"Keluar kau dari rumah kami! Perempuan tak tahu diri!"
Teriakan lantang berupa makian di akhir nya itu masih menggema dalam ingatan Keina. Gadis
berpenampilan sederhana yang hanya mengenakan pakaian lengan pendek dan rok di bawah lutut terlihat lusuh, ia berjalan di pinggiran jalan.
Lalu lalang berbagai jenis kendaraan, besar dan kecil di tengah jalan berpohon dan banyak rumput di sisi kiri dan kanannya seakan menganggap Kei sesuatu yang tak berarti. Tiada seorang pun yang peduli pada nya.
Kepala tertunduk, sorot mata berlinang air mata itu menatap dalam aspal jalan yang terlihat gelap. Dia menautkan kedua jari telunjuk membentuk lilitan janji jari kelingking.
Air mata membasahi pipi, tersamar hujan deras di malam hari. Pakaian basah, ia mulai kedinginan. Sementara sama sekali tidak mempunyai tempat singgah, setidaknya untuk berteduh sebentar saja.
Rumah yang ia tempati dan tumbuh besar hingga beberapa jam yang lalu telah mengusir nya. Sebagai tanda jika Kei tidak bisa kembali setidak nya untuk menyinggah sementara.
Hanya karena dilihat perpelukan dengan lelaki, Kei di usir. Namun lelaki itu bukan lelaki sembarangan, dia adalah Leo, pria yang digemari adik angkatnya, Kara.
Kecemburuan sebab kakak angkat nya perpelukan dengan pria yang digemari nya padahal baru pagi, awal masuk sekolah kelas sebelas ia memutuskan mengatakan perasaan cinta. Dan di terima.
Belum melakukan apapun terhadap pria itu,
hanya memegang tangan. Dan Kei, Kara rasa sudah mengambil bagian lebih besar itu dari pada nya.
Api membara menyapu semua kebaikan yang pernah di lakukan Kei pada Kara menjadi segeganggam debu. Memutuskan otak iblis menguasai nya,
Kara mengadu pada ibu dan ayah kandung nya.
"Syukur-syukur kami masih memberi kau makan! Sekarang, apa balasan mu untuk kami, perempuan penghianat! Menyesal aku buat kau jadi putri ku!"
Menangis dan meraung minta jangan diusir, tapi tiada yang bisa di lakukan selain mengikuti perintah.
Kekuatan dua bodyguard di rumah itu berkali-kali lebih besar dari nya. Kei di campakkan keluar dari rumah itu. Ia di usir, dan berjalan keluar dari lingkungan asri, tempat para orang berada berkumpul.
Hatinya sedih, pilu dan merasa tak berguna merasuk di jiwanya. Kei, merasa di dunia ini dia tidak punya arti.
Berusaha semaksimal mungkin agar orang dalam rumah tempat ia tinggal dan menetap menyukai nya.
Kei melakukan segala sesuatu dengan sangat baik. Walau hanya mampu mengemas rumah tiap hari, memasak dan mengurus keperluan adik nya yang manja. Hanya hal kecil itu yang bisa dilakukan nya untuk sementara ini.
Kei, sudah terlanjur baik pada perempuan yang sembilan tahun lebih muda dari nya itu.
Awalnya, ia memerankan diri sebagai asisten rumah tangga agar mendapatkan hati ayah dan ibu angkat nya, lama kelamaan menjadi pelayan melebihi babu.
Kei tidak di bayar dengan uang, hanya sepiring nasi setiap harinya. Menyebabkan ia sangat kurus dan kekurangan gizi.
Lihatlah, tubuhnya sudah sempoyongan berjalan. Ia tidak sanggup melanjut kan perjalanan yang jujur tidak ia ketahui nya mau bermalam di mana.
Hampir satu setengah kilometer dia berjalan. Dia meneguk saliva yang terasa mengering, tak mendapat air.
Sesekali menjulurkan lidah menghadap langit, hanya mendapat beberapa tetes saja. Haus, namun pegal pada leher yang melengkung terus-terusan.
Ia tak tahan, Kei yang malang hanya mampu berharap Tuhan masih menolong nya. Memberi sesuatu berharga bagi nya, setidaknya menemani gadis itu tidak sendirian. Sebab jujur, Kei tidak pernah memiliki teman.
Bahkan semasa ia di panti asuhan selama 6 tahun, anak-anak seusia nya menjauhi nya, seakan menganggap Kei sebagai sebuah mahluk tak kasat mata.
Hanya ibu penjaga panti menemani nya. Karena dia pendiam dan tak mudah bergabung dengan masyarakat. Ia pemalu.
Bisa dihitung, kurang dari seratus orang yang bertemu dengannya seumur hidup nya. Dan berkenalan, kurang dari lima puluh orang.
Itu pun terjadi karena suatu paksaan. Entah ada seminar khusus anak anak panti, lalu bertemu dan berkenalan dengan orang lain menemui nya, dan mulai berkenalan.
Lelah berat menyerang nya. Kei terpaksa harus duduk di atas batu dan menyeka keringat bercampur air hujan yang menetes dari angkasa.
Di sekitar, terlihat ada banyak orang. Laki-laki dan seorang perempuan cantik berpakaian sangat seksi.
Bahkan ada yang dua sampai tiga, mereka begitu mesra, seakan tak peduli dengan pandangan Kei, sebagai orang risih yang melihat nya.
"Hey perempuan cantik," seorang lelaki mencolek rahang Kei.
Di sekitar lelaki itu terdapat dua wanita bersolek tebal dan seperti nya mempesona bagi lelaki bertubuh gendut dan tampak bergairah namun begitu menjijikan bagi Kei.
Sontak Kei menoleh, ia melemparkan pandangan tak suka. Berdiri, entah mendapat kekuatan dari mana, "Jangan macam-macam, ya!" menepis, dan segera berlari dari sana.
Kei hanya mendengar suara gelak tawa dan ucapan berupa lontaran kuat meremehkan dari mulut pria tua, hidung belang itu.
Rasa takut menguasainya, hingga…
Dugh!
"Awh," ia meringis kesakitan kala kepala nya terbentur sangat kuat, oleh benda keras berakhir kenyal seperti seogok daging hewan di pasaran.
