Mia masih ingat hari itu dia minta dibelikan cheesecake kesukaannya, tapi ternyata kue itu tidak pernah sampai kepadanya. Semuanya direnggut tanpa aba-aba. Kecelakaan beruntun merenggut kedua orang tuanya saat berangkat ke rumah makan usaha mereka.
Lalu kemudian om David datang, adik papa yang baru Mia temui dua kali. Pertama saat papanya ulang tahun, yang berakhir dengan om David meminta sejumlah uang sebagai “ucapan terima kasih telah menghadiri pestanya” kedua kalinya adalah hari pemakaman orang tuanya.
Mama Mia sama seperti dirinya, sama-sama anak tunggal sehingga satu-satunya kerabat dekat yang tersisa hanyalah om David yang dengan tangan terbuka ingin mengurusnya.
Mia masih syok saat itu untuk sekedar berpikir. Yang dia tau dia sangat kesepian. Sangat sulit menanggung rasa sedih sekaligus harus mengatur semua acara pemakaman seorang diri.
Siapa sangka om yang dia kira akan menemaninya melewati masa sulit malah akan menyengsarakan hidupnya. Hanya butuh waktu dua bulan untuk om David menggadaikan semua aset peninggalan milik orang tua Mia. Bahkan rumah makan yang dibangun papa Mia dengan susah payah, telah dia jual.
Seakan semuanya belum cukup, dia menjual Mia ke sini. Sebagai perempuan malam. Mia tau ini bukan waktu yang tepat untuk bersyukur. Tapi setidaknya dia tidak dijual di rumah bordil murahan pinggir jalan. Mia tidak bisa membayangkan laki-laki macam apa yang harus dia layani, belum lagi dengan kemungkinan penyakit menular yang harus diterimanya.
Lalu Mia hanya diam saja dengan semua yang terjadi? Dia bersumpah sudah melawan, setidaknya kalau dia tau sedetik lebih awal. Minggu lalu tepatnya, segerombolan pria berbadan tambun menggedor pintu rumahnya
dengan kencang. Mia sendiri tidak yakin apa itu gedoran atau dobrakan saking kerasnya.
Seakan Mia tidak terlihat, pria-pria itu menyegel semua kendaraan digarasi mobil juga rumah beserta segala isi didalamnya. Mereka bahkan tidak memberi Mia waktu untuk membereskan barang pribadinya. Dia diusir tanpa sepeser uang pegangan, satu barang pun tidak.
Dengan kemarahan yang meledak-ledak, Mia mendatangi rumah om David yang diketahuinya ketika pulang dari pemakaman karena om David semipat singgah ke sana untuk mengambil perlengkapannya.
Ketika sampai di sana, Mia hanya sempat berteriak “om David” dengan sekuat tenaganya yang tersisa. Sebelum kemudian Mia disergap oleh segerombolan pria lagi. Namun kali ini dengan penampilan yang lebih rapi.
Mia bersumpah sudah melawan, benar-benar melawan dengan berbagai kalimat penolakan hingga pukulan. Namun yang diterimanya hanyalah tujuh jahitan di punggung tangannya.
“udah ditungguin” mami TIta, pemilik tempat itu berdiri di ambang pintu. Memakai terusan merah tanpa lengan yang panjangnya hingga mata kaki. Dari penampilannya jelas terlihat bahwa mami Tita sangat menjaga penampilannya. Namun segiat apa pun dia berusaha, mami Tita bukanlah vampir. Dia tidak bisa menyembunyikan kerutan itu selamanya.
Mami Tita mengetuk pintu kamarnya lagi, memaksa Mia bangkit dengan tatapan tajamnya. Mia berdiri dari kursinya dengan berat hati. Bingung apakah dia harus menahan air matanya yang sudah diujung mata agar tidak tumpah, atau lebih baik dia menangis kencang agar semuanya iba dan dia dibebaskan.
Layaknya ayam potong di pasar, Mia dijejerkan bersama wanita-wanita lainnya menjadi satu baris disebuah ruangan gelap penuh lampu warna warni. Mia asing dengan tempat ini, dia tidak pernah menginjak tempat hiburan malam sebelumnya.
