[Sekarang : Arc 1]
[Judul : Pemburu]
[Status : Memuat....]
Percikan-percikan listrik bermunculan di setiap sudut koridor yang tengah dilewati. Pasukan berzirah makanik menjelajah sepanjang koridor kapal antariksa ini dengan masing-masing senapan di tangan, siap membidik apa saja yang membahayakan.
Sulit untuk melihat situasi sekitar karena gelap walau masing-masing helm canggih mereka mengaktifkan penglihatan malam. Sunyi, sepi, tiada tanda-tanda kehidupan terdeteksi. Melangkah dengan waspada, dengan keraguan, seakan-akan mengerti bahwa mereka bisa mati kapan saja dalam situasi semencekam ini.
Dalam sunyi di penghujung koridor, keluar sosok berpakaian putih dari salah satu pintu, berdiri dalam posisi membelakangi mereka. Diam, mematung, tanpa suara.
Pemimpin dari tim pasukan itu memberi aba-aba untuk berhenti, makin meningkatkan kewaspadaan atas kemunculan makhluk yang nampak menyerupai manusia.
“Manusia?”
“Tidak mungkin. Kapal antariksa ini sudah tiga tahun lamanya tidak beroperasi.”
“Hati-hati. Kita baru saja sampai di sini.”
“Kalau bukan manusia, pasti akan muncul data pada Data Informasi AutoTe— Tunggu dulu, panel datanya muncul.”
Masing-masing di hadapan mereka muncul panel hologram yang berisi data sosok misterius tersebut.
[Julukan : Illusionist-E]
[Jenis : Monster]
[Sifat : Pasif]
[Status : Danger]
[Peringatan : Mampu melukai korban lewat tatapan mata. Sekali terkena akan membuat korban mengalami luka dalam yang sangat parah]
Tak lama setelah panel data menghilang, sosok itu berbalik, menampakan rambut panjang berantakan, mulut terbuka menampakan bola mata lebar, bergerak-gerak ke sana-kemari menatap beberapa targetnya dengan darah keluar dari mulut tersebut.
“Apa yang—Argh!”
Beberapa prajurit yang tak sengaja menatap mata dari mulut makhluk itu langsung terpengaruh, jatuh ke lantai dengan helm bagian dalam dipenuhi oleh cipratan darah yang mereka muntahkan.
Sudah dipastikan, para prajurit yang kena pengaruh sang makhluk telah tewas di tempat.
“Apa yang terjadi pada mereka?!”
“Mereka tewas di tempat akibat pengaruh makhluk tadi.”
Sang ketua mendecih, tak menyangka bahwa di dalam bangkai kapal seperti ini, mereka akan dipertemukan dengan makhluk menyusahkan begitu.
Makhluk ahli ilusi, ini terlalu merepotkan.
“Kita tidak bisa mundur. Misi utama kita masih belum dijalankan. Ini hanya satu musuh, tidak akan jadi masa—.”
“GRRRRAAAWWW!!!”
“AAAAAA!!!”
Sebuah tentakel merah berukuran besar tiba-tiba muncul menembus plafon koridor, mengikat salah satu prajurit dan membawanya menghilang di atas.
“Prajurit! Argh!!!”
Makhluk itu mendadak menyerang satu prajurit tadi dengan memelintir kepalanya hingga lepas, menyebabkan semburan darah muncul dari leher yang telah putus tersebut.
Akibat pergerakan makhluk bermata di mulut itu, seluruh anggota tim mulai makin waspada.
“Tembak!”
Para prajurit berhasil menembak makhluk tersebut sampai hancur tak bernyawa. Hanya saja, di antara mereka ada yang tertangkap oleh beberapa tentakel dari plafon kembali.
Sontak beberapa prajurit menembak ke balik plafon, tapi nasib sama terjadi pada mereka, ditarik lalu dibawa tentakel ke atas plafon. Bisa dilihat darah segar banyak mengucur deras dari atas plafon, membasahi lantai hingga menciptakan genangan.
“Ba-bagaimana ini…?!”
[Peringatan! Serbuan Serangan!]
[Peringatan! Serbuan Serangan!]
[Peringatan! Serbuan Serangan!]
Notifikasi dari panel sistem mereka terus berbunyi, menandakan bahwa ada bahaya serangan berjumlah banyak akan tiba.
“Peringatan serbuan serangan…?”
“Masih ada banyak monster ‘kah, di sini?!”
“Sialan!”
Benar saja, di semua pintu koridor bermunculan banyak makhluk dari berbagai bentuk menyerang mereka semua, ada yang bertubuh tinggi kurus dengan kepala berupa mulut saja, laba-laba besar beracun, hingga monster reptil bersenjata tiang besi.
Para prajurit langsung menembaki mereka semua. Beberapa berhasil dibunuh walau harus ditembak sesering mungkin, sedangkan banyak di antaranya lolos dan menyerang prajurit lain. Makhluk berkepala mulut membanting prajurit, menelannya hidup-hidup hingga menyisakan pinggang sampai kaki saja. Monster laba-laba menerkam, menggigit mereka sampai hancur lewat mulut yang berada di perut. Sedangkan monster reptil memukul para prajurit secara membabi buta.
“Kita tidak bisa di sini terus, Ketua! Ini bencana!”
Sang ketua tim melihat ada gerbang besar di ujung koridor yang masih tertutup rapat.
“Ke gerbang itu!”
Prajurit tim yang tersisa berlari menuju gerbang itu sambil menembaki para monster yang mulai mengejar mereka.
