Di dalam sebuah rumah yang sangat megah bak istana hidup ketiga pangeran yang sangatlah tampan. Karakter berbeda, wajah yang hampir sama. Banyak orang selalu terkecoh dengan wajah ketiganya.
Bila mungkin ada yang belum baca kisahnya di Novel ku yang berjudul " Ketulusan Cinta Mentari" Nah inilah kisah lanjutan ketiga pemuda itu.
Di sebuah rumah yang kecil juga ada seorang gadis yang parasnya seperti seorang bidadari. Rumah itu kecil tapi cukup nyaman untuk ditempati di tengah kebisingan Ibu kota.
Sengaja rumah itu ditempati karena gadis ini sedang ingin menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Di tempat inilah ia mendapatkan seorang sahabat yang bernama Yasna.
Yasna gadis periang walaupun ia memiliki sifat keras kepala yang sangguh terlalu. Ada- ada saja kelakuannya.
Kedua gadis itu sama-sama memiliki akal agar sang sahabat selalu tersenyum dalam kesedihannya. Bahkan kecantikannya tidak jauh berbeda.
Bella dan Yasna bertemu di sebuah kampung dimana Bella sekarang tinggal. Pertemuan yang bisa dibilang tidak menyenangkan.
"Punya mata gak sih lu?" Teriak Bella dengan hati yang sungguh sangat kesal.
"Elu tu yang gak punya mata." Kata Yasna dengan santainya.
Saat itu Yasna tidak sengaja menyenggol bahu Bella karena tergesa-gesa mengunjungi sang ibu. Ibu yang selama ini telah merawatnya dengan kasih sayang sedang sakit.
Kedua gadis ini memang memiliki sifat yang hampir sama alias beda-beda tipis. Sama halnya dengan ketiga pangeran di dalam Novel ini kembar tapi beda.
Bella dan Yasna memanglah saudara kandung. Entah apa yang terjadi hingga keduanya terpisahkan oleh jarak.
Yasna tidak sedikitpun menanggapi semua perkataan Bella waktu itu. Hanya saja tanpa ia sadari wajah gadis itu selalu ada dalam ingatannya.
Yasna berjalan dengan penuh beban terpampang jelas dalam wajahnya. Bella juga melihat jelas wajah yang penuh dengan beban itu.
"Kenapa aku merasa sedih saat mengatainya?" Kata Bella dalam hati.
"Wajahnya seakan tak asing bagiku?" Batinnya lagi saat masih berjalan menuju rumah.
Halaman rumah yang cukup luas ditumbuhi dengan berbagai macam tanaman hias membuatnya merasa tenang. Rumah minimalis di tengah taman dan terdapat kolam renang serta kolam ikan membuatnya semakin betah untuk tinggal di desa ini.
Terlihat rumah itu sangat terawat saat Bella akan sampai di rumah tersebut. Ada orang yang bertugas untuk merawat rumah tersebut.
Capek yang gadis itu rasakan. Naik kendaraan umum berjalan sampai desa tempat tujuannya baru pertama kali ia lakukan.
Selama ini ia memanfaatkan semua fasilitas dari orang tuanya. Tanpa ada batasnya sungguh sangatlah enak hidupnya.
Ting tong Ting tong Ting tong
Anggaplah suara bel rumah berbunyi minta bertanda ada tamu. Ups..... salah Pemilik rumah telah sampai.
Seorang wanita paruhbaya segera membukakan pintu. Ia penasaran siapakah tamu yang tidak diundang tersebut.
Ceklek
Suara pintu pun dibuka dengan perlahan. Bibi membuka pintu secara perlahan mengintip dibalik pintu.
"Bibi aku kangen?" Teriak Bella dengan penuh kegembiraan melupakan sejenak status keduanya.
"Bibi juga kangen." Balas Bibi Ratih.
"Kabar Gimana Bi?" Tanya Bella antusias sambil berjalan menuju kamarnya.
"Kamu bisa lihat sendiri kan?" Jawab Bi Ratih penuh kegembiraan.