Tapi apa ada pasar mendadak di sini? Seingat Kei tidak ada. Mengingat sembari berlari, gadis itu menunduk sesekali menoleh ke belakang.
Cara utama mengetahui nya hanya lah Kei harus melihat siapa pemilik benda keras berakhir kenyal bertubruk pada kepala nya barusan.
Ia memijit kening yang terasa nyeri itu. Mengangkat kepala, pandangan Kei beradu pada seorang pria berwajah tampan dan dingin yang terlihat sempoyongan berdiri.
Mata memerah, dan racauan sedari tadi Kei dengar tapi di hiraukan nya. Terasa bahu nya dipegang oleh pria itu, "Temani aku sayang!" menarik tangan Kei.
"L-lepaskan!" Kei mencoba melawan genggaman tangan besar dan kuat serta kokoh pria itu. Namun tak kunjung berhasil.
"T-tolong! Siapapun, tolooongggg!"
Tiada yang prihatin pada nya.
Kei tidak mengerti, sedari tadi mencoba melawan. Orang-orang melihat nya karena suara keras nya itu.
Tapi hanya melempar pandangan takut, entah takut karena apa. Berbisik-bisik dengan pasangan di samping nya.
"Dia wanita pilihan CEO."
Hanya itu berhasil di dengar nya sebelum Kei di campakkan, masuk ke dalam mobil mewah keluaran tahun ini.
Tak hanya sampai di sana. Pintu di tutup, dan pria itu berada di atasnya. Menatapnya dengan pandangan bergairah. Kei semakin takut menatap netra biru pria berahang tegas tersebut.
"L-lepaskan, tuan… Tolong," pergelangan tangan sudah dikunci, Kei membuang wajah ke samping, air mata membasahi pipi, jatuh ke kursi lembut kepemilikan pria itu.
"Tidak sayang. Tidak, temani aku malam ini!" telunjuk pria itu menyentuh sudut wajah Kei. Mulai dari garis pertengahan rambut hitam legam nya, sampai telinga Kei.
Memperlakukan begitu lembut nya. Namun Kei sangat risih. Tiada yang bisa dilakukan. Ia di sekap secara lembut.
Melucuti pakaian Kei. Pria itu melakukan tindakan sebagai pria bajingan. Kei menangis kesegukan saat pria itu sudah tertidur menggatikan posisi nya.
Ia keluar dengan langkah kaki terlatih-latih, sudah tidak ada harapan lagi dan kebanggaan bagi diri nya. Kei sudah kotor dan dia benci mengakui nya.
Pakaian yang dikenakan pun tampaknya sudah mengering. Sejam lelaki itu melakukan tindakan tak berperikemanusiaan nya pada Kei.
Kei juga takut kalau lelaki itu melakukan tindakan kasar nya seperti tadi jika Kei berlama-lama menangisi kebodohan nya menjadi wanita lemah.
***
"Aku di mana?"
Kei berkata nada suara lemah. Membuka mata dan tampak cahaya sangat terang dan menyilaukan menembus retina mata nya. Hanya telapak tangan menghalangi cahaya terang itu.
"Kamu ada di rumah ku, nak."
Sontak Kei menoleh ke sumber suara. Ungkapan dari mulut seorang wanita menarik perhatian nya.
"Siapa kamu?" ia bertanya garang, sejujurnya ada nada takut terselubung dalam dirinya. Matanya membulat, dengan posisi kini duduk, ia menatap wanita dengan senyuman manis terukir di bibir tuanya.
Bisa saja wanita itu orang suruhan pria bajingan yang telah memerkosa nya entah sudah berapa jam waktu ia lewatkan hingga sampai di sini.
"Perkenalkan, aku Gina. Panggil saja bibi Gin kalau ingin mengenal ku lebih jauh lagi. Dan mengenai mengapa kau ada di sini, bibi punya penjelasan untuk mu."
"Jadi gini, sewaktu anak teman bibi pergi, ia menemukan mu di semak-semak dekat perumahan ini. Tubuh mu sangat kacau, dan… Yah, tampak nya kamu dan suami mu baru melakukan nya."
"Tidak! Dia bukan suamiku!" bantah Kei segera.
Wanita berwajah segar dan berpostur tubuh gendut itu menatapnya aneh, "Tapi inti tubuhmu? Maaf, tapi sempat dokter datang kemari. Dan kata beliau, ada sedikit perobekan pada inti tubuh mu. Selain tidak berhubungan, bibi rasa tidak ada sebab lain kecuali kecelakaan. Tapi tubuh mu tampak baik-baik saja."
Kei tertunduk. Dia menatap dalam kasur hangat dan lembut yang kini di duduki nya.
"Tadi juga kata dokter inti tubuh mu membengkak dan memar. Seharus nya tidak diperbolehkan setelah berhubungan, melakukan perjalanan panjang. Apa kamu punya masalah dengan calon suami mu?"
"Tidak!"
"Lalu?"
"Aku belum pernah menikah, setidak nya bertunangan, nyonya!"
"Hmm, apa dia pacar mu?"
"Sudah ku katakan! Dia bukan siapa-siapa ku! Jangan banyak tanya, nyonya! Aku tau kamu utusan laki-laki brengsek itu!"
"Arghhh!!"
Kei menjambak kasar rambut nya.
Semakin membuat wanita itu mengeryit, namun lumayan mengerti dengan maksud Kei.
"Ini, minumlah dahulu. Buat pikiranmu kembali segar," wanita itu menyodor kan secangkir teh dengan lembut dan penuh kasih sayang serta kesabaran.
Namun tangan Kei malah menepis teh hangat dari tangan Gina hingga tumpah dan membentuk remahan kaca sebab terbentur dinding.
Gina menghela napas dan tersenyum tipis. Bangkit dari posisi duduk nya dan mengutip remahan kaca, "Aku tau hal itu menyakitkan bagi mu, nak," suaranya berubah parau.
"Tapi percaya lah, bukan hanya kau yang bernasip naas seperti itu."
"Karena anak ku, dia juga seperti mu…"
Pandangan Kei berubah penasaran. Dia menatap Gina yang memunggungi nya.
