Nama gadis itu Ghalisa Maulida. Anak pertama dari pasangan suami istri bernama Harun dan Suci. Karena lahir saat perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw sedang diselenggarakan di rumah kakeknya, makanya diselipkan nama Maulida untuk mengingat moment indah kelahirannya.
Ghaliza memiliki dua adik laki-laki bernama Gifari dan Gaza. Mereka kini sedang menempuh pendidikan di Jogjakarta dan tinggal bersama eyang mereka dari pihak ibu.
Ghaliza seorang gadis yang cerdas, ramah dan pekerja keras, namun sedikit cuek. Memiliki kulit sawo matang, dengan tinggi badan 160cm, wajah bulat telur dan rambut yang bergelombang, Ghaliza cukup menawan. Apalagi saat ia tersenyum, jangan ditanya manisnya seperti apa. Itu seperti dodol manis yang masuk ke dalam kubangan caramel. Manis banget kan !.
Dan saking manisnya bisa membuat para pria terpana saat melihat senyumnya. ( lebay dikit ya authornya )
Usia Ghaliza saat ini mendekati kepala tiga dan itu membuatnya panik. Tapi berbeda dengan orangtua kebanyakan yang khawatir akan nasib percintaan anak gadisnya yang berusia matang. Harun dan Suci terlihat santai menanggapi pertanyaan yang datang untuk mereka. Pertanyaan berupa sindiran atau spontan sudah sering mereka dengar, seperti berikut :
" Kapan nih Kita diundang ke pernikahan Ghaliza...?" atau
" Mana nih calonnya Ghaliza...?" atau
" Siapa sih calonnya Ghaliza, kerja dimana, lulusan apa...?" atau
" Wah, kapan nih ngeliat janur kuning berkibar di depan rumah Bu Harun...?".
Dan ribuan pertanyaan lain yang intinya sama yaitu 'kapan Ghaliza menikah'.
Biasanya Harun dan Suci akan menjawab dengan senyum saja tanpa sepatah kata pun yang keluar. Karena toh percuma menjawab. Sebab sekali menjawab, akan ada pertanyaan lanjutan. Harun dan Suci tak ingin anak gadis mereka menjadi bahan ghibahan orang lain.
Ghaliza adalah seorang tenaga pengajar di sebuah SMP swasta, masih sebagai guru honorer. Mata pelajaran yang diajar adalah matematika. Entah mengapa, di saat kebanyakan wanita menghindari pelajaran rumit itu, Ghaliza malah menekuninya hingga ia mengajar khusus di mata pelajaran tersebut.
\=====
Hari itu Ghaliza kembali bersiap untuk pergi mengajar. Saat sarapan bersama, terdengar Suci membicarakan undangan tetangga yang akan mengadakan hajatan.
" Hajatan apa sih Mi...?" tanya Ghaliza.
" Itu Kak, hajatan pernikahan si Mahdi. Katanya sih dapat jodoh orang Sumatra gitu...," sahut Suci sambil tersenyum.
" Mahdi yang dekil dan gendut itu Mi...?" tanya Ghaliza terkejut.
" Ssstt, Kakak. Ga boleh menghina penampilan orang. Ga baik. Gitu-gitu kan ciptaan Allah juga lho...!" tegur Harun tak suka.
" Iya, maaf Bah. Astaghfirullah aladziim...," sahut Ghaliza malu.
" Terus gimana Mi...?" tanya Harun pada istrinya.
" Iya, katanya sih ini acara ngunduh mantu Bah. Nikahnya udah di Sumatra bulan lalu...," sahut Suci
" Oh gitu. Insya Allah Kita datangnya sore aja ya Mi. Abah masih ada janji sama supliyer dari Kalimantan...," kata Harun.
" Iya, gapapa Bah. Kakak mau ikut ga...?" tanya Suci
" Ga ah Mi. Malas, ntar paling kaya biasanya ditanyain mulu kapan nikah...," sahut Ghaliza sambil menekuk wajahnya.
" Lho emang kenapa. Jawab aja belum datang jodohnya, kan gampang. Masa mau marah-marah...," kata Suci santai.
" Ck, Ummi gimana sih. Kaya ga tau aja, orang sini kan rempong banget kalo soal Kakak. Udah jawab gitu, ntar masih ada komen atau pertanyaan lain lagi. Mending variatif tuh pertanyaan. Wong masih muter-muter aja di situ kaya gangsing...," kata Ghaliza sebal.
" Muter-muter gimana sih maksudnya...?" tanya Harun.
" Iya muter-muter Bah. Padahal intinya cuma mau ngeledekin Kakak kapan nikahnyaaaa...?!" sahut Ghaliza gemas hingga membuat Harun dan Suci tertawa geli melihat tingkah Ghaliza.
" Ga usah emosi, tanggapi dengan senyum aja. Ntar lama-lama mereka juga capek sendiri...," kata Harun.
" Iya Bah. Lagian kenapa cuma Aku sih yang didesak. Kan ga cuma Aku yang jomblo, ada si Rara, Dewi, Maria. Tapi mereka ga pernah dicecar pertanyaan kaya gitu...," sungut Ghaliza.
" Ya pasti juga mereka dapat pertanyaan yang sama Kak. Cuma karena mereka santai, jadi orang ga nanya lagi. Tapi kalo Kamu kan ditanyain gitu langsung emosi, makanya mereka sengaja nanya kaya gitu biar Kamu marah...," kata Suci sambil menahan tawa.