"Gak biasanya tu inget rumah ini dan Bibi?" Tanya Bi Ratih kemudian dengan penuh selidik.
"Itu..... Anu..... E..... " Jawab Bella penuh misteri.
Bingung dengan jawaban yang akan ia berikan, Bella mencoba mencari alasan. Pasalnya selama ini setiap kali punya masalah Ia baru ingat dengan tempat ini.
Yasna selama ini hidup sederhana. Ia bermanjakan dengan kasih sayang walaupun hanya hidup bersama sang Ibunda. Semua kebutuhan hidup dipenuhi oleh sang Ibunda sebagai singgle perent.
Baik Bella maupun Yasna sejak pertemuan mereka yang tidak tepat membuat mereka terbayang dengan kejadian itu. Entahlah terasa seperti telepati.
Wajah yang tidak jauh berbeda. Kelakuan yang hampir sama seakan hanya beda-beda tipis. Bila dijajarkan akan sangat terlihat mirip. Siapa sangka mereka anak kembar.
Di rumah Bella setelah berbincang dengan Bi Ratih Ia pergi ke kamarnya. Kamar yang sangat bersih dengan desain yang sangat elegan.
Bella pun langsung membanting tubuhnya di tempat tidur yang cukup besar. Ia melihat langit-langit kamarnya.
"Ah..." Teriaknya merasa bayangan gadis yang bermasalah dengannya tadi selalu membayanginya.
Di tempat lain Yasna yang sedang menemui merasa terkejut. Pasalnya Ia mendapatkan kabar bahwa beliau sedang sakit.
Anak yang selama ini sangat mandiri. Ia sekolah sambil bekerja tidak ingin menambah beban sang Bunda.
Mulai dari Yasna sekolah taman kanak-kanak hingga sekarang ini ketika melihat anak yang setiap kali diantar dan dijemput oleh kedua orang tuanya Ia merasa iri. Ya iri lah yang ia rasakan. Iri karena mereka memperoleh keluarga yang lengkap.
Ting tong Ting tong
Suara bel rumah berbunyi. Seorang Laki-laki yang sudah lanjut usia itu membukakan pintu perlahan.
"Kakek." Teriak Yasna sangat senang dan memeluk erat sang kakek saat melihat kakek baru mengintip dari balik pintu utama.
"Anak nakal, kenapa lama gak pulang ke rumah. Lupa apa dengan kampung halaman." Kata-kata kakek seperti kereta api yang terus saja melaju tanpa tanda baca.
"Maaf Kakekku tersayang." Balas Yasna dengan memegang daun telinganya dan raut wajah yang sungguh memelas meminta dikasihani dengan pemberian maaf sang Kakek.
Yasna dan Kakek melangkahkan kakinya ke dalam rumah yang sangat-sangat lah sederhana dan sangatlah bersih. Akan tetapi bagi mereka adalah rasa kekeluargaan yang tercipta di dalamnya.
Rumah yang selama ini Gadis cantik ini rindukan. Rumah yang sangatlah rapi karena setiap hari sang penghuni selalu membersihkan tiada asisten rumah tangga.
"Bunda?" Ia menyisir di setiap sudut ruangan mencari seseorang yang telah melahirkannya dan membenarkannya dengan penuh kasih sayang yang tiada tara.
Ditemukan sosok yang masih terlihat begitu cantik berada di taman belakang. Ia sedang menikmati indahnya bunga bermekaran yang tertipu angin kencang sambil menikmati jus jeruk dingin.
Cantiknya sang bunda bukan karena melakukan perawatan, akan tetapi kecantikan yang natural. Sejak muda ia tidak pernah pergi ke salon atau pun sejenisnya seperti wanita kebanyakan.
Hal itulah yang membuat ayah dari sang anak jatuh cinta. Kepolosan dari gadis kampung itu berhasil membuatnya terpesona.
Kecantikan sang bunda menurun pada anak gadisnya. Cantik wajah dengan hati yang begitu baik.
Yasna melangkahkan kakinya dengan begitu cepat menuju taman belakang. Kakek sudah tertinggal di belakang.
