NovelToon NovelToon

A Night With The Presdir

Kesalahan Satu Malam

“Dasar pria brengsek!!” umpat Kirana geram sambil memukul meja bar di hadapannya.

Tidak ada seorang pun di meja bar itu kecuali bartender yang siap melayaninya di sana.

Masih teringat dengan jelas bagaimana ia menemukan Mike, kekasihnya, sedang bermesraan bersama Hanna, sahabatnya sendiri, di kamar tidur Mike.

Seharusnya hari ini Kirana memberikan kejutan pada Mike karena ia memajukan kepulangannya dari luar kota untuk mengunjungi makam ibunya, tetapi apa yang ia temukan benar-benar membuatnya kecewa.

Tidak ada sepatah kata pun yang Kirana ucapkan. Ia hanya melihat ke arah Mike dan Hanna yang terkejut karena kedatangan Kirana yang tidak mereka duga sebelumnya.

Kirana langsung meninggalkan apartemen itu tanpa setetes air mata pun yang jatuh.

Dan kini, di sinilah Kirana, memutuskan untuk melupakan semua kejadian menyakitkan itu dengan mendatangi salah satu hotel eksklusif di Jakarta yang tidak bisa di kunjungi oleh sembarang orang. Sebuah hotel yang hanya menerima tamu-tamu pilihan.

Sebagai salah satu putri pengusaha terkaya di negara ini, tentu saja Kirana memiliki akses bebas untuk masuk ke sana.

Sudah satu jam Kirana berada di bar ini dan entah sudah berapa gelas minuman beralkohol yang ia tegak. Yang pasti kesadarannya sudah semakin menurun. Dan Kirana sudah mulai meracau tidak karuan.

Kirana bukan gadis yang sering mengunjungi tempat seperti ini dan berakhir dengan mabuk-mabukan, tetapi malam ini pikirannya kacau dan ia hanya ingin cepat melupakan mantan kekasihnya yang telah bersamanya selama dua tahun yang membuatnya sakit hati.

Kirana melangkah dengan terhuyung ke arah lobi dan memesan satu kamar penthouse yang biasa ia tempati untuk bermalam. Ia pun berjalan menuju ke arah lift dan melihat kalau lift itu akan tertutup.

“Tunggu!” teriak Kirana berusaha membuat seseorang menghentikan lift itu.

Kirana melangkah dengan cepat sambil terhuyung ke arah lift yang hampir tertutup.

Tangannya dengan segera terjulur menahan pintu lift sehingga pintu itu kembali terbuka.

Kirana masuk tanpa mengetahui kalau ada beberapa orang di dalam lift itu, dan salah satunya sedang berdiri memandang tajam ke arahnya.

“Kenapa lift ini ramai sekali?” Samar-samar Kirana menatap ke sekelilingnya.

Tubuhnya hampir terjatuh karena rasa pening yang merayap di kepalanya.

“Tuan, kami akan menyeretnya keluar,” ucap salah satu pria yang merupakan pengawal berjas hitam yang samar-samar bisa Kirana dengar.

Pria yang menatap Kirana tadi pun memberi isyarat untuk membiarkan Kirana tetap berada di lift itu dan segera menyuruh pengawalnya menutup pintu lift itu.

Kirana berbalik. Menatap satu per satu pria di sekelilingnya dengan tajam. Sesungguhnya Kirana tidak dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Matanya menyipit.

“Siapa dari kalian yang mau mengusirku tadi?” Menunjuk satu persatu ke arah wajah semua pria itu.

Kirana melangkah mendekat ke salah satu pria di hadapannya. “Apa kamu tahu siapa aku?”

Kirana meracau sambil menunjuk-nunjuk dada pria yang dari tadi menatap tajam ke arahnya.

Mata pria itu menyipit. Baru kali ini ada seseorang yang begitu berani menyentuhnya tanpa izin. Biasanya orang itu sudah berakhir terkapar di lantai.

“Tuan?” bisik salah satu pengawal di sampingnya.

Pria itu memberi isyarat dengan tangannya untuk membiarkan Kirana. Ia ingin tahu apa yang akan gadis di hadapannya ini lakukan selanjutnya.

“Banyak pria yang mengejarku, tetapi bajingan itu malah mengkhianatiku!” Kirana berteriak sambil memukul dada pria itu. Kirana bahkan sempat bersandar sejenak di dada pria itu dan menghirup aroma tubuh sang pria yang terasa berbeda di penciumannya.

