sekali belum melunak. Dengan tujuan agar Chilla takut padanya.

Chilla menggeleng, "Tidak mau!" Tolaknya.

Alva menyunggingkan senyum remeh, "Sudah kuduga, kau hanya main-main denganku." Sekali lagi Alva mencibir berharap Chilla tak lagi meneruskan niat bodohnya.

Namun ternyata Alva salah, ia salah menilai gadis didepannya, Chilla menarik tangan Alva, menuntunnya ke arah resleting dress-nya yang ada dibalik punggung.

Kali ini Chilla yang menyunggingkan senyum.

"Dibuka sama kak Alva kayanya lebih seru." Ucap Chilla sambil menggantungkan tangannya dileher Alva, sejujurnya itu trik menetralkan rasa malu Chilla, ia tak bisa berfikir jika harus ia yang membukanya.

Alva menelan salivanya, dan itu dapat dilihat oleh mata Chilla, karena jakun itu terlihat naik turun, membuat Alva semakin terlihat menawan.

Karena merasa harga dirinya telah dicabik-cabik, tanpa pikir panjang Alva menarik resleting itu sampai kebawah, lalu tanpa ba bi bu menarik tengkuk Chilla dan melabuhkan ciuman pertamanya disana.

Lidah Alva semakin menggeliat keras, berusaha untuk masuk kedalam mulut Chilla, dengan segala upaya akhirnya ia berhasil, kini lidahnya terus bertautan dan saling membelit dengan lidah milik Chilla.

Terus bertukar saliva dan mencecap rasa memabukan yang tak pernah dirasakannya.

Ternyata semenyenangkan ini bermain dengan gadis kecilnya.

Alva semakin tak terkendali, kabut nafsu itu sudah mengambil alih. Gairah yang tak tertahankan membawa tangannya untuk membuka dress yang Chilla kenakan.

Dengan mata telanjang ia bisa menyaksikan dua bulatan indah yang sedang terpampang menantang. Begitu sintal.

Alva menatap sekilas wajah Chilla yang sudah memerah seperti buah cherry, lalu kembali melancarkan serangannya, memberi tanda merah didua bulatan tadi.

Merasa tak puas akhirnya Alva melepas pengait b*ra milik Chilla. Dengan nafas yang saling memburu keduanya terlihat saling memandang satu sama lain.

"Kau benar-benar ingin menjadi simpananku?" Tanya Alva kembali meyakinkan.

"Ya." Jawab Chilla singkat, ia ingin semuanya segera berakhir, ia sudah terlalu malu memperlihatkan tubuh setengah telanjangnya didepan Alva.

Ku harap kau tidak akan menyesal Chilla. Gumam Alva dalam hatinya.

Lelaki itu langsung menyesap bulatan indah yang sedari tadi mengitari otaknya. Chilla langsung menjerit nikmat dengan perlakuan Alva pada tubuhnya.

Bulu-bulu halus yang meremang menjadi saksi bisu betapa hebatnya, rasa panas yang menjalar hingga ke puncak ubun-ubun.

Lalu detik selanjutnya Alva membawa Chilla kedalam tempat peraduan. Mengungkung tubuh gadis kecil itu dibawah tubuhnya.

Chilla memegangi tali kimono yang Alva kenakan, dan Alva mengangguk menyetujui apa yang sebenarnya Chilla akan lakukan.

Sekali tarik handuk kimono itu terbuka lebar, menampilkan pusaka yang sedari tadi ada dalam bayangan otak Chilla.

Benda panjang yang siap mengoyak batas nirwananya.

Alva kembali mencumbui Chilla, mencecap, mel*umat, meremas dan mengusap dengan rasa yang membuncah.

Didalam rasa nikmat yang ia terima, tiba-tiba saja sekelebat wajah marah datang menghampirinya. Wajah garang yang ia kenal sejak dirinya duduk di bangku sekolah dasar.

Semakin dibiarkan ternyata semakin menjadi.

Lelaki itu langsung menghentikan aktivitas nya dan menggelengkan kepala menghilangkan apa yang dilihatnya.

Saat kembali melihat wajah wanita yang berada dibawahnya Alva semakin yakin halusinasi nya sedang tidak stabil.

"Kakak kenapa?" tanya Chilla penasaran.

Alva hanya menggeleng. Lalu kembali melabuhkan ciuman dibibir ranum Chilla, namun tak lama berlangsung wajah marah itu kembali datang, bahkan kini terasa sedang memakinya.

