“Ning … kamu dipecat !” ucap Riska, atasan Ning dengan nada tegas.
“Loh, kok saya dipecat sih, Bu? Saya kan baru pagi ini mulai kerja.” Ning tak terima dirinya tiba- tiba dipecat begitu saja.
“Justru karena itu, belum sehari kerja saja kamu sudah membuat masalah dengan Pak Direktur. Apalagi jika saya terus mempertahankan kamu … Bisa- bisa nanti saya yang akan dipecat ....” cerocos Riska.
“Yaelah, Bu … itu kan bukan salah saya.” Ning terus membela diri.
“Terus, kamu mau menyalahkan direktur sekaligus anak dari pemilik perusahaan ini, hah?” Riska menaikan nada suaranya.
“Salah siapa tiba- tiba masuk kamar mandi dan mengagetkan saya, Bu. Saya juga gak tahu kalau Pak Direktur memiliki penyakit yang aneh seperti itu. Ibu juga sih gak ngasih tahu saya.” Ning malah menyalahkan atasannya.
“Apa? Jadi sekarang kamu menyalahkan saya?” Riska mulai tersulut emosi.
“Seharusnya kan ibu ngasih tahu saya, jadi saya bisa berhati hati saat membersihkan ruangan Pak Direktur. Kalau sudah begini, jadinya kan saya yang disalahkan.” Ning dengan berani membela dirinya sendiri.
“Diam kamu! Bukannya mengakui kesalahan, malah menyalahkan orang lain. Tinggalkan perusahaan ini sekarang juga!” sentak Riska marah sembari menunjuk ke arah pintu.
“Iya, Bu …” Ning hanya bisa pasrah dan tak ingin berdebat lagi. Karena ujung- ujungnya ia tetap disalahkan dan dipecat secara tidak hormat.
Ning membalikan tubuhnya hendak pergi. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kembali balik kanan.
“Bu Riska ….” ucapnya menatap sang atasan dengan melempar senyuman termanisnya.
“Apalagi?” tanya Riska nyolot.
“Kalau saya dipecat, berarti saya dapat pesangon dong, Bu?” ucap Ning malu- malu.
“Jangankan pesangon, gaji pun kamu tidak akan mendapatkannya. Kerja juga baru dua jam, dasar !“ Riska nampak geram.
“Tapi, Bu___”
“Sudah pergi sana ! bisa darah tinggi saya ngadepin kamu.” Riska semakin kesal dibuatnya.
“Ibu benar- benar gak akan ngasih saya satu kesempatan lagi, gitu?” Ning masih berusaha bernegosiasi penuh harap.
“Jangan harap … sudah sana pergi !” teriak Riska yang kesabarannya sudah habis.
Ning pun kembali memutar arah dan melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan atasannya itu dengan wajah sedih dan lesu.
“Ning ….” Riska kembali memanggil Ning.
Ning langsung memutar tubuhnya. “Apalagi, sih Bu!?” Kini giliran Ning yang marah.
“Kurang ajar kamu, beraninya bentak- bentak saya!” Riska tak terima dibentak.
Ning menghela nafas panjang untuk menetralkan kekesalannya. “Iya, Bu … ada apa?” Ning mengubah nada bicaranya menjadi lemah lembut.
“Itu baju seragam OB jangan dibawa pulang, ganti baju dulu sebelum pulang!” ucapnya dengan nada tegas.
“Baik Bu … Apakah sudah selesai? Saya udah kebelet nih pengen pulang,” ucap Ning seolah mengejek.
“Sudah sana pergi !” Riska menyadari Ning yang tengah mengejek dirinya.
Ning mendengus kesal, kemudian beranjak pergi keluar dari ruangan atasannya itu. Ia berjalan menuju pantry OB yang terdapat lemari lokernya.
Selama perjalanan dalam hatinya terus menggerutu dan menyumpahi Riska juga direktur yang sudah menyebabkannya dipecat.
Sesampainya disana ia mengambil pakaiannya dari dalam loker, lalu pergi ke toilet untuk berganti pakaian. Ia keluar setelah beberapa saat dengan membawa baju seragam OB.
Ditatapnya seragam itu dengan raut wajah sedih dan lesu, seragam yang baru ia kenakan dua jam yang lalu dan kini sudah dilepas lagi.
Ning menghela nafas panjang, ia kemudian menyimpan baju itu di atas meja di ruang loker itu.
"Selamat tinggal seragam … ternyata kita berjodoh hanya dua jam saja. Semoga kamu mendapatkan jodohmu yang langgeng. Asalamu’alaikum, dadah babay …” Ning seolah menganggap baju seragam itu layaknya seorang pasangan yang terpaksa diputuskannya, lalu ditinggalkan pergi olehnya.
Dengan berat hati, ia pun beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut. Langkahnya terasa sangat berat meninggalkan gedung yang terdiri dari dua puluh lantai itu.
Padahal ia baru saja diterima kerja kemarin dan mulai kerja dua jam yang lalu. Namun, kesedihannya memperlihatkan seolah ia sudah bekerja bertahun- tahun disana.
Ternyata bukan masalah berat meninggalkan mantan tempat kerjanya tersebut, namun lebih kepada reaksi orang rumah saat mengetahui jika ia sudah dipecat untuk yang ketiga kalinya di tempat yang berbeda dalam dua minggu ini.
Ia pulang dengan menaiki angkot yang jurusannya melewati daerah tempat tinggalnya. Bukannya pulang ke rumah, ia malah minta sang sopir menghentikan angkot di taman kota.
Ia pun turun dan masuk ke taman tersebut. Ia terus berjalan dengan langkah gontai.
“Hufh … zaman sekarang tuh cari kerja susahnya minta ampun. Ini malah dipecat sampai berkali- kali, sial banget sih hidup gue ….” Kakinya dengan reflex menendang benda yang tak sengaja dilihat di depan kakinya.
Kempleng …
“Woy !?” terdengar suara orang berteriak, namun Ning terus saja melangkah dan tak menghiraukannya.
“Woy, cewek baju kuning !?” orang itu kembali berteriak, namun Ning seolah tak mendengar teriakan tersebut. Orang itu pun berlari menghampiri Ning .
“Woy … cewek baju kuning!?” ia berteriak tepat di sebelah Ning dan mampu menghentikan langkahnya.
“Hei Bang … biasa aja dong, gak usah teriak- teriak … memangnya saya ini tuli apa?” ucap Ning nyolot.
“Dari tadi gue teriak manggil lo. Tapi lo ga denger sama sekali, berarti lo beneran tuli?” Orang tersebut tak kalah nyolot nya sembari mengusap- usap keningnya yang terasa sakit.
“Kapan anda manggil saya? Kenal aja enggak, apalagi tahu nama saya ....” Ning merasa heran dibuatnya.