“Apa menurutmu aku tidak cantik?” Kirana mendongakkan wajahnya menatap samar wajah pria yang terus menatap dingin ke arahnya, lalu Kirana kembali menyandarkan sisi wajahnya di dada pria itu karena rasa pening di kepalanya semakin menjadi.

Lagi-lagi pengawal pria itu tampak khawatir, tetapi sang pria tetap memberi isyarat untuk membiarkan Kirana.

Kirana pun mendongak kembali mencoba menatap wajah pria yang ada di hadapannya.

Mereka kali ini saling bertatapan dengan waktu yang cukup lama. Pria itu terus menatap wajah Kirana yang tampak berbeda baginya. Dengan wajah asia, rambut hitam panjang terjuntai, dan pipi yang merona merah itu Kirana sedikit menarik perhatiannya.

Banyak wanita yang sudah ia temui, bahkan sampai menghangatkan tempat tidurnya, tetapi belum ada yang membuatnya ingin menatap mereka seperti apa yang sekarang ia lakukan pada Kirana saat ini.

Kirana menyentuh wajah pria itu. Mempermainkannya sesukanya. Menggoyangkannya ke kiri dan ke kanan.

“Kamu sepertinya tampan.” Kirana menepuk-nepuk pipi pria itu.

Salah satu pengawal bahkan sudah siap mengambil pistol di sela saku celananya, tetapi kembali dihentikan oleh pria itu.

Para pengawal pun saling memberi tatapan bingung. Baru kali ini mereka melihat Tuan mereka membiarkan dirinya diperlakukan semena-mena seperti ini. Mereka bahkan sempat ngeri membayangkan apa yang akan terjadi pada gadis mungil itu nanti.

“Bagaimana kalau malam ini kamu menemaniku?” Ide gila itu terlontar begitu saja dari mulut Kirana. “Malam ini adalah malam keberuntunganmu.”

Kirana menarik kerah baju pria itu agar mendekat padanya.

“Aku belum pernah tidur dengan pria mana pun,” bisik Kirana tanpa rasa malu.

Alkohol sudah benar-benar menguasainya. Ia bahkan berani menyerahkan tubuhnya pada sembarang pria yang ia temui.

Senyum penuh arti pun tergambar di sudut wajah pria itu setelah mendengar kata-kata Kirana. Ia meraih dagu Kirana dengan tangannya, menatapnya sesaat lalu dengan segera menghempaskan tubuh Kirana ke sisi lift.

Hentakan itu sedikit membuat Kirana terkejut, tetapi Kirana tidak sempat tersadar karena sesaat kemudian bibir pria itu sudah menikmati bibirnya yang lembut dengan sentuhan yang belum pernah Kirana rasakan sebelumnya. Membuat Kirana terlena dan tidak ingin mengakhirinya.

Tubuh kirana rasanya melayang. Belum pernah ia merasakan ciuman seperti ini dengan Mike atau pria manapun.

Semua pengawal yang ada di sana pun berbalik. Mereka sudah sering mengalami hal ini. Tuan mereka biasa melakukannya di mana saja sesukanya. Mereka akan bersikap seolah tidak terjadi apa pun saat ini.

Suara denting lift memutuskan pertautan mereka. Dengan napas memburu pria itu menarik Kirana dengan cepat keluar dari lift yang merupakan pintu menuju kamarnya.

Para pengawal pun dengan segera menutup pintu lift kembali setelah Tuannya keluar bersama gadis itu dan yang pasti tidak ada yang boleh mengganggu mereka sampai Tuan mereka memanggil.

“Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kita. Aku akan menikmati setiap inci tubuhmu dan aku akan membuatmu tidak akan melupakan malam ini, walaupun kamu dalam keadaan mabuk sekalipun.”

 

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Hai, selamat datang di novel terbaruku. Semoga kalian suka, ya?

Jangan lupa tinggalin jejak dengan komen, vote atau jadikan novel ini favorite kalian ya supaya ga ketinggalan update bab barunya.

Enjoy!

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Apa Yang Telah Terjadi

Perlahan mata Kirana terbuka. Ia merasakan lelah yang luar biasa pada tubuhnya.

“Apa yang terjadi? Aku di mana?”