Setibanya di depan gerbang, sang ketua berusaha mengaktifkan panel kunci yang ada di samping gerbang, tapi tak bisa aktif karena memang panel kunci tersebut sudah lama rusak.
“Sial! Panel kuncinya rusak.”
“Tidak bisa dibuka manual?”
“Bantu aku!”
Ketua dan beberapa prajurit berusaha menarik tuas gerbang berukuran besar yang tertanam dalam motif futuristik di bagian tengah gerbang, sedangkan anggota lain berusaha melindungi dengan menembak para monster.
Butuh waktu lama untuk menarik tuas itu, lalu mereka masih perlu memutarnya dengan keras pula.
“Kenapa lama sekali?” tanya salah satu prajurit sambil menembak monster laba-laba. “Kami tidak bisa menahannya lebih lama.”
“Tuasnya keras, sudah berkarat pula!”
Sang ketua dan beberapa anggotanya terus berusaha mendorong tuas gerbang yang sangat keras itu.
“Rekan-rekan kita sudah banyak gugur! Kenapa kalian lama sekali, Ketu—.”
Saat menoleh, prajurit itu syok ketika mendapati ketua dan anggota lain yang membantu membuka gerbang ditelan oleh monster mulut bertubuh tinggi. Monster-monster itu menelan bagian atas, mencabut bagian pinggang, dan salah satunya memukulkan bagian pinggang itu ke arah sang prajurit hingga terpental membentur tembok koridor.
“Argh!”
Ia jatuh terduduk, berusaha bangkit namun tak bisa karena benturan keras tadi, ditambah rasa lelahnya yang makin menjadi.
“Kalian—.”
Satu-persatu anggota tim pasukan banyak yang tewas, dimakan monster mulut, dihantam para humanoid reptil, diterkam monster laba-laba, dan ditarik tentakel misterius dari setiap sudut tanpa disadari. Dan sekarang ada sosok lain yang kini merayap di atas satu-satunya prajurit yang tertinggal di sana.
Prajurit itu mendongak ke atas dengan pandangan ketakutan, mendapati sosok bayangan gelap yang hanya nampak warna mata kuning menyala, di belakangnya tumbuh banyak tentakel hitam aneh siap mencengkeramnya kapan saja.
Sesaat panel sistem muncul, tapi hanya menampakan notifikasi peringatan dan glitch.
[Julukan : Tidak Diketahui]
[Jenis : Tidak Diketahui]
[Sifat : Tidak Diketahui]
[Status : Tidak Diketahui]
[Bahaya! Obyek : Tidak Diketahui]
[Data Mengalami Kerusakan!]
[Sistem Tidak Dapat Membaca!]
[Error!]
[Error!]
[Error!]
Makhluk itu menganga sangat lebar dengan lebar mulut yang mampu menelan satu manusia sekaligus, disertai taring-taring berukuran sangat besar siap mengoyak mangsa.
Di detik-detik terakhir itu, sang prajurit hanya terkekeh pilu. Sampai pada akhirnya pandangan gelap menerpa dan jeritan kesakitan menggema di sepanjang koridor.
...~*~*~*~...
Satelit Alam Darzia….
Hutan rindang di siang hari nampak sunyi, hijau, dan menenangkan bagi sebagian fauna yang mendiami habitat ini. Sampai pada saat seekor kadal raksasa berkulit hijau dan berbintik perak lari menerobos rindangnya hutan.
Kadal raksasa itu nampak menghindari sesuatu yang tengah mengejar di belakang. Mulut sang reptil kotor oleh darah segar dari mangsanya, terus berlari sampai-sampai menumbangkan beberapa pohon yang ada dan membuat para burung serta hewan pengerat lain menjauh dari area hutan tersebut.
Tak berapa lama, terdengar suara keras dari tembakan beruntun sebuah senapan serbu. Membuat sang kadal semakin cepat berlari, tahu jika suara keras itulah ancaman yang sebenarnya.
“Jangan lari kau!”
Nampak seorang pria melompat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan lincah. Mata heterokrom kuning-peraknya dengan ganas menelisik ke sekitar hutan, mencari target yang sudah sangat meresahkannya selama di hutan ini.
“Ketemu!”
Saat target ditemukan berlari menjauhinya hingga menyebabkan gempa kecil di sekitar, panel hologram pada sistem yang ia gunakan muncul, memberikan data tentang sang target.
[Julukan : Giant Gecko]
[Jenis : Monster]
[Sifat : Pasif]
[Status : Hard]
[Peringatan! Monster ini dapat meluncurkan ekornya. Jika terkena, dapat meremukkan tubuh korban]
Seulas seringai muncul di wajah rupawannya. “Kebetulan sekali….”
Pria itu mengambil jalan pintas menyamping agar bisa menghadang sang monster.
Kadal raksasa itu nampak menoleh sesaat ke belakang. Ketika kembali melihat ke depan, sang kadal terkejut melihat kedatangan pria itu sudah ada di hadapannya.
“Kesini kau, Tokek Bantet!!!”
Pria itu terjun sambil menembak kadal raksasa tersebut. Karena kesakitan kena tembak dan panik juga, kadal tersebut memutar membelakangi sang pria. Sebelum pria itu sempat mendarat di atas tubuhnya, ekor raksasanya dilesatkan ke arah si pria.
“Ap—.”