Dengan gelisah, Mia menarik mini dress berwarna hitamnya. Sekilas dia melihat dua diantara lima pria dihadapannya memandang kearahnya, kemudian saling berbisik.
jantung Mia berdegup kencang. Rasa takut menjalar keseluruh tubuhnya. Tidak. Jangan. Setidaknya jangan hari ini. Aku belum siap. Ucapnya dalam hati. Sayangnya dugaan Mia benar, salah satu dari kedua orang itu menunjuknya.
“out” katanya pria berjaket merah yang duduk ditengah.
Mia refleks menghembuskan nafas lega. Namun Mami TIta berdehem, lagi-lagi menatapnya garang sebelum kemudian tersenyum lebar ke arah lima pria tadi. “Mia ini cantik loh, anak baru disini. Kok malah ditolak?’
“cantik sih, tapii hari ini kita sengaja ke sini buat Lio” pria berjaket merah tadi menunjuk ke arah dekat pintu. Ke arah Pria yang dari tadi terus menatap meja dengan tatapan kosong.
“oh.. Lio ga suka yang bentuknya kayak gini ya?” Bentuk? Mia terkekeh dalam hati. Dia benar-benar tidak dianggap sebagai manusia sekarang.
“bukann.. Lio malah suka yang bentuknya kayak gini. Orang mantannya mirip sama ini cewek” Pria yang Mia asumsikan adalah Lio mengangkat kepalanya, menatap Mia dalam-dalam.
Pandangan pria itu membuatnya gelisah, Mia mengalihkan matanya ke arah lain. Menatap lemari kaca berisi berbagai macam botol minuman keras.
“oh iya.. gue juga dari tadi mikir kayak kenal mukanya. Ternyata mirip Rat..” pria yang duduk paling sudut merapatkan bibirnya, keceplosan.
“pokoknya dia out” usir si jaket merah tadi.
Mami Tita cemberut, memberi Mia isyarat agar keluar. Mia menurut.
Melangkahkan kakinya menuju pintu sambil terus menarik turun bajunya. Tangannya sedang meraih gagang pintu namun segera dihalangi oleh Lio.
“dia gue book” ucapnya dengan tatapan dingin. Mia menggigil seketika, entah karena tatapan pria ini, atau kenyataan bahwa dia sudah dibook.
“wah.. ga asik lu. Gimana caranya mau move on?” ucap pria diseberang Lio.
“pokoknya dia punya gue mulai sekarang” Lio meraih tangan Mia kemudian menunjuk pria berbaju merah tadi “lu yang urus” lanjutnya lalu membuka pintu dan menarik Mia pergi.
loh.. kok pergi? Bukannya bareng sama yang lain ya? Cuma temanin minum-minum aja kan? mau ngapain berduaan aja? Aku belum siap.. tunggu, setidaknya pria ini bawa pengamankan? Dia tau main amankan? Atau pria ini tipe yang tidak peduli? Bagaimana kalau dia ada penyakit terus nularin ke aku?
“bisa turun sendirikan?”
Mia diam, masih mencerna apa yang terjadi, dimana dia sekarang? apa yang sudah dilewatkannya saat menuju kemari? Lio menunggu.
Sedetik. Dua detik. Mia masih bereming. Lio mendesah frustasi. Bergerak mendekat ke arah Mia, melepaskan seat beltnya kemudian membuka pintu penumpang.
Mia menahan nafas, pria itu terlalu dekat dengannya. Samar-samar Mia bisa mencium bau parfum Lio. Dengan jarak sedekat ini, dia dapat melihat wajah Lio dengan sangat jelas. Alisnya, hidungnya yang cukup mancung, juga tahi lalat di pipi kirinya. Yang Mia yakin, umur mereka tidak terlalu jauh.
Lio kembali ke kursinya. Gantian menatap Mia dari ujung kepala hingga kaki kemudian membuka jaketnya. Apa? Kenapa? Tidak mungkin disinikan? Apa pria ini punya imajinasi yang aneh-aneh? Ini terlalu ekstrim, aku bisa nolakkan?
“pakai” Lio melemparkan jaketnya dengan kesal. “katanya tempat elit kok dandanin perempuan murahan kayak gini” gerutunya sambil turun dari mobil.
Ini benar-benar dunia baru bagi Mia. Tadi bentuk, sekarang murahan? Apakah tidak seorang pun yang bisa menganggapnya sebagai manusia? Bukan seperti barang bekas di pasar loak.
***
tatapan itu lagi, Mia berusaha menghindari tatapan Lio. Berpura-pura tidak memperhatikan Lio yang sedang bersender di depan pintu kulkas memandangnya dalam diam.