"Apa-apa an ini Bunda?" Tanya Yasna dengan nada tinggi alias marah.
"Tahu gak enak badan kenapa duduk-duduk di sini. Ini juga minum-minuman dingin." Lanjutnya dengan berkacak pinggang.
"Gak ada gunanya marah-marah sayang." Kata Bunda menasehati.
"Banyak marah ntar cepat tua banyak keriput. Hilang deh cantiknya." Lanjut sang Bunda.
"Habisnya Bunda katanya sakit, e... malah duduk-duduk di sini sambil minum dingin." Kata Yasna dengan manja.
"Jadi kamu doa in Bunda sakit gitu?" Tanya Bunda.
"Kalau Bunda gak sakit kamu gak pulang gitu?" Tanyanya Lanjut.
"Ish, apa'an sih Bun, anak mu ini akan pulang tanpa Bunda minta. Hati ku akan selalu merindu kan mu Bunda." Cerocos Yasna sangat manja.
"Trus kenapa kali ini kamu pulang harus nunggu kabar Bunda sakit?" Selidiknya sang Bunda.
"Mungkin bahkan lebih dari itu. Menunggu Bunda mu ini pergi ke alam akhirat?" Trus kamunya dapat warisan gitu?" Lanjutnya sang Bunda dengan nada sedih.
"Bunda!" Bentak Yasna yang akhirnya ia sendiri tumbang. Badan yang biasanya tegar dan kuat menahan segala cobaan hidup, kini tubuh itu merosot bersamaan dengan keluar air matanya.
Lutut yang selalu menopang tubuhnya hingga terlihat kuat kini menyentuh lantai. Badan sungguh lemas tak berdaya dengan kepala yang tertunduk dan air mata yang mengalir.
Sakit sungguh sakit dalam hatinya yang sebenarnya rapuh. Ia selalu saja menyimpan semua masalahnya sendiri.
"Maaf." Kata Yasna sambil bersumpah tak berdaya dengan tangan yang memegang kedua telinganya dan kepala tertunduk.
Sang Bunda menyadari semua perkataannya kali ini sungguh sangat menyayat hati tatkala melihat sang buah hati terisak. Ia pun turun dari kursinya ikut duduk berjongkok untuk mensejajarkan posisi mereka.
"Maaf kan Bunda sayang." Kata Sang Bunda dengan menangkupkan kedua tangan pada wajah cantik sang anak. Hingga wajah itu terlihat sangat menyedihkan.
"Bunda merasa sangat khawatir sudah cukup lama kamu tidak pulang ke rumah." Kata Bunda.
Keduanya kini saling berpelukan ala teletabies. Yasna yang masih saja terisak dalam pelukan itu sang Bunda berusaha menenangkan sang anak dengan menepuk-nepuk punggung gadisnya.
Dirasa Sang Anak sudah cukup tenang Bunda memegang kedua sisi lengan Yasna agar sang anak berdiri. Kini keduanya berjalan menuju ke dalam rumah.
Yasna dan Bunda menuju ruang tengah. Tempat dimana mereka bercengkrama setelah seharian melakukan aktivitas.
Kakek sejak tadi memantau keduanya. Ada rasa haru dalam hati sang kakek. Walaupun Kakaknya itu hanyalah seorang Kakek angkat. ( Maaf yang benar anak angkat atau kakek angkat ya?)
Sang Kakek memang dulunya adalah pemilik dari rumah yang sekarang di huni oleh seorang wanita dan seorang gadis remaja. Saat itu sang Kakek menjual rumah ini untuk keperluan pengobatan istrinya.
Pada akhirnya Nenek meninggal dunia saat pengobatan. Pengobatan itu pun dibantu oleh Bunda Azka.
Bunda yang tahu setelah rumah yang sekarang menjadi miliknya itu dijual padanya maka sang kakek tidak memiliki rumah. Tercetus lah ide dari pada tinggal sendiri ia menganggap bahwa kakek itu adalah orang tuanya.