“Karena gue gak tahu nama lo, makanya gue panggil lo si baju kuning,” ucap lelaki yang wajahnya brewok itu.
Ning melihat ke arah bajunya yang ternyata memang benar ia memakai baju berwarna kuning. Mungkin karena terlalu meratapi nasibnya yang baru saja kehilangan pekerjaan, hingga ia tak menyadari warna baju yang dipakainya.
“Terus, anda ada urusan apa manggil- manggil saya?” Ning mempertanyakan tujuan pria tak dikenalnya itu, yang tiba- tiba nyolot.
“Pakai nanya lagi … lo kan tadi yang nendang kaleng bekas minuman sampai kena kepala gue nih, sakit tahu. Gimana kalau gue sampai geger otak?”
Ning kembali terkejut, mulutnya ternganga dan membuka matanya lebar- lebar.
”Alamak … kok bisa kaleng sialan itu mengenai kepala si brewok ini, perasaan tadi gak ada orang," gumam Ning dalam hati.
“Heh … malah ngelamun lagi ! Lo harus bayar ganti rugi !!” bentak orang itu.
“Apa? Ganti rugi apaan?” Ning merasa heran.
“Ya ganti rugi buat biaya ke rumah sakit lah, ngobatin jidat gue, nih,” ucapnya menunjuk ke arah jidatnya yang masih terasa sakit.
Ning melangkah mendekat pada pria yang berdiri di hadapannya itu. Ia mengangkat kepalanya lalu mendekatkan wajahnya pada wajah orang yang lebih tinggi darinya itu. Ia memperhatikan jidat orang tersebut secara seksama.
“Heh, ngapain lo mendekat? Lo mau nyium gue?” Si Brewok kembali nyolot sambil melotot.
Sontak Ning segera mundur untuk menjauhkan dirinya dari orang itu.
“Sembarangan … ogah banget nyium orang brewok seperti anda. Apaan itu jidatnya juga gak apa- apa kok. Jadi saya gak usah ganti rugi.”
“Gak apa- apa gimana? Ini sakit tahu ….” orang itu kekeuh.
“Gak usah ngarang ya, pemerasan ini namanya.” Ning pun kekeuh tak mau ganti rugi.
“Oh, jadi lo gak mau bayar ganti rugi … sini serahin barang- barang lo.” Orang tersebut menarik tas milik Ning.
Ning mengeratkan pegangan pada tasnya. “Eh, apa- apaan nih … jangan main asal tarik aja dong ….”
“Karena lo gak mau ngasih uang ganti rugi secara baik- baik … terpaksa gue ambil sendiri, sini berikan tas lo !!”
Terjadilah aksi tarik menarik tas antara Ning dan orang brewok tersebut, dengan tarikan kuat dari keduanya. Yang satu ingin merampas paksa, yang satu ingin mempertahankan miliknya.
“Eh jangan kurang ajar ya … lepasin!!” Ning mengarahkan pandanganya ke sana kemari yang ternyata di taman itu nampak sepi.
Duuutt ….
Terdengar bunyi yang cukup nyaring disertai bau menyengat.
“Heh, dasar perempuan jorok kamu!” si brewok itu memaki dengan tangan sebelahnya menutup hidungnya sedangkan tangan yang satunya lagi tetap menarik tas Ning.
“Pak polisi … tolong … saya mau dirampok!!” Ning berteriak dan sontak pria itu pun melepaskan tangannya dari tas milik Ning.
Pria itu melihat ke arah belakangnya. Dengan segera Ning pun melarikan diri, mumpung pria itu lengah.
Si brewok melihat ke segala arah dan ia tak menemukan polisi yang dikatakan Ning. Ia baru menyadari jika ia telah dikibuli oleh Ning yang berhasil kabur. Namun ia masih melihat Ning yang tengah berlari, kemudian ia pun mengejarnya.
“Woy jangan kabur lo …!!” teriaknya sambil berlari.
Ning berlari sekencang yang ia bisa dan keluar dari area taman tersebut. Hingga ia melihat ada beberapa orang tengah mengantri di depan pedagang kaki lima di pinggir jalan. Ia pun menghampiri orang- orang itu dan ia bersembunyi di balik deretan antrian.
Ning segera mengambil sweater dari dalam tasnya dan segera memakainya serta memasangkan penutup kepala dari sweater nya tersebut.
Ia menyelinap pada antrian dua baris tersebut hingga melihat ada pria yang tinggi, dan berdiri di sebelahnya, seolah ia mengenali pria tersebut.
“Kemana wanita itu?” Si pria brewok yang baru saja tiba di dekat antrean itu, mengarahkan pandangan ke sekelilingnya. Namun ia tak menemukan keberadaan Ning. Hingga ia melihat ke sebrang jalan ada angkot yang baru saja melaju.
“Argh ... sial, jangan- jangan wanita itu sudah naik angkot barusan!” ucapnya merasa kesal. Akhirnya ia pun beranjak pergi sembari mengusap- usap jidatnya yang masih terasa sakit.
Tanpa orang itu sadari, Ning ternyata memperhatikannya diam- diam dari tempat persembunyiannya.
“Hufh, selamet selamet … akhirnya tuh si brewok pergi juga,” ucapnya sembari mengelus dada dan bernafas lega.
“Anda sedang apa disini? Kenapa mepet- mepet terus pada saya?” tanya Pria yang berdiri di sebelahnya.
Ning mengarahkan pandangannya pada pria yang berdiri di sampingnya. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat wajah orang jauh lebih tinggi darinya tersebut.
“Eh busyet ni cowok gantengnya pake banget.” Ning bergumam dalam hati. Bukannya menjawab, ia malah terpesona mengagumi pria tersebut.
“Heh … kamu copet ya?” Pria itu kembali bertanya hingga memberi tuduhan pada Ning.
Ning merasa tersentak dan membuyarkan lamunannya.
“Bu bukan Mas … justru saya tadi dikejar copet yang mirip preman, makanya saya sembunyi di sini…” ucapnya gelagapan. Ia mengira jika pria brewok tadi adalah seorang preman.
“Oh, jadi Mbak ini bukan datang bersama Mas ini ya?” ucap seorang wanita yang berdiri di antrian tepat di belakang pria itu.
“Saya tidak mengenalnya…” Pria itu menjawab tanpa melirik.
“Jangan nyelinap donk, Mbak. Saya juga udah dari tadi ngantri.” Wanita itu malah nyolot pada Ning.
“Iya bener, jangan seenaknya nyelinap antrian orang dong! Semua orang juga pengen cepet- cepet.” Wanita yang satunya lagi ikut berkomentar.
“Maaf … maaf Bu, saya gak niat beli kok. Cuman tadi saya sembunyi dari preman yang mau merampok saya. Maaf ya Bu, saya permisi .” Ning pun keluar dari antrian tersebut, sebelum mendapat omelan dari yang lainnya.