" Emang gitu Mi. Jadi Aku harus santai ya jawabnya...," kata Ghaliza dan diangguki oleh Suci
" Santai tapi tanggung jawab. Yang penting Kamu tunjukin sama mereka kalo Kamu ga terbebani sama hal itu. Kamu masih bisa berkarir dan menikmati hidup. Ga usah ngoyo. Ntar kalo udah saatnya, jodohmu pasti datang sendiri kok...," kata Harun bijak.
" Iya Bah, makasih...," sahut Ghaliza sambil tersenyum.
\=====
Ghaliza tiba di sekolah saat bel telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Setelah memarkir motornya, Ghaliza masuk ke ruang guru untuk mempersiapkan materi pelajaran di jam kedua nanti.
" Selamat pagi Bu Ghaliz...," sapa Anton seorang guru Fisika.
" Pagi Pak Anton...," sahut Ghaliza sambil tersenyum.
" Duh, ngeliat senyum manis Bu Ghaliza jadi bikin semangat Saya bangkit lho...," gurau Anton.
" Ah, Pak Anton bisa aja...," sahut Ghaliza malu.
Anton adalah seorang duda yang ditinggal wafat istrinya beberapa bulan yang lalu. Entah mengapa kini ia sering menggoda Ghaliza. Mungkin karena status dudanya hingga membuat dia ingin segera mencari pendamping baru. Dan sasarannya adalah Ghaliza, gadis lajang tanpa pacar.
" Ehm, hati-hati lho Bu Ghaliz. Keliatannya Pak Anton lagi cari Ibu sambung buat Anak-anaknya...," goda Hera sambil tersenyum.
" Eh, masa sih Bu. Terus hubungannya sama Saya apa ya...?" tanya Ghaliza.
" Lho, gimana sih. Bu Ghaliza kan lajang, Pak Anton duda. Jadi klop lah kalo emang berjodoh. Iya ga...," kata Hera sambil mengedipkan matanya.
" Apa...?!" kata Ghaliza terkejut hingga terbangun dari kursinya.
" Ga usah kaget gitu lah Bu Ghaliz. Santai aja. Emang kenapa kalo Bu Ghaliz berjodoh sama Pak Anton. Orangnya kan baik, ramah lagi...," kata Hera menambahkan.
" Gapapa sih. Eh, Bu Hera bukannya ditunggu di kelas delapan C ya...," kata Ghaliza mengingatkan.
" Ya Allah, Saya lupa. Iya bener Bu, Saya ke sini niatnya mau ngambil pianika, kok malah duduk. Hadeehhh, dasar pikun...," sungut Hera sambil bergegas keluar dari ruang guru.
Ghaliza pun tertawa melihat tingkah Hera si guru seni suara. Wanita paruh baya seusia Sukma yang masih terlihat energik di usianya yang tak lagi muda. Hera seringkali menjadi tempat curhat para guru karena sikap keibuannya itu.
" Ya Allah, kalo boleh milih jangan jodohkan Aku sama Pak Anton. Tapi jika kehendakMu Aku harus berjodoh dengannya, Aku terima ya Allah...," batin Ghaliza pasrah lalu mengusap wajahnya.
Ghaliza memang tak menyukai Anton. Meski pun dewasa dan cukup tampan, tapi ada sesuatu yang membuat Ghaliza tak nyaman berada di dekatnya. Apalagi statusnya yang duda membuat Anton terlihat 'centil' terhadap sesama rekan guru terutama wanita. Dan Ghaliza tak suka itu.
Saat sedang menunggu jam pelajaran kedua, Ghaliza mulai membuka ponselnya. Ia melihat beberapa berita selebritis di ponselnya. Sesekali ia tersenyum, namun tak jarang ia mengomel melihat berita yang tak sesuai fakta.
" Lebay banget sih. Mentang-mentang artis, berita sepele gini aja heboh. Wajar kan kalo cewek bisa masak, kan artis manusia juga, pasti butuh makan. Sebelum tajir juga dia masuk ke dapur buat masak. Sekarang aja belagu, mau ke dapur aja pake helm biar ga kecipratan minyak goreng. Ish, bikin emosi jiwa aja nih berita...," omel Ghaliza lalu menutup ponselnya.
Ghaliza lalu berjalan kearah jendela. Ia melihat kepala sekolah yang bernama Hengki, sedang berbincang dengan seorang pria di depan ruangannya. Dilihat dari tampak belakang sepertinya pria itu masih muda, gagah dan tampan. Ghaliza pun tersenyum.
" Dari belakang kayanya sih keren. Nengok kek, hitungan ke tiga ya. Satu, dua, tiga. Eh, pas nengok mukanya kaya monster kadal...," gumam Ghaliza sambil cekikikan sendiri.
Namun Ghaliza tersadar dan segera memperbaiki sikapnya. Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa dia sendiri di ruang guru saat itu dan tak ada yang melihat tingkahnya. Ghaliza pun kembali memperhatikan tamu kepala sekolah itu. Kali ini Ghaliza mencoba peruntungannya.
" Ok, sekarang serius. Kita itung ya. Satu, dua, ti...," hitungan Ghaliza belum selesai tapi pria itu sudah menoleh kearah Ghaliza hingga membuat Ghaliza terkejut.
Pria itu ternyata sangat tampan, persis seperti pria impian Ghaliza selama ini. Ghaliza serasa terbang di atas awan saat pria itu tersenyum padanya. Pria itu pun melangkah mendekat kearah Ghaliza yang masih terpana oleh ketampanannya.