"Dulu anakku adalah gadis periang. Berubah pendiam dan tertutup. Sering berteriak ketika di pegang bagian tubuh nya. Ntah itu lengan, atau sesulur rambut nya."
"Aku dan almarhum ayah nya yang meninggal beberapa bulan lalu sudah menghubungi psikiater. Tapi tak kunjung berhasil karena tak mendapatkan sedikit pun dukungan dari masyarakat, orang sekitar."
Kalimat terhenti. Gina berdiri dan berjalan. Berhenti di samping Kei.
"Kau tau kan, nak? Orang yang dilecehkan seperti itu tidak di terima masyarakat. Hanya di anggap sampah masyarakat karena di kira adalah salah satu wanita nakal."
Kei mengangguk.
"Di sana, anak ku semakin depresi. Berangsur gila. Ejekan dan hinaan begitu gencar diterima nya."
"Anakku meninggal karena menubrukkan kepalanya ke dinding hingga geger otak. Dia meninggal dua tahun lalu."
Kei merasa semakin bersalah dengan cerita singkat yang baru diceritakan Gina pada nya.
"Maafkan aku bi. Aku tersulut emosi. Aku kira, bibi orang suruhan laki-laki kejam itu."
"Tak apa," Gina berjongkok. "Aku tau kau marah sekali. Dan sudah menjadi hal biasa kalau dalam kemarahan bisikan setan benar-benar menguasai."
"Apalagi ketika pikiran mulai disasarkan kepada hal miring yang mulai bermunculan, bahkan mau saja kita mengikuti. Kita manusia. Penuh salah dan dosa. Bibi memaafkan mu."
***
Dengan ditemani semua nasihat mendidik bibi Gina, Kei benar-benar kembali merasa hidup.
Walau ia tau, dirinya tak sesempurna dahulu. Ia sudah berubah menjadi seorang wanita. Bukan gadis suci lagi. Karena lelaki bajingan itu telah melepaskan keperawanan nya.
Kehormatan yang seharusnya menjadi milik suami nya kelak. Ntahlah, Keina tidak tau siapa pria yang akan menikahi nya jika tau keadaan nya seperti ini.
"Hey, Kei. Apa kabar? Kok melamun gitu sih? Masih pagi-pagi kok, udah melamun aja. Lamunin apa sih?" Celica, sahabat Kei. Datang menghampiri Keina yang tengah melamun.
Keina sontak menoleh. Ia terkejud, namun hanya menarik napas tanpa menghela nya beberapa detik. Mata membulat lebar. Bahkan wajah nya berhasil menjadi bahan tertawaan Celica, anak teman bibi Gina.
"Hahah, kamu sangat lucu Kei!"
Kei mendengus, "Bukan sekali ini aja, Cel."
"Iya… Tapi tetap lucu aja menurut aku. Hahah. Gimana sih kamu bisa selucu ini?"
"Aku tidak sedang membuat lelucon, Cel."
"Haha, iya-iya. Aku ngerti. Kamu pasti mikirin laki-laki yang akan nikahin kamu, kan? Mengingat keadaan kamu…" kalimat Celica tergantung.
"Ssstttt, sudah, diamlah!"
Celica tertawa, wanita yang usianya hanya terpaut lima tahun dari Kei yaitu 29 tahun dan memiliki anak tiga dari pernikahan nya itu sudah diberitahu dengan keadaan Kei oleh bibi Gina.
Dan dia mengerti. Sering-sering datang kemari. Bahkan sejak dua minggu di beritahu.
"Yakinlah, Kei. Pasti ada laki-laki yang mau menikah dengan mu. Tidak semua lelaki sama saja, Kei."
"Tapi mau cari di mana Cel? Sampai satu dunia ini pun, tak ada!"
"Suamiku?" Celica mendekatkan tubuhnya yang sedari tadi duduk sejak ia sampai dan menyapa Keina. Memainkan mata, seakan memberitahu sesuatu, maksud lain di balik itu.
"Maksud mu, aku menjadi perebut suami mu? Ah, tidak lah, aku bukan pelakor seperti di sinetron, ibu Celica yang terhormat. Keina Natalia ini masih punya pekerjaan lain selain merebut hak milik seseorang!"
"Terus? Kamu mau pergi sama si bajingan brengsek itu!? Kamu tau siapa dia dan di mana!? Ya ampun, Kei! Kenapa gak dikasih tau aja sama aku? Biar aku pukuli dia sampai lenyot sebelum nikahin kamu!"
"Haha, tidak lah, ibu Celica yang terhormat. Aku tidak tau siapa dan asal-usul nya. Sekalipun aku tau, aku ragu dia aka menikahi ku."
"Maksud mu, kalian hanya one night stand?" Celica terkejud. Pasal nya selama ini Kei tidak pernah di beritahu akan cerita ini.
Hanya mengangguk. Belum berkata apapun pada Celica. Kei sudah pergi dari tempat duduk dan menuju kamar mandi dengan menutup mulut.
"Huek!"
"Kamu kenapa, Kei?" Celica mengejar perempuan itu.
Kei menggeleng begitu kuat dan melanjutkan muntahnya lagi.
Lima menit.
Celica hanya bisa memijit leher belakang Kei. Sementara Kei muntah, cairan lengket dan terkesan menyengat.
"Sudah?" Celica menunjukkan raut prihatin.
Kei mengangguk.
"Ayo duduk di sini," Celica menuntun Kei ke kursi dapur, di luar kamar mandi.
Menuangkan teko berisi air ke gelas, "Minum ini," Celica memberi minum kepada Kei.
Kei menerima nya. Wajahnya mendadak pucat dan lemah. Bahkan perlu pertolongan untuk minum saja.
Baru dua tekuk. Kei kembali berlari menuju kamar mandi selurus kursi meja makan di dapur.
Begitu lah seterus nya. Celica tidak tahan lagi untuk berkata hal yang merupakan kenyataan yang ia tebak sedari tadi.
"Aku kenapa Cel?" Kei, sudah sangat sangat lemah. Mengatupkan kelopak mata serasa sulit sekali.
"Maaf, tapi menurut perkiraan ku kamu hamil, Kei."
Degh!