Apartemen ini cukup luas. Mia sempat tinggal di apartemen seperti ini saat kuliah dulu. Tempat ini milik Dimas, si pria berjaket merah tadi. Tapi tidak lagi, karena Lio berniat membelinya khusus untuk tempat pertemuannya dengan Mia.
Lio menuju ke arah Mia “pin pintunya 1812, ulang tahun Ratna. Tiap aku hubungi.. mami.. siapalah namanya. itu berarti kamu ke sini” ucap Lio sambil melepas jam tangannya dan menarik lengan sweaternya sampai ke siku.
Mia melepas jaketnya, merasa harus melakukan sesuatu agar tidak terlihat pasif. Jangan sampai Lio complain ke mami Tita dan Mia akan disiksa lagi. Dengan ragu dia menarik dress hitamnya perlahan naik ke atas.
“kamu ngapain?” gerakan Mia terhenti. Memandang ke arah Lio tapi tidak benar-benar menatapnya. Mia masih takut bertemu pandang dengan pria itu.
Sejumlah uang yang berasal dari brankas bawah tv dilemparkan Lio. “kamu aku sewa buat gantiin Ratna. Tugasmu cuma nurut, ga usah inisiasi apa-apa”
Mia tertunduk, menurunkan kembali dress yang sudah dia tarik tadi menutupi pahanya dengan jaket yang tadi dipinjamkan Lio.
“kamu ga boleh ngelayanin laki-laki lain” Mia mendongak, dagunya dipegang oleh Lio “mulai sekarang, kamu punyaku”
Setelah sekian lama, Mia akhirnya bisa kembali mengunjungi makam kedua orang tuanya. Selamalam, Mia tiba-tiba merindukan mereka. Membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Berkat tawaran Lio hari itu, Mami Tita
jauh lebih baik kepadahya. Tidak ada lagi bentakan juga paksaan. Toh uang yang diberikan Lio lebih cukup untuk setoran bulanan yang harus Mia berikan.
Setahun sudah berlalu sejak kejadian itu. Entah sudah berapa malam yang Mia habiskan bersama Lio. Sedikit banyak Mia mulai mengetahui latar belakang Lio. Mahasiswa lulusan fakultas kedokteran yang kini masih mengejar
gelar spesialisnya. Meskipun akhirnya gelar itu akan sia-sia karena orang tua Lio sudah menetapkannya untuk menjadi pewaris perusahaan keluarganya.
Banyak hal telah terjadi namun pria itu, masih misterius bagi Mia. Pria itu masih menatapnya dingin, seperti tidak sudi bersama perempuan bayaran seperti Mia. Namun dalam sekejap berubah menjadi sangat lembut. Memperlakukan Mia layaknya tuan putri yang apa-apa harus dilayani.
Yang Mia tau, semua perlakuan manis yang diberikan Lio kepadanya diperuntukkan untuk Ratna. Mia masih menjadi bayangan Ratna dari hari pertama mereka bertemu hingga sekarang.
“pulang sekarang” ucap tante Tita sebelum menutup sambungan teleponnya.
***
Mia dapat mendengar degup jantungnya beradu dengan suara hentakan sepatunya menyusuri lorong menuju sebuah kamar. Ini adalah pertama kalinya Mia harus melayani pria lain. Melanggar perjanjiannya dengan Lio. Tapi
Mia tidak punya pilihan lain.
Sejauh yang Mia perhatikan, mami Tita ternyata tidak sekasar dugaannya. Dia bisa mendengar keluhan Mia dan memberinya masukan dan juga tidak segan mengusir pelanggannya karena bersikeras ingin menyewa Mia. Mami Tita bahkan sering memberinya tips untuk menjaga penampilannya.
Tentu itu semua karena uang. Agar setoran yang diberikan Mia tiap bulan berjalan lancar. Tapi Lio sudah lebih dari sebulan tidak berkunjung. Itu berarti sebulan lebih juga Mia tidak memberi uang setoran. Tak satu pun kabar diterima dari Lio. Mau tidak mau Mia mengikuti perintah mami Tita.
Dia tidak ingin membuat mami TIta marah, sudah capek melawan. Mia hanya bisa menurut pasrah, menganggap semua sudah menjadi bagian dari takdirnya.