Ide itu muncul daripada keduanya juga tinggal sendiri-sendiri. Untuk mengisi kekosongan tempat di rumah Bunda Azka. Lagi pula Bunda Azka sudah tidak memiliki orang tua lagi.
Kakek memberi kesempatan kepada keduanya untuk berkeluh kesah dan melepaskan kerinduan yang melanda. Ia pergi ke kebun memetik semua aneka buah-buahan yang sudah masak.
Di ruang tengah atau ruang keluarga seorang ibu dan anak gadisnya bercengkrama. Yasna merebahkan kepalanya di pangkuan Sang Ibunda. Diusapnya pucuk kepala Sang Anak dengan lembut penuh kasih sayang.
"Bun, apa.... ." Kata Yasna ingin bertanya tapi terputus karena ragu.
"Ada apa?" Tanya Bunda.
"Lupakan." Kata Yasna.
"Kamu itu selalu saja bikin Bunda penasaran." Kata Bunda penuh selidik.
"Bun, apa di dunia ini selalu ada kemiripan?" Tanya Yasna memandang Sang Bunda dalam.
"Maksudnya?" Tanya Bunda.
"Tadi aku dijalan bertabrakan dengan seseorang." Jelas Yasna.
"Apa?" Tanya Bunda memegang bahu sang anak mendudukkan dari pangkuannya hingga sedikit terguncang.
"Kamu tidak apa-apa kan? Apa ada luka?" Tanya sang Bunda.
"Bun, aku tidak apa-apa. Lihatlah anak mu ini masih mulus." Jelas Yasna sambil berdiri dan berputar untuk meyakinkan Sang Bunda.
"Cuma aku merasa selalu terbayang dengan wajahnya itu. Wajahnya sangat mirip dengan mu." Jelas Yasna sambil merebahkan tubuhnya kembali di pangkuan Sang Bunda
Mendengar penuturan putri sematawayangnya itu tampak Bunda berpikir. Pikirannya sudah melayang dengan kejadian bertahun tahun yang lalu.
Mendengar penuturan putri sematawayangnya itu tampak Bunda berpikir. Pikirannya sudah melayang dengan kejadian bertahun tahun yang lalu.
"Mungkinkah anak ku yang lainnya juga ada di sini." Batin Bunda Azka.
Hati sang Bunda sudah sangat campur aduk. Yasna memiliki wajah yang sangat dominan dengan Ayahnya.
Ekspresi yang aneh tak ingin diperlihatkan pada anaknya. Jika Sang anak gadisnya tahu kebenaran masa lalu Sang Bunda rasa kecewa atau senang menjadi pikirannya saat ini.
Insting seorang ibu? Memanglah tidak pernah salah. Jika ini benar anak gadisnya yang lain akan kah bisa memaafkannya.
"Bunda?"
"Bun."
"Bun."
Panggil Yasna kepada Sang Bunda hingga beberapa kali. panggilkan itu tak disahutnya.
Yasna akhirnya bangun dari tempatnya bermanja, tetapi masih saja Sang Bunda terbayang dengan ingatan masa lalunya yang kelam. Gadis ini memicingkan matanya melihat Bunda yang tidak pernah seperti itu.
Kosong
Kosong
Kosong
Tatapan kosong yang tak pernah terlihat oleh anaknya kini sangat menyolok. Ia tak tahu Bunda sedang memikirkan apa di dalam pikirannya kini.
Saat beralih posisipun Sang Bunda tak menyadarinya. Kini Yasna tidak lagi tidur di pangkuan sang Bunda. Ia sudah duduk di sampingnya.
Cethet Cethet Cechet
Anggaplah suara tangan gesekan antara jari jempol dengan jari tengah milik Yasna sedang dimainkan dengan keras beberapa kali hingga membuyarkan pikiran Sang Bunda.
"Kamu sekarang sudah pandai menggoda ya?" Kata Bunda.
"Apa yang Bunda pikirkan?" Tanya Yasna.
"Gak ada yang Bunda mu pikirkan kecuali kamu sayang." Jelas Bunda Azka untuk menutupi kegundahannya.