****
"B-bagaimana bisa?"
Kei menutup mulut. Membelalakkan netra sebagai tanda keterkejutan yang dirasanya. Ia tidak percaya. Hamil? Bukankah...
"Karena kamu wanita dewasa Kei. Segalanya bisa terjadi jika sudah melakukannya," Celica menjawab seadanya.
Wanita beranak tiga itu sejujurnya kasihan dengan Kei. Tapi yang bisa dibuat? Lelaki yang sudah melakukan hal itu pada Kei saja tidak kelihatan batang hidungnya.
Mengingat menurut cerita bibi Gin dari narasumbernya yaitu Kei, Kei dan pria itu melakukan percintaan satu malam.
Setelah melalui malam yang panjang, sama sama tak dikenal menjelang paginya. Namun di situ Celi tidak menganggap Kei wanita murahan.
Karena sahabat baiknya, anak bibi Gin juga mengalami kejadian sial sama seperti nasip Kei.
"Sabar ya, Kei," Celi mengelus bahu Kei.
"Apa yang sabar, bunda Hyan?"
Pandangan Kei dan Celi mengarah ke sumber suara.Ada bi Gin di samping kulkas. Menatap penasaran akan perbincangan kedua perempuan ini.
Bunda Hyan adalah sebutan untuk Celi karena anak pertamanya bernama Hyan. Kei tidak menyebut Celi dengan bunda Hyan, karena Celi tidak mengizinkan. Mengingat usia Celi dan Kei tidak terlampau jauh.
"Kei hamil, bi," ungkap Celi jujur.
Bi Gin menghampiri Kei. Setelah ia menutup mulut, ada naluri jika ia harus menenangkan perasaan Kei, si perempuan yang kini berwajah pucat bagai mayat.
"Sabar ya nak. Berpikirlah positif. Jangan depresi hingga pikiran iblis menguasaimu," pesan bibi Gin. Air mata membasahi pipi bibi Gin dan tak lupa ada Celi.
Kedua perempuan itu, sudah pernah kehilangan satu orang yang paling mereka sayangi. Anak bibi Gin, teman Celi sejak kecil. Malah mati muda… Dengan janin tak berdosa hasil perbuatan bejat lelaki yang sudah mati seminggu setelah anak bibi Gin meninggal.
Sedang Kei menatap terharu. Ia masih tidak percaya, ternyata masih ada orang baik yang mau menerima keberadaannya walau seperti ini.
****
Enam setengah tahun kemudian.
Sinar matahari hangat terbit, perlahan menggeser cahayanya memasuki setiap celah yang mampu dimasukinya.
Sebuah rumah rapi dengan jendela transparan sebagai dinding di beberapa ruangan tertutup gorden dua lapis.
Susunan cat, palet, kanvas. Kertas demi kertas, membentuk buku tebal terbuka di atas meja. Tulisan sangat rapi, sepertinya membentuk suatu cerita panjang di dalamnya.
Tiga ranjang berukuran mini ditempati tiga orang anak sedang tidur, tentunya. Dua perempuan, satu laki-laki. Mereka sangat nyenyak dalam alam mimpi.
Tok, tok, tok. Pintu dalam ruangan menyatu kamar dan ruang permainan, diketuk lembut oleh seorang wanita cantik berpakaian sederhana tampak memegang nampan berisi tiga piring.
"Anna, Alice, Andre. Bangun nak," wanita itu menyerukan nama anak-anaknya.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik.
Ceklek.
"Bunda!"
"Bunda!"
"Bunda!"
Tiga anak balita itu seperti biasanya selalu mengagetkan Kei, nama panggilan wanita itu. Ketiga anak, memeluk di berbagai sisi, bagian kaki panjang berbalut celana hitam karet milik Kei.
"Haha, tunggu sayang. Jangan terburu-buru," Kei segera meletak nampan di atas meja dekat posisinya. Di sana terdapat susunan buku cukup tebal tampak sudah dicetak rapi.
Kei berjongkok, menunjukkan senyuman manis, keibuannya. Menatap tiga anaknya. Ya, tiga anak. Anak yang dikandung, dan dilahirkannya secara cesar lima setengah tahun yang lalu.
Anna, Alice, dan Andre, nama ketiga anak-anaknya. Sangat cantik dan tampan. Mata biru, dan rambut pirang menjadi dominasi permukaan wajah mereka.
Nampaknya tiada dari raut wajahnya ditiru oleh anak-anaknya kecuali kenyataan yang tidak pernah bisa terbantahkan, yaitu Kei adalah wanita yang melahirkan ketiga jagoan cilik ini!
"Selamat pagi sayang-sayang bunda!" sambut Kei melebarkan telapak tangan.
Dan anak-anaknya segera mendekatkan tubuh mereka ke dalam pelukan hangat ibu mereka.
"Pagi bunda!"
"Pagi sayangnya Alice."
"Pagi bundaku yang jelek!"
Dan begitulah Kei disebut oleh ketiga anak-anak kembarnya. Anna, si kakak besaran, biasa menyebut mamanya.
Sedang Alice, gadis cilik itu sangat sayang dengan mamanya. Uh, terlihat sekali jika Alice anak mami, sayang keluarga!
Serta Andre, dengan segala keusilan yang membentuk dirinya, entah dapat dari mana sifat itu, mengejek Kei, mamanya adalah kebiasaan usilnya tiap hari.
Karena menurutnya, tiada orang yang lebih luar biasa dari padanya.
***
Hari biasa yang terasa spesial di setiap detik-detik waktu berjalan.
Kei sangat menikmati harinya dengan secara terkadang memperhatikan ketiga anaknya dari sofa di ujung ruangan berkaca di mana udara dan cahaya bisa masuk dengan bebas.
Anna, dan Alice, sedang melakukan pekerjaan luar biasa yang jujur tidak pernah mampu dibayangkannya dari awal.
Anna duduk di atas bantal khusus tempat duduk, menghadap canvas dan mulai menyolek sedikit demi sedikit canvas berbidang putih itu dan memulai imajinasi dengan tangan gembul nan kecilnya.
Alice, menulis dengan pensil di atas meja. Mengoret kata demi kata dari pikirannya hingga membentuk suatu cerita hari-harinya.