Dengan ragu Mia memegang gagang pintu. Tangannya terasa berat untuk sekedar membuka pintu. Meskipun sudah lebih dari setahun tinggal, Ini adalah pertama kalinya Mia mengujungi ruang sewaan.
Dia harus bersyukur karena perjanjiannya dengan Lio, dia tidak harus memasuki salah satu dari kamar ini. tapi semuanya berbeda sekarang, inilah kehidupan perempuan malam sebenarnya. Keluar masuk dari satu kamar ke
kamar lain dengan pria yang berbeda.
Mia menggelengkan kepala, mengusir semua pikiran yang membuatnya ingin menangis saat ini juga. Dengan sekali gerakan, Mia membuka pintu. Mendapati seorang pria berdiri kaku disamping ranjang, Menunggu Mia.
pria itu mengusap tengkuknya canggung. Mia memang belum pernah melayani pria lain selain Lio. Tapi dia cukup yakin pria ini belum pernah mengunjungi tempat semacam ini sebelumnya.
Pria itu duduk disamping ranjang, mengikuti arahan Mia. Sementara Mia duduk disisi seberangnya. Apa
sekarang? Pria ini sepertinya tidak tau harus berbuat apa. Sama dengan Mia. Selama ini selalu Lio yang memulai. Seperti perintah Lio, tidak ada inisiatif. Jadi Mia hanya perlu mengikuti instruksi.
Lio, pria itu masih sering ketus terhadap Mia. Tapi yang pasti selama berhubungan, Lio selalu lembut terhadapnya. Mia sepenuhnya sadar bahwa alasannya karena Lio sedang membayang Ratna. Mia juga tau dia tidak boleh
terbawa perasaan. Namun perasaan tidak semudah itu untuk dikendalikan.
“namanya siapa?’ Tanya Mia. Berusaha mengalihkan pikirannya dan juga hatinya yang tiba-tiba merindukan Lio.
“Rian” ucap pria itu singkat. Terus? Sekarang apalagi?
Mia berusaha mencari topik lain “emm.. jadi..”
“ga” sela Rian.
“apa?’ Tanya Mia bingung.
“aku ga mau.. gitu sama kamu”
Mia mengkerutkan kening.
“ga mau sama aku? Berarti.. mau ganti yang lain? Atau.. cowo mungkin?” Tanya Mia ragu.
Rian kaget sebelum kemudian tertawa kencang. Menunjukkan lesung pipit di pipi kirinya.
“ga, aku cuma butuh teman ngobrol” ucapnya setelah tawanya reda.
“teman ngobrol?” Tanya Mia bingung “disini?’ lanjutnya
Rian mengangkat bahu “Aku butuh orang random buat diajak ngomong, cuma kepikiran tempat ini”
“kamu tau kan tempat ini apa? Kalau sampai ada yang kenal kamu liat kamu dari sini gimana?”
Ekspresi Rian berubah murung. “ga ada yang peduli”
Berkali-kali Rian menhela nafas sambil menceritakan apa yang terjadi. Dia mengaku payah dalam memilih teman, entah mereka bermasalah atau akhirnya malah menusuk Rian dari belakang. Rian tidak menceritakan detailnya, dia hanya mengutarakan kekecewaan terhadap teman-teman yang sudah dipercayainya.
Sepanjang malam mereka habiskan hanya untuk bercerita. Mengeluarkan semua amarah yang terpendam dihati Rian. Kemudian berlanjut ke cerita lain. Mulai dari kisah masa kecilnya hingga soal café yang baru buka di dekat kampusnya.
Ya, orang ini benar-benar butuh teman cerita. Pikirnya dalam hati. Rian pria yang cukup asik diajak berdiskusi. Entah kapan terakhir kali Mia bisa bercerita sebebas ini.
Dulu dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membahas apa pun dengan papanya. Dari siang hari saat Mia dijemput oleh ayahnya hingga sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Bahkan terkadang berlanjut saat makan
malam tiba.
Dengan Lio, Mia tidak bisa berbicara sepanjang ini. meski pun terkadang bisa cukup bersahabat, tapi sikap itu tidak akan bertahan lama dan dalam sekejap sikap Lio akan kembali dingin, mengacuhkannya.
Mia juga tidak habis pikir. Dari semua sikap Lio yang terang-terangan merendahkannya, kenapa Mia masih bisa nyaman disamping pria itu.
