“Saya terima nikahnya Givanna Shafa Aurora, binti Gibran Santoso dengan mas kawin ....”
Suara bariton nan lantang seseorang terdengar dari arah leadspeaker besar di mana tampak seorang cowok gagah dengan pakaian putihnya tengah membacakan ijab dibantu dengan sebuah mikrofon.
Di sampingnya duduk, terdapat satu orang gadis yang sebentar lagi akan berubah status menjadi istri. Istri dari Saga Praja Askara yang notabennya adalah musuh bebuyutan seorang Givanna—Ketua OSIS di SMA Andara.
Kedua pasutri itu memang masih berstatus sebagai pelajar. Pernikahan mereka dilangsungkan karena paksaan dan perjodohan orang tua. Tentu saja Saga yang sangat menyayangi ibunya tak sampai hati ingin menolak.
Apalagi Givanna yang hanya mempunyai seorang ayah, pasti sulit rasanya untuk menolak permintaan orang tua satu-satunya itu.
Terpaksa, dia harus menikah dengan Saga—Si pembuat onar di SMA Andara, sekaligus musuh bebuyutannya, yang setiap hari tak luput dari hukuman.
Dalam satu kali percobaan saja, Saga sudah berhasil membacakan ijab, disusul dengan serah terima Givanna dari Gibran, untuknya.
‘Si ketua OSIS lucnut, bisa-bisanya jadi bini gua! Sumpah, mukanya buat kesel. Gua tabok juga lu, fotocopynya guru!’ gerutu Saga dalam hati, tetapi wajahnya masih di-setel sebiasa mungkin.
Di seberang sana, Givanna yang dengan malas dan sudah risih dengan pakaian pengantinnya, sudah misah-misuh di tempat, dengan beberapa kali menarik-narik ujung gaunnya kesal.
Takdir tidak bisa diputbalikkan, ataupun dihindari. Apalagi diganti. Kuncinya ya ... ikhlaskan saja.
•••
Jam menunjukkan pukul 23.15. Acara resepsi pernikahan Saga dan Vanna baru saja selesai beberapa menit lalu.
Kini, kedua pasutri itu tengah berada di dalam satu buah kamar yang sudah dihias sebaik mungkin, tetapi nampaknya baik Saga ataupun Vana tak terkagum sama sekali. Bisa dilihat dari wajah mereka yang datar dengan posisi tidur saling membelakangi satu sama lain.
Memejamkan mata, Vanna mengabaikan Saga yang menoel-neol perut ratanya, tentu saja kesal. Jika tidak mengingat sekarang Saga adalah suaminya, mungkin wanita itu akan men-sleding Saga saat ini juga.
“Gue benci lo,” bisik Saga agak jauh, tetapi Vanna masih dapat mendengarkan itu.
“Anak Dakjal! Tidur di bawah lo! Males gue satu ranjang sama lo! Takut ketularan virus.”
Nampaknya sosok Saga benar-benar tengah memancing emosi Vana sekarang. Baiklah ... jangan salahkan Vana jika besok dia tidak dapat memutar lehernya dan berjalan.
Suara riuh ayam jantan membangunkan para insan yang masih terlelap damai di atas kasur empuk, sekaligus dibaluti oleh selimut tebal yang hangat. Tapi nampaknya, tak ada sesiapapun yang menghiraukan ayam tesebut.
Cuaca dingin pagi hari ini membuat siapa pun enggan untuk bangkit. Ingin rasanya tetap meringkuk di balik selimut, kalau-kalau tidak ingat untuk beraktivitas.
Di salam satu kamar, tampak dua orang pasutri yang dengan malas duduk di atas kasur empuk itu, dengan mata yang masih setengah terbuka.
Selimut tebal masih menutupi kaki mereka. Berjalan menuruni ranjang, Vanna memasuki kamar mandi, tentunya untuk membersihkan diri. Kebetulan ini hari minggu, jadi dia tidak perlu terburu-buru untuk mandi.