Kedua anak perempuan yang sungguh berbakat. Tidak ada unsur paksaan dilakukan Kei agar anaknya tampak baik dalam pandangan orang.
Anak-anaknya melakukan segala sesuatu dengan suka hati, dan Kei hanya perlu memberi ruang untuk bakat luar biasa ketiga anaknya walau pekerjaan sebagai penulis online seperti kebiasaan selama dua tahun sejak ia mulai merasa bosan dan tiada kerjaan.
Keadaan sunyi.
Sedang Andre, dia lelaki cilik yang juga berbakat. Tapi seperti kebiasaannya, dia akan pergi keluar. Tentu, melakukan pekerjaan sehari-hari.
Andre berbuat usil!
"Bunda Anna!"
Seorang wanita bertubuh gendut dan dengan raut wajah marah berada di depan pintu.
Kei tersenyum samar, berdiri dari sofa tempat semula ia duduk, "Ada apa Bunda Wage?" tanyanya ramah.
"Ini masalah Andre! Liat, anakmu buat masalah lagi dengan keluargaku!" tangan wanita yang sedari tadi menyimpan di belakang menunjuk taukan seorang anak kecil yang menunduk setelah dipersilahkan berada di samping wanita itu.
"Andre?" tangan Kei segera menarik Andre, pria kecilnya dan menggendong tubuh anak itu dari pada nantinya akan dipukuli oleh wanita yang tampaknya geram seperti tetangga-tetangga lainnya di tempat Kei berada ini.
"Dia pasti usil lagi ya, bunda Wage?" sudah menjadi kebiasaan Kei bertanya pada orang yang datang jika menyangkut masalah Andre.
"Ya! Anak licik itu udah habisin uang jajan anakku!" adu wanita itu.
Kei tidak mengernyit bingung lagi jika masalah Andre. Pastinya Andre tipu anak bunda Wage ini supaya memberinya uang.
"B-baiklah, aku mengerti bunda. Berapa uang jajan yang di ambil Andre dari anak bunda?"
"Sepuluh ribu!" tegas wanita itu.
Segera Kei merogoh koceknya dan mengambil uang dari sana. Tapi terhenti karena Andre berkata padanya.
"Jangan mau bund! Bunda Wage berbohong!"
"Etts, kamu jangan suka bilang gitu nak. Tidak baik."
"Tapi bund, Andre tidak berbohong! Tadi hanya dua ribu!"
Andre berseri keras. Tapi Kei menghiraukannya.
"I-ini bun uangnya. Maafkan anakku ya bun."
"Ya, ya, ya! Aku maafkan! Tapi memang udah jadi hukum alamnya, ya! Anak haram, ya tetap anak haram! Kelakuan sama aja haramnya!"
Wanita itu pergi.
Kei merasa terluka dengan lontaran perkataan itu. Seluruh warga di sini sudah tau kalau ketiga anak-anaknya lahir tanpa ayah.
Tapi ia tidak bisa bantah kenyataan itu. Anaknya memang hadir karena dia diperkosa. Namun jiwanya sudah kuat. Dan dia terus menguatkan iman pada Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari bisikan iblis yang penuh siasat dan tipu muslihat.
"Bunda kenapa kasih bunda Wage uang yang besar sekali jumlahnya? Bukannya Andre hanya mengambil dua ribu?" nada suara Andre terdengar takut.
Kei tau perasaan putra bungsunya ini. Dia menyisir rambut pendek putranya ke belakang dengan kelima jemarinya, sangat lembut.
"Kamu sudah mencuri nak. Dan harga sepuluh ribu tidak ada bandingnya jika dihitung perbuatanmu. Jangan lakukan itu, atau bunda hanya akan marah padamu," ancam Kei lembut. Masuk kembali ke rumah setelah wanita itu menghilang dari jarak pandangnya.
Bukan Kei tidak pernah melanggar kelakuan anak itu.
Tapi Andre punya banyak cara agar keluar dari ruangan yang sering dikatanya sangat membosankan!
Lagi pula Andre masih kecil. Kei yakin Andre tidak sengaja walau tau ini sudah kesalahan ketiga selama minggu ini.
Andre anak bijak. Dan Kei juga yakin jika Andre hanya lelah dengan warga yang terus menjauhi mereka seakan keluarga kecil tanpa kepala keluarga ini adalah kumpulan sampah masyarakat.
****
"Bunda Anna. Oh, bunda Anna. Dimanakah dirimu?" panggilan dari balik pintu kamar, suara sederhana dan menggema.
Pukul dua belas kurang, Kei baru saja menidurkan ketiga anak-anaknya. Segera bangkit dari sudut ranjang putra bungsu yang tengah tertidur pulas.
"Tidur nyenyak-nyenyak ya, sayang-sayang bunda," ia menutup pintu.
Kei menghampiri orang yang masih saja berteriak di ruang tengah, "Bi Gin? Tumben datang kemari. Duduk, duduk. Silahkan duduk bi."
"Makasih."
Kei dan wanita tua itu duduk di sofa.
"Gimana Kei, kau tinggal di rumah ini? Nyaman kah?"
Kei mengangguk-angguk, "Lumayan bi."
"Loh, kok, lumayan, sih?" bibi Gin mengeryit.
"Jadi harusnya Kei bilang apa, bi?"
"Nyaman lah. Harus nyaman! Kau ini. Padahal bulan lalu bibi udah cape cari rumah buat kau dan ketiga cucu bibi. Oh ya, Kei. Maaf ya. Bibi baru sekarang."
Kei tersenyum kecil, "Tidak masalah Bi. Lagi pula bibi udah sangat baik pada kami. Bibi orang berjasa dalam hidup Kei. Kalau tidak ada bibi, bisa bisa Kei sudah…"
"Sstttt," bibi menutup mulut Kei dengan telunjuknya. "Jangan pikir macam-macam. Bibi udah pernah gagal jaga anak kandung bibi. Dan bibi gak mau gagal untuk kedua kali walau kau bukan anak kandung bibi."
Bibi memeluk Kei, wanita tanpa suami itu sudah dianggapnya sebagai anaknya. Tidak peduli jika Kei bukan lah anak yang lahir dari rahimnya.