Mata Kirana masih mengerjap beberapa kali mencoba untuk mengenali tempat di mana ia terbaring saat ini.

Belum juga Kirana mengingat sesuatu, rasa pening dan mual tiba-tiba menghantam.

Kirana langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya di wastafel.

Seluruh tubuhnya terasa remuk.

Kirana pun membasuh wajahnya untuk merasakan sedikit kesegaran.

Mata Kirana terbelalak ketika mendapati dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya dan ada begitu banyak tanda kemerahan di tubuhnya.

Perlahan Kirana pun mulai merasakan rasa nyeri di bawah perutnya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Astaga! Apa yang sebenarnya terjadi?”

Jemari tangan Kirana perlahan menyusuri setiap bagian tubuhnya yang memiliki tanda kemerahan.

Potongan-potongan ingatan semalam mulai menghampirinya. Kirana ingat bagaimana seorang pria berada di atasnya dengan napas memburu dan sentuhan yang pria itu berikan rasanya mulai menjalar kembali di tubuhnya.

“Ya Tuhan!” Kirana menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Apa yang telah aku lakukan?”

Dengan tubuh bergetar, Kirana keluar dari kamar mandi dengan menggunakan sebuah jubah yang tergantung dan berharap kalau apa yang ia pikirkan tidak benar-benar terjadi.

Kirana melangkah ke arah tempat ia terbaring tadi, dan perlahan menyibakkan selimut besar putih yang menutupi permukaan tempat tidur itu.

Tubuh Kirana tersungkur lunglai ke lantai. Noda darah membekas di sana, dan itu berarti ia telah kehilangan miliknya yang paling berharga. Kirana bahkan tidak tahu kepada siapa ia memberikan miliknya yang paling berharga itu. Semua terasa begitu samar diingatannya.

“Bagaimana bisa ini terjadi? Siapa yang membawaku ke tempat ini?”

Kirana masih mencoba untuk menyatukan potongan-potongan puzzle yang berlarian di ingatannya.

“Terakhir aku ingat, aku datang ke sebuah bar dan lalu aku …”

Kirana langsung memakai pakaiannya dan berlari keluar dari kamar itu. Kirana ingat kalau ia bertemu dengan seseorang di lift sebelum ia sempat pergi ke kamarnya.

Kirana langsung mencari manajer hotel dan meminta akses untuk melihat rekaman lift yang ia gunakan semalam.

“Mohon maaf, Nona Kirana. Kami tidak dapat memberikan Anda akses itu karena setiap tamu di hotel ini sudah kami jamin privasinya.”

Begitulah kata-kata sang manajer hotel.

“Tetapi ini penting, Pak. Menyangkut hidup dan mati saya!” Kirana tetap memaksa untuk melihat rekaman itu.

“Mohon maaf, Nona Kirana. Kami benar-benar tidak bisa. Nona sendiri tahu alasan para tamu penting memilih tinggal di hotel ini adalah karena kami menyanggupi untuk menjaga privasi mereka 100%.”

Sang manajer hotel pun tetap bersikeras menolak permintaan Kirana.

Dengan langkah terhuyung, Kirana harus menelan kenyataan pahit kalau ia telah kehilangan kegadisan yang telah ia jaga selama ini kepada pria asing yang sama sekali tidak ia kenal.

Kirana berdiri di depan lobi menunggu petugas vallet mengambil mobilnya. Tanpa ia sadari beberapa meter di sampingnya, seorang pria tampan dengan tubuh tegap sempurna sedang berdiri di sana.

Sesaat sebelum pria itu masuk ke dalam mobil, pria itu menoleh ke arahnya dan tersenyum.

Mobil itu melewati Kirana yang masih berdiri terpaku tanpa menyadari kalau pria yang menghabiskan malam dengannya baru saja berlalu.

“Nona, mobil Anda sudah siap.”

Suara petugas vallet itu membuyarkan lamunan Kirana.

“I—iya, Pak. Terima kasih.” Kirana meraih kunci mobilnya sambil memberikan selembar uang seratus ribu kepada petugas itu.

Kirana pun segera melajukan kendaraannya menembus ramainya jalanan ibu kota di pagi hari.

Pikirannya terus terbang berusaha kembali mengingat peristiwa malam tadi, tetapi wajah pria itu tetap saja tidak dapat Kirana ingat. Ia hanya ingat bagaimana rasanya sentuhan pria itu di setiap bagian tubuhnya.