Alva tak peduli, ia terus meneruskan apa yang sedang nalurinya inginkan, namun selama itu pula wajah marah itu tak kunjung hilang. Semakin memaki tak habis-habis.

"Arghhh... Om Pram." Desis Alva sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ia berdecak keras karena kini nafsu birahinya berubah jadi rasa kesal. Kenapa tiba-tiba bayangan wajah marah ayah Chilla datang, apa ia tahu anaknya sedang melakukan hal yang bukan-bukan?

Akhirnya Alva bangkit dari tubuh Chilla, mengikat kembali tali kimononya, setelah selesai Alva mengajak Chilla untuk bangkit, dan membantu gadis itu memasang b*ranya.

Chilla menatap aneh pada sikap Alva yang tiba-tiba berubah, gadis itu langsung menghentikan tangan Alva yang sedang memasang pengait b*ra dipunggungnya.

"Kenapa tidak jadi?" Tanya Chilla meminta penjelasan, ia tidak mau misinya ini gagal, ia sudah terlanjur menahan malu setengah mati, maka semuanya harus berjalan dengan semestinya.

Alva tidak peduli pada pertanyaan Chilla, ia tetap memasang pengait itu dan membantu Chilla membenahi dress-nya yang berantakan.

Chilla terus memberontak, ia tidak mau seperti ini.

"Chilla nggak mau, kakak harus lanjutin apa yang tadi kita udah lakuin!" tegas Chilla, lagi Alva tak menggubris.

Chilla tak tinggal diam, ia menarik kembali tangan Alva agar jatuh diatas tubuhnya.

"Jangan gila! Kita tidak bisa melakukannya." Ujar Alva lalu bangkit.

"Benahi pakaianmu, nanti ku antar pulang." Sambungnya.

"Nggak mau kakak, Chilla nggak mau. Kakak udah bohong, katanya hanya dengan kita melakukan itu kakak siap jadiin Chilla simpanan kakak, tadi kita hampir aja ngelakuin, sekarang kakak berhenti gitu aja? Sebenarnya siapa disini yang main-main? Chilla atau kak Alva?" Jelas Chilla dengan kesal.

Alva mematung ditempatnya, ada baiknya semua ini memang tidak terjadi, tetapi kesalahan fatal yang ia lakukan adalah dia sendiri yang menantang Chilla melakukan ini.

Ahh... Ini bukan salahnya, ini salah wajah galak ayah Chilla yang datang tiba-tiba.

"Ahh aku tahu, pasti kakak nggak bisa ngelakuin itu yah? Kalo gitu biar Chilla aja. Kakak cukup diam dibawah. Chilla tahu, Chilla masih amatir, tapi Chilla—Chilla, Chilla udah pernah nonton film yang begitu kok. Jadi pasti Chilla bisa." Ucap Chilla menepis sisa malu yang ada.

Kurang ajar, anak ini malah menanggapku tidak bisa melakukannya?

Alva semakin memijat pelipisnya, bukan itu yang ia permasalahkan. Tetapi ia juga tidak bisa menjelaskan apa yang membuat dirinya harus membatalkan niatannya.

"Kakak." Chilla mulai merengek, bergelayut manja dilengan Alva.

Akhirnya, tidak ada jalan lain. Dengan melakukan itu ataupun tidak, sepertinya Alva memang harus menerima gadis itu sebagai simpanannya.

"Sudahlah, kita tidak perlu melakukan itu. Karena mulai malam ini, aku akan menerimamu menjadi simpananku."

...****************...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...****************...

Yok disemangati yok🔥🔥🔥🔥

Belum Keluar

Dalam perjalanan mengantar Chilla pulang, Alva terus terdiam, membisu dan bertarung dengan pikirannya yang berkecamuk.

Sedangkan dikursi sebelah, Chilla terus menggodanya, gadis itu menusuk-nusuk lengan dan dada Alva menggunakan jari telunjuk tanpa henti. Berharap lelaki itu akan bersuara.

"Chilla duduklah dengan tenang." Alva memberi peringatan. Namun seakan tuli, Chilla sama sekali tak mengindahkan.

"Chilla tidak bisa tenang jika didekat kak Alva." Jawab Chilla jujur sambil cengengesan.

Mendengar jawaban Chilla, Alva hanya bisa menghembuskan nafas panjang.

Lalu tangannya yang satu tak sengaja menekan klakson hingga berbunyi 'TINNNNNNN' dengan sangat nyaring.