[Mengaktifkan Sistem Pembaca Refleks Saraf]
[Shield Type-1 : Aktif]
Tubuh pria itu langsung diselimuti butiran hologram biru sebelum akhirnya ekor kadal melesat mengenai kepalanya. Karena menabrak kepalanya, ekor itu tak sampai melesat jauh, tapi jatuh dekat dengan posisi kadal itu juga.
Sang pria mendarat lebih dulu, langsung menangkap senapan serbu yang sempat lepas dari genggamannya.
“Syukurlah, Pembaca Refleks-ku aktif. Kalau tidak, sudah pecah kepalaku, mental sampai ke langit sana.”
Kepalanya tertunduk dengan satu tangan masih memegang senapan serbu. Wadah amunisi muncul di tangan dari butiran hologram yang diciptakan oleh sistem. Segera ia mengisi ulang senjatanya.
[Reload]
Mengetahui ancaman masih di depan mata, sang kadal raksasa kembali hendak lari. Namun, kaki-kaki kadal berhasil ditembak, sehingga ia tak bisa bergerak lincah lagi.
Pria itu menatap monster tersebut dengan tatapan tajam. Terlihat jelas wajah tegas dengan luka sayat tiga cabang tepat di bagian kulit mata kiri beriris perak, membuat kesan wajahnya nampak agak sangar.
“Kau!”
Sang pria berlari menghampiri kadal raksasa sambil menembakinya secara membabi buta. Melompat naik ke atas tubuh kadal, terus berlari sambil menembak sepanjang punggungnya, hingga akhirnya pria itu tiba di puncak kepala kadal.
Belum sempat sang kadal mendongak, moncong senapan serbu sudah ditodongkan ke arahnya.
“Yo, kau tidak pantas berada di sini, Bung,” ucap pria itu santai, tapi pandangannya tetap tajam menusuk. “Kehadiranmu… hanya akan merusak habitat dan ekosistem di sini!”
“MATI KAU, HAMA!!!”
Lalu disusul suara tembakan beruntun mengisi ketenangan hutan, mengganggu kedamaian para binatang di sana.
….
Sebutir permen karet dikeluarkan dari bungkusnya, dilambungkan ke udara, dan ditangkap langsung ke mulut. Pria itu kunyah permen karetnya sambil berdiri senderan di samping mayat besar Giant Gecko yang sudah mati dengan kepala dan leher hancur berlumuran darah serta daging terburai.
Sejenak matanya melihat ekor lepas sang kadal yang masih tergeletak di dekatnya. Kemudian pandangannya terhalang oleh kemunculan notifikasi dari panel hologram sistem.
[Misi berhasil!]
[A]
[Score : 1.300]
[Hadiah : Ekor Giant Gecko, 1 Kristal Hijau]
[Untuk transaksi pembayaran bisa dilakukan di Guild]
“Cuma itu, huh?”
Dia merogoh kristal kecil dari saku celana, memperhatikan kilau hijau yang nampak akibat terkena sinar bintang pusat tata surya di siang hari ini.
“Harganya juga enggak seberapa.”
Kristal tersebut lenyap menjadi butiran hologram, tersimpan otomatis ke dalam penyimpanan sistem.
Iseng-iseng pria itu membuka data status miliknya pada panel hologram, membacanya dari awal sampai akhir.
[Nama : Astan Pradipta Cornell]
[Jenis Kelamin : Pria]
[Usia : 23 tahun]
[Profesi : Pemburu]
[Pangkat : Besi]
[Level : 3]
\=\=*\=\=*\=\=*\=\=
[Senjata Utama : Assault Riffle Tipe-33 (Grade-C)]
[Senjata Tambahan : -]
[Senjata Pendukung : Belati Tipe-07 (Grade-C)]
[Kemampuan Umum : Shield Type-1]
\=\=*\=\=*\=\=*\=\=
[-Strength : 31]
[-Agility : 24]
[-Vitality : 39]
[-Intelligence : 16]
[-Dexterity : 21]
[-Luck : 17]
“Masih aja o’on,” komentarnya, “Apalagi keberuntungannya. Pantas aja bisa kegetok ekor tokek bantet.”
“Tapi….”
Sesaat ia kembali melihat mayat kadal raksasa.
“Setidaknya perlu Peringkat Perunggu level menengah agar bisa mengalahkan satu monster tingkat Hard. Kenapa aku bisa mengalahkannya seakan-akan semua perburuan yang kulakukan selama ini sudah sangat biasa?”
Astan bersedekap sambil memeluk senapannya.
“Padahal, selama enam bulan bergabung di Guild aku jarang berburu. Kalau sering, pasti udah sampai perunggu.”
Dari kejauhan samar-samar terdengar suara gemuruh kecil. Melirik sedikit, Astan melihat kemunculan sebuah portal berwarna hitam kemerahan di langit.
“Dungeon, ya…?”
Dengan wajah santai, Astan meniup permen karetnya sampai menggembung.
...~*~*~*~...
“Selamat Datang di Kapal Antariksa Thornic 035.”
Thornic 035, sebuah kapal antariksa raksasa yang mengorbit di satelit alam Darzia, satelit milik planet gas Yomna. Merupakan markas dari Guild Thornic. Walau tidak sebesar kapal induk, setidaknya kapal ini mengangkut 1000 jiwa penghuni. Anggota Guild hanya berjumlah kurang dari 100 pemburu, termasuk di bagian pilot beberapa pesawat khusus dan ahli medis, sisanya merupakan warga sipil biasa dan para awak kapal.
Pada dasarnya, kapal jenis ini menampung warga tunawisma yang terbuang dari planet maupun koloni mereka. Di sini mereka diberikan tempat tinggal layak, pekerjaan, dan juga perlindungan di bawah naungan Guild Thornic.