" Selamat pagi Bu. Bisa Saya ketemu dengan guru matematika yang bernama Bu Ghaliza...?" tanya pria itu.
Ghaliza tak menjawab. Ia masih menatap pria di hadapannya dengan tatapan kagum dan mulut setengah terbuka. Pria itu nampak salah tingkah. Ia kembali bertanya namun tak jua beroleh jawaban. Akhirnya pria itu mendekatkan wajahnya dan membisikkan sesuatu ke telinga Ghaliza.
" Mau jawab atau Aku cium...?" bisik pria itu.
" What, mimpi apa Gue semalam. Kok ada cowok ganteng mau cium Gue. Eh, tunggu. Cium, itu kan ga boleh...," batin Ghaliza lalu tersadar dan langsung menampar pria di hadapannya.
Plakk !
" Bu Ghaliza...!" jerit Hengki dengan suara tertahan karena terkejut akan sikap Ghaliza.
" Ehm, gapapa Pak...," sahut pria itu sambil berdehem dan memegangi pipinya yang baru saja ditampar oleh Ghaliza.
" Maafin Bu Ghaliza ya Pak, dia ga sengaja. Bu Ghaliza ayo minta maaf...," kata Hengki sambil memberi kode kepada Ghaliza.
" Kok Saya, kan dia yang kurang ajar sama Saya Pak...!" sahut Ghaliza tak terima.
" Bu Ghaliza salah paham. Kenalin dulu ini Pak Raja, donatur terbesar sekolah Kita...," kata Hengki dengan suara rendah.
Gantian Ghaliza yang terkejut. Ia pernah mendengar jika donatur utama sekolah itu adalah seorang pria arogan yang tak kenal rasa belas kasihan. Diam-diam Ghaliza menelan salivanya karena sudah bisa menduga apa yang akan terjadi padanya.
Lalu Ghaliza memasang senyum manisnya kearah Raja yang tengah menatap tajam kearahya. Tapi Raja tak membalas senyum Ghaliza yang terkenal manis dan memabukkan itu.
" Duh, sial banget sih. Ini hari apa ya, kok pagi-pagi udah harus nemu orang ini...," batin Ghaliza sambil meremas ujung blousenya.
" Saya mau bicara dengan Anda, berdua saja...!" kata Raja tegas.
" Baik, maafkan Saya Pak. Saya...," ucapan Ghaliza menggantung di udara karena Raja sudah membalikkan badannya menuju ke ruangan kepala sekolah.
" Gapapa Bu Ghaliz, ikuti aja ya. Silakan...," kata Hengki sambil tersenyum.
Dengan langkah berat, Ghaliza pun masuk ke dalam ruang kepala sekolah.
bersambung
Ghaliza duduk di hadapan Raja dengan tenang. Ia menunggu sang donatur utama itu memulai pembicaraan. Tapi setelah sekian lama menunggu nampaknya Raja belum akan bicara. Raja malah terlihat sibuk bicara melalui ponselnya. Hingga dengan terpaksa Ghaliza berdiri dan bersiap keluar dari ruangan itu karena tak ingin mengganggu pembicaraan Raja.
" Anda mau kemana Ibu Ghaliza yang terhormat...?" tanya Raja dengan tatapan mengintimidasi.
" Maaf Pak. Jam kedua sebentar lagi akan dimulai. Saya harus mengajar Anak-anak. Jika tak ada yang ingin Bapak bicarakan, Saya permisi dulu...," sahut Ghaliza sambil menundukkan kepalanya dengan hormat. Setelahnya Ghaliza membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruangan itu.
Raja nampak mengepalkan tangannya menahan kesal. Ia menatap kepergian Ghaliza dengan rahang yang mengeras. Rupanya baru kali ini ada seseorang yang berani menentang perintahnya. Dan itu adalah seorang guru honorer di sekolah yang 70% biaya operasionalnya dibiayai dengan uangnya.
Hengki masuk ke dalam ruangan saat Raja memanggilnya.
" Maafkan Bu Ghaliza ya Pak. Dia ga tau kalo Bapak adalah pemilik sekaligus donatur utama sekolah ini. Bu Ghaliza itu orangnya keras Pak, tapi cara mengajarnya hebat. Bahkan Bu Ghaliza mampu menghandle siswa kelas 8E yang terkenal nakal dan biang onar di sekolah Kita Pak...," kata Hengki sambil tersenyum.
" Apa dia guru tetap di sini...?" tanya Raja.
" Bukan Pak, masih honorer. Karena Bu Ghaliza ga punya basic Sarjana Pendidikan. Bu Ghaliza itu Sarjana Ekonomi dan pernah bekerja di perusahaan besar. Tapi Bu Ghaliza memilih mengajar karena dia suka sama Anak-anak. Begitu Pak...," sahut Hengki dengan suara bergetar.
Raja nampak mengetuk meja dengan jari telunjuknya. Kemudian Raja berdiri.
" Kirimkan biodata Ibu Ghaliza, Saya mau liat apakah dia layak ada di sekolah ini atau bahkan Saya harus memecatnya...," kata Raja dingin sambil melangkah keluar dari ruangan kepala sekolah.
" Baik Pak...," sahut Hengki lalu mengikuti langkah Raja untuk mengantarnya keluar.
Saat hendak menuju parkiran, terdengar suara riuh dari sebuah kelas di lantai dua. Raja menoleh kearah Hengki.
" Oh, itu Anak-anak kelas 8E Pak. Kelas istimewa karena hampir semua guru cuma bertahan setengah jam pelajaran mengajar di kelas itu...," sahut Hengki.