Chilla terlonjak kaget, begitu pun dengan Alva, namun lelaki itu sama sekali tak melirik gadisnya, ia malah kembali fokus ke jalanan sambil sesekali memijat pelipisnya. Merasa sakit kepala.

Melihat itu mulut Chilla jadi gatal ingin bertanya, "Kakak kenapa?"

Dan pertanyaan itu sukses membuat Alva melirik Chilla dengan ekor matanya.

"Hanya sedikit pusing." Balas Alva datar. Setelah pertanyaan itu berlalu cukup lama.

Namun berbeda dengan reaksi Chilla, gadis itu langsung menyentuh kening Alva, memastikan suhu tubuh lelakinya.

"Tepikan mobilnya." Titah Chilla, tapi Alva tak menggubris.

"Chilla bilang tepikan!" Kali ini sedikit berteriak, hingga membuat seorang Alva akhirnya menepikan mobilnya ke pinggiran jalan.

"Sebenarnya kau mau—"

Sebelum Alva menyelesaikan kalimatnya, Chilla lebih dulu melompat ke arah Alva. Dan duduk dipangkuan lelaki tersebut.

"Auchhh." Pekik Alva karena Chilla baru saja menyakiti juniornya yang baru terlelap.

Tak mengerti kah gadis ini bahwa menenangkan juniornya butuh waktu yang cukup lama, bahkan efeknya masih ia rasakan, kepalanya benar-benar terasa berat, karena hasratnya tadi tak bisa dituntaskan.

"Pusingnya sejak kapan?" Tanya Chilla sambil menangkup kedua pipi Alva. Ia khawatir, melihat wajah Alva nampak tak seperti biasanya, namun lelaki itu hanya mengerutkan dahi, tak mengerti apalagi yang akan dilakukan gadisnya ini.

"Apa sejak tadi?" Tanya Chilla cemas.

"Hemmm." Jawab Alva sekenanya.

"Setelah kita melakukan i—tu?" Tanya Chilla dengan polosnya.

"Hemmm."

Seketika Chilla melepaskan tangkupannya dipipi Alva, dan beralih menutup mulutnya yang menganga.

Jangan-jangan.

Gadis kecil itu kembali merapatkan diri, dan memilih berbisik ditelinga Alva, seolah tak ingin ada yang mendengar pertanyaannya.

Kelopak mata Alva kembali melebar setelah mendengar apa yang Chilla bisikan, ia menelan ludahnya dan mengeratkan gigi. Geram.

"Air susumu belum keluar Chilla, mana bisa aku pusing karena itu. Jadi jangan mengada-ada." Ucap Alva dengan menahan nafas, tanpa sadar kalimat frontal itu keluar dari bibirnya, bahkan matanya menyalak tajam, ia tidak mengerti kenapa selalu saja ada pemikiran baru yang dimiliki gadis itu.

"Lalu kenapa tadi kak Alva menghisapnya?" Gumam Chilla pada dirinya sendiri, namun masih terdengar ditelinga Alva.

Astaga.

Alva menatap Chilla dengan sorot mata yang sulit diartikan, hingga akhirnya Chilla memilih untuk menunduk. Takut.

"Duduk kembali dikursimu!" Titah Alva dengan tegas, seketika nyali Chilla menciut, ia mengerucutkan bibirnya, lalu berpindah ke tempat duduk semula.

"Kenapa jadi marah-marah, Chillakan hanya menebaknya saja." Gerutu Chilla, tanpa memandang wajah Alva. Kesal, begitulah rasanya.

Alva tak peduli, setelah mendengus kesal ia kembali menginjak pedal gas dan membawa mobil itu ke jalan raya, melanjutkan niatannya untuk mengantar Chilla pulang ke rumah. Secepatnya.

Dalam perjalanan kali ini, Chilla benar-benar diam tak berkutik, keduanya terlihat tenang, hingga akhirnya mereka sampai disebuah rumah mewah berpagar hitam yang sudah sangat Alva hafal, karena letaknya tepat disebelah rumah kedua orang tuanya.

Alva menepikan mobilnya diseberang jalan, melihat itu Chilla langsung mengerti, ia meraih handle pintu mobil berniat untuk segera keluar.

Namun usahanya tak membuahkan hasil, karena Alva tiba-tiba menarik lengan Chilla, dan langsung menyesap bibirnya.

Sesapan penuh kelembutan, berbeda dengan sikap sebelumnya.

"Maaf." Lirih Alva. Entahlah, hanya kata itu yang ingin ia ucapkan saat melepas ciuman dibibir gadis kecilnya.