Lima belas menit, Vana keliar dari kamar mandi dengan pakaian santai yang terbalut di tubuhnya. Diiringi dengan suara getaran ponsel di atas kasur.
Entah ke mana Saga pergi, tetapi ponselnya yang bergetar, membuat Vana gatal ingin melihat.
Wanita itu mengambil benda pipih yang berada di atas kasur, melihat name kontak yang tertera di layar.
Elsayang♥️
Huek! Ingin rasanya Vana memuntahkan semua isi perutnya. Senyuman smirk terbit di wajah mungilnya. Berniat menjawab, tetapi dengan sigap satu tangan kekar merebut benda pipih itu.
“Mau ngapai lo?! Mau kepoin gue, ha?! Denger ya, lo itu bukan siapa-siapanya gue! Jadi lo nggak ada hak megang barang-barang gue!” sarkas Saga dengan memakai handuk di bagian pinggang.
Vana hanya diam, melangkah bodoamat meninggalkan Saga yang sudah berbicara manja dengan orang yang berada di seberang sana.
Elsa. Elsa adalah pacar Saga. Vana sudah tahu dari lama dari beberapa siswa-siswi di sekolahnya yang cemburu dan iri atas hubungan mereka. Katanya, mereka pacaran sudah dari kelas VIII SMP.
Yah ... bodoamat. Vana tidak peduli dengan itu. Toh dia sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mencintai Saga, apalagi menganggap pria itu sebagai suaminya. Jadi biarkan saja waktu yang memisahkan mereka.
“Va, Saga mana? Panggilin gih, biar kita sarapan!” perintah Gibran pada putrinya.
Vana mendudukkan tubuhnya di kursi, tak peduli dengan perintah ayahnya. Biarkan saja, pikirnya.
“Nanti juga kalo lapar turun sendiri kok, Pa,” ujar wanita itu santai, mencomot sepotong roti selai kacang kesukaanya.
Bukan apa-apa dia menolak perintah ayahnya. Hanya saja ... dia cukup malu pada Saga yang baru saja menyebutkan bahwa dia tidak mempunyai hak atas pria itu. Jadi bukan salahnya.
•••
Suasana apartemen sedikit panas dan sesak, kala beberapa barang besar, serta orang-orang berlalu lalang di sana.
Hari ini, Saga dan Vana dipindahkan ke apartemen, mengingat mereka harus butuh waktu untuk menerima dan mengenal satu sama lain
Ya, orangtua mereka sudah salah berpikir seperti itu. Justru di situlah kesempatan bagi keduanya untuk terbebas dari yang namanya pernikahan, alias menjadi remaja seperti biasanya.
Mengingat Saga sudah mempunyai Elsa yang tak akan pernah terganti di hatinya, tentu saja Saga sangat senang dengan kepindahan mereka.
Iti artinya, dia bisa bebas bertemu dengan Elsa, tanpa sepengetahuan orang tuanya, ataupun Gibran.
_____________
Beberapa jam akhirnya mereka telah selesai membersihkan dan membereskan apartemen itu, semua orang pun pamit pulang, kecuai orang tua Saga yang ingin beristirahat.
“Mama sama Papa apa nggak mau nginap di sini aja?” tanya Saga, seraya mendudukkan tubuhnya di atas sofa.
“Nggak usah deh, nggak mau ganggu kalian. Lagian besok pagi-pagi Papa juga harus berangkat ke kantor,” jawab Marissa santai.
Saga mengangguk, membuka ponselnya dengan sebelah tangan yang disengajakan menggenggan tangan Vana.
Yah ... pasti kalian tau lah, kode itu. Tentu saja agar kedua orangtuanya tidak ragu dengan hubungan mereka.
Bersambung ....
\*\*\*
Jam menujukkan pukul 06.15. Tampak dua orang pasutri yang masih terlelap damai di balik selimut tebal mereka yang hangat, sesekali terdengar dengkuran halus dari keduanya.
Vana membuka matanya terkejut, merasakan satu buah tangan kekar bertengger di perutnya, hingga dia kesulitan untuk bernapas.