" Hmmm, kelas biang onar itu...?" tanya Raja dan diangguki oleh Hengki.
Dari tempat mereka berdiri Raja dan Hengki dapat melihat Ghaliza melangkah santai menuju ke kelas 8E. Raja sedikit terkejut saat melihat Ghaliza masuk ke dalam kelas, kelas itu mendadak hening. Lalu terdengar sapaan anak-anak terdengar menyambut kehadiran Ghaliza.
" Selamat pagi Bu Ghaliza...!" sapa seluruh siswa kelas 8E.
" Selamat pagi Anak-anak. Baik, Kita mulai pelajaran Kita hari ini ya. Tapi sebentar, ada cerita seru apa yang bakal Kalian bawakan...?" tanya Ghaliza sambil tersenyum.
Para siswa pun berlomba menjawab. Mereka semua ingin bercerita kepada Ghaliza. Melihat hal itu Ghaliza pun melerai mereka.
" Perwakilan cowok dan cewek maju dulu ke depan terus suit. Yang menang, itu yang cerita. Gimana...?" tanya Ghaliza.
" Setuju Bu...!" sahut siswa bersamaan.
Perwakilan siswa maju ke depan, setelah suit ternyata siswa laki-laki yang menang.
" Jadi hari ini giliran murid cowok yang cerita. Ayo harus seru ya. Kalo ga, semua murid cowok harus berdiri di depan kelas...," ancam Ghaliza.
Suara riuh kembali terdengar. Akhirnya dipilih seorang siswa bernama Rendi yang bercerita. Kali ini cerita tentang hantu di gudang rumahnya. Semua mendengarkan, waktu yang diberi hanya sepuluh menit dan itu berhasil membuat ketegangan tersendiri di dalam kelas.
" Cukup, waktu habis. Menurut Saya cerita Rendi cukup menguras emosi. Artinya tak ada yang dihukum hari ini...," kata Ghaliza sambil tersenyum.
Semua bersorak gembira. Setelahnya Ghaliza berdiri di depan papan tulis dan kembali memasang wajah serius.
" Ok, Kita lanjut ke materi berikutnya...," kata Ghaliza tenang.
Semua siswa pun nampak menyimak materi yang diberikan. Sesekali nampak siswa bertanya dan Ghaliza menjawab. Interaksi yang normal antara Guru dan siswa. Tanpa mereka sadari, Hengki dan Raja memperhatikan tingkah mereka dari balik jendela. Diam-diam Raja merasa kagum dengan cara Ghaliza mendekati siswa kelas 8E itu.
" Siapa Wali Kelas 8E...?" tanya Raja.
" Maaf, belum ada Pak. Jadi terpaksa Saya yang handle...," sahut Hengki.
" Kenapa belum ada...?" tanya Raja tak mengerti, padahal tahun ajaran baru sudah berjalan hampir dua bulan.
" Sebelumnya Bu Indah yang jadi Wali kelas, tapi mengundurkan diri karena ga tahan sama ulah mereka. Sampe sekarang ga ada yang mau jadi Wali kelas 8E Pak...," sahut Hengki lagi.
" Serahkan saja sama Bu Ghaliza...," kata Raja.
" Tapi kan Bu Ghaliza cuma guru honorer Pak. Bukannya peraturan di sekolah ini yang jadi Wali kelas adalah guru tetap...?" tanya Hengki tak mengerti.
" Gapapa, anggap aja ini kejadian khusus...," sahut Raja sambil masuk ke dalam mobilnya.
" Baik Pak...," sahut Hengki.
Sesaat kemudian mobil Raja pun melaju meninggalkan sekolah.
\=\=\=\=\=
Raja memasuki ruang makan dengan langkah tegap. Semua orang yang tengah duduk di sana pun menoleh dan tersenyum menyambut kedatangannya.
" Bagaimana harimu Nak...?" tanya Anita sambil tersenyum kepada putranya itu.
" Alhamdulillah, lancar Ma...," sahut Raja lalu mengecup pipi sang mama lembut.
Setelahnya Raja mencium punggung tangan sang papa yang bernama Rahmat lalu bergeser pada sang kakek bernama Raden Mas Rekso.
Raja adalah anak lelaki satu-satunya dari lima bersaudara yang kesemuanya perempuan. Diberi nama Raja karena dialah yang akan mewarisi kerajaan bisnis milik kakek dan ayahnya. Raja memiliki tiga orang orang kakak yang semuanya sudah menikah bernama Raya, Rifa, Rumi dan seorang adik bernama Resi. Ketiga kakak Raja tinggal bersama suami mereka masing-masing. Sedangkan semua sepupu Raja pun perempuan. Maka jangan heran jika Raden Mas Rekso menaruh harapan besar pada cucu lelakinya itu.
Mereka menikmati makan malam dengan tenang. Sesekali cerita mengalir dari mulut adik bungsu Raja yang bernama Resi hingga membuat semua tertawa mendengarnya.
Setelah makan malam mereka berkumpul di ruang keluarga. Malam itu untuk ke sekian kalinya mereka membicarakan perihal pasangan untuk Raja. Tapi berbeda dengan waktu sebelumnya, kali ini Raja bertahan dan mengikuti alur pembicaraan kakek dengan kedua orangtunya.
" Harus segera Rahmat. Umurku ga muda lagi. Kapan lagi Aku bisa menyaksikan pernikahan Cucu laki-lakiku ini...," pinta Rekso sambil menepuk halus punggung Raja.