Ia menyebrang lalu menghentikan sebuah angkot dan menaikinya.
“Hari apa dan tanggal berapa sih ini, perasaan dari pagi sial terus,” Ning menggerutu dalam hati meratapi kemalangan nasibnya.
“Kiri, Bang ….” Ning meminta sang sopir menghentikan angkotnya. Ia pun turun kemudian membayar ongkos pada sang sopir.
Ning berjalan memasuki gang kecil untuk lebih cepat sampai di tempat tujuannya. Bukannya pulang ke rumahnya, ia malah ke rumah sahabatnya.
“Ning, kenapa muka lo kusut gitu? Harusnya kan lo senang karena udah keterima kerja.” Ocha, sahabat Ning melempar pertanyaan saat baru saja duduk di ruang tamu bersama Ning.
“Gue udah dipecat.”
“Apa? Lo udah dipecat lagi?” Ocha terkejut mendengarnya.
“Hmmm ….” Ning nampak santai, padahal jelas- jelas tadi ia merasa sangat sedih.
“Hahahahaha, emang dasar gila lo, dalam dua minggu ini lo dipecat sampe tiga kali. Yang pertama, di restoran baru kerja tiga hari, dipecat gara- gara nyembur wajah pelanggan yang ternyata adalah gebetan lo yang jalan sama cewek lain. Yang kedua, di tempat laundry baru kerja dua hari dipecat gara- gara nyetrika baju sampe gosong, karena kepikiran terus gebetan lo. Lah sekarang baru sehari udah dipecat lagi.” Ocha mendata penyebab sahabatnya dipecat dan menertawakan nasib sahabatnya yang tak pernah lama bekerja itu.
“Bukan sehari, tapi dua jam.” Ning mengoreksi.
“Lebih parah lo … terus yang sekarang ini gara- gara apa? Jangan bilang lo masih mikirin si Rifat, gebetan lo itu” Ocha penasaran dengan alasan dipecatnya Ning dan menduga- duga sendiri.
“Bukanlah … Sorry ya, gue udah move on dari tuh cowok nyebelin.” Ning malah menjawab soal mantan gebetannya.
“Terus kalau bukan karena si ketupat basi itu, kenapa lo bisa sampai dipecat?” Ocha masih penasaran.
“Gara- gara gue kentut,” ucap Ning dengan santainya sembari memainkan kuku jemari tangannya.
“Apa? Hahahahahahaha .…” Ocha tertawa dengan renyahnya.
“Ketawa aja lo, ketawa sepuasnya diatas penderitaan gue ….” Ning merasa kesal, sejak tadi sahabatnya terus menertawakan dan mengejeknya.
“Sumpah ya gue gak nyangka, lo dipecat cuman gara- gara kentut. Hahahahaha ….”
“Masalahnya gue kentut saat membersihkan kamar mandi yang ada di ruangan Direktur.”
“Lah, itu udah bener berarti … Lo kan kentut udah pada tempatnya. Terus kenapa lo bisa sampai dipecat, heran gue.” Ocha merasa ada yang aneh.
“Soalnya pas gue baru aja selesai membersihkan kamar mandi, si Direktur masuk secara tiba- tiba dan bikin gue kaget. Makanya kentut gue reflex keluar begitu saja sampai tiga kali bunyinya juga… Terus si direktur itu langsung mual- mual sampai sesak nafas, akhirnya pingsan deh.” Ning menceritakan lebih jelas.
“Hahahahahha … kentut lo emang beracun ternyata. Ning ….” Ocha kembali menertawakan Ning.
“Ah, perasaan gak bau bau amat deh kentut gue. Si direkturnya aja yang lebay.” Ning berdalih.
“Itu kan menurut lo, tapi kan kalau menurut orang lain beda rasanya.”
“Maksud lo, kentut gue jadi wangi kasturi gitu kalo udah dihirup orang lain?”
“Hoek … kasturi dari neraka jahanam iya, kali.”
“Hufh … yang gue gak habis pikir tuh, kok ada ya penyakit aneh kayak gitu.” Ning masih tak percaya ada penyakit macam itu di dunia ini.
“Penyakit apaan emangnya?” tanya Ocha penasaran.
“Jadi si direktur tuh punya penyakit alergi terhadap bau kentut.” Ning memberitahukan apa yang ia ketahui dari mantan atasannya, pasca insiden penyebab ia dipecat.
“Apa? Hahahaahhaahah … ini lebih gila lagi ….” Ocha tertawa dengan renyahnya.
“Emang … dan untungnya gue udah dipecat dari perusahaan itu. Kalau enggak, gue bisa tambah gila karena harus nahan kentut selama membersihkan seluruh ruangan direktur aneh itu.” Ning seolah bersyukur atas pemecatannya.
“Harusnya lo tadi pagi sarapan sama jengkol, biar gak tanggung bau nya.” Ocha malah memberi saran konyol.
“Lo salah, Cha … Harusnya tadi pagi, gue sarapannya makan ular. Biar kentut gue berbisa.” Ning ikut meladeni kekonyolan sahabatnya.
“Hahahahahaha … udah udah ah, lo jangan ngomong lagi. Bikin gue sakit perut tahu gak.” Ocha terus tertawa sembari memegang perutnya.
---------------- TBC ----------------
***************************
Assalamu’alaikum para reader yang kece badai …
Mari kita mulai story perjuangan Ning si gadis ceroboh yang memiliki kebiasaan aneh, dalam mendapatkan kebahagiaan sekaligus melepaskan predikat yang sejak lahir telah disandangnya….
Happy Reading ….
Jangan luva tinggalkan jejak mu …
Terimakasih …..
Tak terasa hari sudah mulai siang, cuaca cerah membuat ruangan kecil dimana tempat kedua sahabat tengah terlibat dalam pembicaraan aksi curhat- curhatan pun terasa panas.
Beruntung ada kipas berdiri yang bergerak memutar menyebarkan hembusan angin dengan bantuan tenaga listrik, sedikitnya mampu menyegarkan ruangan tersebut.
Ning tak hanya menceritakan soal pemecatannya saja, ia pun menceritakan kesialannya di hari itu. Tentunya itu semakin membuat Ocha lebih nikmat menertawakan penderitaan sahabatnya.
“Ya ampun, Ning … lo udah mah dipecat, nimpuk kepala orang pakai kaleng bekas minuman sampai dikejar- kejar sama si korban dan lebih parah lagi lo dikira copet … hahahaha….” Ocha tak hentinya mengejek dan menertawakan Ning.
“Seneng ya lo, seneng banget kalau lihat gue menderita,” ucap Ning merasa kesal.
“Tapi seenggaknya lo udah sial tiga kali berturut- turut, jadi lo gak bakal dapat kesialan lagi di hari ini.” Jiwa karuhun Ocha mulai keluar.