Menepiskan dengan tenaga extra tangan Saga, kemudian beranjak dari ranjang empuk itu, lalu berjalan ke kamar mandi, tentunya untuk membersihkan diri.
Hari ini, kedua pasutri itu akan kembali melangkahkan kaki ke sekolah, mengingat sebentar lagi akan dilaksanakan UAS semester ganjil. Memang, mereka baru kelas XI, tetapi tetap saja harus tetap aktif ke sekolah.
Dua puluh menit Vana selesai membersihkan diri, dia pun keluar dari kamar mandi itu, dengan seragam putih abu yang sudah rapi terbalut di tubuhnya.
Mendengkus kasar, menatap Saga yang sama sekali tak terusik dengan suara bising di luar sana.
“Pantes aja tiap hari terlambat ke sekolah, tidur kaya kebo gitu!” omel Vana berkacak pinggang.
Dia benar-benar sudah penat menghukum pria itu. Sekarang apa? Saga sudah menjadi suami tak diinginkan, mana mungkin dia membiarkan Saga terlambat datang ke sekolah.
Mengingat Vana adalah ketua OSIS, pengganti Azril—Alumni tahun lalu, dia tidak boleh membiarkan otaknya menghukum Saga lagi. Jalan satu-satunya ya ... bagunkan Saga dengan paksa.
Teng! Kloteng! Teng! Buk! Buk!
“Woy, bangun ... kebo bangun ...!” teriak Vana seraya memukul wajan dengan sutil di tangannya. Mengguncang ranjang dengan kewalahan, demi membangunkan Saga tepat waktu, agar pria itu membuang tabiatnya yang suka sekali terlambat.
“Anjir, kuping gue jadi lembek! Berisik banget sih, lo?!” tukas Saga, menutup telinganya dengan bantal guling.
Vana menatap sekilas Saga, menuruni ranjang itu. Menjatuhkan wajan dan sutil di atas lantai, berkacak pinggang dengan sorot mata tajam.
“Lo nggak liat, ini udah jam berapa? Masih ngebo aja! Bangun! Ntar lo telat!”
“Yaelah ... baru tengah tujuh. Biasanya jam delapan gue masih jadi ******,” balas Saga santai, kembali merebahkan tubuh di atas kasur empuk itu.
“Ish! Gue nggak mau hukum lo lagi ya, Ga. Sadar diri lah, lo udah tua!” kesal Vana jengah.
“Ya bagus dong, kalo lo nggak mau hukum gue lagi. Itu artinya ... gue bebas terlambat setiap ha—”
“Goblok! Maksud gue ya lo nggak boleh telat lagi, Sagon!” teriak Vana gemas, menyibakkan selimut yang membaluti tubuh kekar Saga.
“Mending lo intropeksi diri lah, Ketos! Lo nggak ada hak buat ngatur-ngatur gue, apalagi kalo di rumah! Tugas lo buat ngatur gue itu cukup pagi hari di sekolah!”
Untuk yang kedua kalinya, Saga berucap demikian, tetapi Vana masih bersikukuh ingin membuat pria itu sadar. Sadar apa coba?
\*\*\*
Bel masuk baru saja berbunyi. Seluruh Siswa-Siswi SMA Andara berjalan rapi mendekati lapangan upacara, untuk melakukan rutinitas setiap sekolah pada hari Senin. Yap, upacara bendera.
Vana berjalan mendekati tiang bendera, merapikan tali, agar tidak sulit untuk para petugas PASKIBRA nantinya.
Tiba-tiba, beberapa orang cowok berjalan mendekatinya. Vana menatap ke arah ketiga orang cowok itu dan mengembangkan senyum manisnya.
“Eh, Bebeb Vana. Baru masuk? Kemaren seminggu ke mane? Babang Dira kan cariin,” ucap seorang cowok, menunjuk satu orang lainnya.
“Apa sih, lo?!” pungkas Dira, menggeplak kepala bagian belakang Elga.
“Ee ... abis ke rumah oma di Bandung. Sekalian liburan, soalnya udah lama nggak ke sana,” jawab Vana ber-alibi.