***
Jam dua belas lewat tiga puluh menit. Mia mengantar rian hingga kedepan rumah. Berdiri di depan teras, memandangi Rian yang berjalan menuju parkiran mobilnya. Berpapasan dengan sosok pria penampilan berantakan.
Lio!
“kamu habis sama siapa? ngapain?” Mia butuh waktu beberapa detik untuk mengenali Lio.
Rambut yang biasanya selalu bersih itu kini lepek berminyak. Kumis yang biasanya rutin dicukur bahkan sering berganti silet saking telatennya kini tumbuh tipis-tipis.
Mia terlalu sibuk menganalisa perubahan Lio. Terlambat untuk menyadari bahwa Lio sedang marah besar kepadanya. Mia sudah melanggar perjanjiannya. Tidak sepenuhnya melanggar sebenarnya. Karena mereka hanya
berbincang, tidak melakukan hal lain. Bersentuhan tanpa sengaja pun tidak.
“kamu habis sama siapa? ngapain?” ulang Lio dengan muka merah padam.
Mia baru membuka mulutnya, ingin melakukan pembelaan. Tiba-tiba pipinya ditampar. Mia terkejut. Sedetik kemudian Mia dilempari sejumlah uang. “murahan”
Mia kuat. Sejauh ini dia benar-benar kuat. Berkali-kali air matanya hampir jatuh namun Mia mampu menahannya. Dia tidak ingin terlihat lemah. Dia tidak ingin diinjak lebih parah lagi. Tapi kali ini dia tidak bisa. Ini sudah melewati batas yang bisa Mia tanggung.
Air matanya jatuh. Beberapa saat kemudian suara deru mesin terdengar. Lio meninggalkannya begitu saja. Mia tertawa getir. Kakinya lemas, dia jatuh terduduk di lantai.
Keesokan paginya Mia bangun dengan perasaan tidak nyaman. Semalaman dia menangis hingga tertidur. Kini dia bersender lemas di wastafel kamar mandi. Mengeluarkan semua isi perutnya hingga terasa sakit. Kejadian ini
terus berulang hingga beberapa hari.
Hal ini biasa untuk Mia. Ketika orang tuanya meninggal pun dia sempat muntah beberapa kali. Ketika dia menerima kabar ditolak universitas favoritnya pun juga sama.
Yang janggal dari mualnya kali ini juga disertai dengan datang bulannya yang terlambat. Mia meraih hpnya. Mengecek kalender kapan dia terakhir datang bulan. Dua bulan lalu? Mia menggeleng. Tidak mungkin. Dia selalu
memastikan bahwa Lio memakai pengaman setiap mereka melakukannya.
Tidak. Ternyata pernah sekali. Saat itu Mia tidak sempat mengingatkan Lio karena Lio mabuk berat. Tidak mungkin. Mia bergetar, mukanya pucat memegang stik putih dihadapannya. Mia menggeleng. Dia pasti salah liat.
Mia kembali membaca instruksi pada kemasan testpacknya. Dua garis merah, positif. Tidak salah lagi. Dia Hamil.
Mia memicingkan matanya, matahari di tepi pantai sangat silau. Belum lagi dengan hembusan angin kencang membuat matanya perih. Lio berdiri di depannya, menghalaunya dari terik matahari. Tersenyum manis hingga
matanya ikut menyipit. Kemudian mendekap Mia ke dalam pelukannya.
“Mia” Lio membelai kepalanya sayang “semuanya akan baik-baik saja”
Kepalanya tenggelam di dada Lio. Mia menghirup aroma parfumnya dalam-dalam. Betapa dia merindukan momen seperti ini. Ya, semuanya akan baik-baik saja. Hanya ini yang aku butuhkan.
“ma.. mama?” Mia merasa bahunya diguncang tapi dia belum mau membuka mata.
“mama” suara itu lagi, Mia membuka matanya pelan. Nadia berdiri didepannya, sudah lengkap dengan seragam sekolahnya.
“loh.. Nadia udah siap? Kok ga bangunin mama dulu sih?’ ucap Mia sambil mengikat rambutnya.
“Nadia bisa siap-siap sendiri kok”
Mia tersenyum, memperbaiki kerah seragam Nadia kemudian bangkit menuju dapur “bentar ya, mama buatin sarapan dulu. Cepet kok” tangannya membuka pintu kulkas, sedikit membungkus karena ukuran kulkasnya yang mini. Mencari-cari bahan masakan apa yang bisa selesai dalam waktu 10 menit.