" Romo bisa tanya langsung sama Raja. Jangan desak Aku lagi. Aku lelah jika harus mengejarnya terus...," sahut Rahmat sambil melirik kearah Raja.
Sendini pun menoleh kearah Raja yang nampak tak bergeming.
" Le, gimana. Apa Kamu sudah punya calon Istri. Kalo belum, biar Kami bantu carikan. Yah setidaknya Kalian bisa menikah dulu, ga perlu rame-rame yang penting keluarga inti tau semua...," bujuk Sendini pada putranya itu.
Raja nampak menghela nafas panjang. Ia menatap satu per satu orang di hadapannya.
" Hanya menikah saja tanpa pesta kan. Baik, Aku akan menikah. Segera...," sahut Raja dengan mimik serius. Raja berniat untuk menyenangkan keluarganya sebentar. Lalu ia akan mencari alasan untuk menceraikan wanita itu nanti. Toh, tak akan ada yang bisa memaksanya menjalani pernikahan jika ia katakan ia tak bahagia.
" Alhamdulillah...," terdengar hamdalah berkumandang di ruangan itu. Nampak senyum lega di wajah Raden Mas Rekso, Rahmat dan Sendini saat mendengar jawaban Raja.
" Gadisnya biar Ibu yang pilih ya Nak...," kata Sendini antusias.
" Ga usah Ma...," sahut Raja enggan karena ia tahu type seperti apa pilihan sang mama.
" Jangan Ni. Aku sudah siapkan foto beberapa calon Istri untuk Cucuku ini. Gus, tolong ambilkan map coklat di mejaku...," perintah Rekso pada asistennya yang berdiri tak jauh dari ruang keluarga.
" Baik Ndoro...," sahut Agus lalu segera mengambilkan benda yang dimaksud dan menyerahkannya pada Rekso.
" Nah, ini adalah foto beberapa wanita yang masuk kualifikasi alias sudah Eyang seleksi. Eyang harap Kamu bisa menentukan secepatnya gadis mana yang akan Kamu nikahi...," kata Rekso.
Raja meraih amplop itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
" Aku liat di kamar aja Eyang. Sekarang Aku permisi dulu. Aku lelah sekali karena menemui beberapa kejadian tak terduga hari ini...," pamit Raja.
Rekso pun mengangguk. Tak lama setelah kepergian Raja, ia pun minta diantar ke dalam kamarnya. Kini tinggal Rahmat dan Sendini yang masih duduk di ruang keluarga.
" Romo itu gimana sih Pa. Raja itu kan Anakku, masa Aku ga boleh ikut milih calon Istrinya...," kata Sendini dengan mata berkaca-kaca.
" Maafkan Romo ya Ma. Tapi itu karena Raja kan Cucu lelaki satu-satunya yang bakal mewarisi kerajaan bisnisnya Romo. Jadi Romo harus tau betul bebet, bobot dan bibit calon Istrinya Raja. Liat sisi positifnya dong Ma. Kita ga perlu repot lagi karena Romo pasti pilih yang terbaik untuk Raja. Selain cantik, pasti juga harus pintar, multi talenta dan dari keluarga baik-baik. Nah, Kita ga punya alasan buat nolak kalo semua kriteria yang Kita inginkan udah diwakilin sama Romo...," sahut Rahmat mencoba membujuk istrinya.
Sendini terdiam sejenak kemudian mengangguk.
" Papa benar. Baiklah, Aku akan ikut apa kata Romo. Lagian hanya sama Raja kan Romo bersikap kaya gini. Toh Aku masih bisa menyeleksi calon menantu terakhir Kita nanti...," sahut Sendini sambil tersenyum membayangkan Resi menikahi pria yang sesuai dengan pilihannya nanti.
\=\=\=\=\=
Raja baru selesai membersihkan diri saat sebuah email ia terima. Lalu Raja membaca email yang dikirimkan Hengki untuknya itu sambil tersenyum.
" Hmm, jadi dia belum menikah. Cantik dan karakternya unik. Sangat menarik...," puji Raja saat menatap biodata Ghaliza yang dikirimkan Hengki barusan.
Raja mengingat kembali pertemuannya dengan Ghaliza hari ini. Ghaliza, si guru honorer yang berani menamparnya. Padahal tak seorang pun berani menolak atau membantah keinginannya. Tapi gadis itu bahkan berani menamparnya tanpa rasa bersalah.
Raja lalu berbaring di atas tempat tidur sambil meraih map coklat yang diberikan Rekso tadi. Ia mengeluarkan belasan foto wanita yang disiapkan oleh Rekso untuk menjadi calon istrinya. Dengan setengah hati Raja menatap satu per satu foto wanita sekaligus membaca biodata wanita itu yang tertera di balik foto.
" Bianca, 22 tahun, designer perhiasan. Malika, 27 tahun, pengacara. Hana, 29 tahun, pengusaha. Ratna, 28 tahun, model. Ghaliza, 29 tahun, karyawati...," ucapan Raja terhenti saat melihat foto dan biodata Ghaliza.
Raja membolak-balik foto Ghaliza. Ia nampak tersenyum penuh arti. Lalu Raja memisahkan foto Ghaliza dan memasukkan foto lainnya ke dalam map. Raja nampak tersenyum puas sebelum memejamkan mata dan tidur.
\=\=\=\=\=
Pagi harinya Raja menemui Rekso di ruang kerjanya dan menyerahkan foto Ghaliza. Rekso nampak tersenyum melihat pilihan Raja.