“Ya ya ya, lo ada benarnya juga sih.”
“Tapi gak tahu deh kalau besok, hahahaha.” Ujung- ujungnya Ocha tetap mengejek.
“Sialan lo, malah nyumpahin gue ….” ucap Ning berdecak kesal. “Eh tapi tadi gue ketemu sama cowok ganteng dan perawakannya tinggi,” ucapnya tersenyum sembari membayangkan pria itu.
“Maksud lo … yang ganteng itu si direktur apa si brewok yang ngejar lo?” tanya Ocha bingung.
“Bukan lah … si direktur ganteng juga, tapi jauh lebih tua dari gue yang baru berumur 18 tahun ini. Kalau si brewok … ihhh, ganteng darimana nya.” Ning bergidik ngeri membayangkan wajah si brewok yang bak preman pasar itu.
“Terus cowok ganteng yang mana? sopir angkot maksud lo?” Ocha menebak- nebak.
“Ya ampun Cha, itu sopir angkot udah jambros, tuir, item, perutnya buncit, semerbak bau ketek, hidup lagi … Kagak ada ganteng- genteng nya ….” cerocos Ning yang malah mengejek sopir angkot yang ia tumpangi angkotnya.
“Lah terus yang lo maksud cowok ganteng itu yang mana?” tanya Ocha mulai kesal karena tebakannya salah terus.
“Itu yang tadi gue bilang cowok jangkung yang lagi ngantri pesan makanan di pinggir jalan.” Ucap Ning memperjelas.
“Oh, yang ngatain lo copet karena lo mepet- mepet sama dia?” Ocha pun teringat dengan pria yang belum tersensus dalam tebakannya.
“Nah yang itu … ganteng banget tahu ….” Ning tersenyum karena kembali membayangkan wajah pria itu.
“Terus kenapa gak lo ajak kenalan?” tanya Icha heran.
“Gimana mau ngajak kenalan, orang dia udah nyangka gue copet duluan. Mana orangnya jutek lagi.” Ning pun membuyarkan bayangan pria itu.
“Justru kalau deketin yang jutek gitu, menantang' tahu.” Ocha seolah sudah berpengalaman.
“Ih ogah banget gue ngejar- ngejar cowok, dikiranya gue cewek apa pun.” Ning so jual mahal.
“Halah, kemaren- kemaren apaan lo, gesit banget deketin si Rifat ….”
“Ya itu kan dia yang deketin gue duluan sejak masih sekolah, eh setelah lulus gue udah membuka diri, malah dia yang so jual mahal.” Ning membela diri.
“Kelamaan sih lo, makanya daripada dia nungguin lo siap pacaran mending dia nyari gebetan lain. Kan sekarang lo nya yang nyesel.”
“Lo bener Cha ….” ucap Ning yang menampakkan rat wajah menyesal.
“Udah udah ah, gak usah bahas si ketupat basi itu lagi. Lo tutup buku aja dan buka lembaran baru sama si akung aja tuh.” Ocha mengalihkan pembicaraan karena tak mau membuat sahabatnya bersedih mengingat mantan gebetannya yang udah jadian sama cewek lain.
“Hah? Si akung siapa, Cha?” tanya Ning heran.
“Lah itu yang tadi lo bilang cowok ganteng yang perawakannya jangkung. Yaudah gue panggil akung aja biar singkat.”
“Hahaha, dasar ya … lo emang ahlinya ngatain nama orang,” ejek Ning menggelengkan kepala dengan kelakuan sahabatnya.
“Terus- terus, gantengan mana si akung sama si direktur?” Ocha masih penasaran pada dua lelaki yang dibilang Ocha ganteng itu.
Ning mengingat- ingat wajah kedua lelaki yang telah menjadi bagian dalam hari sialnya itu. “Ya, sama- sama ganteng sih. Kayaknya mereka seumuran deh.”
“Hahaha … “ Ocha malah tertawa.
“Lo kenapa ketawa?” tanya Ning heran.
“Ngomong- ngomong soal si direktur, gue jadi keinget lagi. Sumpah ya Ning, baru kali ini gue denger ada orang yang alergi dengan bau kentut. Lah dia sendiri kalau kentut gimana coba? Gak mungkin kan kalau dia gak pernah kentut?” Ocha berpikir keras membayangkan hal aneh didengar dari curhatan sahabatnya itu.
“Mana gue tahu … mungkin setelah kentut dia berlari sekencang mungkin supaya gak bisa menghirup bau kentutnya sendiri.” Ning mengutarakan pemikirannya.
“Tetep aja bakal kecium baunya, Ning … Atau mungkin dia membekap bokongnya pakai pispot saat dia mau kentut.” Ocha pikirannya semakin kemana- mana.
“Hallo, nona Ocha … Pispot itu buat menampung air seni. Lah kalau kentut kan berupa gas, sama aja bohong kalau gitu. Nanti pas pispot nya dibuka bau kentutnya menyebar … Lagi pula mana mungkin kan tuh orang bawa pispot kemana- mana.” Ning bicara sesuai pikiran yang rasional.
“Atau mungkin kalau dia mau kentut, dia masuk ke kamar mandi dan berendam dalam air bak. Jadi gak akan kecium bau kentutnya, soalnya bercampur dengan air. Blubuk blubuk.. blubuk. Hahahaha.” Yang dipecat Ning, tapi sepertinya Ocha yang mulai gila.
“Kenapa gak sekalian aja pas mau kentut dia memasang selang regulator di bokongnya, terus disambungin ke kompor gas. Jadi pas dia kentut bisa menghasilkan api, swosh durr ….” Ning pun ikutan berpikir gila.
“Lo kira pant**at tuh orang mulut naga apa, sampe bisa menyemburkan api, hahahaha.”
Ocha yang sedari tadi terus tertawa mendengar curhatan Ning, akhirnya pergi ke kamar mandi karena kebelet ingin buang air kecil.
Sementara Ning yang sudah terbiasa main di rumah itu, merasa haus dan pergi sendiri ke dapur untuk mengambil air minum.
Ning kembali ke ruang tamu dengan membawa satu botol air mineral dingin, dan bertepatan dengan kembalinya Ocha dari kamar mandi yang berjalan di belakang Ning. Keduanya pun kembali duduk di kursi.
“Berarti sekarang lo mau nyari kerja lagi dong?” tanya Ocha yang kembali memulai obrolan dengan Ning yang baru saja meneguk minumannya.
“Ya iya lah harus … Supaya gue bisa ngumpulin uang buat biaya kuliah nanti, sesuai harapan dan impian almarhum orang tua gue. Dengan begitu, nantinya gue bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak,“ ucap Ning dengan optimis.