“Kenapa rasanya aku begitu menikmati apa yang terjadi semalam?” Kirana menggigit kukunya sambil mengingat potongan kejadian semalam. “Aku bahkan ingat bagaimana aku mendekap erat pria itu sampai rasanya kuku-ku menancap di punggungnya.”

Kirana menatap jari-jari tangannya. Tiga kuku di jarinya patah. “Astaga semua itu benar. Aku benar-benar menikmatinya semalam.”

Kirana menyenderkan kepalanya pada sandaran kursi dan memejamkan mata sambil menunggu lampu lalu lintas berubah hijau.

Perlahan Kirana menyentuh bibirnya. Rasa bibir pria itu masih membekas di ingatan Kirana.

“Aku bisa merasakan lembutnya sentuhan pria itu, tetapi mengapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?”

Satu bulan berlalu sejak malam itu. Kirana tetap tidak bisa mengingat wajah pria itu. Semua selalu datang secara samar-samar diingatan Kirana. Sekeras apa pun Kirana berusaha mengingat, yang muncul hanyalah rasa sentuhan pria itu dan suara sang pria yang melekat jelas pada ingatannya, tetapi tidak wajahnya.

Pagi ini tiba-tiba saja Kirana merasa begitu mual ketika ia bangun di pagi hari. Dua hari sebelumnya Kirana pun mulai tidak tahan mencium bau tertentu yang menyengat. Ia bahkan tidak bisa memakan makanan favoritnya yang mengandung banyak bawang putih karena sedikit mencium baunya saja, Kirana sudah tidak tahan.

Kirana mengambil handuk kecil di laci kamar mandinya dan matanya tertuju pada susunan pembalut yang sepertinya belum ia gunakan bulan ini.

“Sebentar, sepertinya aku belum datang bulan …”

Kirana langsung mengambil ponselnya dan membuka aplikasi yang biasa dia gunakan untuk menghitung tanggal datang bulannya.

“Bagaimana bisa aku lupa?”

Mata Kirana langsung membulat ketika ia melihat kalau seharusnya ia sudah datang bulan dari dua minggu yang lalu.

“Tidak mungkin …” Kirana meletakkan ponselnya di meja dan ia terduduk di sisi tempat tidurnya. “Kejadian itu hanya terjadi satu kali …”

Kirana langsung mengambil kunci mobilnya dan menuju ke salah satu apotek di dekat rumahnya. “Aku harus segera memastikannya. Tidak mungkin ini terjadi padaku,” gumam Kirana dalam hati.

***

Test pack itu terlepas dari tangan Kirana. Dua garis biru terlihat di sana. Kirana hanya bisa terduduk lemas di lantai kamarnya dengan pikiran yang kacau balau.

“Apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan tidak tahu harus meminta pertanggung jawaban pada siapa. Aku tidak tahu siapa ayah bayi ini.” Kirana menangis sambil mengusap perutnya yang masih rata.

Kirana tidak menyadari ada langkah kaki yang mendekat padanya.

“Apa ini?” Test pack yang terjatuh di lantai terangkat. “Kak Kirana, kamu hamil??” Sebuah teriakan itu menyadarkan Kirana kalau ia sudah tidak lagi sendiri di kamar tidurnya.

Kirana langsung berdiri dan berusaha merebut test pack yang sudah ada di tangan Tatiana, saudari tirinya yang ikut andil menyengsarakan hidupnya di rumahnya sendiri.

“Tantiana, kembalikan!” Kirana terus berusaha untuk merebut test pack itu, tetapi dengan cepat Tatiana langsung berlari keluar dari kamar Kirana sambil memanggil ibunya.

Kirana tahu, kalau sampai Tante Sherly, ibu tirinya mengetahui hal ini, maka berakhirlah kehidupannya di rumahnya sendiri.

 

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Hai, selamat datang di novel terbaruku. Semoga kalian suka, ya?

Jangan lupa tinggalin jejak dengan komen, vote atau jadikan novel ini favorite kalian ya supaya ga ketinggalan update bab barunya.

Enjoy!

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Dylan Si Anak Ajaib

PLAAKK!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kirana sesaat setelah Tante Sherly melihat apa yang Tatiana berikan padanya.

“Jelaskan padaku, apa ini Kirana!!” teriakan Tante Sherly menggema di rumah itu. “Kamu hamil, hah?”