" Ghaliza. Aku yakin Kau akan bahagia bersamanya. Dia gadis yang baik, sedikit cuek namun penuh kasih sayang...," puji Rekso sambil menatap foto Ghaliza.
" Aku ingin pernikahanku dipercepat Eyang...," pinta Raja.
Rekso tertawa mendengar ucapan Raja. Ia tak menyangka jika Raja demikian tak sabar untuk menikahi Ghaliza.
" Baik. Kau duduk manis saja. Biar Aku yang akan mengatur semuanya...," sahut Rekso sambil tertawa.
" Tanpa pesta dan hanya keluarga inti Eyang...," kata Raja menegaskan sebelum berlalu.
" Tanpa pesta dan hanya keluarga inti. Hah, Anak itu selalu semaunya sendiri. Apa dia ga tau pentingnya pesta pernikahan bagi seorang gadis...," gumam Rekso sambil menggelengkan kepalanya.
Namun tak lama kemudian Rekso pun keluar dari ruang kerjanya dan minta asistennya mengatur pertemuan dengan kedua orangtua Ghaliza.
bersambung
Harun dan Suci baru saja tiba di depan gedung kantor PT. Reksa Utama. Mereka datang ke sana memenuhi undangan pemilik perusahaan yaitu Raden Mas Rekso. Saat tiba di loby mereka disambut oleh Agus, asisten pribadi Rekso.
" Selamat datang Pak Harun, Ibu Suci. Mari silakan lewat sini...," sambut Agus sopan.
" Terima kasih...," sahut Harun dan Suci bersamaan dan diangguki oleh Agus.
Agus membawa Harun dan Suci naik ke lantai dua puluh lima dengan menggunakan lift khusus. Setiba di sana Agus mengarahkan Harun dan Suci masuk ke dalam ruangan yang besar.
" Ndoro akan segera ke sini. Silakan Bapak dan Ibu menunggu di sini...," kata Agus sambil mempersilakan Harun dan Suci untuk duduk.
" Ini ada apa sih Bah. Kok, Ummi jadi deg-degan kaya gini. Ada masalah apa sebenarnya. Apa Abah pernah nyinggung orang besar...?" tanya Suci cemas.
" Ummi tenang aja. Ini ga kaya yang Ummi kira. Abah juga ga tau. Tapi insya Allah mereka orang baik dan ga akan menyakiti Kita...," sahut Harun menenangkan istrinya.
Tak lama kemudian pintu kembali terbuka. Nampaklah Rahmat dan Sendini masuk sambil tersenyum. Saat bertatapan Rahmat dan Harun pun terkejut.
" Harun...!" panggil Rahmat.
" Rahmat...!" kata Harun sambil tertawa.
Keduanya pun berpelukan erat sambil tertawa gembira.
" Jadi Kau pemilik perusahaan besar ini Mat. Wah ga nyangka. Aku dan Istriku dapat kesempatan istimewa diundang ke sini...," kata Harun.
" Bukan Aku pemilik perusahaan ini, tapi Romoku. Jadi Kalian orang yang diundang sama Romo. Wah, kalo tau itu Kamu ya Aku ga bakal nolak lah besanan sama Kamu...," sahut Rahmat sambil tertawa.
Harun dan Sukma saling menatap bingung. Namun mereka mencoba bersikap biasa saja. Rahmat dan Harun pun saling memperkenalkan istri masing-masing. Mereka berbincang dengan akrab. Saat Rekso masuk ke dalam ruangan ia nampak tersenyum melihat keakraban anak dan menantunya dengan calon besan mereka.
" Kalian sudah saling kenal rupanya...," kata Rekso.
" Iya Romo. Harun ini dulu teman sekampus Aku di Jogja. Kami sempat tinggal satu kamar bareng karena ga punya uang buat bayar kost...," sahut Rahmat sambil tertawa.
" Kalo begitu semuanya jadi lebih mudah kan...," kata Rekso sambil tersenyum.
" Maaf sebelumnya. Saya belum paham isi pembicaraan ini dan tujuan Pak Rekso mengundang Kami ke sini...," kata Harun sopan.
" Biar Aku jelasin. Begini Run. Aku punya Anak lelaki, sudah matang usianya tapi belum menikah. Dan saat Romo memperlihatkan foto gadis pilihan Kami, rupanya Anak Kami itu tertarik sama putrimu. Jadi Kami berniat membicarakan perjodohan Anak-anak Kita. Lagi pula Anakmu juga belum punya calon Suami kan. Yah, Aku sih berharap Kita bisa jadi keluarga Run...," kata Rahmat.
" Wah, satu kehormatan bisa besanan dengan keluargamu Mat. Tapi tau darimana Kamu tau kalo Anak perempuanku belum punya calon Suami...?" tanya Harun.
" Harun, Harun, masa masih bingung sih. Kau liat, Romoku itu orang kaya yang punya perusahaan besar. Urusan cari info calon menantu itu soal sepele. Yang penting sekarang Kalian setuju atau ga...?" tanya Rahmat tak sabar.
" Rahmat, beri waktu tamu Kita untuk santai sejenak. Kamu mencecarnya dengan pertanyaan yang malah bikin dia curiga nanti...," sela Rekso sambil menatap Rahmat.
" He he he, iya Romo. Maaf. Aku ga sabar besanan sama si Harun ini...," sahut Rahmat sambil tertawa.
" Tau nih Papa. Ajak makan dulu dong Pa. Masa tamunya diajak ngomong terus daritadi...," gerutu Sendini sambil tersenyum kearah Suci.