“ga usah ma, Nadia udah sarapan kok”
“sarapan apa?” Mia menengok ke arah Nadia.
“kan roti semalam masih ada yang sisa” Nadia menunjuk piring di atas meja makan, diatasnya ada beberapa keeping roti yang masih hangat. “tadi Nadia udah panasin di microwave.” Lanjutnya kemudian menunjuk microwave
berwarna pink disamping kulkas. “Tuh masih ada sisanya buat mama sarapan sebelum berangkat kerja” tangannya kembali menunjuk ke arah meja makan.
Mia tertawa melihat tingkah anaknya “emang tangannya ga panas pegang microwavenya?”
Gantian Nadia yang tertawa “kan ada sarung tangannya ma” jawabnya menunjuk sarung tangan oven disamping microwave.
Mia harus berterima kasih kepada Gita, anak pemilik restoran tempatnya bekerja karena telah memberinya microwave itu. Benda itu dihadiahkan untuk Nadia sebagai ucapan selamat masuk sekolah.
Nadia memang sudah naksir sama microwave itu sejak lama. Pertama tentu saja karena warnanya yang lucu dan yang kedua karena Mia takjub, benda itu seperti barang ajaib untuknya. Hanya perlu tekan tombol dan menunggu
beberapa saat, makanan bisa menjadi panas tanpa perlu api yang membara.
Apalagi saat Gita memasukkan brondong jagung kedalamnya, dengan ajaibnya jumlah yang jagung yang hanya semangkuk kecil tiba-tiba bisa menjadi sangat banyak bahkan saking penuhnya sampai tumpah kelantai saat
microwavenya dibuka.
“mama kayaknya capek banget deh, hari ini ga usah kerja ya. Nanti Nadia singgah ke restoran, Tanya ke tante Gita kalau hari ini mama izin ga masuk”
“gapapa sayang, mama emang agak capek tapi kan udah banyak tidur tadi”
“ya udah kalau gitu, mama hati-hati ya kerjanya. Nadia berangkat dulu” Mia merentangkan tangannya, mengundang Nadia masuk ke dalam pelukannya.
“Hati-hati ya sayang”
Mia mengantar Nadia sampai depan pintu, memandangnya hingga menghilang diujung jalan.
Delapan tahun sudah berlalu. Mia tidak bilang ini mudah. Banyak hal yang telah dia lepaskan meskipun tidak rela. Mia sempat berfikir tidak apa-apa kalau dia harus hidup dibawah bayangan Ratna. Selama dia bisa
menikmati perhatian dari Lio, Mia tidak keberatan. Tapi ternyata pria itu juga memilih pergi.
Ketika dia menyadari sedang mangandung Nadia, dia takut. Panik. Pengalaman Mia soal hidup masih sedikit, selama ini dia selalu dimanja kedua orang tuanya. Kemudian mereka pergi, yang Mia tau hanya tempat hiburan
malam itu dan juga Lio. Dia masih belajar mengenal dunia yang sebenarnya, mana mungkin dia bisa bertanggung jawab atas hidup makhluk hidup lain?
Yang Mia tau, kalalu mami Tita sadar akan kehamilannya, dia akan diaborsikan paksa. Mia tidak mau. Dia mungkin salah, dia mungkin ceroboh dalam menjalani hidupnya. Tapi anaknya tidak salah. Hari itu juga, Mia memutuskan
untuk pergi.
Dengan uang yang sudah terkumpul, Mia menebus dirinya sendiri. Membebaskannya dari rumah kotor itu. Uang tabungannya yang berasal dari pemberian Lio yang lemparkannya setiap pertemuan mereka. Sisa tabungannya
masih lebih dari cukup untuk berangkat jauh-jauh dan membangun kehidupan yang baru di suatu tempat. Yang terlintas dibenak Mia saat itu adalah pulau kecil yang pernah diceritakan Lio.
Katanya pulau itu sangat indah tapi mayoritas warga disana adalah orang tua sepuh, tempat itu menjadi terlalu sunyi, lambat, mengingatkan Lio akan kakeknya yang sudah susah jalan namun masih jago menggerutu. Selama di sana Lio frustasi dan berjanji tidak mau menginjakkan kakinya lagi di pulau itu.