Tante Sherly dengan geram mengangkat test pack itu di depan wajah Kirana.

“Siapa ayah dari bayi itu?” tanya Tante Sherly yang terus memandang tajam ke arah Kirana.

Kirana hanya terdiam. Itu adalah pertanyaan yang akan selalu ia tanyakan seumur hidupnya. Bagaimana ia bisa tahu siapa ayah bayi yang dikandungnya. Ia bahkan tidak tahu harus mulai mencari dari mana.

Tante Sherly tertawa sinis. “Kamu bahkan tidak tahu siapa ayah dari bayi di dalam perutmu itu? Benar-benar wanita murahan!”

Satu lagi tamparan keras mendarat di pipi Kirana. Semenjak Kirana hanya hidup bersama ibu tiri dan saudari tirinya, hidup Kirana berubah total. Kehidupan bahagia yang pernah ia rasakan dulu hilang menguap tidak bersisa sedikitpun. Setiap hari hanya ada hinaan dan perlakuan kasar yang Kirana terima dari ibu tiri dan saudari tirinya.

Kirana masih bisa bertahan karena ada Mbok Inah, seseorang yang selalu berada di sampingnya dan sudah merawatnya sejak kecil.

Tante Sherly yang tidak mau mendapatkan malu karena Kirana yang hamil di luar nikah dan tidak tahu siapa ayah bayi itu, memberikan pilihan pada Kirana. Tetapna bisa tetap tinggal di rumah itu dan menggugurkan kandungannya, atau tetap mempertahankan bayinya, tetapi ia harus keluar dari rumah itu.

Walaupun Kirana tidak siap dengan kehadiran bayi yang tidak ia rencanakan, Kirana tetap tidak ingin membunuh anaknya sendiri. Kirana memilih untuk pergi dari rumahnya sendiri dan ikut dengan Mbok Inah yang memutuskan untuk ikut pergi dari rumah itu.

Kehidupan yang dijalani Kirana tidak mudah. Ia harus belajar untuk hidup sederhana dengan Mbok Inah. Tidak ada lagi kemewahan seperti yang biasa ia dapatkan.

Kirana pun mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhannya walaupun Mbok Inah sudah melarangnya karena Kirana sedang hamil. Kirana menolak menggunakan tabungan Mbok Inah selama ia bekerja merawat Kirana. Ia ingin menata hidupnya kembali dari keringatnya sendiri.

“Non Kirana … Apa tidak sebaiknya Non berhenti bekerja dulu? Kehamilan Non sudah jalan sembilan bulan dan Non bisa melahirkan kapan saja. Saya khawatir, Non,” keluh Mbok Inaah untuk kesekian kalinya.

“Tidak apa-apa, Mbok Inah. Aku belum merasakan tanda-tanda apa pun kok. Lagi pula pekerjaanku juga tidak berat. Aku hanya menjadi kasir di mini market saja.” Kirana coba menenangkan Mbok Inah yang sudah sebulan ini selalu meminta Kirana untuk segera berhenti dari pekerjaannya.

“Non ….”

“Iya, Mbok?”

“Apa Non tidak mau mempertimbangkan Den Bagas?” Sebuah pembahasan yang sedang sering Mbok Inah utarakan sebulan belakangan ini.

“Maksud Mbok?” Kirana mengambilkan sepiring nasi untuk Mbok Inah yang baru saja duduk di meja makan berhadapan dengannya.

Kirana bukannya tidak tahu kalau Bagas, seorang pria yang ia ketahui bekerja di gedung tempat mini marketnya bekerja, menaruh hati padanya. Bagas bahkan tidak mundur ketika Kirana memberitahunya kalau Kirana sedang mengandung dan Kirana tidak tahu siapa ayah dari bayinya.

“Non pasti tahu, kan? Den Bagas itu sudah jelas menaruh hati pada Non.”

Kirana tersenyum mendengar kata-kata Mbok Inah. Tidak pernah terpikirkan oleh Kirana untuk menanggapi ataupun membalas perasaan Bagas. Bagi Kirana, akan tidak adil membawa Bagas masuk ke dalam kehidupannya yang rumit.

Bagas adalah seorang pemuda yang berparas tampan dengan tubuh tinggi tegap yang sudah pasti diincar oleh banyak wanita di sekitarnya. Apalagi Bagas cukup ramah dengan orang-orang di sekitarnya. Ia bahkan kenal dengan para tetangga Mbok Inah yang sudah pasti selalu berjajar di depan pagar setiap kali Bagas berkunjung.