“Kayaknya lo harus merubah kecerobohan dan kebiasaan jorok lo itu deh. Gak akan bener mau kerja dimana juga. Bahkan kalau jadi pembokat pun, lo gak bakalan kepakai tahu gak.” Ocha memberi nasehat pada sahabatnya.
“Gue juga gak mau jadi orang ceroboh kali, itu kan refleks Cha … Kalau soal kentut, ya mana bisa gue tahan. Bisa kembung ntar perut gue. Lo kan tau sendiri, kalau gue kaget, takut atau panik berlebihan pasti si kentut itu tiba- tiba keluar begitu saja tanpa permisi.” Ning mendengus kesal, ia pun kembali meneguk air minumnya sampai habis.
“Tenyata di dunia ini, selain lo yang memiliki keanehan, ada juga yang punya penyakit lebih aneh dari lo. Jangan- jangan kalian ditakdirkan berjodoh lagi.” Ocha menghubung- hubungkan.
“Lo kalau ngehalu yang kira- kira dong!! Mana mungkin gue berjodoh sama direktur yang tajir melintir itu. Kebanyakan baca novel sama nonton sinetron lo, Cha …” ucap Ning mendengus kesal.
“Ya siapa tahu gitu, kan jodoh mana ada yang tahu. Kalau kata pepatah orang sunda ‘jodo mah jorok’ …. ” Ocha kekeuh.
“Sejak kapan ada pepatah macam itu? kok gue yang orang sunda aja gak tahu …?” tanya Ning merasa heran.
“Sejak zaman uyut, bao, jangawarong sampai nenek moyang.” Ocha nampaknya hafal beberapa nama sebutan diatas kakek buyut.
“Wow, ternyata sahabatku ini casingnya aja jaman now, tapi obrolannya zaman old.” Ning entah mengejek atau memuji sahabatnya.
“Emangnya lo, sunda KTP … kagak ada tulen- tulen nya, Ning.”
“Orang dari kecil gue tinggal disini.”
“Ya ya ya, jadi gimana? Lo juga pasti senang dong berjodoh sama si direktur?” Icha kembali ke pembahasan perjodohan.
“Berjodoh apanya sih? Si direktur itu alergi bau kentut, lah gue tukang kentut. Bisa mati dia kawin sama gue ….”
“Lo sih parah, orang mah kalau takut itu sampai terkencing- kencing. Nah kalau lo, kalau takut sampai terkentut- kentut ….” Ejekan terus saja keluar dari mulut Ocha, namun Ning yang sudah terbiasa bercanda dengan sahabatnya itu, tak pernah memasukannya ke dalam hati.
“Eh tapi Ning … Gak apa- apa kali kalau lo nikah sama dia terus dia cepat mati. Jadi nanti harta kekayaannya jatuh ke tangan lo ….” Ocha malah mengajarkan yang gak bener.
“Sialan lo, jadi niat lo ngejodohin gue sama direktur berpenyakit aneh itu, supaya gue jadi janda kembang gitu?” Ning merasa kesal.
“Hahahaha … gak gitu juga sih, ini umpamanya Ning, bukan gue ngedoa in loh. Lagian mau dia hidup atau mati, kan lo tetap jadi horang kaya gitu kalau kawin sama dia.”
“Ah, gak mau gue jadi orang kaya. Banyak duit juga banyak utang sama banyak pikiran. Impian gue mah pengen hidup pas- pasan aja lah gak muluk- muluk.”
“Ya Allah tolong … impian tuh yang tinggi an dikit napa … Jadi artis terkenal, jadi wanita karir, jadi horang kayah, jadi presiden, jadi publik pigure kek. Lah ini malah pengen jadi orang pas- pasan. Lo masih waras kan?”
“Gue masih waras sewaras- warasnya … jadi orang pas- pasan itu enak tahu …”
“Enak dari mananya, Kloning? Hidup susah lo bilang enak, kagak kerja ya kagak punya duit. Kagak punya duit ya kagak makan, belangsak yang ada,” cerocos Ocha.
“Gue kan bilang hidup pas- pasan, bukan hidup susah atau blangsak, Ocha ….”
“Sama aja, boloning ….”
“Beda lah ….”
“Beda apanya? Embe sama kuda?” tanya Ocha sewot.
“Kalau hidup pas- pasan tuh, pas pengen makan enak ada, pas pengen mobil mewah ada, pas pengen tas mahal ada, pas pengen shopping ada, pas pengen apa- apa ada pokoknya.” Ning menjelaskan hidup pas- pasan menurut pendapatnya.
“Dasar kampret … itu mah sama aja lo pengen jadi orang kaya, boloning. Gue cekik longgar juga ya leher lo.” Ocha semakin kesal dibuatnya.
“Hahahahahaha … jangan dicekik dong, entar gue metong … khrekkk.” Ning melintaskan tangan di lehernya seolah menggorok dirinya sendiri.
“Biarin, ntar gue mau nyewa organ tunggal buat dangdutan di pemakaman lo ….”
“Dasar sahabat laknat lo!”
“Lo sahabat terkutuk!” Ning tak mau kalah
Keduanya tak hentinya melemparkan ucapan saling mengejek, hingga berakhir saat Ning sudah kehabisan kata- kata lagi dan akhirnya Ocha lah yang menjadi pemenangnya. Keduanya pun tertawa terbahak- bahak menertawakan kekonyolan mereka.
“Satu pesan gue, Ning … Lo kalau mau kentut jangan di depan orang banyak. Pertama gak sopan dan kedua lo itu masih gadis, malu kan kalau sampai viral. Nanti lo susah laku lagi sama cowok.” Ocha kini mulai bicara serius.
“Itu tergantung lah, kalau emang gue kentut karena sakit perut, pastinya gak pernah di depan banyak orang. Tapi kan kalau gue lagi kaget, takut atau panik berlebihan di depan orang banyak, mana bisa gue tahan, Cha ….”
“Lah, dulu waktu di kelas lo sering banget kentut depan anak- anak dengan sengaja.” Ocha mengingatkan Ning.
“Itu mah beda acara, cuman untuk mengusir mereka keluar dari kelas. Jadi gue bisa leluasa curhat sama lo.” Ning berdalih.
“Iya, dan lo menjadikan kentut lo itu sebagai ancaman, supaya mereka mau membeli dagangan lo. Sampai teman sekelas menjuluki lo si Le่ Petomane. ” ternyata Ning memiliki julukan aneh saat masih sekolah.
“Hahaha, gak apa- apa lah yang penting dagangan gue laku dan dapat untung banyak.”
Ning memang tak pernah perduli dengan perkataan orang yang menilainya negatif. Baginya yang terpenting ia tetap di jalan yang lurus dan tidak berbuat jahat pada orang lain, kecuali jika terdesak saat ia ditindas untuk membela dirinya.