Dan Kei, wanita itu selalu terharu dengan semua kebaikan bibi Gin. Bibi Gin sudah bagaikan guru kehidupan baginya.
Wanita tua yang dengan relanya ikut menanggung malu dan melindunginya saat dunia mengetahui Kei hamil di luar nikah. Tanpa suami, dan kemungkinan tidak akan pernah bertemu pria brengsek nan bajingan itu.
"Sudah, sudah. Jangan terlalu terharu. Bibi sudah senang dengan kau sejak awal kita bertemu. Apalagi sewaktu liat kau mirip sama anakku… Memori itu rasa kembali muncul," menghayal sejenak.
Kei mengamati bibi Gin dengan wajah menerka, "Bibi…"
"Ekhm!" bibi mulai sadar. "Oh ya, kemana tiga cucuku itu, Kei?" bibi sesegera mungkin berdiri
"Tidur bi," jawab simple nan jujur Kei. Padahal Kei juga tau, bibi mau cari topik baru agar menyembunyikan kesalahan super mininya itu.
Bibi menoleh dan menghentikan langkah yang masih berjalan setengah meter itu, "Di mana kamar mereka?"
Kei berdiri, "Di situ bi," tunjukknya.
"Di mana?"
"Lurus, belok, teruuuus maju. Di situ kamar mereka, bibiku."
"Tunjukkan lah, Kei!"
"Iya-iya," ungkap sanggup Kei.
Kei menuntun bibi Gin ke kamar putri dan putranya.
Rumah ini, baru sebulan Kei dan ketiga anaknya tempati. Dari hasil jerih payah sekitar dua tahun ia menulis karya-karyanya, mendapat pengasilan dari sana, sedikit dibantu bibi dan sahabat baiknya Celica, yang sering datang kemari, ia akhirnya mampu tempati rumah bergaya minimalis dan modren itu.
"Ini bi, kamar mereka."
Bibi tersenyum lega. Berjalan mengitari beberapa bagian ruangan yang dipenuhi peralatan kesukaan Anna dan Alice.
"Cantik," pujinya. "Bibi suka dengan semua ini," kemudian berbalik. "Kau yang desain semua ini, Kei?"
Segera Kei mengeryit, "Desain? Apanya yang didesain, Bi? Kei buat rumah Kei masih utuh seperti pemberian bibi masa itu."
"Bukan itu yang bibi maksud Kei," tampak bibi sama sekali tidak puas dengan jawaban Kei.
"Lalu?" Kei semakin tidak mengerti maksud bibinya.
"Ini. Lukisan ini, Kei," tunjuknya pada lukisan kanvas yang amburadul, sekedar coretan. Tapi jika semakin dilihat, semakin tampak, sebuah bunga di gambar di sana. "Cantik sekali, Kei! Siapa yang membuatnya?"
"Anna, bi," jawab seadanya Kei.
"Anna!?" ungkap terkejud bibi.
"Sssttt," desit Kei menginstruksikan agar mengecilkan suara.
Kepala bibi menoleh kepada anak yang sedang tertidur sedikit menggerakkan tubuhnya bolak balik di ranjang yang dipisah itu. Tampaknya ketiga batita ini mulai tak nyaman dengan suara bibi Gin.
"Baik. Bibi keluar," final bibi Gin berbisik. Kakinya melangkah maju menjauhi kamar. Diikuti Kei yang memundur.
"Tidur yang nyenyak cucu-cucu nenek yang baik!" masih berbisik sebelum akhirnya menjauh dari sana.
Kembali duduk di sofa.
"Ini bi, tehnya," Kei menaruh teh manis itu di atas meja. Tadi, ia sempat menyempatkan diri menyajikan segelas teh manis di dapur.
"Iya. Sama-sama, Kei."
Kei duduk.
Bibi mendekatkan diri dengan raut wajah tak percaya, "Jadi benar itu lukisan Anna, Kei!?"
"Yaaa, benar bi."
"Kapan Anna belajar!? Hmm, umurnya aja masih lima setengah tahun loh Kei."
"Bibi tidak percaya?"
"Bu-bukan tak percaya, Kei. Hanya saja, bibi rasa luar biasa kalau anak balita seperti Anna… Pandai melukis sebagus itu!"
"Ya, itu buktinya bi. Kei juga sebenarnya tidak percaya awalnya. Tapi setelah mencoba pahami putri sulung Kei, Kei akhirnya turuti saja setiap keperluan dan keinginannya."
"Kapan di mulai, Kei. M-maksudnya kapan kau tau Anna secerdas itu?"
"Lima hari setelah Kei baru tinggal di sini. Kei tidak terlalu memperhatikan anak-anak Kei. Mereka aktif seperti biasanya, bi. Maka Kei kelelahan."
"Maafkan bibi ya Kei. Bibi banyak kerjaan juga pada saat itu. Maka kurang perhatikan kau dan anak-anakmu, bahkan tidak mampir sekedar bantu-bantu," ungkap menyesal bibi Gin.
"Sudah berlalu bi. Lagi pula bukannya bibi yang minta petugas angkat barang supaya susun barang, prabotan Kei."
"Iya-ya. Hmm, lanjutkan ceritamu, Kei."
Kei mulai, "Waktu itu ada tetangga yang mengecat dinding rumahnya. Dan Anna ambil cat serta kuas buat coretan di dinding. Tetangga marah, dan begitulah seterusnya. Sampai Kei lelah, lebih baik membeli buat anak Kei semua peralatan melukis. Ternyata semakin lama semakin bagus."
"Ada yang ajarin Kei?"
"Ada, bi. Namanya Tessa. Dia gadis baik, tinggal di samping rumah Kei. Tapi sejak dua hari lalu tidak datang ke rumah katanya tidak diizinkan lagi oleh bundanya."
"Warga sini tahu pasal aib kau ya, Kei?"
"Mungkin," Kei menghela napas. "Tapi dari mana bibi tahu?"
"Tadi. Bibi dengar ada warga yang bisik kalau perempuan yang tinggal rumah ini adalah perempuan penghibur."
Degh!