Akhirnya mereka menikmati makan siang dengan santai diselingi percakapan ringan. Sendini dan Suci pun terlihat akrab seperti teman lama. Setelah makan siang usai, Rekso meminta Raja untuk datang menemui calon mertuanya.
" Nah, ini Cucuku yang akan Kami jodohkan dengan putrimu Nak Harun...," kata Rekso.
Raja pun menghampiri Harun dan Suci lalu mencium punggung tangan keduanya. Harun dan Suci nampak kagum dengan sikap Raja. Selain tampan, berwibawa, Raja juga sangat rendah hati. Padahal dilihat dari penampilannya Raja adalah orang penting di perusahaan itu.
" Duduklah Nak...," pinta Sendini yang diangguki oleh Raja.
" Saya memang tertarik dengan putri Bapak dan Ibu. Saya berniat menikahinya dalam waktu dekat. Hanya saja Saya mohon pernikahan Kami disembunyikan dari publik sementara waktu meski pun pernikahan tetap tercatat di KUA...," kata Raja.
" Kok disembunyikan, memangnya Anak Kami tak pantas dinikahi. Kalo memang tak layak untukmu, kenapa Kalian memilihnya...?" tanya Harun tak suka.
" Ehm, bukan begitu Pak. Saat ini Saya sedang merintis bisnis baru. Persaingan sangat ketat. Dan saingan bisnis akan mencari hal sekecil apa pun untuk menjadikannya sasaran guna menjatuhkan Saya. Saya khawatir mereka akan membuat Istri Saya terluka nanti karena mereka tau titik kelemahan Saya adalah Istri Saya. Jadi mohon pengertian Bapak dan Ibu. Demi Allah Saya serius ingin menikahi Ghaliza dan menjadikannya Istri Saya satu-satunya...," kata Raja dengan mimik serius.
Suasana mendadak hening di dalam ruangan itu. Rekso, Rahmat dan Sendini tak menyangka jika Raja bisa bicara seperti itu. Padahal selama ini Raja selalu menolak gadis yang dijodohkan dengannya. Namun yang terjadi saat ini justru Raja sendiri yang terlihat tak sabar untuk menikahi Ghaliza. Sedangkan Harun dan Suci nampak saling menatap. Sesaat kemudian Harun pun mengangguk mengiyakan permintaan Raja. Harun berpikir Raja tak mungkin mempermainkan mereka karena ada nama besar Kakek dan ayahnya yang menjadi taruhan.
" Baiklah Nak. Karena Aku sudah kenal Ayahmu sejak muda, maka Aku tak keberatan Kau menikahi Anakku dengan cara yang Kau tetapkan...," sahut Harun.
" Alhamdulillah, makasih Pak...," kata Raja lalu mencium punggung tangan Harun dan Suci dengan khidmat.
Harun pun menepuk punggung Raja mendapati sikap Raja yang berkali-kali mengucapkan terima kasih.
" Kalo begitu apakah Saya boleh pergi sekarang. Maaf, bukan ga sopan. Tapi ada klien penting yang harus segera Saya temui...," tanya Raja sambil menatap semua orang di dalam ruangan itu penuh harap.
Semua mata menatap kearah Harun seolah minta persetujuan darinya. Menyadari semua orang sedang menatapnya, Harun pun salah tingkah.
" Oh, gapapa. Pergi lah Nak. Bisnismu juga sama pentingnya kan. Lagi pula sudah ada Kami yang akan mengatur pernikahanmu dengan Anakku di sini, itu pun jika Kamu setuju Kami yang mengatur semuanya...," kata Harun sambil tersenyum.
" Tentu saja. Saya setuju. Terima kasih Pak...," sahut Raja sambil tersenyum dan diangguki Harun.
Lalu Raja bergegas keluar dari ruangan itu untuk menemui kliennya.
" Maafkan Raja ya Bu...," kata Sendini sambil menggenggam tangan Suci.
" Iya, gapapa Bu. Kami maklum kok...," sahut Suci sambil tersenyum.
Perbincangan kedua keluarga itu pun berlanjut. Meski pun tak akan menggelar pesta mewah dalam waktu dekat, tapi persiapan tetap dilakukan. Sendini dan Suci tampak bicara santai di pojok ruangan. Mereka sengaja memisahkan diri dari para pria yang asyik menceritakan masa lalu. Keduanya terlihat membicarakan sifat dan karakter Raja dan Ghaliza.
\=\=\=\=\=
Kebahagiaan nampak melingkupi keluarga besar Rekso dan Harun. Bagaimana tidak. Anak yang selama ini selalu mendapat pertanyaan 'kapan menikah' akan segera naik ke pelaminan dan membungkam mulut nyinyir para penggosip di luar sana.
" Belum pernah Mama sebahagia ini saat mau besanan Pa. Biasanya kan nervous, ragu-ragu. Tapi ini mah beda. Kita malah ikutan ga sabar kaya si Raja ya Pa...," kata Sendini sambil tertawa.
" Iya Ma. Kirain Aku doang yang ngerasa gitu. Ga taunya Mama juga ya. Apalagi Romo, keliatan banget bahagianya saat tau Raja setuju menikahi gadis pilihannya...," sahut Rahmat.
Sementara itu Ghaliza tak tahu apa pun mengenai rencana pernikahannya dengan Raja. Ghaliza masih asyik menikmati hidupnya. Mengajar, bersepeda, ke perpustakaan juga berkebun. Hingga saat Suci mengajaknya ke butik untuk memilih kebaya yang akan dipakainya saat akad nikah nanti.