Di lingkungannya yang baru, Mia membeli sebuah rumah kecil seadanya. Juga membuat usaha kelontong yang hanya bertahan 3,5 tahun sebelum kemudian ditutup karena Mia merasa jenuh. Kemudian berkerja di restoran tepi
pantai milik nenek Sisil, mama Gita hingga sekarang.
***
Twinkle twinkle little star
How I wonder what you are
Nadia mengakhiri konser kecilnya ditengah kerumunan para nenek dan kakek. Merapikan rambutnya yang tertiup angin sepoi-sepoi dibawah pohon depan rumah sakit kecil dimana setiap minggunya diadakan pemeriksaan
kesehatan gratis untuk warga setempat.
Nadia tersenyum puas, berhasil memenuhi permintaan kakek Surya yang merindukan cucunya untuk menyanyikan lagu twinkle-twinkle. Sebagai bayarannya, Nadia diberikan beberapa bungkus permen cokelat. Seperti tersadar,
dia melirik ke arah Mia yang setia menonton dari awal.
“enaknya kalau punya cucu seperti Nadia, ga usah takut dimarahi mamanya kalau dikasih permen”
Mia tersenyum “gapapa kek, aku ga perlu marahin Nadia karena dia sudah tau” Mia berbalik menatap Nadia “apa sayang?”
“kalau makan permen ga boleh banyak-banyak dan harus rajin sikat gigi” Mia hanya tersenyum bangga.
“pintarnyaa.. nenek juga mau ikut kasih hadiah deh” nenek Maya merogoh sakunya, memberi Nadia sebungkus cokelat. Disusul beberapa nenek-nenek lainnya. Nadia menerimanya satu per satu, sambil terus mengucapkan
terima kasih kepada setiap hadiah yang dia terima.
“jadi banyak banget” Nadia tertawa bahagia. “kalau aku bagi sama teman-teman sekolah boleh ya?”
“kamu mau bagi-bagiin? udah kayak ibu Dewi aja” Ibu Dewi adalah wali kelas Mia. Suka membagikan hadiah apapun kepada muridnya. Entah itu cemilan, atau hiasan hasil prakaryanya sendiri atau sekedar sticker kecil yang
bisa ditempel dimana pun anak muridnya mau.
“iya ma, boleh ya?”
“mama sih ga keberatan. Coba Tanya sama kakek nenek yang kasih Mia hadiah”
Para kakek nenek hanya tersenyum gemas. Memperlihatkan kerutan di ujung mata. Beberapa dari mereka bahkan tersenyum lebar, tidak terganggu dengan gigi mereka yang sudah banyak tanggal.
“nenek Sintia” seorang suster keluar dari area resepsionis.
Mia bangkit. Memembantu nenek Sintia berdiri. Dengan sabar menuntunnya hingga menuju ruang periksa. Membuka pintu lebar lebar dan mempersilahkan nenek Sintia masuk duluan.
Didalam sudah ada seorang suster menunggu, membantu Mia menuntun nenek Sintia menuju kursinya. Mia menyusul dibelakang, menutup pintu ruangan terlebih dahulu sebelum berbalik menuju meja dokter. Langkahnya
terhenti, tidak percaya dengan pandangannya sendiri.
“silahkan duduk” dokter itu mengundang Mia yang masih berdiri di depan pintu. Mia baru ingin berbalik keluar tapi dokter itu kembali memanggilnya “ayo, silahkan duduk”
“ga usah kaget mba Mia, dokter Lio ini dokter baru yang gantiin dokter Aan yang lagi cuti nikah. Udah pernah kesini dulu waktu masih koas. Nenek Sintia juga udah kenal”
“iya, nenek ingat. Soalnya dokternya ganteng. Dokter Aan juga ganteng sih, tapi gantengnya mereka beda” nenek Sintia tertawa malu “ayo Mia, duduk. Bantuin dengar omongan dokter. Nenek suka ga ngerti kalau udah
bahas rumah sakit rumah sakit gini”
***
“Mia”
Mia mempercepat jalannya. Dia sengaja memilih jalan memutar setelah dari kamar mandi agar tidak bertemu dengan Lio lagi. Kenapa pria ini masih bisa menemukannya?
“tunggu” Lio mencegat Mia. Menarik tangannya. “aku mau ngomong” lanjutnya.
“AAAAA!!!” Nadia berteriak. Menarik tangan Mia yang sedang dipegang Lio. Keningnya berkerut, bibirnya mengerucut marah. “om ini penjahat ya? Kok tarik-tarik tangan mama aku?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!