Dira, Ega dan Bira adalah teman satu perangkat OSIS dengannya. Terbalik 'kan? Ketos-nya cewek, waketos-nya cowok. Itulah hebatnya Vana.
“Gimana kabar oma lo?” tanya Dira datar.
“Em ... Alhamdulillah, ba ... ik.”
“Woy, kalo pacaran itu jangan di sini, elah ...!” teriak satu cowok dengan seragam amburadul berjalan melewati Vana dan ketiga temannya.
Iri? Bilang, Bos ...!
Bersambung ....
\*\*\*
Bel pulang sekolah SMA Andara baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Tampak gerombolan Siswa-Siswi berhamburan keluar dari kelas mereka dan merusuhi lahan parkiran.
Vana berjalan dengan santai diikuti oleh Ryn—Sahabatnya. Sedari tadi, kedua orang itu ketawa-ketiwi random, tanpa sadar diperhatikan oleh beberapa orang yang melintas.
Kebetulan Ryn sudah tahu tentang pernikahan Vaan dan Saga, jadi sedikit bertanya ini itu yang membuat Vana kesal. Temannya itu menanyakan privasinya dan Saga. Tentu saja dia tidak mau menjawab, walaupun mereka memang belum melakukan itu.
“Va, gue mau beli minum dulu, ya. Haus banget,” ucap Ryn memegang tenggorokannya.
“Gue nitip, ya.” Sembari menyerahkan selembar uang, Vana melirik ke arah seorang cowok dengan gaya cool-nya berjalan mendekat. Bersamaan dengan Ryn yang melangkah menjauh.
“Lo pulang naik taksi, soalnya gue ada janji sama Elsa,” ujar pria itu datar, menatap sekilas wajah Vana yang terkena silau.
Vana hanya mengangguk singkat. Tanpa basa-basi lagi, Saga meninggalkan istrinya di sana, kemudian mendekati mobil hitamnya, di mana Elsa sudah berada di dalam. Menyebalkan!
Bukan cemburu. Wanita itu hanya kesal saja terjebak dalam pernikahan ini. Menikah dengan Saga bukan permintaanya, tapi kenapa pria itu malah seakan menyakitinya?
\*\*\*
Seorang pria dengan satu gadis yang berada di sampingnya, tampak serius menatap jalan yang dilintasinya seraya fokus mendengarkan ocehan Elsa yang tak habis-habis.
Sesekali pria itu mengulum senyum semangat. Entah kenapa, Elsa selalu mampu membuatnya bahagia. Seakan dia lupa bahwa saat ini dia bukan lagi seorang bujang. Ada sosok istri yang menyinggahi hatinya.
“Kita makan dulu, ya,” ajak Saga pada Elsa yang seketika menghentikan ocehannya.
“Boleh. Tapi aku mau makan ‘seafood’ Ga. Kita ke restoran seafood, ya!” pinta Elsa memelas dengan wajah puppy eyesnya.
“Iya, Sayang.” Mengelus sayang puncak kepala Elsa, pria itu kembali tertawa dingin, membuatnya semakin tampan jika seperti itu.
\*\*\*
“Va, nanti malam ... aku jemput, ya. Kita dinner,” ujar satu cowok yang baru menghampiri Vana yang masih berdiri menunggu Ryn.
“Eum ... gimana ya, Di. Gue ... ada acara keluarga,” balas Vana gugup, mengingat dia tidak lagi tinggal bersama orang tuanya, melainkan ... bersama suaminya. Dira memang tidak tahu tentang pernikahannya.
“Oh, gitu, ya? Mmm ... yaudah, deh.” Tampak jelas raut kecewa tersirat di wajah cowok itu. Vana benar-benar tidak tega melihatnya.
“Sorry banget ya, Di. Lain kali aja, ya?”
Dira mengangguk cepat, menampilkan senyuman singkat, kemudian mengacak rambut Vana gemas.
“Mau gue antar pulang?” tanya cowok itu kemudian.
“Eh ... gausah, aku udah janji sama Ryn,” balas Vana lagi.