Selain menjadi Guild Pemburu, Guild Thornic juga berperan sebagai penanggung jawab para penghuni kapal. Mereka bekerja sama membangun tempat yang aman dan damai bagi para penghuni bersama awak-awak kapal antariksa.
Selain Guild Thornic, banyak Guild Pemburu lain yang juga berdomisili di sebuah kapal antariksa. Keinginan semua pemburu sama, yaitu terbebas dari peraturan sistem pemerintahan.
Biarpun mereka ingin mandiri dari pemerintah, para pemburu bukanlah pemberontak. Hanya saja, sampai sekarang eksistensi pemburu dikenal buruk bagi masyarakat pemerintahan. Mereka dianggap barbar, semberono, dan egois walau kenyataannya tidak.
Namun para pemburu tidak peduli dengan anggapan tersebut, yang penting mereka bebas, bisa bahagia dan membahagiakan orang lain dengan cara mereka sendiri.
Gerbang lobi kapal terbuka secara otomatis, menampakan sosok pria berompi jingga memasuki area tersebut. Sebelum masuk lebih dalam, pria itu diminta untuk melakukan pengecekan terhadap gelang canggih yang ia pakai oleh salah satu pemburu yang bertugas berjaga-jaga. Butuh beberapa detik pengecekan, sang pemburu mengizinkan pria itu pergi.
“Selamat datang kembali, Bung Astan,” sapa pemburu tadi. “Bagaimana perburuanmu tadi? Kulihat itu baju kotor sama darah, badanmu juga bau menyengat.”
Sesaat Astan melihat pakaian yang ia kenakan kotor oleh darah monster kadal, mengendus pula bau tak sedap yang ada pada tubuhnya.
Sepertinya, Astan perlu mandi lama lagi.
“Ini memang kotor, tapi bau menyengat ini adalah bau petualangan.”
Sang pemburu nyengir, mengibaskan tangan di depan. “Hilih, Upil Kuda bisa aje…. Kau nanti bakal ke resepsionis, kan?”
“Ke toko juga, sih. Mau jual hasil buruan.”
“Pakai, nih.”
Pemburu itu melemparkan sebotol parfum berwarna metal kepada Astan dan ditangkap dengan baik olehnya. Astan langsung menyemprotkan cairan wangi tersebut ke seluruh tubuhnya. Walau tak bisa menghilangkan bau tak sedap, setidaknya bisa menyamarkannya sedikit.
Beruntung, parfumnya tak bikin baunya makin aneh karena kecampur bau busuk.
“Ish, bau jamet,” canda Astan. “Ini ‘kan parfum yang sering dipakai buat goda cewek-cewek di club?”
“Ya, kali aja bisa bikin cewek-cewek pada nempel. Gerbang komunitas jamet akan selalu terbuka untukmu, Bung,” goda sang pemburu.
“Hilih~ Kentut Jengkol bisa aje.”
Astan melemparkan parfum itu kembali ke pemburu. Bukannya ditangkap, botol parfum itu malah kena kepala sang pemburu.
“Aduh! Oi, sakit, lah…!” ucap sang pemburu sambil mengelus dahinya yang kena lempar.
Astan mulai berlalu meninggalkan sang pemburu, “Ya, maaf. Setidaknya enggak sampai benjol lima tingkat, kan…?”
Keduanya hanya saling tertawa menanggapi interaksi konyol mereka sendiri. Ya, seperti inilah cara para pemburu bersosialisasi, terutama bagi sesama pria.
Dengan santainya Astan berjalan menuju bagian lobi. Lobi khusus para anggota Guild Thornic ini terlihat ramai oleh banyak pemburu dan robot-robot yang tengah bertugas membersihkan lobi dan membantu para staf.
Lobi ini didominasi warna putih gading dengan aksen biru. Atapnya merupakan kubah transfaran dengan kaca lapis tebal yang kuat, siapa saja dapat melihat pemandangan hamparan bintang luar angkasa yang nampak bagaikan serbuk gemerlap serta permukaan biru Satelit Darzia.
Di lobi ini juga terdapat empat tangga utama yang terhubung ke bagian balkon panjang menuju masing-masing koridor, arsitekturnya sangat futuristik. Setiap sudut lobi dihias oleh berbagai macam pohon dan tanaman untuk mempertahankan kualitas oksigen. Ada juga beberapa sofa tempat para pemburu bisa bersantai sambil melihat pemandangan di luar kubah.
Ngopi-ngopi sambil melihat langit luar angkasa, macam anak senja tingkat elit, gitu.
Dari lobi, terdapat jalur menuju beberapa stand toko dan fasilitas untuk para pemburu bertransaksi, mulai dari toko senjata, toko obat, makanan-minuman, toko serbaguna, dan banyak lagi.
“Jual hasil buruan dulu, dah.”
Astan berjalan menuju salah satu toko obat. Namun sebelum ke sana, ia memutuskan untuk membeli minuman dulu di salah satu Vending Machine dekat toko. Astan melakukan pembayaran dengan kode QR pada ponselnya yang dipindai oleh mesin pemindai Vending Machine.
“Soda aja kali, ya.”
Setelah membeli sekaleng soda original dan meminum setengahnya, Astan pun berjalan memasuki toko, menuju meja sang penjual.
Penjual yang merupakan seorang bapak paruh baya tersebut juga nampak melayani seorang ibu-ibu yang baru saja membeli seperangkat obat racikannya.