------------- TBC ------------
******************
Happy Reading …
Jangan luva tinggalkan jejak mu …
Aylapyu all ….
Duit alias uang tak bisa dipungkiri memiliki peran penting dalam kehidupan. Apalagi di zaman sekarang, apa pun serba mengandalkan uang untuk mendapatkannya.
Bukan hanya untuk membeli kebutuhan saja, tak jarang orang menggunakan uang untuk mendapatkan jabatan, ketenaran, kemenangan, tak terkecuali untuk mendapatkan cinta.
Pastilah kita sering mendengar ungkapan ‘Ada uang abang, sayang … tak ada uang abang ditendang’. Hal itu nampak seperti ucapan dari wanita yang materialistis, padahal kita semua membutuhkan uang. Karena tak bisa dipungkiri, dengan cinta saja tak akan membuat mu kenyang atau pun bisa membeli apa saja, baik itu kebutuhan pokok atau pun yang lainnya.
Namun setiap orang memiliki cara pandang berbeda- beda akan hal itu, karena kondisi ekonomi dan cara berpikir setiap orang beraneka ragam. Ada kalanya yang memiliki banyak uang selalu merasa kurang, apalagi yang tak punya uang. Namun keduanya akan merasa cukup jika mereka selalu mensyukuri sekecil apa pun rezeki yang mereka miliki.
Sama halnya dengan Ning yang selama ini selalu hidup serba kekurangan, namun tak membuatnya selalu mengeluh. Justru hal itu menjadi dorongan untuknya agar bekerja lebih keras lagi. Bahkan saat masih sekolah pun, ia rajin membantu bibinya berjualan, baik berkeliling ataupun membawa dagangannya ke sekolah.
Awalnya ia hanya iseng mengancam teman sekelasnya sembari mengunci pintu kelas supaya mereka mau membeli dagangannya. Namun setelah mencicipi makanannya enak, mereka pun berlangganan jajan pada Ning.
“Iya, dan lo menjadikan kentut lo itu sebagai ancaman, supaya mereka mau membeli dagangan lo. Sampai teman sekelas menjuluki lo si Le Petomane. ” Ocha mengungkit kelakuan konyol Ning dan ternyata Ning memiliki julukan aneh dari teman- teman sekolahnya.
“Hahaha, gak apa- apa lah yang penting dagangan gue laku dan dapat untung banyak.” Ning tertawa mengingat kejadian itu.
“Dasar, duit mulu di otak lo …” Ocha mendumel.
“Karena pada kenyataannya, hidup itu perlu duit, Cha ... duit duit duit ....” ucap Ning dengan santainya.
“Ya ya ya … itu memang benar sih.” Ocha pun setuju dengan ucapan sahabatnya.
Ning menghela nafas panjang. Setelah mendengar kata duit, ia kembali terpikir soal pekerjaan.
“Gue musti cari kerja kemana lagi ya? bingung gue ...."
“Itu anaknya tetangga sebelah katanya kerja jadi pengasuh di rumah orang gedongan. Kenapa lo gak coba aja ngelamar jadi pengasuh.” Ocha memberi saran.
“Ogah ah, males banget kudu ngusrusin anak kecil apalagi bayi. Gue kan gak punya pengalaman sama sekali.” Ning langsung menolak saran Ocha.
“Katanya kalau berminat lo harus masuk yayasan agen penyalur baby suster. Jadi lo bakal ngikutin pelatihan dulu sebelum disalurkan untuk bekerja.” Ocha seolah jadi makelar yayasan.
“Kalau ada pelatihan berarti pakai biaya dong?” tanya Ning.
“Iya sih katanya … ya lo pikir aja kali, zaman sekarang mana ada yang ngasih ilmu pendidikan khusus secara gratisan. Kan tadi lo bilang, hidup itu perlu duit serba duit.”
“Terus kalau gue ikut pelatihan, duitnya dari mana, Ocha?”
“Kalau gitu lo ngelamar aja langsung ke rumah orang gedongan, gak usah lewat yayasan.”
“Ngelamar jadi baby suster?” Ning kembali bertanya.
“Iya, kan ini kita lagi bahas itu, Ning nong.”
“Gue kan udah bilang, gue gak bisa ngurus anak kecil atau pun bayi ….”
“Siapa bilang jadi baby suster cuman ngurusin anak kecil atau bayi?” Ocha spertinya tahu sekali soal pekerjaan pengasuh.
“Lah dari namanya aja baby suster, yang artinya perawat bayi. Berarti ngurusin bayi, Ocha. Oon banget sih lo!” Ning kini balik mengejek Ocha.
“Ada juga kali yang ngurus lansia, kayak nenek- nenek atau kakek- kekek yang udah uzur gitu.”
“Eh busyet dah, apalagi itu. Kalau gue ngurusin mereka, yang ada bakalan mempersingkat umur mereka di dunia ini.”
“Hahahaha … iya lo bener. Bukannya jadi baby suster, eh lo malah jadi malaikat maut buat mereka.” Ocha terus saja menemukan celah untuk mengejek Ning.
“Nah itu lo tahu … Apa gue jadi TKW aja ya, ke Arab gitu.” Ning malah terpikir bekerja ke luar negeri.
“Yah sama aja, boloning … ke Arab juga kalau gak jadi pembokat ya ngurusin anak- anak. Malahan yang gue denger tuh dari Mpok Asih, para majikan disana anaknya banyak. Lo yakin bakal sanggup?” Ocha seolah menakut- nakuti Ning.
“Hufh … udah mah susah, kok ribet amat sih nyari kerja.” Ning menghela nafas berat. Raut wajahnya berubah sedih.
“Perjuangan untuk bertahan hidup tuh susah banget ya, kenapa gue harus selamat sih waktu itu. Kenapa bapak sama ibu gak ngajakin gue pergi bersama mereka, Cha?” lirihnya sedih.
“Ning … lo jangan ngomong kayak gitu? Mendiang orang tua lo bakalan sedih kalau mereka mendengar ucapan lo ini.” Ocha pun turut sedih.
“Kenapa mereka ninggalin gue sendirian disaat gue sangat membuthkan mereka, Cha? Kenapa hidup ini rasanya ga adil buat gue? Gue emang pembawa sial, Cha. hiks hiks hiks.“ ucapnya terisak.
Ocha mendekat pada Ning, ia merangkul sahabatnya. “Ning, lo jangan ngomong kayak gitu. Lo gak sendirian. Lo masih punya keluarga lo, Mang Asep, Bi Marni, sama Renita.”
“Mereka gak pernah peduli sama gue, Cha. Gue bener- bener ngerasa sendirian, Hiks hiks hiks ….”
“Lo anggap gue ini apa, hah? Lo masih punya gue, sahabat lo yang akan selalu ada buat lo, Ning.”