“Oke deh ....”
“Udah, pacarannya?”
Di sebuah restorant yang berada di pusat kota Ibukota, tampak dua sejoli yang tengah menikmati hidangan lezat mereka dengan romantis.
Bercanda, tertawa, tanpa sadar membuat beberapa orang yang menatap mereka iri sekaligus takjub dengan ke-uwwu-an itu. Siapa lagi jika bukan Saga dan Elsa?
Sedari tadi, Saga tak mengalihkan sedikitpun pandangannya dari Elsa yang mengoceh dengan semangat 45. Tak jarang pula, pria itu mencubit gemas, bahkan mencium pipi chubby si cewek.
“Ga, nanti kamu singgah bentar deh, ke rumah. Soalnya kamu udah lama banget nggak main ke rumah. Kan mama jadi kangen,” rajuk Elsa memanyunkan bibirnya lucu.
“Mama atau mama yang kangen ...?” tanya Saga dengan nada menggoda, karena dia tahu yang sebenarnya kangen itu adalah Elsa, bukan mamanya.
“Iya, serius. Mama kangen sama kamu, Yang ... pliss nanti singgah, ya!” Sekali lagi, Elsa memohon dengan wajah puppy eyesnya. Kalau sudah begitu, mana bisa Saga menolak.
“Iya deh, iya. BTW papa udah pulang dari London?” Saga bertanya, sembari memasukkan potongan stick ke dalam mulutnya.
Elsa tampak berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Belum. Kayanya minggu depan, deh. Soalnya ada sedikit masalah di sana.”
Dua puluh menit mereka habiskan waktu untuk makan, akhirnya kedua sejoli itu pun beranjak pergi dari restoran, memasuki mobil hitam milik Saga, kemudian melaju dengan kecepatan rata-rata.
\*\*\*
Vana baru memasuki apartemen, seketika mendapatkan pandangan tak sedap, kala Saga berguling-guling di atas kasur, hingga semuanya berantakan bak kapal pecah.
‘Mau ngelarang, tapi nggak punya hak,’ batin cewek itu menatap Saga sendu. Pria itu belum menyadari kedatangan Vana di sana.
“Eh, udah pulang lo. Malam ini lo tidur di kamar sebelah. Eh maksdunya, mulai saat ini. Males gue satu ranjang sama lo! Entar khilaf lagi!” todong Saga tajam.
“Nggak mau, enak aja. Seharusnya lo yang ngalah sama gue. Lo lah yang tidur di kamar sebelah!” balas Vana tak kalah ketusnya.
Berjalan memasuki kamar mandi, tetapi langkahnya seketika terhenti kala kerah seragam putihnya ditarik oleh Saga.
“Apaan, sih lo?!” bentaknya, meronta meminta Saga melepaskan cekalannya.
“Makanya lo kalo dibilangin suami itu nurut! Nanti Elsa mau ke sini. Gue nggak mau tahu, lo nggak boleh keliatan Elsa. Entar kalo dia minta putus gimana?”
‘Ya, emang gue pikirin?!’ umpat Vana melipatkan tangan di dada.
Pada akhirnya, dia mengalah dan pergi meninggalkan Saga yang merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur.
Setelah mengantar Elsa pulang, memang Saga singgah sebentar, lalu pulang ke apartemen. Tapi, Elsa meminta untuk mengunjungi apartemen baru miliknya. Jadi ya, terpaksa dia harus mengusir Vana agar tak ketahuan. Suami lucnut!
“Ck! Terus gue kaya orang bodo-bodo gitu, dikurung di dalam kamar, sedangkan si setan itu asik pacaran? Emangnya gue apaan?!” omel Vana, mengentakkan kakinya di lantai kamar yang minimalis.
Padahal tadi Dira mengajaknya dinner, tetapi dia tolak karena segan pada si setan itu. Tapi apa? Dia sama sekali tidak dihargai sebagai istri. Suami macam apa Saga itu?!
“Gue harus cerai sama dia. Harus!”
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!