" Kenapa kebaya ini Mi. Ini terlalu bagus kalo cuma buat acara keluarga aja. Ini malah kaya orang mau nikahan tau ga sih Mi...," protes Ghaliza saat Suci memintanya ke kamar pas untuk mencoba kebaya berwarna putih itu.
" Kamu berisik banget sih Kak. Udah coba dulu sana...!" sahut Suci sambil menahan senyum.
Sepuluh menit kemudian Ghaliza keluar dengan memakai kebaya itu. Suci pun memotret Ghaliza dan mengirimkannya kepada Sendini yang langsung membalas dengan kalimat pujian.
" Masya Allah cantiknya calon Mantuku. Itu belum didandani ya Bu. Apalagi kalo udah didandani dan pake mahkota di atas kepalanya, pasti bikin Anakku langsung jatuh cinta...," kata Sendini.
" Ah, Ibu bisa aja. Ketinggian mujinya. Kalo Ghaliza tau bisa marah dia...," sahut Suci sambil berbisik
Tapi telephon Suci harus berakhir karena Ghaliza sudah tak sabar ingin melepas kebaya itu. Setelah selesai mencoba kebaya itu, Suci pun mengajak Ghaliza ke salon.
" Duh Ummi Sayang. Emang bakal ada acara apaan sih Mi. Segitu hebohnya. Pake beli kebaya, sekarang harus ke salon lagi. Aku capek Mi, ngantuk. Kita balik aja ya Mi...," rengek Ghaliza.
Tapi Suci mengabaikan Ghaliza dan masuk ke dalam salon. Ghaliza terpaksa mengikuti Suci dengan wajah cemberut. Setelah menghabiskan waktu selama dua jam untuk melakukan perawatan tubuh, Suci pun membawa Ghaliza pulang ke rumah.
\=\=\=\=\=
Pernikahan yang awalnya akan digelar di rumah Harun pun batal. Karena tak ingin tercium media, pernikahan pun dipindahkan ke villa milik Rekso di daerah puncak.
Namun lagi-lagi terjadi kendala teknis. Raja sang mempelai pria harus pergi mengurus bisnisnya di Turki. Dengan terpaksa ijab kabul dilakukan sebelum Ghaliza selesai berhias di salon.
Saat itu Harun dan Raja sudah duduk berhadapan untuk mengucapkan ijab kabul disaksikan Rekso, Rahmat dan ketiga menantu laki-laki Rahmat.
" Ananda Raja Rahadian bin Rahmat, Saya nikahkan dan kawinkan Engkau dangan putri kandung Saya yang bernama Ghaliza binti Harun dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan berlian dibayar tunai...," kata Harun.
" Saya terima nikah dan kawinnya Ghaliza binti Harun dengan mas kawin tersebut dibayar tunai...!" sahut Raja dengan lantang.
" Sah, sah...!" seru para saksi yang juga merupakan menantu Rahmat.
" Alhamdulillah...!" sahut para hadirin yang hanya berjumlah dua puluh lima orang itu.
Setelah mengaminkan doa yag dipimpin seorang ustadz yang juga bertindak sebagai penghulu, Raja pun menandatangani dokumen pernikahannya. Kemudian Raja pun pamit dan segera pergi ke bandara. Sedangkan Rekso dan keluarganya memilih segera kembali ke Jakarta tanpa menunggu kedatangan Ghaliza sang mempelai wanita.
Setengah jam kemudian Ghaliza tiba di villa itu bersama istri pengurus villa. Suasana villa masih sama seperti saat Ghaliza tinggalkan tadi. Namun sang penghulu masih menunggu kedatangan Ghaliza.
" Nah, ini mempelai wanitanya Pak Ustadz...," kata Suci sambil tersenyum.
" Mari sini Nak. Tolong tanda tangani dulu berkas pernikahanmu ya. Setelah itu Saya bisa pulang dan istirahat...," gurau sang penghulu.
" Berkas pernikahan apa. Abah, Ummi, apa maksudnya ini...?!" tanya Ghaliza panik.
" Tanda tangan dulu Kak. Ntar Abah jelasin...," sahut Harun santai.
Ghaliza pun menanda tangani dokumen pernikahannya dengan cepat. Ia bahkan tak memperhatikan foto pria yang kini resmi menjadi suaminya. Kemudian Suci membantu Ghaliza mengenakan cincin di jari manisnya. Tak lupa pengurus villa mengabadikan moment tersebut dengan kamera ponselnya. Setelah buku nikah diserahkan kepada Harun untuk disimpan. Sang penghulu pun pamit sambil mengucapkan pesan singkat.
" Semoga sakinah mawwaddah warohmah. Aamiin...," kata sang penghulu.
" Aamiin...," sahut Harun dan Suci bersamaan.
Ghaliza tak sabar untuk bertanya.
" Apa yang sebenarnya terjadi Ummi, Abah...?" tanya Ghaliza.
" Hari ini Kamu resmi menikah Nak. Dan Kamu punya status Istri sekarang, sah secara agama dan hukum. Selamat ya, sekarang Kamu ga jomblo lagi. Ga akan ada seorang pun yang berhak ngatain Kamu lagi. Kalo masih ada, tunjukin aja cincin di jari manismu ini...," sahut Harun sambil mengecup kening Ghaliza.
Ghaliza terpaku mendengar ucapan ayahnya. Ghaliza bingung sekaligus bahagia. Namun rasa penasaran lebih mendominasi. Siapa pria yang telah menikahinya ?.
bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!