“Pakai sesuai resep ya, Bu. Moga anaknya cepat sembuh,” ucap sang penjual ramah.
“Terima kasih banyak, Pak Rohma.”
Setelah berpamitan, ibu tersebut segera keluar dari toko meninggalkan sang penjual dan Astan berdua. Mata Pak Rohma mendelik tak suka akan kehadiran pria berluka tiga sayat di bagian kulit mata kiri itu.
“Kenapa preman macam kau datang kemari?”
“Ish, enggak ramahan sekali bapak ini.” Astan mengaktifkan panel sistem di hadapannya. “Aku ‘dah selesaikan misi yang kau kasih di panel misi lobi kemarin.”
“Eh? Jadi kau yang ambil?” tanya Pak Rohma heran.
Astan mengklik bagian penyimpanan sistem. “Enggak dicek notifikasinya kemarin?”
“Masuk, sih. Cuma lupa aku cek. Maklum, ‘dah tua.”
Pria muda itu menggelengkan kepala. “Nih hasil buruannya. Kira-kira laku berapa?”
Setelah mengklik barang di penyimpanan, secara otomatis muncul ekor besar Giant Gecko dalam bentuk hologram lebih dulu sebelum berubah menjadi nyata. Astan memunculkan ekor itu di sampingnya karena ukurannya yang terlalu besar untuk di taruh di meja.
Pak Rohma tercengang kala melihat ekor kadal raksasa tersebut. Buru-buru ia keluar dari balik meja menghampiri ekor itu, mengelus, memastikan kualitas dari ekor.
“Ini ekor Giant Gecko yang udah misah dari tubuhnya, kan?” tanya Pak Rohma tak percaya. “Buset…. Kualitasnya masih bagus banget. Biasanya kalau ekor yang sengaja dilepas Giant Gecko itu pasti mentalnya kenceng macam rudal, terus hilang. Pas ditemukan, tahu-tahu udah busuk. Gimana caranya kau mendapatkan ekornya yang lepas ini? Potongan lepasnya ini masih rapi, lho. Rata-rata pemburu ngasih ekor Giant Gecko yang mereka potong, ekor yang kayak gitu kualitasnya kurang bagus. Kalau nemu pun, paling monsternya sudah tidak punya ekor lagi.”
Sesaat Pak Rohma mulai mencurigai Astan.
“Kau hanya Pangkat Besi. Pemburu Pangkat Besi mentoknya cuma bisa melawan musuh Tingkat Normal, itupun masih perlu bantuan satu Squad, sedangkan kau melakukannya sendiri. Giant Gecko ‘kan Tingkat Hard. Dan seingatku senjata yang kau pakai cuma Grade-C.”
“Eee….”
Bingunglah Astan untuk menjawab. Ia sendiri tak mengerti mengapa bisa mengalahkan Giant Gecko sendirian dengan pangkatnya yang rendah dan senjata Grade rendah pula. Kalau dibilang sejujur itu, pasti Pak Rohma takkan percaya.
“Kebetulan, tadi tokeknya ketimpa longsor, otomatis ekornya lepas. Pas lagi udah sekarat gara-gara longsor, ya aku tembak.”
Pak Rohma menyipitkan matanya, menelisik kebenaran dari raut Astan. Setahunya, monster Tingkat Hard macam Giant Gecko takkan mudah mati cuma gara-gara longsor, apalagi sampai melepas ekornya tanpa alasan.
Astan yang ditatap begitu mulai tegang seketika.
Pak Rohma semakin tajam menatapnya.
Keringat dingin membasahi wajah Astan.
Pak Rohma masih menatapnya begitu.
Sumpah! Mau kencing di celana aja Astan sekarang saking tegangnya suasana.
“Ya, udah. Aku bayar.”
Astan menghela nafas lega. Rasa leganya ibarat menunggu bisul bulanan akhirnya pecah juga.
Pak Rohma kembali ke belakang meja. Mulai mengecek harga dan pembayaran atas transaksi ekor dan misi yang ia pasang lewat monitor hologram di atas meja.
“Susah menemukan ekor Giant Gecko dengan kualitas sebagus ini. Jadi, kira-kira harganya 500 Dt.”
“Lah, kok mahal?”
Pak Rohma berucap heran, “Lah…. Seharusnya kau senang kalau hasil buruanmu dibayar mahal.”
Sesaat Astan tertawa, “Haha…. Enggak nyangka aja bakal semahal itu harganya. Biasanya harga ekor Giant Gecko cuma 250-300an.”
“Itu ‘kan yang kualitasnya kurang bagus.” Pak Rohma kembali mengecek di monitornya. “Terus pembayaran untuk misi yang aku pasang…. Tadi udah ke resepsionis Guild?”
Astan menggeleng, “Belum.”
Pak Rohma melenyapkan monitor hologram. “Ke resepsionis, gih. Upahnya dah kutransfer ke Guild.”
“Ya, Udin….” Astan mendesah lesu. “Tak bisa bayar langsung aja? Males jalan kaki ke sono.”
“Aelah~ Jalan dari sini ke meja resepsionis kagak sejauh mengejar cintanya si dia yang kagak pernah peka atas perjuangan situ,” canda Pak Rohma. “Kucing peliharanku saja cepet bolak-balik dari sini ke sana buat nyolong bekal makanan staf-nya.”
“Lah, tuh kucing greget amat, ya?” Astan hampir tertawa mendengarnya.