“Kasihan Bagas nanti, Mbok. Dia seharusnya mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari saya. Bagaimana dengan keluarganya nanti kalau tahu Bagas memilih seorang wanita yang hamil di luar nikah dan tidak tahu siapa ayah bayinya?” Jawaban ini sudah berulang kali diungkapkan oleh Kirana setiap kali Mbok Inah mencoba menjodohkannya dengan Bagas.

Bagas memang pintar. Ia mendekati Mbok Inah sebagai salah satu taktiknya mendapatkan hati Kirana. Bahkan Bagas sering berkunjung ke rumah Mbok Inah selagi Kirana bekerja.

“Aduh, Mbok!” Kirana tiba-tiba saja memegang perut bawahnya yang terasa ngilu dan mulas.

“Kenapa, Non?” Mbok Inah mulai panik. Hari kelahiran bayi Kirana memang minggu-minggu ini, tetapi Kirana belum merasakan mulas sedikitpun, sampai malam ini.

“Aduh! Sakit, Mbok!” Kirana mulai meringis. Air mulai mengucur dari kedua kakinya. “Mbok, sepertinya kita harus ke rumah sakit.” Kirana meremas baju tidur yang ia gunakan untuk menahan sakit.

“Mbok telepon Den bagas, ya Non.”

Tanpa persetujuan Kirana, Mbok Inah sudah menghubungi Bagas dengan nada panik yang pastinya akan membuat Bagas segera meluncur menjemput Kirana.

Benar saja tidak membutuhkan waktu lama bagi Bagas untuk sampai di rumah Mbok Inah. Bagas langsung menggendog Kirana dan membawanya ke mobil.

“Bagas nanti mobilmu basah, bangkumu di lapisi kain dulu.” Kirana malah mengkhawatikan mobil Bagas di saat genting seperti ini.

Bagas mengabaikan kata-kata Kirana dan langsung mendudukkan Kirana di bangku belakang dan Mbok Inah duduk di sebelahnya.

“Aaaawww!!” Ringisan Kirana membuat Bagas sedikit panik. Ia semakin mempercepat laju mobilnya.

Rasanya seakan Bagas sedang berpacu dengan waktu untuk menanti kelahiran anaknya sendiri. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang bersalin yang tidak dapat ia masuki. Kirana berada di dalam sedang berjuang untuk membawa seorang bayi ke dunia ini di temani oleh Mbok Inah yang tidak pernah pergi dari sampingnya.

Bagas semakin gelisah ketika mendengar teriakan kesakitan Kirana yang bisa ia dengar dari balik pintu. Dan ketika suara bayi terdengar, Bagas merasa sedikit lebih tenang.

Suara langkah terdengar keluar dari balik pintu. “Ibu Kirana sudah melahirkan seorang putra. Keduanya dalam keadaan sehat.”

Wajah Bagas langsung berubah bahagia. Segala kegelisahannya sirna. Bagas pun menunggu Kirana di pindahkan ke ruang perawatan untuk terus mendampinginya selayaknya seorang suami yang saat ini tidak ada di samping Kirana.

Tiga tahun berlalu. Dylan kini sudah tumbuh menjadi seorang anak lelaki yang berbeda dari anak-anak seusianya. Bila anak-anak seusianya bermain mobil-mobilan atau mainan untuk anak seusianya, di dalam kamar Dylan justru penuh dengan buku-buku science, berbagai alat percobaan dan juga sebuah laptop andalannya, pemberian dari Bagas yang sampai sekarang selalu di tentang oleh Kirana.

Dylan sering membuat Kirana kewalahan. Dylan bahkan baru saja membuat kehebohan dengan mematikan aliran listrik di kantor Bagas dari laptopnya karena ia kesal Bagas membatalkan janjinya untuk makan malam bersama di rumah Mbok Inah.

Dan sekarang di sinilah Bagas, duduk di sampingnya menikmati makan malam bersama.

 

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Hai, selamat datang di novel terbaruku. Semoga kalian suka, ya?

Jangan lupa tinggalin jejak dengan komen, vote atau jadikan novel ini favorite kalian ya supaya ga ketinggalan update bab barunya.

Enjoy!

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!