Kei menutup mata. Dia menggenggam tangannya. Sabar Kei, sabar. Begitulah suara hatinya berucap.
Tangan bibi mengelus bahu Kei, "Bibi yakin kalau kau tidak seperti itu, nak. Bukannya kau terus tinggal di rumah? Tidak ada kan laki-laki hidung belang yang datang dan menggodamu?"
Kei menggeleng lemah. Suaranya menyerak, sejujurnya wanita muda itu menangis. "Tidak Bi. Hanya saja ada bapak-bapak yang sering lirik Kei sewaktu jalan keluar beli bahan dapur. Maka kemungkinan terbesar mereka pikir Kei yang menggoda bapak-bapak genit itu."
Tangan bibi naik ke atas kepala Kei. Bibi menyentuh dan mengelusnya secara lembut, "Jangan bersedih, sayang. Apa kau tau? Mereka itu hanya cemburu melihat kecantikanmu. Dilain sisi mereka juga takut kalau kau merebut suami mereka seperti wanita pelakor. Maka mereka menimbulkan asumsi itu. Apalagi dengan statusmu sebagai single mom, tentu saja mereka pikir kau kupu-kupu malam. Tidak ada suami yang terlihat hingga detik ini."
"Tapi Kei sudah katakan kalau suami Kei sudah meninggal, biii!" Kei berucap tersedu-sedu.
Bibi segera membawa tubuh wanita muda yang dianggapnya sebagai putrinya itu ke dalam pelukannya. "Bibi tau kesedihanmu. Tapi mau gimana pun, kau tidak tahu lelaki yang pernah memperkosamu itu masih hidup atau tidak. Tapi–" ucapan bibi terhenti.
"Lebih baik dia meninggal, bi! Mati, lalu lebih mudah diadili malaikat maut! Biar dia terbakar sampai ke tulang-tulangnya terus begitu siklusnya sampai dia meminta maaf dengan Kei!"
Bibi mendengarnya merasa ngeri sendiri. "Kalau dia sudah mati, gimana caranya dia minta maaf padamu, sayang? Walau dia jahat padamu, kau tak boleh mencacinya seperti itu. Kalau tak ada dia dan spermanya, tidak ada Anna, Alice dan Andre yang begitu kau sayangi. Ingatlah, semuanya indah pada waktunya. Kita sebagai manusia, sepatutnya mengikuti jalur. Tak ada sesuatu yang baik kalau tak melalui sebuah alur sulit dan mencekam. Tidak ada kebahagiaan, kalau belum melewati kesusahan dan penderitaan. Dengan melewatinya, kita akan belajar gimana menghargai apa yang kita punya sekarang," jelas bibi panjang lebar.
Kei mengangguk mengerti. Bibi menyeka air mata Kei. "Bibi dengar mereka juga mencaci kelakuan anak-anakmu?" tebak bibi.
Kei mengangguk. "Iya, bi."
"Hm, gini. Tetangga, adalah orang yang paling memantau sekitar. Mereka bagaikan CCTV paling aktif dan paling kritis. Anak-anakmu dikritik seperti itu, bukan karena mereka benci. Namun mereka justru sayang padamu dan ingin kau memperbaiki sifat dan kelakuan anak-anakmu dengan menasehatinya. Justru jika mereka berdiam diri, di sana mereka justru membencimu," jelas Bibi panjang-lebar.
Bersambung…
"Bunda!"
"Nenek!"
Kedua balita Kei berlarian dari ruang mengasah bakat mereka.
Kei sedang berbincang dengan bibi Gin, harus terhenti karena suara menghebohkan itu.
"Ada apa Ann?"
"Kenapa Al?" tanya Kei dan bibi Gin secara bersamaan. Kedua perempuan muda dan tua itu begitu penasaran dengan Anna dan Alice yang datang memeluk tubuh Kei dan bibi Gin.
"Di-dik, Andre ma," Anna berbicara nada gemetar ketakutan. Sambil menunjuk-nunjuk kamar sekaligus ruang mengasah bakat mereka itu.
Kei dan bibi Gin saling pandang. Bibi Gin bertanya dengan matanya. Dan dijawab Kei mengangkat bahu.
Bibi Gin memegang bahu Alice, anak kedua Kei itu, "Ada apa, cucu bibi?"
"Di-dik Andre, di-dia seram sekali nek!"
"Seram?" Kei dan bibi Gin mengucapkan kata-kata secara bersama. Saling memandang, kembali bertanya, "Apa maksudnya?"
Bibi Gin mengusap wajah Alice yang dipenuhi peluh, "Coba beritahu nenek. Dimana Andre, cucu bibi yang jahil itu, hm," bibi Gin menenangkan.
Alice langsung menarik tangan bibi Gin. Membawanya ke ruangan tempat seharian penuh Anna dan adilnya Alice melakukan aktivitasnya.
Mengingat tetangga tidak menyukai mereka, apa boleh buat. Anna dan Alice kedua gadis kembar yang tenang tidak seperti Andre anak lelaki jahil tersebut.
Mengikutkan Kei yang dibawa Anna, bibi Gin dan Kei melihat tiada siapapun di sana.
"Kenapa tidak ada Andre, An? Kemana dia, Al?" Kei penasaran. Memandang sekitar. Tapi tidak ada Andre yang berwajah seram seperti dikatakan kedua putri kembar Kei ini.
"Ti-ti-tidak tau ma. An lihat dengan adik Alice wajah adik Andre seram! Dia buat kami terkejut!" aku Anna terbata-bata sebab takut.
Kei kembali memandang bibi Gin yang melihat lewat dinding kaca tebal di hadapan mereka.
"Bibi melihat apa?"
Bibi Gin tidak berkata apapun. Tapi dia menunjuk ke satu titik tanpa berkedip. Kei penasaran, ikut juga memandang ke arah itu.
Di perempatan jalan perumahan terdapat seorang pria bertubuh tinggi, atletis. Membawa seorang anak dalam gendongannya.
Kedua orang itu tampak tertawa ntah apa yang dibicarakan. Berjalan mengarah kepada rumah milik Kei.
Kei menyipitkan mata, instingnya berkata jika anak kecil berjenis kelamin lelaki itu adalah Andre, putranya yang jahil.