Pak Rohma mengibaskan tangan di depan. “Udahlah. Tagih aja upahmu di sana. Aku buru-buru mau mengolah nih ekor buat dijadi’in vaksin flu.”
“Terus, bayaran buat nih ekor mana?” tagih Astan.
“Eh, lupa.” Pak Rohma terkikik sambil mengaktifkan kembali monitor hologram komputernya.
“Ditransfer aja, Pak.”
Pak Rohma mengacungkan jempol.
Setelah transaksi jual-beli ekor kadal raksasa, Astan berpamitan keluar toko. Kini ia harus pergi menuju meja resepsionis.
Di sekitar meja resepsionis, terlihat beberapa pemburu tengah berunding dengan para staf resepsionis soal penyetoran misi, pendaftaran, dan masih banyak hal lagi.
Ketika sampai di meja resepsionis, tanpa basa-basi Astan menghentakan satu tangan di meja, membuat wanita resepsionis yang baru saja selesai melayani salah satu pemburu terkejut.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang resepsionis sambil berusaha tersenyum ramah walau rasanya pengen sekali menjitak kepala jingga Astan.
Astan langsung balik tanya, “Mana upahku, Tessa?”
Resepsionis Guild bernama Tessa itu mengernyitkan alis. “Anda sudah menyelesaikan misi apa? Biar saya cek.”
“Misi tingkat C, memburu satu GG dari Pak Rohma.”
“Oke….”
Tessa mengecek data misi dari monitor hologram komputernya, membaca satu misi yang disebutkan sudah terkonfirmasi diselesaikan.
Sesaat Tessa memandang curiga pada Astan yang sedang melihat pemandangan luar angkasa di luar kubah transfaran. Pasalnya, dari data yang ia cek Astan berhasil mengalahkan musuh Tingkat Hard sendirian, sedangkan pria berambut kejinggaan itu sendiri masih di Pangkat Besi level 3, pakai senjata Grade-C pula.
Logisnya, Squad berisi tiga sampai empat orang dari Pangkat Perunggu level awal saja masih belum tentu bisa mengalahkan monster Tingkat Hard, apalagi sebesar Giant Gecko.
Yang lebih mengherankan lagi, selama Astan bergabung menjadi pemburu selama enam bulan, dia jarang sekali mengambil misi. Makanya, pangkat dan level-nya lambat naik. Kalau mau ambil misi pun karena mau cari uang untuk kebutuhan hidup. Anehnya, sekalinya ambil misi, misi yang susah untuk peringkatnya sekarang bisa diselesaikan sendirian.
Tessa pernah membicarakan masalah ini pada ketua dan wakil ketua Guild, tapi mereka beranggapan santai. Selama Astan tidak berbuat onar, tak masalah, yang penting seisi Guild dan Kapal Thornic 035 damai.
Astan yang menyadari ditatap Tessa mulai bicara sambil menyugar rambut jingganya ke belakang, “Ah, Mbak…. Jangan tatap saya begitu, ‘kan saya jadi salah tingkah.”
Buru-buru Tessa mengalihkan pandangan kembali ke monitor, berusaha menyembunyikan semburat rona merah di wajahnya.
Astan tertawa melihat reaksi Tessa, “Haha…. Aku cuma bercanda, kok situ beneran tersipu?”
“I-ish! Hentikan…! Mau ditransfer enggak upahnya?” ucap Tessa salah tingkah.
“Ya, maulah. Siapa juga yang enggak mau sama duit?”
“Tapi sebelumnya, saya perlu melakukan pemindaian terhadap Gelang AutoTerra milik Anda. Mau memastikan apakah data yang di transfer ke database sini cocok dengan yang ada di gelang sistem.”
“O-oh, oke.”
Tangan Astan yang terpasang Gelang AutoTerra diulurkan ke depan Tessa. Wanita berambut cokelat itu segera memindai kode yang ada pada garis biru gelang menggunakan alat pemindai kode berbentuk menyerupai pistol. Data hasil pemindaian otomatis terkirim ke database komputer resepsionis, kemudian langsung dicocokan dengan data yang ada.
“Score 1.300 A yang didapat, benar?”
“Benar.”
“Sakti bener, ya,” sindir Tessa, masih curiga dengan kemampuan bertarung Astan.
Astan hanya meringis canggung mengetahui dirinya disindir. Bukan hanya Tessa dan Pak Rohma saja yang mencurigai kekuatannya, bahkan hampir satu Guild juga curiga dan sering menyindirnya juga.
Sampai kapan Astan bakal diperlakukan seperti itu terus hanya karena kuat sedikit daripada pangkat level-nya sekarang?
Tessa melepas pegangangannya pada tangan Astan serta menaruh alat pemindai kode ke balik meja. “Dari hasil yang didapat dan bayaran yang ditransfer oleh Pak Rohma, hasilnya 135 Dt.”
“135 Dt?” Astan terkejut. “Dikit bener….”
“Itu udah termasuk bayaran dari Pak Rohma saat memasang misi, ditambah lagi bonus dari Guild. Seumpama kau dapat S atau ke atasnya lagi, baru bisa jadi jutawan.”
Astan memutar bola mata heterokromnya. “Ya, udah. Transfer aja.”
Setelah transaksi selesai, Astan berencana untuk langsung kembali ke kabin tempat tinggalnya. Niatnya diurungkan saat mengenali sosok yang baru saja datang ke meja resepsionis dan langsung dilayani dengan sangat ramah oleh Tessa.
“Selamat datang di Guild Thornic, dek. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau mendaftar jadi pemburu, Kak!”