Senyum Chilla seketika mengembang, mata yang kerap berbinar itu mengedip pelan, menandakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sekali lagi Alva mengecup bibir ranum itu sekilas, lalu tangannya tergerak untuk mengusak kepala Chilla dengan gemas, seraya menarik salah satu sudut bibirnya keatas.

Hingga tanpa mereka sadari, diatas sana ada tirai jendela yang tersingkap, menampilkan dua bola mata yang terus memperhatikan ke arah mobil yang didalamnya ada mereka berdua.

*****

Pagi menyapa dengan cepat, bahkan kini matahari sudah mulai meninggi, hingga cahayanya mampu menerobos dinding kaca dikamar gadis bernama Chilla.

Gadis itu langsung beranjak ke kamar mandi, setelah jam weker berhasil membangunkannya untuk bersiap ke sekolah.

Selesai dengan ritual mandi, Chilla mematut dirinya didepan kaca, hari ini ia akan geraikan rambutnya sesuai permintaan seseorang yang ia cinta.

Chilla berjalan riang ke arah meja makan, tempat dimana Mama dan Papanya menunggu untuk sarapan.

"Good morning every body." Sapa Chilla disertai senyuman yang menghiasi bibir tipisnya.

"Morning girl." Balas keduanya.

Begitu Chilla duduk, Sarah, ibunda Chilla langsung menyendokkan makanan, untuk dirinya sendiri dan dua orang yang paling ia sayangi, Pram sang suami, dan juga Chilla, sang putri.

Chilla terlihat terus tersenyum disela-sela kunyahannya, hingga membuat kedua orang didepannya merasa penasaran, sebenarnya apa yang telah terjadi dengan putri mereka semalam.

"Chil, kamu keliatan lagi bahagia, kok nggak ada cerita-cerita sama Mama?" Tanya Sarah sebelum ia menyendokkan makanan untuk masuk ke dalam mulutnya.

Ditanya seperti itu senyum Chilla semakin lebar, ia memegangi pipinya yang ia yakini terlihat memerah.

"Benarkah Chilla terlihat bahagia?" Chilla balik bertanya. Ia memandangi Sarah dan Pram bergantian, meminta jawaban.

"Dari tadi kamu terus senyum-senyum nak." Balas Sarah.

"Benar, Chilla sedang bahagia. Kalian tahu, sekarang Chilla sudah punya pacar." Ucap Chilla sambil bertepuk tangan riang, seolah memiliki pacar adalah suatu kebanggaan.

Namun lain dengan reaksi Pram, ia sedikit membanting sendok ke atas piring, hingga menimbulkan bunyi nyaring.

Sontak kedua wanita berbeda generasi itu langsung menatap ke arahnya. Terlebih Chilla.

"Ck! Jangan bilang Papa tidak suka." Ucap Chilla dengan nada menyindir.

"Siapa bilang? Papa suka, Papa juga mengizinkan kamu memiliki pacar, tapi perlu Papa ingatkan, kalau sampai dia membuatmu menangis, lihat saja apa yang akan Papa lakukan." Balas Pram garang, membuat Chilla membentuk bibirnya tak suka.

"Mas..." Sarah mulai menengahi. Wanita itu mengusap lengan suaminya, lalu beralih menatap ke arah Chilla untuk mencairkan suasana.

"Sayang bagaimana wajah pacarmu? Apa dia tampan?" Tanya Sarah. Mendengar pertanyaan ibunya, Chilla kembali antusias.

Ingatannya langsung tertuju pada sang pacar, Alva.

"Benar, dia bahkan sangat tampan, pintar, kaya, berwibawa, pokoknya sempurna dan yang pasti..... Tidak galak seperti suami Mama." Cibir Chilla sambil melirik Pram dengan ekor matanya sinis.

"Chilla!" Pekik Pram.

"Lagian Papa jangan suka galak-galak kenapa, nanti pacar Chilla kabur gimana?" Ucap Chilla menggebu, membuat suasana dimeja makan kembali memanas.

"Chilla, apa yang Papa lakukan, semata-mata hanya untuk melindungi kamu." Balas Pram tak kalah menggebu.

"Dan Papa peringatkan sekali lagi, jika dia menyakitimu sekali saja, akan Papa tebas lehernya." Sambungnya disertai sebuah ancaman, lalu melangkah pergi dari meja makan.

"Cih, dasar manusia tidak berperikemanusiaan." Desis Chilla.

...****************...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!