Kemudian keluar untuk memastikan kesebenarannya. Diikuti bibi Gin, Alice dan Anna yang digandeng bibi Gin.
"Selamat pagi nyonya Keina," sapa ramah pria berwajah tampan berpakaian kemeja batik dan celana panjang di hadapan Kei.
Kei mengeryit, "Dari mana anda tau nama saya?" tanyanya curiga.
"Putra anda Andre memberitahukannya pada saya," pria itu tersenyum dan menglurkan tangan kepada Kei, "Perkenalkan nama saya Samuel Aiguan. Panggil saja Sam."
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tiada respon. Kei menatap selidik pria satu-satunya yang pernah datang ke rumah ini setelah sekian lamanya.
Kei hanya mengambil tubuh putranya dengan dingin dari pria itu, "Apa maksud anda?" ntah mengapa Kei tidak suka dengan lelaki ini. Memutuskan dirinya menaikkan volume suaranya setelah lelah memelototi pria itu.
"T-tidak. Saya tidak bermaksud apa-apa nyonya," jelas Sam singkat. "Putra anda bertengkar di taman dan saya kebetulan lewat langsung menghentikan perdebatan mereka."
"Lalu anda minta apa untuk JASA anda yang hebat itu!?"
"Tidak. Saya tidak meminta apapun nyonya."
"Lalu kenapa datang kemari?"
"Kaki putra anda pincang sebab terjatuh. Saya menolongnya membawa kemari karena saya yakin kalau putra anda tidak bisa pulang ke rumah dengan kaki luka seperti itu."
Kei mengangkat tubuh putranya yang sempat duduk di sofa, "Apa benar seperti penjelasan paman itu, nak?"
Andre mengangguk.
Kei tidak percaya. Membuatnya harus mendalami tentang hal ini, "Nak, coba jangan berbohong pada bunda," pinta Kei sangat sabar.
Tapi Andre malah kembali menggeleng, "Tidak bunda! Andre tidak berbohong! Benar kata paman Sam. Dia yang menyelamatkan Andre. Andre tadi dipukul bagai binatang oleh bunda Wage… Hiks, hiks, hiks," lirih Andre sebab takut. Menunduk dalam diam menatap kedua tangannya yang saling menggandeng. Tubuhnya bergetar hebat sekali.
"Bunda tidak percaya! Bunda tau kamu sedang bermain-main dengan sandiwara menyakinkanmu itu!" Kei berdiri. Berkacak di pinggang dan beralih arah pandang pada lelaki bernama Sam itu.
Belum berkata apapun, bibi Gin memegang bahu Kei, "Anakmu masih kecil, Kei. Dia pria kecilmu yang polos. Perkataanmu saja sudah membuat tubuhnya bergetar hebat. Lihatlah, apa kau tidak kasihan dengannya?"
Tapi Kei tidak berkata apapun. Hanya diam memelototi pria yang sangat canggung, bingung dengan tatapan pemilik rumah itu.
Bibi Gin tampaknya sudah mulai geram dengan kelakuan tak bermoral Kei, "Aku tau kau memiliki masa kelam dengan lelaki, Kei. Tapi jangan suka membuat lelaki yang baru kau kenal takut denganmu bahkan pada pandangan pertama! Ayo, Kei. Duduk! Dinginkan emosimu, segera."
Bibi Gin menarik tubuh Kei ke atas sofa. Segera memberinya teh dingin di atas meja depan sofa.
Kedua putrinya, Anna dan Alice berada di kedua sisi Kei. Bibi Gin membiarkan dua gadis kecil itu di samping bundanya karena Anna dan Alice pastinya bisa mencegah jika bundanya kembali naik emosi ntah karena apa.
"Masuk, masuk… Tuan Sam. Duduk di sini ya," sila bibi Gin menetralkan kondisi.
"Terimakasih nyonya. Tapi saya akan pulang. Saya masih punya banyak pekerjaan setelah ini," ucap takut-takut Sam.
"T-tidak! Jangan sungkan. Putri saya, Kei memang seperti itu. Dia ada masalah akan masalalunya dengan lelaki. Makanya dia bersikap kurang baik terhadap anda. Maafkan saya dan putri saya ya tuan."
"Tapi…"
"Tolonglah tuan. Anda tidak boleh pergi sebelum berdamai dengan putri saya. Saya tau jika putri saya yang salah. Tapi saya jauh lebih merasa bersalah lagi jika tuan tidak menerima permintaan minta maaf putri saya."
***
"Ini kartu nama saya, nyonya," Sam meletakkan di atas meja berhadapan langsung dengan bibi Gin.
Bibi Gin langsung menerima dan membacanya.
"Saya seorang sutradara yang sedang mencari aktor–aktor baru untuk sebuah novel yang memiliki banyak peminatnya. Dan saya kira cucu anda pas untuk kisah tersebut, Haru Biru C**inta Hangat dan dingin ."
Kei sudah lama berdiam diri memalingkan wajah dari pria itu. Degh! Dia sangat terkejud dengan ungkapan pria itu.
"Haru Biru Cinta Hangat dan Dingin?" kini melihat pria yang duduk di sofa sampingnya.
Pria itu mengangguk.
"Anda… Sutradaranya?" tanyanya sedikit ragu.
"Iya, nona," jawab pria itu.
"Itu karya saya!" ucap heboh Kei.
Sama sama melotot. Kei dan Sam…
Kei segera membuka aplikasi dalam ponselnya. Karya yang dibuatnya berdasarkan kisah nyatanya sendiri untuk menyalurkan semua emosi pada lelaki bajingan, biadap dan pantas masuk ke dalam neraka!
Seminggu lalu ia menerima pesan dari editornya jika karyanya dipilih terbit menjadi sinetron. Siapa sangka sutradaranya sendiri datang.
Sedang Sam, dia tidak percaya bertemu langsung dengan author dari sebuah karya yang jujur dikaguminya. Setiap emosi terbentuk sangat tepat.
"Saya ingin jika putra anda, dan mungkin anda sebagai penulisnya menjadi tokoh utama. Esok saya akan memberi surat perjanjiannya, dan akan membawa anda ke lokasi syuting."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!