“BUJUBUNENG!”
...~*~*~*~...
“A-Arni…. Kau mau mendaftar jadi pemburu?”
Gadis remaja berambut hitam panjang dengan memakai jaket hijau dan rok hitam sepaha itu menoleh pada Astan, memberikan cengiran khas yang bikin siapa saja yang melihatnya tak tahan tuk menggetok kepalanya.
“Eh, ada Bang Astan juga?” sapa Arni riang. “Iya, nih. Mau gabung ke Guild biar bisa jadi pemburu juga.”
Astan memandang heran tubuh Arni dari ujung kepala sampai ujung kaki dan seterusnya. Badannya kecil hanya setinggi dada Astan (mungkin karena Astan juga yang terlalu tinggi, Tessa yang lebih tinggi dari Arni saja cuma sebatas bahunya), terbilang kurus, dan….
Yap, dadanya rata.
Dengan postur tubuh segini, rasanya Astan tak yakin kalau Arni cocok tuk jadi pemburu. Seingatnya, Arni juga punya daya tahan tubuh yang cukup lemah.
“Kau yakin…?” tanya Astan meyakinkan. “Abangmu sudah tahu?”
Arni mengangguk, “Sudah. Awalnya sih enggak diizinin. Tapi setelah diyakinkan lagi, Bang Suda setuju. Katanya, masih ada Bang Astan yang bisa membimbingku dengan baik dan benar.”
“Oh. Gitu, ya…? Jadi— Eh?”
Astan membatu. Dari jawaban Arni saja Astan sudah mengambil kesimpulan kalau abang laknat si gadis yang bernama Suda itu mengizinkan Arni menjadi pemburu, asal Astan bersamanya.
Selama ini Astan hanya ingin hidup damai. Tak punya pekerjaan, maka dia terpaksa menjadi pemburu untuk memenuhi kebutuhan hidup, tak ada sedikit pun niatan untuk jadi pemburu terbaik seperti pemburu lainnya.
Yang dia inginkan hanya menikmati upah sebagai pemburu, berleha-leha sambil menikmati pemandangan luar angkasa sendirian di kapal, ngemil sambil nonton acara lawak Engkong Sutris di televisi, lalu kelak akan menikah dan punya banyak anak, hidup bahagia, damai, merdeka, sentosa selamanya.
Masa iya rencana kemakmuran hidupnya dikacaukan oleh kehadiran gadis remaja ingusan ini?!
Astan yakin, gadis ini bakal jadi beban kalau satu Squad dengannya. Kalau sampai gagal menjaga dan mengawasi Arni, bisa ditelan bulat-bulat dirinya oleh Suda.
Rasanya Astan ingin gantung diri saja.
Tapi enggak jadi, deh. Sayang, belum pernah ngerasain malam pertama sama gadis bahenol.
“Kau yakin? Suda ngizinin?”
“Iya, makanya aku pengen daftar.”
“Permisi….” Tessa menyela obrolan mereka. “Mendaftarnya jadi, Dek? Soalnya, masih banyak pemburu yang perlu dilayani.”
“Oh, tentu jadi, Kak,” ucap Arni riang, mengalihkan perhatiannya pada Tessa. “Kira-kira, prosedur apa saja yang harus saya lalui? Apa perlu tes?”
Kalau sudah begini, Astan tidak bisa melarang Arni. Terpaksa mulai sekarang ia harus bersama Arni untuk menjaga dan memastikan keselamatannya sebagai pemburu baru.
Astan pun hanya bersender pada meja besar resepsionis, bersedekap tangan sambil mengawasi pendaftaran Arni.
Tessa menggeleng. Kemudian menyerahkan sebuah tab berisi formulir pada Arni. “Anda hanya perlu mengisi formulir. Tidak ada tes di sini, jadi dipastikan Anda lolos. Yang penting Anda sudah yakin untuk menjadi pemburu.”
“Oke!”
Arni mengisi formulir pendaftaran pada tab dengan segala data diri yang ia punya. Setelah beberapa menit mengisi formulir, Arni kembali menyerahkan tab pada Tessa. Kemudian Tessa memeriksa formulir tersebut.
“Oke…. Nona Arni. Jadi, Anda sudah mengisi formulir dengan baik.”
Tessa menunduk, mengambil sesuatu di balik lemari meja resepsionis. Sebuah gelang canggih dengan desain sederhana Tessa letakan di atas meja.
“Anda hanya perlu memasang gelang ini sebelum menjadi pemburu.”
Tessa mulai menjelaskan, “Gelang ini adalah Gelang AutoTerra, merupakan gelang dengan basis sistem operasi AutoTerra. Gelang AutoTerra yang akan membimbing pemburu untuk menjalankan misi sampai memperkuat diri. Jika sudah memasang gelang ini, otomatis Sistem AutoTerra akan terpasang ke sistem saraf tubuh Anda.”
“Nah, kau dengar, kan?” timpal Astan pada Arni. “Sejak kau memasang gelang tersebut, sistemnya akan terus bersamamu sampai mati.”
Tessa mengangguk membenarkan, “Benar. Biarpun Anda melepas gelangnya atau berhenti menjadi pemburu pun, Sistem AutoTerra akan tetap aktif walau tidak begitu maksimal tanpa perantara semacam Gelang AutoTerra. Apa Anda yakin untuk tetap bergabung menjadi pemburu, Nona?”
“Emm…. I-itu….”