"Oh.... sekarang anak mu ini sudah di sini apa yang perlu dipikirkan?" Tanya Yasna.
"Apa Yasna mu yang cuantik ini bikin masalah?" Lanjutnya lagi dengan menatap Sang Bunda dalam.
"Tidak sayang." Jawab Bunda Azka dengan mencubit hidung mancung anaknya.
"Sakit Bun." Keluh Yasna manja sambil memijat hidungnya yang sudah merah.
Bunda beranjak dari sofa tempatnya duduk. Ia pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan kesukaan anaknya.
Setelah kepergian Sang Bunda Yasna pergi ke kamar hendak istirahat. Pandangannya memindah setiap sudut ruangan.
"Tak ada yang berubah sama sekali." Batinnya.
Yasna menuju tempat tidurnya yang cukup besar. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang sangat empuk.
Ia pun mulai memejamkan matanya. Tanpa sadar sebuah bayangan hinggap seketika saat matanya tertutup.
"Apa aku udah gak waras kali ya? Kenapa aku sampai ingat dengan gadis tadi? Masak sih aku jadi naksir dia? Laki-laki tampan aja banyak kenapa dalam pikiran ku saat ini hanya dia. Ntar bisa-bisanya kayak Nutrisari dong." Cerocos Yasna saat badannya masih berbaring dengan rasa kantuk yang cukup berat menyerangnya.
Sepasang mata memperhatikannya dari pintu kamarnya yang memang lupa ditutup. Terlihat di wajah gadis itu sangat gelisah, tidak berbeda dengan Sang Bunda.
"Apa benar anak gadis ku yang satu lagi di sini? Apa ia mirip dengan ku? Tapi kenapa gadis kecil ku ini mirip dengan Ayahnya?" Pikiran Bunda semakin dalam.
Bunda Azka pergi meninggalkan kamar sang anak dengan berbagai macam pikiran. Tidak lupa ia pun menutup pintu kamar anaknya Yasna tanpa meninggalkan suara.
Bunda meninggalkan kamar Yasna dengan menundukkan kepalanya dengan ingatan masa lalu dalam pikirannya yang saat ini penuh kebimbangan dan penyesalan karena selama ini kebenaran yang telah ditutupinya. Ia ingin melupakan dan menguburnya dalam-dalam.
Tidak pernah disangka kini malah menjadi momok yang menakutkan. Maaf dari kedua anaknya yang diharapkan jika mereka tahu tentang ini semua.
Kakek yang tadinya berada di kebun belakang memetik buah kini sudah berada di dapur membersihkan buah-buahan tersebut. Melihat Bunda Azka yang berjalan dengan lunglai Sang Kakek pun tahu ada beban pikiran yang menghantuinya.
Puk Puk Puk
Tepukan tangan Kakek di bahu Bunda membuatnya tersentak. Ya, karena di Bunda hanyut dalam lamunannya.
"Semua akan baik-baik saja." Kata Kakek yang sudah berdiri di samping Bunda yang duduk di meja makan.
"Anak mu keduanya justru akan bangga pada mu." Lanjutnya untuk memberikan ketenangan pada Bunda.
"Semoga saja Kek." Jawab Bunda dengan memperhatikan wajah kakek dengan mendongokkan kepalanya.
Kakek sudah mengetahui semua cerita masa lalu Sang Bunda. Apalah daya wanita itu pada masa dahulu kala. Jaman mekak raenak itulah kehidupannya di masa lalu.
Mendengar penuturan Kakek, hati maupun pikirannya Bunda lebih tenang. Benar kata Kakek jika semua anaknya pasti akan mengerti keadaannya pada waktu itu.
Kakek berjalan ke dapur menuju wastafel untuk mencuci buah-buahan yang di dapat hari ini. Biasanya buah-buahan itu akan ada tersaji di meja makan dan sisanya di masukkan ke lemari pendingin.
Makanan sebenarnya sudah masak sejak tadi. Bunda yang naik ke lantai atas mulanya mengajaknya untuk makan, akan tetapi melihat anaknya seperti itu diurungkan niat tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!