“Makasih, Cha. Hiks hiks hiks.” Ning memeluk sahabatnya dengan berderai air mata.
Saat Ning sedih dan merasa sendiri, ia selalu teriangat pada mendiang orangtuanya. Ocha yang sedari tadi mengejek dan menertawakan Ning pun ikut menangis, karena ia tahu betul begitu banyak hal yang dialami Ning dalam perjalan hidupnya setelah kematian orang tuanya.
Sejak kecil harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup, namun itu tak membuatnya menjadi orang yang selalu mengeluh atau meratapinya.
Ning adalah anak yang tangguh dan tak mudah menyerah. Meski ia terkadang ceroboh dan memiliki kebiasaan aneh yang tak jarang membuatnya malu. Namun setidaknya itu bisa menjadi hiburan untuk dirinya sendiri, karena mampu membuat tertawa orang lain. Walau tak jarang ada orang yang merasa terganggu dengan kebiasaan anehnya itu. dia masih bisa tertawa, ya tertawa diatas penderitaan hidung orang lain.
Ocha melepaskan pelukannya dari Ning. “Diam lo … jangan cengeng kayak gini. Udah diam, eneg gue denger lo nangis.”
“Kalau eneg, ya tutup aja kuping lo?”
“Eneg tuh keluarnya dari mulut, bukan dari kuping. Bego …” Icha menjitak kepala Ning.
“Aww ... lo ganggu konsentrasi nangis gue aja, sih.” Ning menggerutu kesal ambil terisak.
“Apaan lo, sedih aja pakai konsentrasi segala. Sayang kan tenaga lo kalau dipakai nangis. Mendingan dipakai nyari info lowongan kerja. Udah ah jangan mellow- melow lagi.” Ternyata itulah cara Ocha mencairkan suasana saat Ning merasa sedih.
Ning menghapus air matanya, kemudian memeluk sahabat yang selalu mengerti dirinya. “Makasih ya, Cha … Lo emang sahabat terbaik gue.”
“Iya iya, gue tahu itu kok. Udah ah jangan nangis, sayang kan air mata gue juga ikutan keluar. Mahal tahu ..." Icha menepuk punggung Ning.
Tok tok tok …
Terdengar suara pintu diketuk.
“Ocha !!” Teriak seseorang dari balik pintu. Ning dan Ocha pun saling melepaskan pelukan mereka.
“Iya ….” Sahut Ocha yang kemudian bangkit dan berjalan untuk membukakan pintu.
Ceklek ….
“Bang Ipung … ada apa Bang?” sapa Ocha pada tamu nya yang berdiri di depan pintu.
“Gawat Cha … itu, anu … aduh.” Ipung bicara ambigu.
“Kalau ngomong tuh yang jelas dong, Bang … itu itu anu anu aja. Ayok masuk dulu,” ajaknya, Ipung pun melangkah masuk.
“Itu Cha, Mang Asep mau dilaporkan ke kantor polisi,” ucapnya saat baru melewati pintu dan berjalan di belakang Ocha.
Ocha yang terkejut langsung membalikan tubuhnya mendengar berita yang diucapkan Ipung
“Apa?”
jedukkk ...
Jidat Ocha dan Ipung saling beradu dengan cukup kencang.
"Aduh... ngapain sih bang pakai ngadu jidat segala?" Ocha mengusap jidatnya yang sakit.
"Lo pake tiba- tiba balik kanan segala sih, kan Abang ngikutin dari belakang." Ipung pun mengusap jidatnya.
Ning yang mendengarnya ikut terkejut, ia berdiri lalu menghampiri Ocha dan Ipung.
"Bang Ipung tadi bilang apa? Mang Asep kenapa?" tanya Ning.
“Iya Ning, Mang Asep mau dilaporkan ke kantor polisi.” Ipung mengulangi ucapannya.
“Apa…? Bang, lo kalo ngomong yang bener dong, kok bisa Mang Asep di laporkan ke kantor polisi? Apa dia berkelahi sama orang? Apa dia ngebacok orang? Atau nyulik orang? Atau bagaimana, Bang?” Ning yang terkejut menjadi panik dan melontarkan banyak pertanyaan.
“Itu Ning … Mang Asep_______”
Duuuttt … duut ….
“Hoekk bau banget sih lo.” Ipung langsung keluar dengan menutup hidungnya.
“Iya, ih Bau banget … pantesan aja bos lo ampe pingsan.” Ocha juga ikut keluar diikuti Ning dari belakangnya, karena ia sendiri pun tak tahan dengan bau kentutnya sendiri.
“Dasar si Le Petomane, lo!!” ucap Ipung kesal.
“Hehehe, maaf Bang, tadi diriku panik banget … Jadi kenapa Mang Asep bisa dilaporkan ke polisi, Bang?” Ning kembali bertanya sambil cengengesan.
“Sebaiknya kita langsung saja ke rumah mang Asep, yuk.” Ipung mengajak keduanya pergi.
“Iya ayok kita kesana.” Ocha menutup pintu rumahnya.
Ketiga orang itu pun pergi bersama- sama menuju rumah Asep yang merupakan pamannya Ning, dan tentunya itu adalah tempat tinggalnya Ning. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari rumah Ocha, sehingga dengan jalan kaki pun bisa cepat sampai.
Saat hendak sampai, ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari rumahnya. Setelah melewati mobil tersebut, terlihat ada seorang lelaki tengah bersimpuh di depan seorang wanita di teras rumah.
Nampak para tetangga yang rumahnya berdempetan dan di seberang, berdiri di teras masing- masing melihat ke arah rumah itu seolah sedang menonton pertunjukan.
“Saya mohon Bu, tolong jangan laporkan saya pada polisi,” ucap lelaki yang tengah bersimpuh itu, yang ternyata adalah pamannya Ning.
“Kalau begitu, anda harus membayar biaya perbaikan mobil saya.” Wanita itu bicara dengan nada tegas sembari berpangku tangan.
“Ada apa ini?” tanya Ning yang baru saja tiba di depan teras rumah, ia menghampiri pamannya yang sedang berlutut di depan wanita yang terlihat asing baginya.
“Mamang kenapa memohon gitu?” Ning kembali bertanya.
“Orang ini sudah merusak mobil saya, tapi tidak mau membayar ganti rugi untuk memperbaiki mobil saya,” ucap wanita itu dengan angkuhnya.
Ning berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang paman. “Apa itu benar Mang?” tanyanya yang merasa tidak percaya.
“Iya, Ning.” Asep mengangguk dengan raut wajah lesu.
“Tapi, bagaimana bisa?” Ning kembali bertanya.
“Gerobak orang ini sudah menabrak mobil saya,” ucap wanita itu menunjuk ke arah Asep.
Ning yang mendengar perkataan itu langsung berdiri dan menatap wanita yang berpenampilan modis tersebut.