Sebenarnya Arni agak kurang yakin. Mendengar tentang Sistem AutoTerra yang akan terus ada bersamanya pasti akan cukup menganggu. Menjadi pemburu juga tergolong berbahaya bagi gadis muda dengan fisik lemah seperti dirinya.
Namun, sekelebat ingatan ketika bicara dengan Suda muncul dalam pikirannya.
“Abang, suatu saat nanti jika aku lulus sekolah, aku ingin menjadi pemburu!”
“Oh, ya? Bagus kalau kau punya cita-cita. Tapi, apa kau yakin ingin menjadi pemburu? Itu profesi yang sangat berbahaya.”
“Iya! Aku ingin menjadi seperti idolaku, seperti Nona Veena Muskarov yang terkenal sebagai pemburu handal itu. Dan aku juga ingin bantu-bantu perekonomian kita. Dengar-dengar jadi pemburu itu juga dapat menghasilkan uang.”
“Kalau soal uang, cukup aku saja yang kerja. Penghasilanku sebagai teknisi mesin cukup untuk kebutuhan kita. Kau tidak perlu susah-susah menjadi pemburu.”
“Tapi, itu adalah impianku….”
“….”
“Baiklah. Kau bisa menjadi pemburu, asal kau bersama sahabatku yang baru bekerja sebagai pemburu juga.”
Senyum cerah Suda saat mengizinkannya untuk menjadi pemburu takkan pernah dilupakan Arni. Senyuman itulah yang membuat Arni semangat dan semakin bertekad untuk jadi pemburu.
Arni mulai menoleh pada Astan, memandangi wajah rupawan Astan yang memiliki luka di bagian mata kiri.
Orang inilah yang dimaksud Suda, sahabat Suda yang akan menemani Arni untuk menjadi pemburu. Yang jadi pertanyaan dalam diri Arni hingga membuatnya agak ragu akan keputusannya adalah, apakah Astan sudi membantunya seperti yang dikatakan Suda? Arni ragu kalau malah merepotkan orang lain.
Menyadari tatapan sendu yang diarahkan dari kedua mata cokelat bulat si gadis, Astan jadi tak enak hati. Di sisi lain dia jengkel kalau harus jadi pengasuh dadakan, di sisi lain ia juga kasihan melihat keraguan Arni. Astan pikir, mungkin Arni segan dengan dirinya, takut merepotkan.
Astan mengelus tengkuknya. “Yaa…. Terserah kau mau jadi pemburu atau tidak. Tapi kalau kau mau, aku tak keberatan untuk membimbingmu.”
Seulas senyum riang langsung terlihat jelas di wajah imutnya, sontak membuat hati Astan tertegun melihatnya.
Sekarang pria itu yang ragu, apakah keputusannya ini benar atau tidak.
“Tentu!” Arni mengulurkan tangan kirinya ke atas meja. “Saya mau jadi pemburu!”
Melihat semangat menggebu-gebu Arni, spontan membuat seulas senyum tipis tercipta di wajah Astan.
“Baiklah.” Tessa tersenyum ramah, “Kalau begitu, biar saya pasangkan gelang ini di pergelangan tangan Anda.”
Tessa mulai memasangkan gelang tersebut di pergelangan kecil tangan Arni. Saat kunci gelang berbunyi ‘klik’, pertanda gelang sudah terpasang sempurna, sesuatu yang aneh terjadi pada pergelangan tangan Arni.
Sontak Arni terkejut saat merasakan gelombang kejut dadakan dari gelang itu, dan sesuatu setajam jarum menusuk pergelangan tangannya hingga berdarah.
“Argh!!!”
Rasa sakit itu tak tertahan bagi tubuh selemah Arni. Ia jatuh berlutut di depan meja resepsionis sambil memegangi tangan kirinya yang makin berdarah.
Orang-orang sekitar sempat memperhatikannya, tapi kembali diabaikan karena menurut mereka hal seperti itu wajar terjadi bagi pemburu baru.
[Memuat Data]
[Melakukan Proses Pemindaian dan Pemasangan Sistem]
[Memuat….]
“Eh? Apa ini…?”
Dalam keadaan menahan sakit, Arni masih bingung dengan kemunculan panel hologram asing di hadapannya.
[Proses Pemasangan Berhasil]
[Terima kasih telah melakukan pemasangan Sistem AutoTerra]
[Selamat Datang, Pengguna]
“Ini.”
Panel hologram lenyap ketika Astan berjongkok dan memberikan sebuah pil berwarna merah-putih pada Arni.
“Telan ini, biar sakit dan pendarahannya reda.”
Astan menyuapi Arni, lalu gadis itu segera menelan pil tersebut. Seketika tubuhnya jauh merasa lebih baik, dan pendarahan yang terjadi pun terhenti.
“Kau punya tisu, Tessa?”
“Tentu. Ini.”
Astan mengambil beberapa lembar tisu yang diberikan Tessa, mulai mengelap pergelangan tangan Arni dari rembesan darah. Arni pun tertegun melihat tindakan Astan. Pria itu nampak cukup memperhatikannya, memberikan obat bahkan sampai mengelap darah di tangannya tanpa jijik.
Mungkin rasa segan pada Astan yang sempat menghantui Arni sama sekali tak benar.
Astan mengacak puncak kepala hitam Arni sambil berucap dengan santai, “Selamat datang, Pemburu. Kau telah resmi menjadi pemburu baru dan bergabung di Guild Thornic.”
Mendengar sambutan itu, Arni tersenyum dengan semburat rona merah di pipi.
...~*~*~*~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!