“Hei, Bu … gak usah ngarang ya. Mana mungkin gerobak bisa menabrak mobil?” ucap Ning dengan nada kesal.
“Kamu tuh kalau bicara yang sopan ya, buat apa saya bohong? Memangnya saya ada tampang seperti seorang penipu apa?” Wanita itu merasa tersinggung.
“Mana ada sejarahnya gerobak yang di dorong orang menabrak mobil dikemudikan dengan menginjak gas saja. Saya yakin kalau mobil ibu yang menabrak gerobak paman saya, itu baru masuk akal. Ibu yang nabrak, kok minta ganti rugi sama paman saya … Dasar orang kaya aneh.” Cerocos Ning semakin kesal.
“Heh, makin kurang ajar kamu ya … Apa orang tua mu tidak mengajarkan sopan santun, hah?” Wanita itu marah dan menunjuk- nunjuk wajah Ning.
Ning menepis tangan wanita itu dengan perasaan geram. “Jangan bawa- bawa nama orang tua saya!! Ini hanya urusan antara anda, paman saya dan saya.” Ning menatap tajam wanita itu.
Asep yang melihat keponakannya tersulut emosi, kemudian bangkit dan mendekat padanya. “Ning, sudah atuh jangan menambah masalah lagi. Ini mah memang salah Mamang … Tadi teh pas di jalan turunan, Mamang tidak bisa menahan gerobak. Sehingga lepas kendali dan menabrak mobil ibu itu yang sedang parkir di pinggir jalan.” Asep menjelaskan kronologinya.
“Apa?” Ning kembali terkejut.
“Iya, Ning.” ucapnya dengan nada pasrah.
“Tuh dengar sendiri kan? Saya tidak berbohong … Untung saja saya sedang tidak berada di dalam mobil saat itu,” ucap wanita itu dengan nada ketus.
“Memangnya berapa yang harus dibayar oleh paman saya?” tanya Ning.
“Tiga puluh juta ….” ucap Wanita itu.
“Apa? Mana mungkin biaya perbaikan mobil saja sampai semahal itu … Ini sih pemerasan namanya,” ucap Ning tak terima.
“Jangan sembarangan bicara kamu ya!! Untuk apa saya memeras kalian? Harta yang saya miliki saja tidak akan habis sampai tujuh turunan … “
“Tapi kan, Bu … mobilnya teh hanya lecet dan ada goresan saja. Kenapa atuh bisa sampai sebesar itu?” Asep pun ikut protes.
“Anda lupa ya, kaca spionnya juga patah … Dan perlu anda ketahui, mobil saya itu seharga 1M … Masih untung saya hanya minta biaya perbaikan mobil saja, tidak dengan yang lainnya. Kalau kalian tidak percaya, silahkan kalian datangi bengkel tempat saya memperbaiki mobilnya,” cerocos wanita itu.
Ning yang masih terkejut, menghela nafas berat sembari mengusap- usap kepalanya seolah merasa pusing.
“Ya Allah, darimana kami mendapatkan uang sebanyak itu,” gumam Ning dalam hati.
“Kalau begini caranya, saya tidak hanya akan melaporkan anda ke kantor polisi. Tapi juga anak kurang ajar yang tidak punya sopan santun ini, atas perbuatan yang tidak menyenangkan hati karena memfitnah saya.” Wanita itu menunjuk ke arah Ning dengan tatapan tajam.
“Jangan atuh Bu, saya mohon jangan laporkan kami ke kantor polisi. Tolong beri kami waktu untuk membayar ganti rugi nya. Saya mohon ….” Mang Asep kembali memohon. Ia menoleh ke arah Ning.
“Ning, ayok atuh kamu teh minta maaf.”
“Maaf, Bu,” ucap Ning dengan nada jutek.
“Heh, kalau minta maaf itu yang benar!” Wanita itu memprotes Ning.
Ning mendengus kesal. “Saya minta maaf, Ibu yang terhormat.”
“Baik, saya akan beri kalian waktu sampai besok. Kalau tidak, pengacara saya akan mengurus laporan ke kantor polisi.”
“Apa? Besok? Mana mungkin atuh saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam satu hari, Bu. Tolong beri kami waktu lebih lama lagi.” Asep mencoba bernegosiasi.
“Heh, dasar modus … Anda pikir saya tidak tahu, kalau anda minta waktu lama supaya bisa kabur kan?” Wanita itu seolah bisa membaca pikiran Asep.
“Tidak atuh, Bu … saya tidak akan kabur. Kami teh hanya punya tempat tinggal disini, tidak ada sanak saudara kami di kota ini.”
“Baik, menurut orang bengkel mobil saya akan selesai diperbaiki dalam waktu tiga hari. Jadi saya akan beri kalian waktu tiga hari, tidak ada negosiasi lagi.”
“Ba baik, Bu.” Mang Asep hanya bisa pasrah.
“Kalau begitu saya minta KTP anda sebagai jaminan.”
“Baik, Bu.”
“Sekalian nomor yang bisa dihubungi.”
Asep pun memberikan KTP nya dan juga nomor kontaknya pada wanita tersebut.
“Ini kartu nama saya. Saya tunggu kedatangan anda tiga hari lagi,” ucapnya memberikan kartu namanya, kemudian beranjak pergi.
Ning menuntun Asep masuk ke dalam rumah, sedangkan Ocha dan Ipung pulang karena merasa tak enak jika mereka ikut campur dalam masalah keluarga Ning.
Saat Ning dan pamannya masuk, di dalam sudah ada Marni, istrinya Asep tengah duduk di kursi dengan raut wajah kesal dan marah.
“Bapak gimana sih? Kok bisa sampai gerobaknya menabrak mobil orang itu? Bagaimana caranya kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu? untuk makan aja pas- pasan ...." cerocos Marni.
“Bapak juga tidak menginginkan hal seperti ini terjadi atuh, Bu. Namanya juga musibah.”
“Ning, kenapa kamu ada disini? Bukannya kamu bilang hari ini mulai kerja?” tanyanya yang menyadari keberadaan Ning.
“A aku … aku dipecat, Bi.” Ning bicara dengan terbata- bata seolah takut menerima kemarahan Bibinya itu.
“Apa? Dipecat lagi? Ini sudah ketiga kalinya kamu dipecat, Ning … kamu memang tidak berguna, bisanya hanya menyusahkan kami … Dasar pembawa sial !?” Marni bangkit lalu pergi ke kamarnya.
Jebred …
Marni menutup pintu kamar dengan kencang. Sementara Ning hanya duduk sembari menundukkan kepalanya setelah mendengar makian dari bibinya.
“Aku memang pembawa sial ….” Lirihnya dalam hati.
------------- TBC ------------
******************
Happy Reading …
Jangan luva tinggalkan jejak mu …
Aylapyu all ….
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!